4.4 Faktor-Faktor Yang Melatar Belakangi Sebuah Keluarga Memutuskan Untuk Bercerai
Perceraian bukan menjadi bagian dari tujuan perkawinan, akan tetapi hal tersebut banyak terjadi, karena dalam membina rumah tangga banyak terjadi masalah yang
sulit dipecahkan, sehingga kebahagiaan tidak tercapai. Penyebab terjadinya perceraian tersebut dalam pasal 39 ayat 2 Undang-Undang No 1 tahun 1974
tentang perkawinan, menyebutkan bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, alasan-alasan tersebut tercantum dalam pasal 19 PP No.9 tahun 1975
yaitu; 1.
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2dua tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 Tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung 4.
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lainnya.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang sumi atau isteri 6.
Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan rukun lagi dalam rumah tangga
Universitas Sumatera Utara
Dari kasus yang telah diuraikan diatas dapat dilihat bahwa alasan-alasan yang menjadi penyebab terjadinya perceraian pada umumnya karena alasannya yang
tercantum pada pasal 19f No.9 tahun 1975, dimana sering terjadi pertengkaran sehingga rumah tangga tersebut tidak dapat lagi dipertahankan. Alasan ini adalah
sebagaimana terdapat dalam pasal 19a dan b, dimana salah satu pihak dalam hal ini suami menjadi penjudi dan telah pernah ditangkap polisi dipenjara selama 3 bulan
dan salah satu pihak meninggalkan pihak lain lebih dari dua tahun tidak diketahui dimana berada.
Teori Pertukaran Sosial dalam Sosiologi melihat perkawinan sebagai suatu proses pertukaran antara hak dan kewajiban serta “penghargaan dan kehilangan”yang
terjadi diantara pasangan suami isteri. Situasi dan kondisi menjelang perceraian yang diawali dengan “mandeknya” proses negosiasi antara pasangan suami isteri,
akibatnya pasangan tersebut sudah tidak bisa lagi menghasilkan kesepakatan yang dapat memuaskan masing-masing pihak. Mereka seolah-olah tidak dapat lagi mencari
jalan keluar yang baik bagi mereka berdua. Dalam teori pertukaran sosial dikatakan penyebab terjadinya perceraian itu
adalah ketika salah seorang baik itu suami atau isteri mempunyai perasaan-perasaan bahwa pasangannya “mencoba untuk mulai memaksakan kehendaknya sendiri,
mencari-cari kesalahan pasangannya, lebih mengutamakan terjadinya konflik daripada mencari jalan keluar untuk kepentingan bersama, dan mencoba untuk
menunjukan kekuasaannya. Perasaan-perasaan tersebut kemudian menumbuhkan rasa permusuhan dan kebencian diantara kedua belah pihak
Universitas Sumatera Utara
Membentuk sebuah keluarga dan mendapatkan keturunan adalah harapan bagi setiap pasangan yang telah menikah. Kehadiran seorang anak menjadi suatu
kebahagian didalam keluarga dan akan memberikan ketentraman batin bagi orang tuanya. Anak bagi masyarakat Batak adalah suatu kekayaan yang tidak ternilai
harganya. Keluarga yang tidak mendapatkan keturunan didalam perkawinannya akan mengakibatkan konflik akibat ketidakpuasan dalam perkawinannya.
Ketidakhadiran seorang anak didalam keluarga menjadi pemicu konflik antara pasangan suami isteri. Kesalahan yang paling sering di tumpahkan kepada
isteri dengan menyalahkan dan menuduh isteri tidak mampu memberikan keturunan. perempuan sekarang lebih berani melawan tekanan yang selalu diarahkan kepada
mereka, sekarang ini sudah banyak perempuan yang melawan dogma yang telah dibudayakan oleh sistem patriarkhi yang dimana perempuan selalu yang disalahkan.
Perempuan sekarang lebih berani mengambil keputusan yang terbaik bagi dirinya. Ketidakbahagiaan di dalam rumah tangga akibat penekanan membuat perempuan
berani untuk menuntut cerai suaminya seperti yang diutarakan oleh R.SPr, 38 tahun yang dengan berani mengambil keputusan untuk bercerai dengan suaminya S.S.
beikut ungkapannya: “dalam perkawinan saya dengan suami saya yang dulu, kami
tidak dikarunia anak. Dan hal itu mengakibatkan saya merasa tertekan didalam kelurga besar Simanjuntak. Saya merasa tertekan
didalam keluarga tersebut, dan terkadang aku dan suami ku bertengkar saling menyalahkan. Suami saya dan keluarganya
menuduh saya perempuan yang tidak bisa melahirkan seorang anak. Dalam orang Batak kan kalau tidak ada anak atau ketidak hadiran
anak maka itu dianggap aib, dan akan mempengaruhinya ke adat nantinya kalau tidak ada anak dalam keluarga. Keluarga kami
dikatakan keluarga yang tidak gabe”
Universitas Sumatera Utara
Dalam suku Batak Toba bahwa sebuah keluarga yang tidak dikarunia anak maka keluarga itu dikatakan tidak hagabeon. hagabeon kesuburan, memiliki banyak
turunan adalah satu dari antara tiga cita-cita atau filsafat hidup terpenting Batak. Dua lagi adalah: hamoraon memiliki banyak harta dan hasangapon sangat dihormati.
Ketiga hal itu, sering disingkat 3tolu-H, dianggap sebagai “tiga serangkai” nilai yang menjadi falsafah atau orientasi hidup masyarakat Batak. Disadari atau tidak,
umumnya orang Batak sebenarnya menganggap hagabeon itulah yang paling penting atau bahkan satu-satunya yang memberi makna hidup di dunia ini.
Pada masyarakat yang memiliki sistem kekerabatan patrilinial, perkawinan bertujuan mempertahankan garis keturunan bapak, sehingga anak laki-laki harus
melaksanakan bentuk perkawinan ambil isteri dengan membayar uang “jujur”sinamot=Batak, dimana setelah terjadinya perkawinan isteri ikut dan masuk
kedalam kekerabatan suami dan melepaskan kedudukan adatnya dalam susunan kekerabatan bapaknya. Tujuan perkawinan untuk mempertahankan dan meneruskan
keturunan masih berlaku hingga sekarang. Keturunan yang dimaksud adalah anak laki-laki, dimana anak laki-laki adalah penerus marga ayahnya dengan kata lain
meneruskan clan ayahnya. Dalam suku Batak Toba bahwa kehadiran seorang anak laki-laki merupakan
salah satu tujuan dari perkawinan. Dalam suku Batak Toba bahwa laki-laki adalah penerus marga dan anak laki-laki yang selalu kelihatan dalam paradaton yang selalu
mengikuti adat. Karena dalam suku Batak Toba itu adat adalah sangat di junjung tinggi. Ketidakhadiran anak laki-laki dalam sebuah rumah tangga Batak Toba sangat
mempengaruhi mereka dalam paradaton. Dalam paradaton kedudukan orang yang
Universitas Sumatera Utara
telah memiliki laki-laki dan yang belum memiliki laki-laki berbeda dengan yang belum memiliki anak laki-laki. Orang yang telah memiliki anak laki-laki dan
perempuan itu dikatakan gabesudah mempunyai keturunan.
Berikut pernyataan dari informan B.P48 tahun: “bahwa anak merupakan simbol dari keluarga yang sudah
gabe. Terutama anak laki-laki, tanpa kehadiran anak maka keluarga ini tidak akan diperhitungkan dalam keluarga lainnya, karena anak
laki-laki merupakan penerus dari marga dalam orang batak, dan apabila dalam sebuah keluarga tidak ada anak laki-laki, maka dalam
paradatondalam adat tidak akan pernah kelihatan ”
Hal serupa juga dikatakan R.S Pr, 45 tahun “anak laki-laki sangat diperhitungkan dalam orang Batak,
makanya ada yang cerai atau mencari isteri yang lain gara-gara tidak memilik anak, apalagi anak laki-laki”
Tidak jarang dalam suku Batak Toba terjadi perselisihan dalam rumah tangga dengan keluarga besarnya. Seperti antara isteri dengan pihak mertuanya karena tidak
memiliki anak laki-laki. Dalam keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki, si suami terkadang merasa rendah di dalam keluarga besarnya. Sehingga pada zaman dahulu
suami disuruh lagi mencari isteri yang baru agar mendapatkan anak laki-laki, dan terlebih dulu meminta ijin dari isteri pertama. Sehingga pada zaman dahulu dalam
suku Batak Toba itu banyak yang polygami atau marimbang. Ketidakhadiran seorang anak laki-laki dalam sebuah rumah tangga sering kali
yang disalahkan adalah isteri, yang tidak mampu memberikan anak laki-laki dalam keluarga tersebut. Seringkali tekanan di rasakan seorang isteri dari pihak keluarga
suaminya atau mertuanya yang sangat menggangu keharmonisan rumah tangga
Universitas Sumatera Utara
tersebut. Tuntutan dari keluarga besar untuk memiliki anak laki-laki mendapatkan tekanan kepada suami, yang suami itu terkadang di rendahkan atu dilecehkan.
Berikut adalah ungkapan ibu A.S Pr,43 tahun “saya sudah terlanjur sakit hati terhadap pihak suami saya,
karena mereka tidak memperdulikan perasaan saya, sementara suami saya tidak tegas hanya gara-gara tidak mempunyai anak laki-laki, dia
kecewa sama saya dan selalu mendengarkan hasutan dari orang tuanya. Aku juga bukannya tidak mengharapkan anak laki-laki lahir
dari saya. Tetapi itu bukan kehendak manusia. Aku tahu bahwa dalam orang Batak Toba anak laki-laki sangat dijunjung tinggi dan
sangat diharapkan. Itulah sebabnya saya memutuskan untuk bercerai, mungkin dia dapat mendapatkan anak laki-laki dari perempuan lain”
Tekanan-tekanan batin yang dirasakanoleh satu pihak mempengaruhinya untuk memilih perceraian sebagai jalan terbaik untuk mengakhiri penderitaan. Data
yang diperoleh membuktikan bahwa dalam suku Batak Toba itu kelahiran anak sangat diharapkan sebagaimana diutarakan informan R.S Pr,38 tahun
“dalam perkawinan saya dengan suami saya yang dulu, kami tidak dikarunia anak. Dan hal itu mengakibatkan saya merasa
tertekan didalam kelurga besar Simanjuntak. Saya merasa tertekan didalam keluarga tersebut, dan terkadang aku dan suami ku
bertengkar saling menyalahkan. Suami saya dan keluarganya menuduh saya perempuan yang tidak bisa melahirkan seorang anak.
informan bapak B.S Lk,52 tahun mengatakan “yang dianggap paling utama diantara yang ke 3 H tersebut
adalah hagabeon, karena hagabeon adalah kesuburan atau memiliki banyak keturunan. Tujuan dari perkawinan adalah untuk memiliki
keturunan. Tanpa kehadiran anak dalam keluarga mungkin di keluarga besarku aku tidak diperhitungkan. Sebagai orang Batak,
kehadiran seorang anak yang menjadi hal terpenting”
Hal yang serupa juga yang dikatakan oleh informan saya bapak B.P Lk,48 tahun mengatakan
Universitas Sumatera Utara
“……..tanpa anak, keluarga itu akan hambar. Tidak mempunyai tujuan, dengan kehadiran anak dalam keluarga akan
tercipta kebahagian. Siapapun, dan dimanapun dia berada selagi dia dikatakan orang Batak maka hal yang utama yang dia inginkan
dalam perkawinan adalah keturunan atau kehadiran anak. Karena kehadiran anak tersebutlah membuat posisi kita dalam adat
nantinya” Dalam adat Batak konsep Hagabeon masih dianggap sebagai berkat ilahi
yang sangat penting Hal ini tercermin dalam berbagai umpasa yang mengharapkan hagabeon tersebut, seperti halnya:
Bintang na rumiris ombun na sumorop Anak pe riris boru pe torop.
Lili ma di ginjang hodong ma di toru Riris ma jolma di ginjang torop ma pinahan di toru.
Andor halumpang togu-togu ni lombu Sai saur matua ma ho paabing-abing pahompu.
Harangan ni Pansur batu hatubuan ni singgolom Maranak ma hamu sampulu pitu marboru sampulu onom.
Sahat-sahat ni solu sai sahat tu bontean Leleng hita mangolu sai sahat ma tu panggabean
Sai tubuan laklak ma tubuan singkoru Sai tubuan anak ma hamu tubuan boru.
Tinampul bulung ni salak laos hona bulung singkoru Tibu ma hamu mangabing anak laos mangompa boru
Balga ma tiang ni ruma umbalga tiang ni sopo Nunga gabe angka na matua gabean ma angka naposo.
Universitas Sumatera Utara
Dengan berbagai umpasa yang dibuat oleh leluhur sehingga sampai sekarang hal tersebut masih melekat dalam ajaran Batak Toba dan juga kebudayaan Batak Toba
yang sangat mengharapakan keturunan. Sehingga menjadi kewajiban bagi suami atau isteri memberikan keturunan.
Fenomena ini memiliki relevansi dengan teori pilihan rasional dimana teori ini menjadi landasan tingkat mikro untuk menjelaskan fenomena tingkat makro. Teori
pilihan rasional memusatkan perhatian pada aktor dimana aktor dipandang sebagai menusia yang mempunyai tujuan atau mempunyai maksud artinya aktor mempunyai
tujuan dan tindakan tertuju pada upaya untuk mencapai tujuan tersebut, aktorpun dipandang mempunyai pilihan atau nilai serta keperluan.
Dalam Teori pilihan rasional tidak menghiraukan apa yang menjadi pilihan atau apa yang menjadi sumber pilihan aktor, yang penting adalah kenyataan bahwa tindakan dilakukan
untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan tingkatan pilihan aktor. Begitu juga halnya dengan tejadinya perceraian yang terjadi pada keluarga Batak Toba Kristen. Keluarga yang
tidak mampu untuk mempertahankannya akan memilih jalan yang dianggap merupakan jalan yang terbaik yaitu memutuskan perkawinan dengan perceraian. perceraian dianggap
merupakan pilihan rasional yang dapat mengakhiri penderitaan, tekanan-tekanan, konflik dalam sebuah keluarga.
Berikut adalah pernyataan dari informan B.P Lk,48 tahun yang telah bercerai dengan isterinya karena isterinya meninggalkan keuarganya, mengatakan
“alasan saya bercerai yah…sesuai dengan undang-undang perkawinan no 1 Tahun 1974 dikatakan salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua
tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal diluar kemampuannya, saya di tinggal selama 4 tahun, sebagai
apakah saya harus terus sabar terhadapnya yang kemungkinan keluarga kami
Universitas Sumatera Utara
tidak lagi akan akur. Aku sayang sama isteriku, yah…. Mungkin dia yang tidak sayang lagi samaku makanya dia meninggalkan kami tanpa tahu
penyebabnya apa.”
Penghianatan dalam suatu lembaga perkawinan adalah suatu permasalahan yang menjadi pemicu konflik dalam sebuah keluarga. Perselingkuhan yang dilakukan
oleh orang ketiga yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan untuk melakukan poligami. Pada umumnya perselingkuhan dilakukan oleh laki-laki karena merasa
tidak puas dengan pasangannya. Perselingkuhan dengan orang ketiga yang dilakukan oleh laki-laki biasanya akibat dari sistem patriakhat yang membudayakan laki-laki
untuk melakukan polygami dengan alasan-alasan yang menguntungkan secara sepihak.
Sekarang ini terjadi pergeseran, perempuan Batak Toba sudah tidak lagi seperti zaman dahulu yang mempertahankan keluarganya, tetapi sudah menjadi
korban dari perkembangan zaman yang membuat seorang ibu itu melakukan hal yang kurang baik di luar rumah tangganya yang sangat menggangu keharmonisan keluarga.
Fakta sosial menunjukkan perselingkuhan tidak lagi didominasi oleh laki-laki, sebagaimana diungkapkan informan M.S Lk, 35 tahun
“dapat kita melihat kasus perceraian saya, dimana adanya orang lain yang menjadi penyebab perceraian saya,
dimana isteri saya sendiri selingkuh dibelakang saya, dan juga kedua mertua saya mendukung perceraian kami, saya
sangat sayang dan cinta kepada isteri saya. Sudah banyak cara kulakukan untuk mempertahankannya, aku sendiri tidak
tahu kenapa dia selingkuh, aku ga tahu apa kekuranganku…..inilah jalan terbaik menurutku, tidak baik
mempertahankan orang yang tidak sayang sama kita, mungkin kalau dipertahankan ada pihak yang merasa
tersakiti atau tertekan batin, lebih baik diakhiri saja dengan perceraian, mungkin dia lebih bahagia dengan laki-laki lain”
Universitas Sumatera Utara
Di dalam rumah tangga interaksi sosial antara suami isteri tidak selamanya berjalan dengan baik. Perbedaan kepentingan pribadi tidak dapat dipungkiri,
kerjasama dalam keluarga hanya dapat dilakukan bila kepentingan dapat diakomodasikan.
Berikut adalah pernyataan dari bapak R.N Lk,41 tahun yang telah memutuskan untuk bercerai dengan isterinya.
“ saya bercerai karena keinginan dari isteri saya, pertengkaran di antara kami terus terjadi. Terkadang saya malu
kepada tetangga karena sikap isteri saya yang tidak mau merubah sikapnya. Dan di tambah lagi ketidak peduliannya kepada rumah
tangganya. Isteri saya kadang tidak pulang dari tempat kerjanya. Dan dia sering membohongi saya. Saya sangat sayang dengan isteri saya,
tapi lagi-lagi dia mungkin dia tidak sayang sama saya……”
Menurut informan juga bahwa perceraian itu terjadi bukan karena adanya keinginan untuk berganti-ganti pasangan, karena mereka sedikit-sedikit masih mengerti adat,
tetapi menurut mereka bahwa perkawinan itu memang tidak bisa dilanjutkan lagi. Permasalahan-permasalahan inilah yang pada gilirannya menjadi benih yang
mengancam kehidupan perkawinan dan berakibat keretakan rumah tangga dan diakhiri dengan perceraian.
Pendapat mereka dengan adanya perceraian ini bukan berarti mereka tidak menghargai perkawinan atau menganggap gampang untuk memutuskan ikatan
perkawinan lalu membentuk perkawinan baru. Tetapi mereka tidak ingin tinggal dalam perkawinan yang tidak bahagia.
Universitas Sumatera Utara
Berikut adalah ungkapan informan A.S Pr,43 tahun “……saya memutuskan cerai sebenarnya bukan keinginanku,
aku sangat sayang dan cinta pada suamiku dan anak-anakku, tapi tidak mungkin saya pertahankan terus-menerus aku ditekan dalam
rumah tangga ku, tidak ada dukungan kepada saya, yang salah selalu aku, saya tidak tahan dengan keadaan yang terus-menerus tertekan
bathin, yah….inilah jalan terbaik, dia akan bahagia dan mendapatkan anak laki-laki dari wanita lain…
Bapak B.P Lk,38 tahun juga mengatakan “ ……keinginan saya sebenarnya tidak ingin bercerai, tetapi
keinginan keluarganya mendukung kami untuk bercerai. Mungkin dia tidak sayang sama saya dan anak-anaknya makanya dia
meninggalkan kami, jadi untuk mengakhirinya biar saja bercerai itu merupakan pilihan terakhir, karena secara kekeluargaan untuk
berdamai sudah kami buat tapi hasilnya adalah ini….bercerai
Pertengkaran atau perselisihan merupakan salah satu penyebab kenapa sebuah rumah tangga melakukan perceraian, mereka mengatakan bahwa itu adalah
pilihan yang terbaik dalam mengakhiri penderitaan atau kekacauan dalam rumah tangga. Banyak faktor yang membuat sebuah rumah tangga memutuskan untuk
mengakhiri perkawinan mereka, mereka sebenarnya tidak ingin menikah dengan suami atau isterinya, tetapi karena salah satu pihak tidak bisa untuk mempertahankan
dan terjadi ketimpangan dalam rumah tangga membuat keluarga tersebut harus mengambil keputusan bercerai.
Berikut juga ungkapan dari bapak M.S Lk,35 tahun yang memutuskan untuk bercerai
“ saya bercerai karena itu jalan yang terbaik menurut saya, isteri saya tidak sayang lagi sama saya, dia sudah lebih sayang
dengan laki-laki lain. Jadi tidak ada gunanya untuk dipertahankan, hanya persoalan atau pertengkaran yang terjadi nantinya.jadi, lebih
baik bercerai”
Universitas Sumatera Utara
Hal serupa juga dikatan oleh ibu S.P Pr,35 tahun “……dia lebih memihak kepada orang tuanya dan urusan
rumah tanggaku selalu di urusi mertua saya. Dukungan dari suami kepada saya tidak ada, dia lebih memihak kepada orang tuanya, yang
disalahkan dan di tekan adalah saya, sebagai seorang isteri saya kurang dihargai oleh suami, jadi ngapaein di pertahankan hanya
menimbulkan tekanan yang lebih dalam yang teus menerus kepada saya, istilah orang Batak dikatakan
Ketidak cocokan antara mertua dan isteri merupakan hal yang sudah bisa kita dengar. Kehadiran menantu ditengah-tengah keluarga suami menjadi suatu momok
bagi mertua perempuan yang belum bisa menerima kehadiran orang lain didalam keluarganya. Intervensi mertua didalam keluarga pasangan yang telah menikah
menjadi suatu konflik akibat perbedaan dalam memandang makna perkawinan bagi pasangan suami isteri. Terlalu ikut campur antara mertua dalam urusan keluarga
merupakan hal yang sebagian rumah tangga tidak menyukainya. Karena sebuah perkawinan itu membentuk sebuah rumah tangga, dan rumah tangga itu berhak atas
keluarganya sendiri. Berikut adalah ungkapan informan S.P Pr.35 tahun yang memutuskan
perceraian karena adanya pihak ketiga di dalam keluarganya yaitu mertuanya “……..saya memutuskan untuk bercerai karena suami saya
lebih memihak kepada orangtuanya tanpa menghargai saya sebagai isterinya, setiap ada permasalahan yang selalu ditekan adalah saya,
dan selalu yang salah adalah saya. Suami saya keterlaluan kepada orang tuanya, sedangkan saya kepada orangtua saya lain. Lain apa
yang dioberikan kepada orang tuanya dengan yang diberikan kepada orang tua saya. Suami saya belum bisa menjadi pendamai dalam
rumah tangganya, dia lebih memihak kepada orang tuanya. Dan juga mertua saya juga selalu mengurusi rumah tangga saya. Macam dia
yang punya rumah tangga kami…. Aku ga terima diperlakukan terus menerus seperti itu”
Universitas Sumatera Utara
Kurangnya perhatian suami terhadap isteri membuat isteri itu tidak terima, apalagi suami lebih memihak kepada orangtuanya, sebagian isteri tidak mau terima
dengan keadaan tersebut. Kesalahan-kesalahan yang selalu diberikan kepada isteri dan selalu ditekan oleh suami dan mertua membuat isteri tidak tahan sehingga untuk
mengakhirinya ditempuh dengan perceraian. Informan R.S Pr,45 tahun
“…..saya terus sakit hati dalam keluarga saya, siksaan bathin dari mertua atau keluarga besar, saya lebih baik bercerai karena itu
pilhan yang terbaik untuk mengkhiri pertengkaran atai konflik dalam rumah tangga saya. Dukungan dari suami kepada saya kurang,
jadi ngapain dipertahankan kalau tidak ada keharmonisan, kebahagiaan dalam keluarga. Sekarang saya lega tidak ada yang
harus saya pikirkan…..
Hasil wawancara dengan informan menunjukan bahwa keluarga yang bercerai itu sudah membuat pertimbangan-pertimbangan tentang konsekuensi perceraian
tersebut bagi dirinya sendiri dan anak-anaknya. Dari hasil pertimbangan itu maka mengambil keputusan bahwa cara yang terbaik untuk terlepas dari permasalahan
rumah tangganya yang tidak terselesaikan adalah dengan harus bercerai. Berbagai cara sudah dilakukan sebelum terjadinya perceraian.
Dahulu, perempuan yang menyandang status janda, apabila cerai khawatir terhadap opini masyarakat yang member penilaian jelek pada perempuan status janda
akibat perceraian. Sekarang opini demikian sudah mengalami pergeseran, masyarakat sudah tidak memberikan batasan penilaian terhadap janda cerai untuk berinteraksi
dan bersosialisasi pada lingkungan tempat dimana ia tinggal. Berikut adalah ungkapan dari informan saya ibu R.S Pr,38 tahun
Universitas Sumatera Utara
“ di tempat tinggal saya masyarakat menerima saya sebagai janda cerai, memang pada awalnya saya masih agak malu dan
kurang percaya diri bergabung dengan mereka, tetapi akhirnya mereka menerimanya koc, seperti tidak ada batas. Malahan saya
aktif dalam kegiatan yang ada dalam lingkungan saya. Masyarakat sudah dapat menerima janda sebagai bagian dari mereka dan
masyarakat sudah maju pemikirannya.”
Hal yang sama juga dikatakan informan saya ibu S.PPr,35 tahun “ pada awalnya kedengarannya sangat risih ditelinga, tapi
saya mendekatkan diri dengan mayarakat sekitar, bercerita-certa sehingga mereka tahu permasalahannya dan saya sangat dekat
dengan masyarakat sekitar saya mereka memperlakukan saya seperti anak mereka sendiri dan yah…….semakin akrab ”
Opini mayarakat sekarang yang sudah tidak menganggap jelek status janda dan penerimaan masyarkat terhadap janda merupakan salah satu factor keberanian
perempuan untuk bercerai. Dan perkembangan zaman yang semakin modern yang dapat membawa perubahan kepada perempuan untuk semakin berani untuk
bertindak.
4.5 Pandangan Kristen Terhadap Keluarga Bercerai