Analisis Karakteristik Wacana Kritis dalam Novel ونسيت انى إمراة /wa nasîtu annî imra´ah/ “Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan” Karya Ihsan Abdul Qudus
ANALISIS KARAKTERISTIK WACANA KRITIS DALAM
NOVEL
/wa nasītu annī imra`ah/
’AKU LUPA
BAHWA AKU PEREMPUAN’ KARYA IHSAN ABDUL QUDUS
SKRIPSI SARJANA
O
L
E
H
NAMA : SRI APEDIANI
NIM : 050704029
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
FAKULTAS SASTRA
PROGRAM STUDI BAHASA ARAB
MEDAN
(2)
ANALISIS WACANA KRITIS DALAM NOVEL /wa nasītu annī
imra`ah/ ’AKU LUPA BAHWA AKU PEREMPUAN’ KARYA IHSAN ABDUL
QUDUS
SKRIPSI SARJANA O
L E H
U
SRI APEDIANI 050704029
Pembimbing I Pembimbing II
U
Dra. Pujiati, M.Soc. Sc. Ph.DU UDra. Nursukma, Suri, M.Ag
NIP : NIP :
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatra Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra dalam bidang ilmu Bahasa Arab
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
FAKULTAS SASTRA
PROGRAM STUDI BAHASA ARAB
MEDAN
(3)
Disetujui oleh :
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA MEDAN
PROGRAM STUDI BAHASA ARAB
Ketua Sekretaris,
Dra. Khairawati, M.A. Ph.D
NIP :1963022111989032001 NIP :196005041987031005 Drs. Mahmud Kudri, M.Hum
(4)
PENGESAHAN
Diterima oleh :
Panitia ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatra Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sasjana Sastra dalam bidang ilmu Bahasa Arab pada Fakultas Sastra Universitas Sumatra Utara Medan
Pada
Hari : Tanggal :
Fakultas Sastra Universitas Sumatra Utara Dekan
NIP :19650909 199403 1 004 Drs. Syaifuddin, M.A. Ph.D
Panitia Ujian
No Nama Tanda Tangan
1. Dra. Khairawati, M.A. Ph.D (...) 2. Drs. Mahmud Kudri, M.Hum (...) 3. Dra. Pujiati, M.Soc. Sc. Ph.D (...) 4. Dra. Nursukma Suri, M.Ag (...) 5. Dra. Rahlina Muskar, M.Hum (...)
(5)
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang ditulis diacu oleh naskah skripsi ini dan yang disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.
Medan, Juni 2010 Penulis,
050704029 Sri Apediani
(6)
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur hanya milik Allah SWT yang senantiasa melimpahkan taufik dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat serta salam kepada junjungan besar baginda yang tercinta Nabi Muhammad SAW yang telah mengangkat manusia dari lembah jahiliyah kepada kehidupan yang islamiyah.
Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk melengkapi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada Program Studi bahasa Arab Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, maka penulis mengangkat judul :
“Analisis Karakteristik Wacana Kritis dalam Novel /wa
nasîtu annî imra´ah/ “Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan” Karya Ihsan Abdul
Qudus.”
Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis banyak mengalami hambatan dan kesulitan. Namun berkat bantuan dan bimbingan yang penulis peroleh dari para pembimbing serta bantuan dari banyak pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dalam skripsi ini masih terdapat kesalahan dan kekurangan. Untuk itu, penulis memohon saran dan kritikan yang membangun dari semua pihak agar skripsi ini dapat tersusun dengan lebih baik.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada penulis pada khususnya dan pada pembaca umumnya.
Medan, Mei 2010 Penulis
U
Sri Apediani 050704029
(7)
UCAPAN TERIMAKASIH
Segala puji dan syukur hanya milik Allah SWT yang senantiasa melimpahkan taufik dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat serta salam kepada junjungan besar baginda yang tercinta Nabi Muhammad SAW yang telah mengangkat manusia dari lembah jahiliyah kepada kehidupan yang islamiyah.
Dalam kesempatan ini, sebagai ungkapan rasa bahagia dan syukur yang tak terhingga, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tak ternilai kepada semua pihak yang membantu hingga selesainya penulisan skripsi ini, baik bantuan moril maupun materil. Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Untuk kedua orang tua yang selalu kusimpan di dalam ruang hatiku yang paling dalam. Tak terkira kasih sayang yang diberikan sejak di dalam kandungan hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dan menorehkan kata-kata di dalam skripisi ini sebagai ucapan terima kasih. Allahummagfirli wa liwalidayya wa irham huma kama rabbayani sagiran. Ayah, Ibu, engkau ada di mataku, walau sekedar bayang di kulit air.
2. Yang terhormat Drs. Syaifuddin, M.A.,Ph.D selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara serta Drs. Aminullah, M.A. Ph.D selaku Pembantu Dekan I, Drs. Samsul Tarigan selaku Pembantu Dekan II, dan Drs. Parlaungan Ritonga, M.Hum selaku Pembantu Dekan III.
(8)
3. Yang terhormat Dra. Khairawati, M.A.,Ph.D selaku Ketua Program Studi Bahasa Arab Fakultas Sastra USU dan Drs. Mahmud Khudri, M.Hum selaku Sekretaris Program Studi Bahasa Arab Fakultas Sastra USU.
4. Dra. Pujiati, M.Soc. Sc. Ph.D selaku dosen Pembimbing I yang telah banyak membantu dan membimbing penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Jazakumullah Khairu Jaza`.
5. Dra. Nursukma Suri, M. Ag selaku Pembimbing II yang telah banyak membantu dan membimbing penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini dan yang utama adalah kesediaan ibu dalam menampung curhatan-curhatan penulis selama ini. Jazakumullah Khairu Jaza`
6. Seluruh staf pengajar Program Studi Bahasa Arab Fakultas Sastra USU yang dengan ikhlas mencurahkan ilmu dan perhatiannya sejak penulis memulai perkuliahan hingga menyelesaikannya dan menjadi sarjana.
7. Ibu Dra. Kacar Ginting, M.Ag selaku dosen Pembimbing Akademik yang telah memberi dukungan dan arahan selama penulisan skripsi ini.
8. Teristimewa buat keluarga besar yang telah menjadi ’partner in crime’ selama penulis hidup. Kak Marlina Julianti Pohan dan bang Rahmadsyah Ariga serta pasukan kecilnya Nisa, Arya dan Trixy. Kak Irma Nurianti Pohan dan bang Dedi Syafrizal serta pasukan tunggalnya Adine. Kak Mahdalena Pohan, kak Syafriana Minta Pohan dan adikku Kurnia Hasanuddin Pohan.
9. Teristimewa untuk ’Mijn Lieveling’ yang memberikan penulis semangat dan rasa dalam menjalani hidup. Semua yang engkau berikan tetap tersimpan rapi dalam memori sebagai kenangan yang tidak akan terlupakan.
(9)
10.Teman-teman penulis di stambuk ’05 ” Yunita (mak nyun), Aqmalia (wak labu), Kiki (kikok), Ijal, Kak Isam, Lira, Faisal, Fitri, Sana, Putra, Mukhl is, Lubis, Amah, Elly, Mbak Linda, Tini, Reje, Lia Emak, Fauji, Surya, Aben, Hafni, Fitrah, Putri. Sangat mengesankan pertemanan selama lima tahun ini. Tetap jaga itu ya teman. Di masa depan nanti kita akan menyadari bahwa yang kita alami selama ini sangat berarti.
11.Teman-teman perjuangan penulis di HMI Komisariat Fakultas Sastra USU yang telah memberi beragam pemikiran dalam memaknai hidup dan mencari jalan menuju keaslian.
12.Teman-teman satu semangat penulis yang tergabung di IMBA Fakultas Sastra USU khususnya Haris (Assalamu ’Alaikum Ketua), Kia (grow up ya dek), Devi (kurangin cerewetnya ya dek), Ibnu (whatever they said ,just keep u’r style). 13.Untuk kawan-kawan nyata tapi tak nyata. Arif (si Dongan Rimba), Anggi (si
Androgini), Dessy ( si Feminin Ribet). Empat bulan yang menyenangkan kawan. 14.Untuk bang Andika selaku staf administrasi, penulis mengucapkan terima kasih
atas bantuannya selama ini.
Penulis tidak dapat membalas jasa baik yang diberikan, akhirnya kepada Allah SWT penulis memohon untuk memberi balasan yang berlipat ganda. Amin ya rabbal ‘ālamin
Medan, Juni 2010
Penulis,
(10)
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB – LATIN
Berdasarkan SKB Dua Menteri, Menteri agama dan Menteri P & K RI No. 158/1987 dan No.0543 b/U/1987 tertanggal 22 Januari 1988, tentang peresmian penggunaan transliterasi Arab.
1. Konsonan Tunggal
Fonem konsonan bahasa Arab dilambangkan dengan huruf. Dalam transliterasi ini sebagian dilambangkan dengan huruf dan tanda sekaligus.
Di bawah ini daftar huruf Arab itu dan ditransliterasikan dengan huruf latin.
Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama
1 2 3 4
Alif Ba Ta Sa Jim Ha Kha Dal Zal Ra Zai Sin Syin Sad Dad Ta Za ‘ain Gain Fa Qaf Kaf Lam Mim Nun Waw Tidak dilambangkan b t ṡ j ḥ kh d ż r z s sy ṣ ḍ ṭ ẓ ‘ g f q k l m n w Tidak dilambangkan be te
es (dengan titik di atas) je
ha (dengan titik di bawah) ka dan ha
dal
zet (dengan titik di atas) er
zet es
es dan ye
es (dengan titik di bawah) de (dengan titik di bawah) te (dengan titik di bawah) zet (dengan titik di bawah) koma terbalik ge ef ki ka el em en we
(11)
Ha Hamzah Ya
h ` Y
ha apostrof ye
2. Tanda syaddah
Syaddah atau tasydid dalam sistem tulisan arab dilambangkan dengan sebuah tanda seperti ( ), tanda syaddah ( ) adalah tanda yang menunjukkan konsonan rangkap atau pengulangan konsonan yang bersangkutan.dalam transliterasinya dilambangkan dengan huruf yaitu huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah itu.
Contoh : / rabbana/
3. Ta Marbutah
Transliterasi untuk ta marbutah ada tiga macam, yaitu : 3.1. Ta marbutah hidup
(12)
Yaitu ta marbutah yang mendapat harakat fathah, kasrah atau dammah, transliterasinya / t /.
3.2. Ta marbutah mati
Yaitu ta marbutah yang harakat sukun ( ), transliterasinya / h /
3.3. Kalau pada kata terakhir dengan ta marbutah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang “al” serta bacaan kedua kata itu terpisah maka ta marbutahnya ditransliterasikan dengan /h /
4. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab secara garis besar terbagi kepada 3 (tiga) bagian, yaitu :
4.1. Vokal pendek yang terdiri dari bunyi vokal [ a, i, u ].
Bunyi vokal pendek [ a ] dilambangkan dengan sebuah garis diagonal yang dibubuhkan di atas lambang-lambang bunyi konsonan. Sedangkan vokal [ i ] dilambangkan dengan sebuah garis diagonal yang dibubuhkan di bawah lambang-lambang bunyi konsonan. Bunyi vokal pendek [ u ] dilambangkan dengan sebuah tanda yang hampir mirip koma yang diletakkan di atas lambang-lambang bunyi konsonan. Adapun lambang bunyi vokal pendek tersebut seperti ( , , )
Bunyi vokal pendek adalah bunyi bersuara yang ketika mengucapkannya dengan suara agak cepat.
4.2. Vokal panjang
Bunyi ini terdiri dari bunyi-bunyi vokal [ a, i, u ] yang panjang, yaitu [ a: , i: , u: ]. Vokal panjang ini dilambangkan dengan bunyi-bunyi vokal pendek dan diikuti dengan huruf hija`iyah tertentu.
Bunyi vokal panjang [ a: ] dilambangkan dengan bunyi vokal pendek [ a ] diikuti dengan huruf hija`iyah “alif” ( ), seperti : [ a: ] Bunyi vokal panjang [ i: ] dilambangkan dengan bunyi vokal pendek [ i ] diikut i huruf hija`iyah “ya” ( ), seperti : [ i: ].
(13)
Bunyi vokal panjang [ u ] dilambangkan dengan bunyi vokal pendek [ u ] diikuti huruf hija`iyah “waw” ( ), seperti : [ u: ].
Huruf hija`iyah yang mengikuti lambang-lambang bunyi vokal pendek di dalam bahasa Arab lazim disebut dengan huruf “Mad”
Jadi bunyi vokal panjang adalah bunyi yang ketika mengucapkannya dengan suara lebih lama atau lebih panjang.
4.3. Vokal rangkap
Vokal rangkap adalah vokal bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu :
Tanda dan huruf
Nama Gabungan huruf Nama
dan
dan
Fathah dan ya
Fathah dan waw
ai
au
a dan i
a dan u
Contoh : [kaifa] /kaifa/ ‘bagaimana’
[ħaula] /ḥaula/ ‘di antara’
5. Kata sandang
Kata sandang dalam sistem tulisan arab dilambangkan dengan huruf, yaitu : / al/. namun dalam transliterasi ini, kata sandang itu dibedakan atas kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah dan kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariah.
5.1. Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiah
Kata sandang yang diikuti huruf syamsiah ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya, yaitu huruf “ l “ diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang itu.
(14)
Contoh : /as-sama`/ /aṣ -ṣ aifu/ 5.2. Kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariah
Kata sandang yang diikuti huruf qamariah ditransliterasikan sesuai dengan tulisannya, yaitu huruf “ l “ tetap dibaca.
Contoh : / al-baitu/ / al-asad/
6. Huruf kapital
Meskipun dalam sistem tulisan bahasa Arab huruf kapital tidal dikenal, namun dalam transliterasi huruf tersebut digunakan juga. Penggunaan huruf kapital, seperti apa yang berlaku dalam ejaan yang disempurnakan (EYD), diantaranya : huruf kapital dipergunakan untuk menuliskan awal nama diri dan permulaan kalimat. Bila nama diri itu didahului oleh kata sandang maka yang dituliskan dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut buka huruf awal kata sandangnya.
Contoh :
-
/ Alhamdulillahi rabbi al-‘ālamin/-
/ Wa ma Muhammadun illa rasulan/Penggunaan huruf kapital untuk kata Allah hanya berlaku bila dalam tulisan Arabnya memang lengkap demikian dan kalau penulisan itu disatukan dengan kata lain sehingga ada huruf atau harakat yang dihilangkan, huruf kapital tidak dipergunakan.
7. Hamzah ( )
Hamzah yang terletak ditengah dan diakhir kata ditransliterasikan dengan apostrof ( ` ), sedangkan untuk hamzah yang terletak di awal kata tidak dilambangkan karena dalam tulisan arab berupa alif.
Contoh : /akhaża/
(15)
8. Sandang
Pada dasarnya setiap kata, baik fi’il, ism dan hurf ditulis terpisah. Hanya kata-kata tertentu yang penulisannya dengan huruf Arab sudah lazim dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau harakat yang dihilangkan. Maka dalam transliterasi ini penulisan kata tersebut dirangkaikan juga dengan kata lain yang mengikutinya.
Contoh :
-
/ Wa innallaha lahuwa khairu ar-raziqin/-
/ wa innallaha lahuwa khairuraziqin/9. Tajwid
Bagi mereka yang menginginkan kefasihan dalam bacaan, pedoman transliterasi ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan ilmu tajwid. Karena itu, peresmian pedoman transliterasi ini perlu disertai dengan pedoman tajwid.
(16)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
UCAPAN TERIMAKASIH ... ii
PEDOMAN TRANSLITERASI ... v
DAFTAR ISI ... xi
ABSTRAKSI ... xii
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Batasan Masalah ... 4
1.3 Tujuan Penelitian ... 5
1.4 Manfaat Penelitian ... 5
1.5 Metode Penelitian ... 6
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ... 7
BAB III : HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22
3.1 Sekilas Tentang Biografi Pengarang ... 22
3.2 Karakteristik Analisis Wacana Kritis dalam Novel Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan ... 25
3.2.1 Tindakan ... 25
3.2.2 Konteks……….. 38
3.2.3 Historis………... 50
3.2.4 Kekuasaan……….. 63
3.2.5 Ideologi……….. 68
BAB IV : PENUTUP ... 67
4.1 Kesimpulan ... 67
4.2 Saran ... 68 DAFTAR PUSTAKA
(17)
ABSTRAK
Sri Apediani, 2010. Analisis Karakteristik Wacana Kritis Dalam Novel Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan Karya Ihsan Abdul Qudus.
Medan. Program Studi Bahasa Arab, Fakultas Sastra, Universitas Sumatra Utara. Penelitian ini membahas tentang karakteristik analisis wacana kritis dalam novel Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan karya Ihsan Abdul Qudus. Karakteristik analisis wacana kritis menggambarkan wacana sebagai praktik sosial dan menyebabkan sebuah hubungan dialektis diantara peristiwa tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya.
Permasalahan yang diteliti adalah karakteristik analisis wacana kritis yang terdiri dari lima bagian yaitu tindakan, konteks, historis, kekuasaan, dan ideologi, dalam novel Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan karya Ihsan Abdul Qudus.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik analisis wacana kritis dalam novel Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan karya Ihsan Abdul Qudus
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan dan menggunakan metode desktiptif yang bertujuan membuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat mengenai data yang diteliti penulis dengan menggunakan teori Fairlough dan Wodak yang diambil dari buku karangan Eriyanto.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan karakteristik tindakan yang berjumlah Sembilan, hasil dari karakteristik konteks terdapat delapan, hasil dari karakteristik historis terdapat sembilan, hasil dari karakteristik kekuasaan terdapat empat, hasil dari karakteristik ideologi terdapat satu.
(18)
.
BAB I
(19)
ABSTRAK
Sri Apediani, 2010. Analisis Karakteristik Wacana Kritis Dalam Novel Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan Karya Ihsan Abdul Qudus.
Medan. Program Studi Bahasa Arab, Fakultas Sastra, Universitas Sumatra Utara. Penelitian ini membahas tentang karakteristik analisis wacana kritis dalam novel Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan karya Ihsan Abdul Qudus. Karakteristik analisis wacana kritis menggambarkan wacana sebagai praktik sosial dan menyebabkan sebuah hubungan dialektis diantara peristiwa tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya.
Permasalahan yang diteliti adalah karakteristik analisis wacana kritis yang terdiri dari lima bagian yaitu tindakan, konteks, historis, kekuasaan, dan ideologi, dalam novel Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan karya Ihsan Abdul Qudus.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik analisis wacana kritis dalam novel Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan karya Ihsan Abdul Qudus
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan dan menggunakan metode desktiptif yang bertujuan membuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat mengenai data yang diteliti penulis dengan menggunakan teori Fairlough dan Wodak yang diambil dari buku karangan Eriyanto.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan karakteristik tindakan yang berjumlah Sembilan, hasil dari karakteristik konteks terdapat delapan, hasil dari karakteristik historis terdapat sembilan, hasil dari karakteristik kekuasaan terdapat empat, hasil dari karakteristik ideologi terdapat satu.
(20)
.
BAB I
(21)
1.1 Latar Belakang
Kemampuan menguasai dan menggunakan bahasa merupakan ciri yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Dengan bahasa, manusia dapat berfikir dan mengkomunikasikan pikirannya. Manusia berinteraksi dengan sesamanya juga dengan menggunakan bahasa. Ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan keberadaban pun pada dasarnya dipelajari dan diwariskan dari generasi ke generasi dengan menggunakan bahasa. Tanpa bahasa, kehidupan manusia sulit berkembang. Tanpa bahasa interaksi dan komunikasi antar manusia menjadi terbatas (Asrori, 2004: 4).
Ilmu tentang bahasa sering disebut dengan ilmu linguistik yaitu ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya.
Menurut Al-Khuli (1982: 157) dalam A dictionary of Theoretical Linguistics (English-Arabic) linguistik disebut dengan /ilmu al-lugati/ adalah:
/’ilmun yabhaśu fī al-lugati min jamī’i jawānibihā al-şautiyyati wa al -şarfiyyati wa al-nahwiyyati wa al-mufradatiyyati wa al-dalāliyyati wa al -nafsiyyati wa al-ijtimā’iyyati wa al-mu’jamiyyati wa al-taţbīqiyyati/
‘ilmu yang membahas tentang bahasa dari semua sisinya, yaitu sisi fonologi, morfologi, sintaksis, kosa kata, semantik, psikologi, masyarakat (sosiologi), perkamusan dan kasta-kasta (kelas kata)’.
Bahasa memiliki unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama lain. Unsur-unsur bahasa tersebut adalah fonem, morfem, kata, kalimat, frase, klausa dan wacana. Salah satu unsur kebahasaan tersebut yaitu wacana adalah unsur bahasa yang akan diteliti oleh penulis.
Menurut Mulyana (2005: 6) tiap kajian wacana akan selalu mengaitkan unsur-unsur satuan kebahasaan yang ada di bawahnya, seperti fonem, morfem, kata, frasa, klausa, atau kalimat.
(22)
Menurut Kridalaksana (1984: 334) dalam Mulyana (2005: 6) dalam satuan kebahasaan atau hirarki kebahasaan, kedudukan wacana berada pada posisi paling besar dan paling tinggi. Hal ini disebabkan wacana –sebagai satuan gramatikal dan objek kajian linguistik- mengandung semua unsur kebahasaan yang diperlukan dalam segala bentuk komunikasi
Wacana merupakan unsur kebahasaan yang relatif paling kompleks dan paling lengkap. Satuan pendukung kebahasaannya meliputi fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf hingga karangan utuh. Namun, pada dasarnya wacana juga merupakan unsur bahasa yang bersifat pragmatis (Mulyana, 2005: 1)
Ada yang mengartikan wacana sebagai unit bahasa yang lebih besar dari kalimat. Ada juga yang mengartikan sebagai pembicaraan atau diskursus. Kata wacana juga dipakai oleh banyak kalangan mulai dari studi bahasa, psikologi, sosiologi, politik, komunikasi, sastra dan sebagainya (Eriyanto, 2001: 1)
Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam banyak disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Ada tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana. Pertama, pandangan positivisme-empiris. Kedua, pandangan konstruktivisme. Ketiga, pandangan kritis.
Pandangan kritis adalah teori analisis wacana yang akan dipakai penulis dalam menganalisis penelitian ini. Menurut Eriyanto (2001: 6-7) pandangan kritis menganggap bahwa wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat. Karena memakai perspektif kritis, analisis wacana kategori ini disebut sebagai analisis wacana kritis /al-tahlilu al-hadiśu al-naqdiyatu/ (Crtical Discourse Analysis). Analisis wacana kritis memiliki beberapa pendekatan dan karakteristik. Namun yang ingin dikaji oleh penulis disini hanya karakteristik analisis wacana kritis saja yang terdiri dari lima bagian yaitu: tindakan, konteks, historis, kekuasaan dan ideologi.
(23)
Di dalam analisis wacana kritis, Eriyanto mengatakan bahwa wacana tidak dipahami sebagai studi bahasa semata, melainkan sebagai faktor penting bahwa bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan yang terjadi di dalam masyarakat. Eriyanto juga menggambarkan karakteristik analisis wacana kritis secara spesifik dan mudah dipahami sehingga menjadi salah satu nilai plus tersendiri dibandingkan dengan analisis wacana kritis yang ditulis oleh penulis lain seperti Marianne W. Jorgensen dan Louise J. Philips dalam bukunya Analisis Wacana Teori dan Metode. Ataupun dalam buku Teori dan Analisis Wacana karya Tengku Silvana Sinar.
Penulis tertarik untuk meneliti sebuah novel dengan teori analisis wacana kritis karena melalui analisis wacana kritis penulis dapat meneliti sebuah karya sastra dengan memakai teori kebahasaan/linguistik tanpa menghilangkan karakteristik karya sastra ataupun bahasa itu sendiri. Analisis wacana kritis juga dapat menghubungkan konsep ilmu linguistik dan ilmu sosial yang dapat ditelaah secara bersama-sama tanpa memisahkan konsep ilmu masing-masing. Maka dari itu penulis tertarik untuk menganalisis karakteristik wacana secara kritis di dalam novel
/wa nasītu annī imra`ah/ ‘Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan’ dengan memakai teori
Fairlough dan Wodak yaitu teori analisis wacana kritis yang terdapat dalam buku Eriyanto karena di dalam novel ini terdapat karakteristik analisis wacana kritis. Di samping itu, kajian tentang analisis wacana kritis belum pernah dilakukan di Program Studi Bahasa Arab Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.
Adapun novel yang akan diteliti adalah novel yang berjudul :
/wa nasītu annī imra`ah/ ‘Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan’ karya Ihsan Abdul Qudus yang diterbitkan pada tahun 1998 di Kairo. Novel ini terdiri dari sepuluh bab dan 186 halaman yang digunakan sebagai data primer. Sebagai data pendukung penulis juga menyertakan terjemahan dari novel tersebut yang
(24)
berjudul ”Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan” yang diterjemahkan oleh Syahid Widi Nugroho yang berjumlah sepuluh bab dan 248 halaman.
Dalam novel ini diceritakan mengenai kisah seorang wanita keturunan Mesir bernama Suad yang semenjak kecil telah menunjukkan kemandiriannya sebagai seorang wanita yang ingin memperoleh hak yang sama dengan pria dalam hal memperoleh pendidikan dan beraktifitas. Ia adalah seorang wanita yang berhasil menggapai ambisinya menjadi seorang politisi sukses. Tentunya hal ini sangat menarik karena latar yang diambil adalah Mesir pada tahun 1930 sampai 1970 an dan dapat dilihat pada saat itu latar belakang politik dan sosialnya yang masih konservatif dan menjadikannya sebuah fenomena baru dalam isu kesetaraan gender. Namun, dibalik kesuksesannya yang cemerlang dalam karir politik, kehidupan rumah tangganya dua kali menghadapi kegagalan. Bahkan anak tunggalnya, Faizah, lebih akrab dengan ibu tirinya. Ia dicap sebagai wanita yang berhasil dalam karir politik dan pemerintahan namun gagal dalam rumah tangga. Berbagai tuduhan tersebut membuatnya menenggelamkan diri dalam berbagai kesibukan politiknya.
Namun, justru hal inilah yang menarik peneliti untuk mengkaji lebih dalam tentang karakteristik cerita dalam novel ini. Dibalik kegagalan rumah tangganya, Suad adalah seorang wanita yang memberikan inspirasi dan contoh bagi perjuangan wanita yang bertindak dalam melawan dominasi pria di sekelilingnya. Salah satu yang paling menarik menurut peneliti adalah novel ini menggambarkan tentang sejarah, ideologi dan kekuasaan yang terangkum dalam sebuah kisah dari seorang perempuan yang hidup pada masa diskriminasi terhadap hak asasi manusia.
1.2 Batasan Masalah
Agar pembahasan ini tidak menyimpang dari pembahasan yang dikehendaki, maka penulis membuat batasan masalah yaitu bagaimanakah karakteristik tindakan, konteks, historis, kekuasaan dan ideologi dalam novel /wa nasītu
(25)
annī imra`ah/ ‘Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan’ karya Ihsan Abdul Qudus berdasarkan analisis wacana kritis yang diambil dari buku karangan Eriyanto.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik tindakan, konteks, historis, kekuasaan dan ideologi dalam novel /wa nasītu annī imra`ah/ ‘Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan’ karya Ihsan Abdul Qudus berdasakan analisis wacana kritis yang diambil dari buku karangan Eriyanto .
1.4Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk menambah referensi ilmu Bahasa khususnya tentang analisis wacana
kritis di Program Studi Bahasa Arab Fakultas Sastra Universitas Sumatra Utara.
2. Untuk memberikan sumbangan pemikiran pada mahasiswa agar mengetahui lebih banyak mengenai novel /wa nasītu annī imra`ah/ ’Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan’ karya Ihsan Abdul Qudus khususnya tentang analisis wacana kritis yang terdapat di dalamnya.
3. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang nilai-nilai feminisme sastra dalam novel /wa nasītu annī imra`ah/ ’Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan’ karya Ihsan Abdul Qudus.
1.5 Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research ) dengan menggunakan analisis Deskriktif yaitu prosedur pemecahan masalah yang dilakukan dengan cara mengumpulkan, menganalisis dan mengklasifikasikan, dan
(26)
mendeskripsikan data dalam fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya untuk kemudian dianalisis.
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer berupa sebuah novel yang berjudul /wa nasîtu annî imra´ah/ ”Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan” karya Ihsan Abdul Qudus. Sebagai data pendukung penulis juga menyertakan terjemahan dari novel tersebut yang berjudul ”Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan” yang diterjemahkan oleh Syahid Widi Nugroho yang berjumlah sepuluh bab dan 248 halaman. Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini adalah literatur-literatur yang berhubungan dengan judul penelitian yang akan diteliti oleh penulis.
Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan oleh penulis adalah berdasarkan SKB Menteri Agama dan Menteri P&K RI No. 158 tahun 1987 dan No. 0543/U/1987 tertanggal 22 Januari 1988.
Adapun tahapan dari metode penelitian ini adalah :
1. Mengumpulkan dan mengidentifikasi data-data serta literatur yang dianggap berhubungan dengan analisis wacana kritis pada novel
/wa nasîtu annî imra´ah/ ’Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan’ karya Ihsan Abdul Qudus.
2. Menganalisis dan mengklasifikasikan data-data dalam novel
/wa nasîitu annîi imra´ah/ ’Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan’ karya Ihsan Abdul Qudus berdasarkan teori analisis wacana kritis.
3. Menguraikan data-data dan literatur serta menyusunnya secara sistematis dalam bentuk laporan awal.
4. Mendeskripsikan data-data dan hasil laporan awal lalu menyusunnya kembali secara sistematis dalam bentuk laporan akhir yaitu skripsi.
(27)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Sebelumnya
Penelitian mengenai analisis wacana kritis dalam novel
/wa nasītu annī imra`ah/ ’Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan’ di Program Studi
Bahasa Arab Fakultas Sastra USU sepanjang penulis ketahui belum ada. Namun penelitian-penelitian mengenai wacana sudah pernah diteliti sebelumnya oleh dua orang mahasiswa Program Studi Bahasa Arab Fakultas Sastra USU. Penelitian pertama diakukan oleh saudara Ardiles, NIM: 020704010 dengan judul skripsi ”Analisis Kohesi Gramatikal Wacana ”jundiyun muslimun” Dalam Kitab Dirasatu Al-Arabiyyati karya Saleh Ibnu Malik dkk”. Penelitian yang kedua dilakukan oleh saudari Suci Amalia, NIM: 020704015 dengan judul skripsi ” Analisis Kohesi Leksikal Wacana ”man huwa al-irhabi” Dalam Majalah Alo Indonesia Edisi 28 April 2002. Skripsi ini meneliti tentang perwujudan kohesi leksikal menurut teori Halliday-Hasan dan untuk meneliti pertalian endoforiknya.
Adapun penelitian yang diteliti penulis dalam skripsi ini adalah penelitian tentang analisis karakteristik wacana kritis yang diteliti dalam sebuah novel yang berjudul /wa nasītu annī imra`ah/ ’Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan’. Judul penelitian ini adalah ”Analisis Wacana Kritis Dalam Novel
/wa nasītu annī imra`ah/ ’Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan’
Karya Ihsan Abdul Quddus”. Skripsi ini meneliti tentang karakteristik wacana kritis yang berjumlah lima karakteristik yaitu karakteristik tindakan, konteks, historis, kekuasaan dan ideologi dalam novel /wa nasītu annī imra`ah/ ’Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan’ dengan memakai teori analisis wacana kritis Fairlough dan Wodak yang telah dikembangkan oleh Eriyanto dalam bukunya yang berjudul ”Analisis Wacana : Sebuah Pengantar Media”.
(28)
2.2 Pengertian Wacana dan Analisis Wacana Kritis
Menurut Douglas (1976: 266) dalam Mulyana (2005: 3), istilah wacana berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/vak, yang artinya berkata, berucap. Kata tersebut kemudian mengalami perubahan bentuk menjadi wacana.
Kridalaksana (1982) dalam Sinar (2008: 5) mengatakan bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap; dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat yang lengkap.
Menurut Kamus Linguistik Dewan Bahasa dan Pustaka (1997) dalam Sinar (2008: 5), wacana diterjemahkan sebagai discourse yaitu unit bahasa yang lengkap dan tertinggi yang terdiri daripada deretan kata atau kalimat, sama ada dalam bentuk lisan atau tulisan, yang dijadikan bahan analisis linguistik.
Menurut J.S Badudu (2000) dalam Eriyanto (2001: 2), wacana adalah 1. rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan preposisi yang satu dengan preposisi yang lainnya, membentuk satu kesatuan sehingga terbentuklah makna yang serasi diantara kalimat-kalimat itu; 2. kesatuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis.
Menurut Dardjowidjojo (1986: 108) dalam Mulyana (2005: 1) kajian wacana berkaitan dengan pemahaman tentang tindakan manusia yang dilakukan dengan bahasa (verbal) dan bukan bahasa (nonverbal). Hal ini menunjukkan, bahwa untuk memahami wacana dengan baik dan tepat, diperlukan bekal pengetahuan kebahasaan, dan bukan kebahasaan (umum). Pernyataan itu mengisyaratkan, betapa luas ruang lingkup yang harus ditelusuri dalam kajian wacana.
Sebagai objek kajian dan penelitian kebahasaan, wacana dapat diteliti dari berbagai segi. Menurut Baryadi (2003: 15) bahwa analisis wacana mengkaji wacana baik dari segi internal maupun eksternalnya. Dari segi internal, wacana dikaji dari jenis, struktur, dan hubungan bagian-bagian wacana; sedangkan dari segi eksternal,
(29)
wacana dikaji dari segi keterkaitan wacana itu dengan pembicara, hal yang dibicarakan dan mitra bicara.
Aspek-aspek yang terkandung didalam wacana menyuguhkan kajian yang sangat beragam. Penelitian tentang wacana masih banyak berkutat pada persoalan kebahasaannya secara internal. Belum banyak penelitian yang mengeksplorasi wacana dari segi eksternalnya, seperti sosial, sastra, budaya, ekonomi dan lain-lain.
Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai di dalam berbagai disiplin ilmu dengan berbagai pengertian.Titik singgung analisis wacana adalah studi yang berhubungan dengan pemakaian bahasa. Menurut A.S Hikam dalam Eriyanto (2001: 4) ada tiga paradigma analisis wacana dalam melihat bahasa. Pertama, pandangan positivisme-empiris; kedua, pandangan konstruktivisme; dan ketiga pandangan kritis.
Menurut Eriyanto (2001: 6) pandangan kritis adalah pandangan ini ingin mengoreksi pandangan konstruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Analisis wacana dalam paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Karena pandangan ini memakai perspektif kritis, analisis wacana kategori yang ketiga ini juga disebut sebagai analisis wacana kritis /al-tahlilu al-hadiśu al-naqdiyatu// atau disebut juga Critical Discourse Analysis. Ini untuk membedakan dengan analisis wacana dalam kategori yang pertama atau kedua (Discourse Analysis). Analisis wacana kritis adalah teori yang akan dipakai penulis dalam meneliti judul penelitian ini.
Analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) berawal dari munculnya konsep analisis bahasa kritis (Critical Language Awareness) dalam dunia pendidikan barat (Lukmana, Aziz dan Kosasih, 2006: 12).
Menurut Pennycook dan Schriffin (1994) dalam Lukmana, Aziz dan Kosasih (2006: 12) dilihat dari unsur kesejarahannya, analisis wacana kritis (Critical
(30)
Discourse Analysis) merupakan kelanjutan atau bahkan bagian dari analisis wacana (Discourse Analysis). Kajian analisis wacana (Discourse Analysis) ini begitu luas baik dari segi cakupannya, metodologinya, maupun pemaknaannya.
Lukmana, Aziz dan Kosasih (2006: 12) mengatakan bahwa :
Analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) mempunyai ciri yang berbeda dari analisis wacana yang bersifat “non-kritis”, yang cenderung hanya mendeskripsikan struktur dari sebuah wacana. Analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) bertindak lebih jauh, diantaranya dengan menggali alasan mengapa sebuah wacana memiliki struktur tertentu, yang pada akhirnya akan berujung pada analisis hubungan sosial antara pihak-pihak yang tercakup dalam wacana tersebut. Analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) juga merupakan kritik terhadap linguistik dan sosiologi. Tampak adanya kurang komunikasi diantara kedua disiplin ilmu tersebut. Pada satu sisi, sosiolog cenderung kurang memperhatikan isu-isu linguistik dalam melihat fenomena sosial meskipun banyak data sosiologis yang berbentuk bahasa. Mereka terlalu berfokus pada ‘isi’ dan mengabaikan aspek tekstur dan intertekstualitas (Fairlough, 1992b, 1995). Di pihak lain, para linguis cenderung tidak secara penuh memasukkan aspek-aspek sosial dalam membahas wacana. Sebagai akibatnya, ada pembahasan wacana yang sangat sosiologis (misalnya Focault, 1982) atau sangat linguis (misalnya Harris, 1952).
Analisis wacana kritis menyediakan teori dan metode yang bisa digunakan untuk melakukan kajian empiris tentang hubungan-hubungan antara wacana dan perkembangan sosial dan kultural dalam domain-domain sosial yang berbeda (Jorgensen dan Philips, 2007: 114).
Tujuan analisis wacana kritis adalah menjelaskan dimensi linguistik kewacanaan fenomena sosial dan kultural dan proses perubahan dalam modernitas terkini (Jorgensen dan Philips, 2007: 116).
Fairlough dan Wodak dalam Eriyanto (2001: 7) berpendapat bahwa :
Analisis wacana kritis melihat wacana –pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan- sebagai bentuk dari praktik sosial. Menggambarkan wacana sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis diantara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya. Praktik wacana bisa jadi menampilkan efek ideologi: ia dapat
(31)
memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan minoritas melalui mana perbedaan itu dipresentasikan dalam posisi sosial yang ditampilkan
Menurut Jorgensen dan Philips (2007: 120) Analisis wacana kritis itu bersifat “kritis” maksudnya adalah bahwa analisis ini bertujuan mengungkap peran praktik kewacanaan dalam upaya melestarikan dunia sosial, termasuk hubungan-hubungan sosial yang melibatkan hubungan kekuasaan yang tak sepadan. Pendekatan analisis wacana kritis memihak pada kelompok-kelompok sosial yang tertindas.
Analisis wacana kritis merupakan teori untuk melakukan kajian empiris tentang hubungan-hubungan antara wacana dan perkembangan sosial budaya. Untuk menganalisis wacana, yang salah satunya bisa dilihat dalam area linguistik dengan memperhatikan kalimat-kalimat yang terdapat dalam teks (novel) bisa menggunakan teori analisis wacana kritis. Teori analisis wacana kritis memiliki beberapa karakteristik dan pendekatan. Pendekatan analisis wacana kritis menurut Eriyanto terdiri dari lima bagian yaitu analisis bahasa kritis, analisis wacana pendekatan Prancis, pendekatan kognisi sosial, pendekatan perubahan sosial, dan pendekatan wacana sejarah. Namun yang ingin dikaji oleh penulis disini hanya karakteristiknya saja yang terdiri dari lima bagian.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke II (Depdikbud, 1995: 445) karakteristik adalah ciri-ciri khusus; mempunyai sifat khas sesuai dengan perwatakan tertentu.
Sedangkan menurut Kamus Istilah Sastra (Laelasari dan Nurlailah, 2006: 133) karakterisitik adalah hal-hal yang terdapat pada naskah tertentu (ciri khas).
2.3 Karakteristik Analisis Wacana Kritis
Mengutip Fairlough, Teun A. van Dijk dan Wodak, Eriyanto (2001: 8-14) menyajikan karakteristik penting dari analisis wacana kritis. Hal-hal dibawah ini merupakan karakteristik ( /al-khuşuşiyatu/ ) analisis wacana kritis, yaitu:
(32)
1. Tindakan 2. Konteks 3
.
Historis 4. Kekuasaan 5. Ideologi1. Tindakan /al-fi’lu/ atau Action
Menurut Eriyanto (2001: 8) prinsip pertama, wacana dipahami sebagai sebuah tindakan (action). Dengan pemahaman semacam ini mengasosiasikan wacana sebagai bentuk interaksi. Wacana bukan ditempatkan seperti dalam ruang tertutup dan internal.
Seseorang berbicara, menulis dan menggunakan bahasa tidak diartikan dia berbicara atau menulis untuk dirinya sendiri, melainkan untuk berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain. Menurut Eriyanto (2001: 8) ada beberapa konsekuensi bagaimana wacana harus dipandang. Pertama, wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan, apakah untuk mempengaruhi, mendebat, membujuk, menyanggah, bereaksi, dan sebagainya. Seseorang berbicara atau menulis mempunyai maksud tertentu, baik besar maupun kecil. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang diluar kendali atau diekspresikan di luar kesadaran.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi II (1995: 1058) tindakan adalah perbuatan; sesuatu yang dilakukan; sesuatu yang dilakukan untuk mengatasi sesuatu.
Contoh tindakan menolak dapat dilihat dalam novel
/imra`atu ‘inda nuqtati al-sifr/ ’Perempuan di Titik Nol’’ karya Nawal El- Sadawi. Penggambaran Firdaus sebagai seorang pelacur yang dipenjara yang memiliki pendirian yang kuat terhadap tekanan orang-orang di penjara dapat dilihat dari kutipan berikut :
(33)
/ja`a ahadduhum wa qala li: hunaka amalin fi afraju ‘anki law katabat al-tamasa ‘afwan ‘an jarimatuki lira`isi al-daulatin.
Qultu : la argabu fi afraju aw ‘afwa ‘an jarimati, lianna jarimati lam takun jarimatan/
...’telah datang seorang dari mereka dan berkata padaku: ada harapan kamu dibebaskan jika kamu mengirim surat permohonan maaf tentang kejahatanmu kepada presiden.
Aku berkata: aku tidak mau dibebaskan dari penjara atau meminta maaf tentang kejahatanku, karena kejahatanku bukanlah disebut kejahatan ’ ( Hal 147 bab III )
Dari contoh tersebut dapat kita lihat bahwa tindakan yang dilakukan Firdaus adalah tindakan yang menunjukkan penolakan. Hal ini dapat dilihat dari kata-kata yang menyatakan menolak yaitu kata “aku tidak mau dibebaskan”. Firdaus menolak saran atau suruhan yang dikemukakan oleh sipir penjara untuk mengirim surat permohonan maaf kepada presiden bahwa ia mengaku bersalah atas kejahatannya dan meminta pengampunan. Firdaus adalah seorang pelacur yang didakwa hukuman mati karena membunuh seorang pria yang mencoba untuk mengancam membunuh dan memerasnya. Firdaus akhirnya dipenjara karena membunuh pria tersebut untuk mempertahankan harga dirinya. Firdaus menganggap bahwa ia adalah seorang manusia yang mempunyai hak dan penghargaan yang sama terhadap orang lain sekalipun ia pelacur.
2. Konteks /al-siyāqu al-kalāmu/ atau Context
Menurut Eriyanto (2001: 8) analisis wacana kritis mempertimbangkan, memproduksi dan menganalisis konteks dari wacana seperti latar, situasi, peristiwa dan kondisi. Wacana disini dipandang diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu.
(34)
Menurut Eriyanto (2001: 10) Ada beberapa konteks yang penting karena berpengaruh terhadap produksi wacana. Pertama, Partisipan wacana yaitu latar siapa yang memproduksi wacana tersebut seperti jenis kelamin, umur, pendidikan, kelas sosial, etnis, agama, dan banyak hal yang relevan dalam menggambarkan wacana. Misalnya, seseorang bicara dalam pandangan tertentu karena laki-laki atau karena ia berpendidikan. Kedua, latar sosial tertentu seperti tempat, waktu, posisi pembicara dan pendengar atau lingkungan fisik adalah konteks yang berguna untuk mengerti suatu wacana. Misalnya, pembicaraan di tempat kuliah berbeda dengan di jalan, pembicaraan di kantor berbeda dengan pembicaraan di kantin.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi II (1995: 522) konteks adalah bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna; situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian.
Contoh konteks dapat dilihat dalam novel /imra`atu ‘inda nuqtati al-sifr/ ’Perempuan di Titik Nol’’ karya Nawal El- Sadawi.
/qalat bagdaba: kulluhum yaquluna zalika.
Sa`altuha: wa limaza anta gadibatan ila haza al-hadi?hal ta’taqadina `an Firdausi bari`atan wa lam ta’taqali?
Radat bagdaba asadda: qatalat `am taqtilu, innaha bari`atan, wa la tastahiqqu al-sinaqu innahum hum allazina yastahiqquna al-sinaqu.
Sa`ltuha: man hum?
Nazarat ila fi rubiyatin wa qalat: man anti? Hal “hum” allazina arsaluki ilaiha?../
(35)
...dia berkata dengan marah: itulah yang mereka semua katakan.
Aku bertanya padanya: dan mengapa kau marah pada hal tersebut? Apakah kau berpikir Firdaus tidak bersalah dan tidak membunuhnya?
Dia menjawab dengan kemarahan: pembunuh atau bukan pembunuh, dia tidak bersalah, dan tidak perlu dihukum gantung. Mereka itulah orang-orangnya yang harus dihukum gantung.
Aku bertanya padanya: mereka siapa?
Ia melihatku dalam kecurigaan dan berkata: siapa anda? Apakah “mereka” yang mengirim anda pada kami? ( halaman 5 bab I )
Dari contoh diatas dapat dilihat bahwa konteks yang terjadi adalah dialog yang dilakukan oleh Dokter Nawal sebagai tokoh utama dengan sipir penjara. Sebagai seorang dokter, tentu dokter tersebut berdialog dan berbicara dengan santun dan hati-hati demi menjaga wibawanya dan profesionalitas dalam bekerja. Sedangkan sipir penjara adalah sosok yang biasanya dikenal keras dan sangat berhati-hati dalam menyampaikan informasi pada orang-orang yang tidak berhubungan dengan aktifitas di penjara. Sehingga pada contoh tersebut dapat dilihat bagaimana Dokter Nawal berbicara dalam konteks seorang dokter yang berwibawa, kritis dan profesional. Sedangkan sipir penjara berbicara dengan nada yang cukup keras dan menunjukkan sikap antipati pada orang-orang di luar penjara.
3. Historis /al-tārikhu/ atau History
Menurut Eriyanto (2001: 10-11) menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu, berarti wacana diproduksi dalam konteks tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa menyertakan konteks yang menyertainya. Salah satu aspek penting untuk bisa mengerti teks adalah dengan menempatkan wacana itu dalam konteks historis tertentu.
Pemahaman tentang wacana teks hanya dapat diperoleh jika diketahui bagaimana situasi atau sejarah sosial, budaya, politik pada waktu teks tersebut tercipta. Oleh sebab itu ketika menganalisis teks perlu ditinjau supaya pembaca dan masyarakat mengetahui dan mengerti mengapa suatu wacana tersebut dapat berkembang sedemikian rupa serta mengapa bahasa yang dipergunakan seperti itu.
(36)
Misalnya, analisis wacana teks tentang selebaran mahasiswa yang menentang pemerintahan Soeharto.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi II (1995: 355) historis adalah berkenaan dengan sejarah; bertalian atau ada hubungannya dengan masa lampau; bersejarah.
Contoh kutipan yang menunjukkan historis dapat dilihat pada novel
/imra`atu ‘inda nuqtati al-sifr/ ’Perempuan di Titik Nol’’ karya Nawal El- Sadawi adalah :
/wa yuhaddisani ‘ammi tawalun al-tariqun ‘an hujratuhu fi al-quli’atin fi nihayatin syari’in Muhammadun ‘Aliyyun, wa azharun, wa ‘atabata al-khadra`i, wa al-tarami, wa al-nasi fi misra, wa yagni yasutu ‘azaba wa huwa yahtazu fawqa al-hamarata /.
...dan paman menceritakan padaku panjang lebar tentang bilik tempat tinggalnya di ujung jalan Muhammad ‘Ali, dan Al-Azhar, dan benteng Ataba, dan Trem, dan orang-orang Mesir. (halaman 21 bab II)
Dari contoh diatas dapat dilihat bahwa karakteristik historis yang tampak adalah penggambaran kota Kairo yang diceritakan oleh paman Firdaus padanya. Dalam contoh tersebut sang paman menceritakan bahwa ia tinggal di ujung jalan Muhammad Ali, menceritakan tentang Al-Azhar, benteng Ataba, Trem dan tentang orang-orang Mesir. Pada kenyataannya tempat-tempat yang diceritakan oleh paman Firdaus adalah tempat yang benar-benar terdapat di Mesir. Al-Azhar adalah sebuah universitas kenamaan di Mesir. Sedangkan benteng Ataba adalah sebuah benteng bersejarah di Kairo.
4. Kekuasaan /al-sulţatu/ atau Power
Menurut Eriyanto (2001: 11) analisis wacana kritis juga mempertimbangkan elemen kekuasaan (power) dalam analisisnya. Disini, setiap wacana yang muncul
(37)
dalam bentuk teks, percakapan atau apa pun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dengan masyarakat. Misalnya konsep kekuasaan laki-laki dalam wacana mengenai gender, konsep kekuasaan kulit putih terhadap kulit hitam dalam wacana rasisme, konsep kekuasaan kelompok mayoritas dan dominan terhadap kelompok minoritas dan lain-lain. Hal ini mengindikasikan analisis wacana kritis tidak membatasi pada detil teks atau struktur wacana saja., tetapi juga mengkaitkannya dengan kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya dimana teks tersebut tercipta.
Menurut Eriyanto (2001: 12) kekuasaan itu dalam hubungannya dengan wacana, penting untuk melihat apa yang disebut kontrol. Satu orang atau kelompok mengontrol orang atau kelompok lain lewat wacana. Kontrol disini tidaklah harus selalu dalam bentuk fisik dan langsung tetapi juga kontrol secara mental dan psikis.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi II (1995: 534) kekuasaan adalah kuasa (untuk mengurus, memerintah, dsb); kemampuan; kesanggupan; daerah yang dikuasai; kemampuan orang atau golongan untuk menguasai orang atau golongan lain berdasarkan kewibawaan, wewenang, karisma atau kekuatan fisik.
Contoh dari karakteristik kekuasaan dapat dilihat pada
/imra`atu ‘inda nuqtati al-sifr/ ’Perempuan di Titik Nol’’ karya Nawal El- Sadawi sebagai berikut :
/da’aini atakallamu, wa la taqata’aini, falaisa ‘indi waqtun li`asma’aki. Fi al-sa’atin al-sadisatin tamaman ba’da al-zuhra saya`tuna wa ya`khuzunaini, wa fi sabaha al-gadin lan akunu huna, wa lan akunu fi ay makanin ya’rifuhu/ ..biarkan aku berbicara, dan jangan memotongku, aku tak punya waktu untuk mendengarkanmu. Pada pukul enam tepat malam ini mereka akan datang dan
(38)
menjemputku. Dan pada keesokan paginya saya tidak disini lagi, dan tidak berada di tempat manapun yang diketahui seorangpun. (halaman 15 bab I) Dari contoh ini dapat dilihat bahwa Firdaus dapat menguasai pembicaran dengan seorang dokter yang mempunyai banyak pengalaman dan lebih berpendidikan darinya. Dari contoh tersebut dapat dilihat bahwa Firdaus memiliki kekuasaan dalam mengendalikan pembicaraan tersebut dengan tidak memberi kesempatan kepada lawan bicaranya untuk memotong pembicaraannya. Malah sebaliknya, lawan bicaranya harus mendengarkannya dengan seksama, karena ia hanya akan bercerita satu kali. Mau tidak mau lawan bicaranya pun harus menuruti keinginannya agar ia mendapat informasi dan cerita yang dibutuhkannya dari Firdaus.
5. Ideologi /al-idiyūlūjiatu/
atau Ideology
Menurut Eriyanto (2001: 13) Ideologi juga konsep yang sentral dalam analisis wacana yang bersifat kritis. Hal ini karena teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu.
Beberapa paham klasik tentang ideologi mengatakan bahwa ideologi dibangun dari kelompok yang dominan dengan tujuan untuk menciptakan kembali dan mensahkan dominasi mereka. Menurut Teun A. van Dijk dalam Eriyanto (2001: 13) ideologi dari kelompok dominan hanya efektif apabila masyarakat tersebut memandang ideologi yang disampaikan adalah sebagai suatu kebenaran dan kewajaran. Ideologi membuat anggota suatu kelompok akan bertindak dalam situasi yang sama, dapat menghubungkan masalah mereka, dan memberikan kontribusi dalam membentuk solidaritas dan kohesi dalam kelompok.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi II (1995: 366) ideologi adalah kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup; cara berpikir seseorang atau suatu golongan; paham, teori dan tujuan yang berpadu merupakan satu program sosial politik.
Kajian ideologi membicarakan hubungan bahasa dengan masyarakat dan kebudayaan karena adanya pengaruh tuntutan sosial politik. Pengaruh kekuasaan
(39)
terhadap sejarah, politik, sistem masyarakat, nilai sastra dan budaya membentuk pandangan masyarakat sehingga meyakini suatu konsep sebagai kebenaran yang wajar ini dinamakan ideologi. (Sinar, 2007: 2)
Peranan wacana dalam kerangka ideologi dimaksudkan untuk mengatur masalah tindakan dan praktik individu atau anggota suatu kelompok. Menurut Eriyanto (2001:14) dalam perspektif ini, ideologi mempunyai beberapa implikasi penting :
1. Ideologi secara inheren bersifat sosial, tidak personal atau individual : ia membutuhkan share diantara anggota kelompok, organisasi atau kolektivitas dengan orang lainnya.
2. Ideologi meskipun ideologi bersifat sosial, namun digunakan secara internal diantara anggota kelompok atau komunitas. Oleh karena itu, ideologi tidak hanya menyediakan fungsi koordinatif dan kohesi tetapi juga membentuk identitas diri kelompok, membedakan dengan kelompok lain.
Contoh dari praktek ideologi dapat dilihat pada pemahaman Suad tentang perkawinan :
)
(
/wa al-zawāju huwa mujarradu tanzimin dākhilin al-mujtama’i al-insāni lil‘alāqati baina al-unśā wa al-żakari. Baina al-mar`ati wa al-rajuli
(40)
famādāma allahu qad khalaqa al-insāna fi şūratin rajulin wa khalaqahu fi şūratihi imraatin, wa jaala kullu şūratin tukmilu al-ukhrā. Wa kullu şūratin fi hājatin ilā al-ukhrā litagţiyati dawāfi’a ţabi’iyyatin min kiyāni al-insāni. Ay dawāfi’u al-jinsi. Wa bimā anna hażihi al-dawāfi’a yatarattabu ‘alaihā ta`śiru mubasyaru ‘alā al-mujtama’i al-insāni ka`injābi al-aţfāli mimmā yatarattabu ‘alaihi mas`uliyatun ijtimā’iyatun yatahammaluhā al-rajulu wa al-mar`atu mā’an, wa liżalika fainna al-mujtama’a al-insāni munżu wujida
wa huwa yuhāwilu tanzima hazihi al-mas`ūliyati. Wa hażā huwa mā yusammā
al-zawāju. Wa qad ta’addadat wa taḍārabat nizamu al-jawāzi baina mukhtalifi al-mujtama’āti al-insāniyati wa lakinnahā fi al-nihāyati tas’ā ilā hadafin wāhidin huwa tanzimu al-mas`ūliyati al-ijtimā’iyati li irtibāţi al-rajuli bi al-mar`ati. Hażā huwa al-zawāju kamā arāhu/
...’perkawinan adalah tradisi internal masyarakat yang manusiawi untuk mempertahankan hubungan diantara wanita dan pria. Selama Allah masih menciptakan manusia dalam bentuk laki-laki dan perempuan dan selama interaksi laki-laki perempuan berlangsung dalam pola saling melengkapi dan membutuhkan, selama itu pula institusi perkawinan akan berlangsung. Dan karena hubungan-hubungan ini menyebabkan pengaruh yang langsung bagi kehidupan sosial seperti melahirkan anak yang pasti juga menyebabkan tanggung jawab sosial yang diemban oleh laki-laki dan perempuan bersama. Oleh karena itu semenjak manusia ada di dunia, maka mereka terus menerus berusaha mengatur tanggung jawab ini. Inilah yang disebut pernikahan. Aturan-aturan pernikahan tersebut juga beragam dan berbenturan pada banyak ekosistem manusia, akan tetapi pada akhirnya aturan tersebut bertujuan pada satu titik yakni mengatur tanggung jawab sosial untuk saling mengikat antara laki-laki dan perempuan. Inilah pernikahan dalam pandanganku.’ (hal 15 bab I) Dari contoh tersebut dapat dilihat bahwa Suad memandang perkawinan hanya sebagai sebuah tradisi yang telah berlangsung lama di masyarakat. Hal ini tentu dipengaruhi oleh pola pikirnya dan sudut pandangnya dalam bertindak. Suad menolak pandangan yang telah umum di masyarakat tentang perkawinan. Ia menganggap dan memandang perkawinan dengan caranya sendiri. Menurutnya pernikahan hanya seperti sebuah metode perdagangan. Pernikahan adalah kebebasan hak untuk memilih. Kebebasan memilih adalah hak asasi masing-masing indvidu.pernikahan bukanlah otoritas orang tua melainkan wewenang setiap orang. Baginya setiap orang berhak untuk memilih siapa pasangan hidupnya. Hal ini tentu terbentuk dalam sudut pandang berfikirnya dan mempengaruhi tindakan yang dilakukannya. (hal 15-16)
(41)
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Sekilas Tentang Biografi Pengarang
Ihsan Abdul Qudus adalah ikon legendaris sastrawan Mesir dan sekaligus analis politik kenamaan. Sebagai seorang sastrawan besar, ia dikenal sebagai seorang novelis, cerpenis, dan juga seorang jurnalis. Ihsan Abdul Qudus dilahirkan pada tanggal 1 Januari 1919. Ayahnya bernama Muhamad Abdul Qudus, seorang aktor dan penulis. Ibunya, Fatimah Al-Yusuf atau yang terkenal dengan nama Rose Al-Yusuf, seorang wanita asal Libanon yang juga berprofesi sebagai bintang film yang dijalaninya selama jangka waktu yang cukup lama, sampai kemudian berganti profesi di bidang pers.
Profesi kedua orang tuanya itulah yang sangat mempengaruhi pola kehidupan Ihsan Abdul Qudus. Sejak masa kecil, ia sangat gemar membaca, sehingga ayahnya sangat memperhatikan pendidikannya, dan ayahnya pulalah yang mendorongnya terus menuntut ilmu hinga ia memperoleh gelar Bachelor of Laws dari Universitas Kairo pada tahun 1942.
Setamat dari kuliah, Ihsan Abdul Qudus training sebagai advokad pada kantor pengacara senior Edward Qussairi, sambil menekuni bidang jurnalistik pada majalah bernama Rose Al-Yusuf yang memang didirikan oleh ibunya, Rose Al-Yusuf. Dari sinilah Ihsan Abdul Qudus menapakkan kakinya di dunia pers dan sastra, dimana ia di kantor ayahnya bertemu dengan Ahmad Sauqi yang bergelar Amir Syu’ara, Abbas Mahmud Al-Aqod, dan beberapa sastrawan kondang Mesir lainnya.
Ihsan Abdul Qudus yang bekerja pada majalah milik ibunya sendiri, mula-mula ia ditugasi sebagai reporter dan kemudian meningkat jabatan sebagai pimpinan redaktur. Isu penting yang dia angkat dalam tulisan di majalahnya adalah membongkar skandal korupsi pengadaan alat-alat perang yang telah kadaluarsa pada tentara Mesir pasca perang Palestina pada tahun 1940-an. Lewat paparan jurnalistiknya itu, Ihsan Abdul Qudus berkenalan dengan dua perwira tinggi Mesir dari dewan revolusi 23 Juli 1952, Gamal Abdul Nasir dan Anwar Sadat, termasuk
(42)
dengan Sadik Khalid Mohiddin yang sering mondar-mandir di kantor majalah Rose al-Yusuf. Akibat dari tulisannya membongkar skandal korupsi itu, dia terancam serangkaian upaya pembunuhan terhadap dirinya. Tidak kurang dari empat kali ia selamat dari aksi upaya pembunuhan.
Pada tahun 1944, Ihsan Abdul Qudus mulai menulis naskah film, setelah itu cerpen. Bagi Ihsan, sastra dan jurnalistik harus ada dalam kehidupannya. Karena kedua bidang itu, ia dapat mencapai keseimbangan diri serta dapat merealisasikan aspirasinya. Akhirnya, ia berhenti dari profesi pengacara dan mengabdi penuh untuk sastra dan jurnalistik. Sebagai orang pers yang juga menekuni penulisan naskah cerita film (script writing movies), cerpen dan novel, dia mendedikasikan dirinya pada dunia pers dan sastra, setelah dia meninggalkan profesi coba-coba sebagai advokad. Baginya, sastra dan pers adalah dua hal yang sangat urgen dan merupakan kelaziman dalam kehidupan.
Pada tahun 1971 sampai 1974, ia bekerja sebagai pimpinan redaksi surat kabar Akhbar Al-Yaum. Tahun 1974, ia menjadi penulis tetap di surat kabar Al-Ahram. Kemudian pada tahun 1975, ia terpilih menjadi pimpinan dewan direksi Al-Ahram. Sejak tahun 1975, ia menjadi anggota Dewan Tinggi Urusan Jurnalistik. Baru beberapa tahun saja terjun di dunia pers, dia telah terangkat menjadi seorang wartawan kenamaan, terutama di jalur analisa politik dan sekaligus sebagai penulis cerita. Status ini membuka jalan lapang baginya untuk bekerja di surat kabar harian “Al-Akhbar” yang ditekuninya selama delapan tahun, kemudian ia pindah ke surat kabar terbesar di timur-tengah, harian “Al-Ahram” hingga menduduki puncak jabatan sebagai pucuk pimpinan.
Ihsan Abdul Qudus mampu menciptakan lonjakan kualitatif utuk novel Arab, seperti yang diciptakan oleh sastrawan-sastrawan seangkatannya, seperti Naguib Mahfouz, Youssef Al Sibai, Mohamed Abdel Halim Abdullah Ahsan. Akan tetapi Ihsan Abdul Qudus memiliki dua keistimewaan dibanding mereka. Pertama, sejak kecil dia telah hidup dalam lingkungan asuhan diatas pondasi jurnalistik yang dibangun oleh kedua orang tuanya. Dari pijakan itulah dia dengan mudah menerobos berbagai lapisan komunitas dan mudah membangun relasi dengan kaum selebriti di
(43)
pangung sastra, keartisan dan politik. Kedua, dia sangat mendalami pemahaman yang benar tentang konsep kebebasan pada ranah politik, ekonomi maupun sosial. Dengan demikian, maka buah karya sastranya sukses melesat dari panggung lokal menuju arena global. Sebagian besar karyanya telah diterjemakan kedalam bahasa-bahasa asing, seperti, Inggris, Prancis, Ukrania, China dan Jerman. Atas prestasinya itulah, dia sukses berpartisipasi dalam pengelolaan dewan tinggi pers dan institusi perfilman Mesir.
Selama hidupnya, Ihsan Abdul Qudus telah menghasilkan banyak karya, yaitu 49 novel yang kemudian dibuat ke dalam film, 5 novel dibuat ke dalam drama, 9 novel dijadikan program serial di radio, 10 novel dijadikan cerita serial di televisi, dan 56 buku. Diantara karya yang berupa novel adalah sebagai berikut:
1.
Kacamata Berwarna-1949 2. Aku Bebas-1952
3.
4.
5.
6.
i
7.
8.
9.
Beberapa karya tersebut sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa, seperti bahasa Inggris, Prancis, Cina, dan Jerman. Sebagian naskah film atau novelnya pernah memperoleh beberapa penghargaan. Ihsan Abdul Qudus meninggal dunia pada tanggal 11 Januari 1990.
(44)
3.2 Karakteristik Analisis Wacana Kritis dalam Novel /wa nasītu annī imra`ah/ “Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan”
3.2.1 Tindakan /al-fi’lu/ atau Action
Untuk merepresentasikan karakteristik analisis wacana kritis dalam novel
/wa nasītu annī imra`ah/ “Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan,
maka karakteristik tindakan adalah metode pertama penganalisisan yang dipergunakan.
Hasil dari karakteristik tindakan terdapat sembilan yaitu pada Bab II halaman 30, pada Bab II halaman 38, pada Bab II halaman 39, pada Bab III halaman 45-46, pada Bab III halaman 52-53, pada Bab IV halaman 65, pada Bab VII halaman 118, pada Bab VIII halaman 137, pada Bab X halaman 172.
Karakteristik tindakan yang terdapat dalam novel /wa
nasītu annī imra`ah/ “Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan mempresentasikan wacana
dalam tindakan menolak, menyanggah, mendebat, membujuk dan bereaksi. a. Karakteristik tindakan menolak yang terdapat dalam novel
/wa nasītu annī imra`ah/ “Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan terdapat
tiga contoh. Tindakan menolak dapat dilihat pada kutipan berikut ini : Contoh : 1
(45)
/wa qultu fi israri: ana la arqasu.
wa qala min khilali ibtisamatihi al-marhatu :a’lamuki. Qultu: laisa haza waqtuhu.
Qala : law aradtu al-haqiqatu fa`inni a’lamu annaki la tuslihina lilraqasi..raqasu yatatallabu tahliqa ma’a nigami..`an natira kama tatiru al-‘asafiru.. wa anti mulakin bila ajnahati, wa kullu ma uriduhu huwa `an alfu zira’i hawlaki..wa haza haqqiyu.
Wa dahiktu wa ana amuddu yadi wa ada’uha fi yadihi : yukfika al-lailati `an taliffa asabi’aki hawla asabi’i/
…’Aku berkata terus terang, “Aku tidak bisa berdansa.” Dia berkata sambil tersenyum jenaka, “Aku akan mengajarimu.” Aku berkata,“Bukan saat ini.”
Dia berkata, “Jika kau ingin tahu yang sebenarnya aku akan mengajarimu meski selama ini kamu merasa tidak baik dalam berdansa. Berdansa itu menuntut gerakan bersama irama. Kamu akan merasa terbang sebagaimana burung-burung. Kamu akan menjadi malaikat, mesti tanpa sayap. Aku ingin melingkarkan lenganku di pundakmu. Dan inilah yang sesungguhnya.”
Aku tertawa dan aku meletakkan tanganku di atas tangannya, “Cukuplah malam ini jariku berada di atas jarimu…’ (Bab II hal. 35)
Dalam kutipan di atas telah terjadi tindakan menolak yang dilakukan oleh Suad kepada Abdul Hamid yang mengajaknya berdansa bersama. Suad menolak ajakan untuk berdansa bersama Abdul Hamid karena ia merasa sebagai seorang calon pemimpin wanita, maka ia tidak pantas untuk berdansa dan menari di depan banyak orang bersama seorang lelaki yang bukan suaminya. Ia beranggapan bahwa apabila ia mengiyakan ajakan Abdul Hamid untuk berdansa, maka martabatnya sebagai calon pemimpin wanita yang ia cita-citakan sejak kecil akan hancur. Sedangkan Abdul Hamid tidak mengerti akan hal itu. Baginya berdansa bersama calon istrinya merupakan sebuah hal yang lumrah dan sudah biasa. (Bab II halaman 35-36)
Contoh 2:
)
(
(46)
/mā dumtu sa`a’tażiru fa’tażiri anti’ aiḍan. Qultu : walakinni lā uridu al-i’tiżāra/
...’Selama aku berhalangan, maka kamu juga berhalangan!’
Aku berkata, ‘tapi kali ini aku tidak ingin berhalangan.’ (hal.229 bab X) Contoh ini menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan Suad adalah tindakan menolak atau menyanggah. Suad dalam contoh ini menolak untuk menuruti perkataan suaminya yaitu Dokter Kamal yang menyarankan bahwa ia harus tetap tingga l di rumah dan tidak menghadiri sebuah perjamuan jikalau suaminya tidak datang. Tindakan Suad menolak perintah Dokter Kamal bisa jadi karena Suad adalah seorang wanita karir yang mandiri yang sejak di bangku sekolah menengah dan kuliah ia telah memulai karirnya sebagai aktivis organisasi dan bintang kelas sehingga setelah ia dewasa dan menikah karirnya makin melesat di pentas politik. Selain itu kegagalan rumah tangganya yang pertama juga semakin membentuk jiwanya menjadi sosok yang lebih mandiri dan tegas yang dapat melakukan apapun tanpa bantuan orang lain sehingga ia merasa bahwa semua keputusan tentang hidupnya hanya ia yang boleh memutuskan. (Bab X hal 228-230)
Contoh 3 :
/qala fi jidyatin: laisa `ila haza al-hadi walakinni uriduki `an tada’a nafsaki fi halatin rahatin kamilatin ba’idan ‘an majali ‘amaliki..`an ta’isyi ayyaman fi
(47)
makani hadi`in..’asyarata ayyamin ‘ala al-`aqal tagyirina fiha kullu barnamijuki al-yaumi hatta na’u qara`atuki fala taqara`i ma yakhasu ‘amaliki bal iqra`i maudu’atu la tartabitu bi’amaliki, wa la tattasili bizumala`iki fi al-‘amali ittasili bi`asdiqa`i la tarbitukibihim mas`uliyatu musytarikatu.
Qultu: inni lam asy’ar yauman bihajati `ila ijaratin..lam ata’awadun ‘ala al-ijazati..innaha tusibuni bi al-malali./
...’Kamal berkata dengan serius, “aku tidak bermaksud demikian tetapi aku ingin agar kamu menciptakan suasana santai dari pekerjaanmu. Cobalah beberapa hari berada pada tempat yang tenang. Setidaknya sepuluh hari dimana semua perubahan-perubahan harian anda. Bacalah hanya bacaan yang tidak berhubungan dengan pekerjaanmu. Sementara, selama sepuluh hari itu, tutuplah dirimu dari orang-orang yang mengingatkanmu kepada pekerjaan dan berhubunganlah dengan siapapun yang membuatmu melupakan pekerjaan.” Aku berkata, “Aku tidak terbiasa mengambil cuti. Aku tidak terbiasa meninggalkan pekerjaan, membuatku bosan.” ( Bab VII hal. 156-157)
Tindakan yang terdapat pada contoh kutipan di atas adalah tindakan membantah yang dilakukan oleh Suad pada Doktor Kamal yaitu seorang dokter langganannya. Suad sering memeriksakan kesehatannya pada dokter tersebut karena ia merasa bahwa pencernaannya sering bermasalah dan ia merasa tidak sehat. Tetapi dokter Kamal mengatakan bahwa ia sebenarnya sehat-sehat saja dan tidak menderita sakit apapun. Dokter Kamal malah menyuruhnya untuk mengambil cuti dari pekerjaannya dan beristirahat sejenak dari rutinitasnya yang sangat padat. Karena menurut Dokter Kamal rasa sakit yang dialami Suad disebabkan oleh rutinitasnya yang terlalu padat hingga menyebabkan ia sering merasa penat dan kelelahan. Namun dengan logika seorang wanita karir, Suad menolak anjuran Dokter Kamal karena ia merasa ia tidak membutuhkan cuti. Apabila ia cuti maka pekerjaannya bisa terbengkalai. (Bab VII halaman 155-157)
b. Karakteristik tindakan mendebat yang dilakukan Ibu pada Suad dapat dilihat pada kutipan berikut ini:
(48)
/wa qabla `an ufatiha ‘abdu al-hamidi fi al-‘udati ila al-qahiratu qultu li`ummi fatsa’at ‘ainaha wa fagartu faha ka`annaha tuwajiha musibatun wa qalat: ya majnunatu..al-atuhibbinahu?
Wa qultu wa ana a’rifu `an ‘aqliti takhtalifu ‘an ‘aqlitiha: tab’an uhibbuhu..walakinna ma farqu baina hubbi fi iskandariyati wa al-hubbi fi al-qahirati?
Wa qalat al-ummu al-munzi’ajatu : inna al-qahiratu sata`khuzuki min zaujiki, inni a’rifuki, satansyagilina ‘anhu bi jami’ati wa muhadarati wa al-kalami al-fadi..
qultu: walakinni sa`a’udu da`iman ilaihi../
…’Sebelum kucoba mengemukakan kepada Abdul Hamid tentang pulang ke Kairo, kusampaikan terlebih dahulu kepada ibuku dan Ibu membelalak dan bibirnya terbuka menunjukkan kesedihan seakan tengah menyaksikan musibah dan Ibu berkata : “ Hei orang gila, apa kamu tidak mencintainya?” Aku berkata dan aku memahami bahwa logikaku selalu berseberangan dengan logika ibuku : “ Jelas aku mencintainya. Tetapi adakah beda mencintainya di Kairo dan di Iskandaria?”
Ibuku berkata : “ Kairo akan merampasmu dari suamimu. Sesungguhnya kamu memahami, kamu akan menyibukkan diri dengan kampus, kuliah, ….dan pembicaran-pembicaraan yang sia-sia.”
Aku berkata : “Tetapi bukankah aku akan selalu kembali kepadanya?” (Bab II hal. 46-47)
Tindakan yang dilakukan Suad pada ibunya adalah tindakan mendebat apa yang dikatakan ibunya. Suad ingin mengakhiri bulan madunya yang baru sepuluh hari di Iskandariyah bersama Abdul Hamid dan melanjutkan pekerjaan dan aktifitas seperti biasa. Dan saat ibunya memberinya nasihat dan melarang keinginannya tersebut, maka ia pun menyanggah semua perkataan ibunya yang mengatakan bahwa ia tidak mencintai Abdul Hamid dan ia hanya memikirkan karir politik dan pekerjaannya. Baginya sesibuk apapun dirinya dengan pekerjaan dan karir politiknya, bukan berarti ia tidak mencintai suaminya. Ia tetap akan berbakti dan memperhatikan
(49)
suaminya. Namun ia merasa, sebagai istri, ia juga berhak untuk bekerja dan beraktifitas. Tidak hanya sekedar menjadi ibu rumah tangga. Bab II halaman 46-47)
c. Karakteristik tindakan menyanggah yang dilakukan Suad pada ibunya dapat dilihat pada kutipan berikut ini :
Contoh 1:
/qalat mama: likai ta’udi ilaihi yajibu aw la `an tata’awadi al-hayati ma’ahu..inna al-hubbu laisa mujarradun ihsasi innahu hayata wa anti tantaqilina ila hayati jadidatin yajibu `an tata’awadiha ila hadin `ala tastati’I hayata ukhra..innaki al-`an ta’isyina ma’a rajulin wa lam tujaribi al-hayata ma’ahu fi baitin wahidin wa firasyin wahidin..wa kaifa yakunu wa huwa na`imun, wa maza yufaddilu fi iftarihi..wa kaifa tu’tinahu ma yuridu wa kaifa ta`khuzina ma turidina..innaha hayatun fi hajatin ila dirasatin ‘amaliyatin as’abu wa a’maqa min kulli ma darastihi fi al-jami’ati.
Wa qultu sakhiratun: innaki tatahaddasina bimantiqin zaujati al-mutafarrigati, ka`ukhti, la tansa anni mas`ulatun aidan ‘an hayatin ukhra, ‘an mustaqbali ka`imra`atin ta’malu../
…’Ibu berkata: “untuk kembali kepadanya, kamu wajib terbiasa hidup bersamanya. Cinta bukan sekedar rasa kehidupan dimana kamu berpindah ke rasa baru dan kamu tak bisa lagi hidup tanpanya. Kamu sekarang memang telah bersamanya tetapi sebenarnya kamu belum hidup bersamanya dalam satu rumah, dalam satu ranjang. Bagaimana ia tidur, apa kesukaannya dalam sarapan, bagaimana kamu melayani keinginannya dan bagaimana kamu menuruti keinginanmu adalah kehidupan baru yang membutuhkan
(50)
pengalaman praktis yang jauh lebih sulit dan lebih dalam dari seluruh pelajaranmu di kampus.”
Aku berkata dengan ironis, “Ibu berbicara dengan logika ibu rumah tangga yang seperti orang kebanyakan. seperti kakak. Jangan lupa bahwa aku juga bertanggungjawab atas sisi lain dari hidupku; masa depan dari sisi wanita karir.’ (Bab II hal. 47)
Tindakan yang dilakukan Suad pada contoh kutipan di atas adalah tindakan menyanggah apa yang dikatakan ibunya kepadanya. Saat ibunya memberinya nasihat bahwa seorang istri harus selalu patuh dan melayani suaminya dengan mengetahui apa kesukaan suaminya, bagaimana sifat dan tingkah lakunya, apa keinginannya dan lain-lain, maka jiwa feminismenya pun menolak dan mendebat apa yang dikatakan ibunya. Baginya sebagai seorang wanita karir, ia berhak menentukan seperti apa rumah tangganya akan berjalan. Ia beranggapan bahwa selain sebagai ibu rumah tangga yang mengurus rumah, suami dan anak, ia juga bertanggung jawab akan sisi lain dari hidupnya yaitu sisi wanita karirnya yang harus diraih dan diperjuangkannya. (Bab II halaman 47-48)
Contoh 2:
-(
/wa rubbamā kāna min wājibi al-zaujati al-asāsīyyi wa min mas’uliyātihā al-‘ā`iliyati an tasygula waqta zaujihā al-fārigi, walakinnī lā astaţī’u an atahammala mas’uliyyatu kulli hāżā al-firāgi allażī yu’tīhi lī ‘abdul hamīdi. Anā nafsī syai`un mukhtalifun ‘anhu wa laisa amāmī waqtin fārigin abadan. Inna yaumī muzdahimun bi’asyarāti al-harākāti. Innī ażhabu ilā al-jāmi’ati li`ahduri fuşūlin (saksyan) kamu’īdatin wa fī al-waqti nafsihi tazdahimu awqātī dākhila al-jāmiati biliqā’ātin mustammaratin ma’a al-ţalabati wa ma’a al-asātiżati wa ma’a al-tajammuāti al-siyāsiyyatin/
(51)
...’Dan mungkin kewajiban seorang istri yang paling mendasar dan yang paling besar tanggung jawabnya adalah menyibukkan diri di waktu kosong Abdul Hamid. Tetapi aku tidak bisa memenuhi tanggungjawab ini pada saat waktu luang untuk ku berikan kepada Abdul Hamid. Aku berbeda, aku selalu tidak memiliki waktu luang. Sesungguhnya hari-hariku penuh dengan puluhan aktifitas. Aku pergi ke kampus untuk menghadiri kelas sebagai asisten dosen dan pada saat yang sama aku selalu disibukkan dengan pertemuan-pertemuan dengan para mahasiswa, dosen dan berbagai kelompok politik’ (Hal 56 bab III)
Dari contoh tersebut dapat kita lihat bahwa tindakan yang dilakukan Suad adalah tindakan yang menunjukkan penyanggahan. Hal ini dapat dilihat dari kata-kata yang dicetak tebal. Suad menyanggah pemikiran yang sudah lazim di masyarakat bahwa seorang istri harus selalu berada di rumah untuk melayani suami. Tetapi tidak demikian dengan Suad. Tindakan Suad yang menyanggah dengan kritis boleh jadi karena perannya sebagai aktivis sejak ia di sekolah menengah hingga ia kuliah. Semasa di sekolah dan kuliah Suad adalah seorang aktivis yang mempunyai banyak kegiatan dan kesibukan. Ia juga adalah seorang bintang kelas yang selalu berada di posisi pertama dari teman-temannya baik itu perempuan ataupun laki-laki. Suad sosok perempuan yang mandiri dan tegas sehingga ketika ia menikah ia tidak seperti perempuan kebanyakan pada masa itu di Mesir yang hanya menjadi ibu rumah tangga dan tidak bekerja ataupun beraktivitas di luar rumah. ( Bab III halaman 55-57)
(52)
/wa qala wa hua la yazalu yabtasimu: innahu maridan la yazalu ba’idan ‘ani al-mawti..wa hatta law kuntu qad talabtu lahu maw’idan kuntu sa`arfaduhu.. Qultu wa ana attahidahu: li`annahu min nahiyati..li`annaki la turidu `an tusa’idani.
Qala fi burudin: la..walakin liannahu min da`iratuki al-intikhabiyati wali`anni a’lamu annahu la yahmuki kamaridin walakin yahmuki kanakhibin watarsilinahu `ila karasywatin tuqaddiminaha ilaihi wa ana la aqbala `an akuna rasywatun tawwaza’ainaha ‘ala al-nakhibina..summa inna fi da`iratuki alfu maridin ‘ala al-‘aqili wa law bada`tu bi al-kasyfi ‘ala wahidin fayajibu `an aksyafa ‘ala jami’i wa ila haramuki min aswatihim wa saqattu fi al-intikhabati./
...’Dia berkata masih dengan tersenyum “Sesungguhnya orang yang sakit itu masih jauh dari kematian. Bahkan bila kamu sebelumnya telah meminta kesediaanku untuk mengobatinya, aku akan tetap menolaknya...!”
Aku berkata dan aku bersikukuh, “Apa karena dia adalah pendukungku maka karena itu kamu tidak ingin membantuku?”
Dia menjawab dingin, “Tidak. Tetapi karena dia adalah pemilihmu dan kamu peduli padanya semata karena dia adalah pemilihmu, bukan karena dia adalah orang sakit. Tetapi dia menderita seperti seorang pemilih yang diberikan sogokan padanya tetapi aku tidak menerima sogokan itu Maka bila diantara pendukungmu terdapat seribu orang sakit, aku akan memulai mengungkapkan untuk satu orang maka aku wajib untuk mengungkapkan untuk semua kecuali kamu mengharamkan suaramu dari mereka. Bila tidak, mereka akan menarik dukungannya dan mengalihkan suaramu hingga kamu kalah dalam pemilihan.’ (Bab VIII hal.181-182)
Tindakan yang terdapat pada kutipan di atas adalah tindakan menyanggah yang dilakukan Dokter Kamal pada Suad saat mereka sudah menjadi sepasang suami istri. Suad meminta suaminya untuk mengobati salah seorang pendukung kampanyenya karena suaminya adalah seorang dokter. Namun, Dokter Kamal menolak dengan alasan bahwa Suad merekomendasikan pendukungnya untuk berobat bukan semata-mata karena pendukungnya tersebut adalah orang sakit namun karena orang tersebut adalah pendukungnya. (Bab VIII halaman 176 dan 181-182)
d. Karakteristik tindakan membujuk yang dilakukan Suad pada Abdul Hamid, suaminya, dapat dilihat pada kutipan berikut ini :
(1)
3. Terdapat lima karakteristik ( /al-khuşuşiyatu/ ) analisis wacana kritis yang merupakan karakteristik penting dalam penganalisisan, yaitu: karakteristik tindakan, konteks, historis, kekuasaan dan ideologi.
4. Berdasarkan teori analisis wacana kritis yang di ambil dari buku Eriyanto, maka didapat kesimpulan bahwa karakteristik analisis wacana kritis yang terdapat dalam novel /wa nasītu annī imra`ah/ “Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan” adalah sebagai berikut :
- Hasil dari karakteristik tindakan terdapat sembilan yaitu pada Bab II halaman 30, pada Bab II halaman 38, pada Bab II halaman 39, pada Bab III halaman 45-46, pada Bab III halaman 52-53, pada Bab IV halaman 65, pada Bab VII halaman 118, pada Bab VIII halaman 137, pada Bab X halaman 172.
- Hasil dari karakteristik konteks terdapat delapan yaitu pada Bab I halaman 20, pada Bab III halaman 51-52, pada Bab V halaman 80, pada Bab V halaman 87, pada Bab VII halaman 121, pada Bab VIII halaman 150, pada Bab IX halaman 155, pada Bab IX halaman 166.
- Hasil dari karakteristik historis terdapat sembilan yaitu pada Bab I halaman 11, pada Bab II halaman 25-26, pada Bab III halaman 42-43, pada Bab III halaman 47-48, pada Bab III halaman 48, pada Bab V halaman 84, pada Bab V halaman 87, pada Bab VI halaman 98, pada Bab VI halaman 102.
- Hasil dari karakteristik kekuasaan terdapat empat yaitu pada Bab I halaman 11, pada Bab I halaman 12, pada Bab II halaman 32, pada Bab IV halaman 65-66. - Hasil dari karakteristik ideologi terdapat satu pada Bab I halaman 14.
4.2 Saran
Penulis berharap agar pembaca dapat mengetahui dan lebih memahami tentang analisis wacana kritis dan hal-hal yang terkait dengan analisis wacana kritis khususnya di dalam novel /wa nasītu annī imra`ah/ “Aku Lupa
(2)
Bahwa Aku Perempuan” sehingga dapat menjadi kontribusi yang positif dalam pengembangan ilmu pengetahuan pembaca. Penulis juga mengharapkan agar para mahasiswa Program Studi Sastra Arab ini dapat mengkaji tentang analisis wacana kritis lebih dalam karena masih banyak yang dapat dikaji dari perkembangan analisis wacana kritis, sehingga penelitian yang dilakukan bukan hanya untuk menambah referensi saja, tetapi juga memiliki nilai pengajaran dan hikmah dalam kehidupan.
LAMPIRAN
Sekilas Tentang Novel /wa nasītu annī imra`ah/ “Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan”
Novel ini merupakan kisah seorang wanita keturunan Mesir bernama Suad yang semenjak kecil telah menunjukkan kemandiriannya sebagai seorang wanita yang ingin memperoleh hak yang sama dengan pria dalam hal memperoleh pendidikan dan beraktifitas. Ia adalah seorang wanita yang berhasil menggapai ambisinya menjadi seorang politisi sukses. Tentunya hal ini sangat menarik karena latar yang diambil adalah Mesir pada tahun 1930 sampai 1970 an dan dapat dilihat pada saat itu latar belakang politik dan sosialnya yang masih konservatif dan menjadikannya sebuah fenomena baru dalam isu kesetaraan gender. Namun, dibalik kesuksesannya yang cemerlang dalam karir politik, kehidupan rumah tangganya dua kali menghadapi kegagalan. Bahkan anak tunggalnya, Faizah, lebih akrab dengan ibu tirinya. Ia dicap sebagai wanita yang berhasil dalam karir politik dan pemerintahan namun gagal dalam rumah tangga. Berbagai tuduhan tersebut membuatnya menenggelamkan diri dalam berbagai kesibukan politiknya.
Namun, justru hal inilah yang menarik dalam novel ini. Dibalik kegagalan rumah tangganya, Suad adalah seorang wanita yang memberikan inspirasi dan contoh bagi perjuangan wanita yang bertindak dalam melawan dominasi pria di sekelilingnya. Salah satu yang paling menarik adalah novel ini menggambarkan tentang sejarah,
(3)
ideologi dan kekuasaan yang terangkum dalam sebuah kisah dari seorang perempuan yang hidup pada masa diskriminasi terhadap hak asasi manusia.
Novel ini mengisahkan tentang seorang wanita bernama Suad Ridha yang semenjak kecil telah bercita-cita besar untuk menjadi seorang wanita sukses. Sejak dari taman kanak-kanak ia telah menjadi bintang kelas. Suad adalah anak yang cerdas dan menjadi kebanggaan orang tuanya. Ia adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Ia mempunyai seorang kakak perempuan.
Ayahnya sangat mendambakan anak-anak laki-laki di rumah mereka. Karena bagi ayahnya anak laki-laki adalah seorang penerus keturunan dan akan menjadi kebanggaan keluarga dari segi pendidikan, pekerjaan dan sebagai simbol martabat keluarga. Dengan ketiadaan anak laki-laki dirumah mereka, maka Suad yang memang sedari kecil telah menunjukkan kemandirian, kecerdasan dan kemauan yang kuat dalam memperoleh pendidikan sama halnya dengan lelaki, maka secara tak langsung ayahnya pun menganggap Suad sebagai anak lelaki pengganti di rumah mereka. Ayahnya tidak mempermasalahkan kemandirian dan aktifitas Suad yang layaknya lelaki. Suad pun merasa langkahnya untuk kesuksesan hidup dan karirnya terbuka lebar dengan dukungan dari ayahnya. Sementara itu, ibunya Suad sangat tidak setuju dengan pilihan hidup Suad yang sangat berbeda dengan wanita kebanyakan pada masa itu yang seharusnya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah seperti kakaknya dengan melakukan kegiatan keperempuan seperti memasak, menata rumah dan lain-lain.
Namun hal itu tidak berlaku bagi Suad. Ia tidak tertarik pada hal-hal seperti itu. Baginya hidupnya harus diisi dengan pendidikan di sekolah dan aktifitas layaknya lelaki. Karena menurutnya seorang perempuan juga berhak memperoleh pendidikan dan beraktifitas sama seperti lelaki pada umumnya.
Aktifitas dan karir politiknya sudah dimulainya sejak ia masih duduk di bangku SMA dengan ikut berbagai demonstrasi dan organisasi serta aktifitas politik. Namun yang paling membaanggakan, dibalik kesibukannya beraktifitas serta berorganisasi, ia tetap cemerlang dalam hal akademis. Ia selalu menjadi bintang kelas sejak ia masih kanak-kanak sampai kuliah.
(4)
Setelah duduk si bangku kuliah kiprahnya semakin baik dan meningkat. Ia tidak hanya dikenal oleh petinggi-petinggi kampus, namun dikenal baik juga oleh para pejabat dan politikus negara. Hal ini menjadikan ia menjelma menjadi sosok yang sangat mandiri dan tegas serta ambisius dalam mengejar apapun yang ia mau. Ia tidak pernah puas dengan karir dan prestasi yang telah diraihnya. Sampai suatu saat akhirnya ia menikah dengan seorang lelaki bernama Abdul Hamid.
Lulus dari perguruan tinggi, ia menikah dengan seorang lelaki bernama Abdul Hamid. Abdul Hamid adalah saudara jauhnya dari pihak ayahnya. Karakter dan sifat Abdul Hamid sangat berbeda jauh darinya. Abdul Hamid adalah seorang lelaki yang tidak punya ambisi apapun terhadap karirnya. Baginya hidup sederhana dan bahagia sudah lebih dari cukup untuk menjalani hidup. Ia tidak tertarik pada politik dan kesibukan-kesibukan istrinya. Disinilah letak perbedaan mereka yang akhirnya membawa mereka ke jurang perceraian setelah mereka mempunyai seorang anak perempuan bernama Faizah. Salah satu penyebab keretakan rumah tangga mereka karena kesibukan Suad yang luar biasa dengan karir politik dan pekerjaannya. Hingga ia tak sempat mengurus anak mereka yang masih bayi dan selalu menitipkan anak mereka untuk diasuh ibunya.
Setelah perceraian mereka, Suad tetap beraktifitas seperti biasa dengan kesibukannya yang padat. Ia tidak lagi peduli dengan kehidupan pribadinya. Semua lelaki yang mendekati ditolaknya. Anaknya Faizah malah lebih dekat dengan ibu tirinya yaitu istri kedua Abdul Hamid, Samirah yang sangat perhatian pada Faizah. Karena hubungan yang kurang harmonis dengan anaknya tersebut, maka ia tidak pernah mendapat panggilan ibu dari anaknya. Sejak kecil, anaknya selalu memanggilnya dengan nama Suad, bukan dengan panggilan ibu. Mau tidak mau ia akhirnya menerima hal tersebut dan akhirnya menjadi terbiasa.
Beberapa tahun setelah bercerai, akhirnya ia menikah lagi. Hal ini karena dorongan dan desakan keluarganya terutama ibunya. Akhirnnya ia menikah dengan seorang dokter langganannya yang bernama Doktor Kamal Ramzi. Pernikahannya kali ini juga berakhir sama seperti pernikahannya yang pertama. Mereka berpisah dikarenakan keduanya memiliki sudut pandang yang berbeda. Suad tetap ingin
(5)
beraktifitas dan mengejar ambisinya menjadi politikus sukses. Sementara suaminya tidak mengizinkan ia terlalu sibuk dan mengejar karir. Akhirnya mereka berpisah dan menjalani hidup masing-masing.
Akhirnya, di usianya yang telah menginjak lima puluhan ia hidup sendirian. Anaknya telah menikah dan ia hanya tinggal dengan sekretaris pribadinya, Rifat Abbasy yang selalu menemani dan membanggakannya. Namun dibalik itu semua, ia adalah seorang aktifis wanita yang memperjuangkan hak-hak wanita untuk mendapatkan hak yang sama dalam hal beraktifitas dan memperoleh pendidikan. Ia adalah seorang politikus dan aktifis wanita yang fenomenal dan hebat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Qudus, Ihsan. 1998. Wa Nasitu Anni Imra`ah .Kairo: Markas Al-Ahram Li Tarjamah Al-Nasr
.
Abdul Qudus, Ihsan. 2006. Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan. Jakarta: Alifia Books. Al-Khuli, Ali Muhammad.1982. A Dictionary of Theoretical Linguistics
(English-Arabic). Libanon: Libraire Du Liban.
Asrori, Imam. 2004. Sintaksis Bahasa Arab. Malang: Misykat.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS Depdikbud. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi II. Jakarta: Balai Pustaka. Fathoni, Achmad Atho’illah. 2007. Leksikon Sastrawan Arab Modern. Yogyakarta:
Data Media.
Hartoyo. 1995. Kesadaran Bahasa Kritis. Semarang: IKIP Semarang Press.
Jorgensen, Marianne W. dan Louise J. Philips. 2007. Analisis Wacana Teori dan Metode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Laelasari dan Nurlailah. 2006. Kamus Istilah Sastra. Bandung: Nuansa Aulia.
Lukmana dan E. Aminuddin Aziz dan Dede Kosasih. 2006. Linguistik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Mendikbud. 1998. Ejaan yang Disempurnakan. Jakarta: Bumi Aksara.
Muhdlor, Ahmad Zuhdi dan Atabik Ali. 1996. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Pondok Pesantren Krapyak.
(6)
Mulyana. 2005. Kajian Wacana : Teori, Metode dan Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Silvana Sinar, Tengku. 2008. Teori dan Analisis Wacana : Pendekatan Sistematik Fungsional. Medan: Pustaka Bangsa Press.
Silvana Sinar, Tengku. 2007. Makalah Seminar Internasional “Aktualisasi Bahasa dalam Pencerahan Bangsa”. Medan: Laboratorium Pariwisata USU.
Sumarlan. 2003. Teori dan Praktik Analisis Wacana. Surakarta : Pustaka Cakra. Wirarta, I Made. 2006. Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis.