Fenomena Perceraian Dikalangan Batak Toba Kristen

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FENOMENA PERCERAIAN DIKALANGAN BATAK TOBA KRISTEN (STUDI DESKRIPTIF PADA KELUARGA ETNIS BATAK TOBA KRISTEN

DI KOTA MEDAN) SKRIPSI Diajukan Oleh OKTO.J.O.SILABAN

060901017

GUNA MEMENUHI SALAH SATU SYARAT UNTUK MEMPEROLEH GELAR SARJANA (S-1) PADA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNUVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(2)

KATA PENGANTAR

Dengan segaa kerendahan hati saya mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebab kasihNya yang begitu besar pada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi saya yang berjudul “ FENOMENA PERCERAIAN DIKALANGAN BATAK TOBA KRISTEN”

Dalam penulisan skrispsi ini banyak hikmad yang penulis terima, terutama dalam hal ketekunan, kesabaran dan penyerahan diri terhadap Tuhan. Disiplin dan kesabaran untuk memahami orang lain, kemampuan berpikir dan daya nalar khususnya dalam penyelesaian skrispsi ini,ini semua merupakan pengalaman yang tidak akan dapat dilupakan.

Selama penulis menulis skripsi ini dan melaksanakan penelitian yang mendukung dalam penyusunan skripsi, penulis banyak memperoleh bantuan dari semua pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. DR. M.Arif Nasution, M.A selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik USU Medan.

2. Bapak Prof.DR.Baddarudin,M.Si selaku ketua departemen Sosiologi FISIP USU

3. Ibu Dra.Ria Manurung, M.Si selaku dosen pembimbing saya yang telah banyak membimbing, memberikan waktu, tenaga dan sumbangan


(3)

pemikiran dalam memberikan saran dan kritik serta mengevaluasi sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.

4. Bapak, ibu dosen yang ada di FISIP USU khususnya dosen saya yang mengajarkan mata kuliah di departemen sosiologi, atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis selama ini.

5. Bapak ketua Pengadilan Agama Medan yang telah bersedia memberikan data

6. Bapak ketua pengadilan Negeri Medan yang telah bersedia memberikan data keluarga bercerai Batak Toba Kristen di Kota Medan

7. Kepada Ayahanda J.Silaban dan Ibunda tercinta R.Simamora yang telah memberikan cinta kasih pengertian,dorongan yang tak henti-hentinya kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dan pengorbanan yang tidak ternilai selama ini kepada penulis. Semoga Tuhan memberikan limpahan RahmatNya dan berkatNya kepada orang tua penulis

8. Kepada kakak saya Mariani Silaban & Natanael Sinaga, dan Antonetta Silaban & Latief Manullang, yang memberikan banyak dorongan kepada penulis. Dan kepada kakak saya Mesra Silaban dan adek saya Jonrido Silaban terimakasih atas doa-doanya dan dukungannya .

9. Buat teman-teman saya ada Lydia, Ryandiko, Prabu, Theo, Dharma, Delpa, Veny, Abdul Haris, Herbin, Madalena, Rolas, Elin, Friska, Kiki, Tantri, Rini, Maya, Rosyanti, Melinda, Afwan, Regar, Ryan, Angga, Erick, James, Esa, Imay, Asma, Irma, Debora, Viana, Agustina, dan juga buat k’Prima, Hernita, k’Irdha, dan sebagainya yang tidak dapat penulis


(4)

sebutkan satu persatu semoga sukses dan selamat berjuang terimakasih atas dukungan nya dan juga kepada abang dan kakak kami mulai dari stambuk 2005, 2004, 2003,dan adek-adek kami stambuk 2007, 2008, 2009.

10. Buat teman-teman di kos 71a. ada pak Syahlan dan ibu, bang Binner, bang Benny, Donny, Mory, Arif, Boy, Jepri. Nikson, Melki, Dede, Rizal, Ihsan, Zenry, Hendra terimaksih untuk setiap dukungan dan bantuannya. 11. Pada UKM KMK USU UP PEMA FISIP terimakasih telah hadir untuk

mahasiswa. Semoga segala visi dan misi dapat berjalan sesuai dengan yang Tuhan harapkan. Terimakasih buat TPP, AKK, PKK, ALUMNI yang memberikan dukungan lewat doa-doa.

12. Untuk KK ku, ada kak Nelli, Nalon, Mutiara, Evi. Terimakasih untuk setiap doa-doanya, dukungannya, motivasinya, nasehat-nasehatnya. Semoga klompok kita tetap bertumbuh.

Penulis menyadari skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dengan segala keterbatasan kemampuan yang penulis miliki. Oleh karena itu masukan dan kritik yang membangun sangat penulis hargai. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Penulis banyak mengucapkan banyak terimakasih.

Medan, Mei 2010


(5)

ABSTRAKSI

Perkawinan yang ideal menjadi harapan setiap pasangan yang melangsungkan perkawinan tidak selamanya seperti yang diharapkan. Kegagalan dalam perkawinan akibat konflik rumah tangga sering diakhiri dengan perceraian. Perceraian yang merupakan pemutusan terhadap hubungan perkawinan antara suami dan isteri, yang dimana si isteri mengambil keputusan untuk menceraikan suaminya. Stereotip yang kurang baik terhadap janda atau orang yang melakukan cerai sekarang ini kurang berlaku, yang dulunya cerai itu dianggap aib, sekarang lambat laun itu sudah mengalami perubahan. Banyak dalam masyarakat yang telah melakukan perceraian, memutuskan tali perkawinan dengan perceraian. Perceraian dianggap solusi yang dapat mengakhiri penderitaan, mengakhiri permasalahan, tekanan, dan lain-lain.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mengambil beberapa informan yaitu 3 orang laki-laki dan 3 orang perempuan yang telah resmi bercerai dengan suami atau isterinya yang berada di wilayah kota Medan. Dan 9 informan biasa yang terdiri dari penatua gereja, adat dan masyarakat biasa. Penelitian ini dilakukan hanya kepada suku Batak Toba dan beragama Kristen. Alasan menggunakan penelitian dengan metode kualitatif ini untuk memberikan keleluasaan dan kesempatan bagi peneliti untuk bisa menggali informasi secara lebih mendalam, karena kasus yang diangkat cukup sensitif. Hasil dalam penelitian ini adalah bahwa keputusan untuk bercerai dikalangan Batak Toba Kristen itu adalah merupakan pilihan rasional yang dianggap merupakan solusi yang tepat dalam mengakhiri setiap permasalahan yang terus-menerus yang tidak mempunyai harapan lagi untuk bisa dipertahankan. Berbagai faktor yang membuat sebuah keluarga Batak Toba Kristen memutuskan untuk bercerai diantaranya : terjadinya konflik dimana dalam sebuah keluarga tersebut tidak dikaruniai anak, faktor perselingkuhan yang dilakukan isteri, salah satu pihak telah meninggalkan keluarga tanpa ijin dalam waktu yang sangat lama, kehadiran pihak ketiga seperti mertua dalam keluarga sehingga memicu konflik, ketidakhadiran seorang anak laki-laki dalam rumah tangga tersebut, dan pertengakaran/perselisihan yang terus menerus, hingga mengambil keputusan dengan melakukan perceraian. Dari hasil penelitian juga terdapat yang menceraikan bukan hanya perempuan saja, tetapi laki-laki atau suami juga menceraikan isterinya. Terjadinya perceraian dikalangan Batak Toba Kristen itu didasari oleh faktor intern dan faktor ekstern. Dimana faktor intern(dari dalam rumah tangga) tersebut yaitu terjadinya konflik, perselisihan, pertengkaran yang terus menerus sehingga sulit untuk dipertahankan lagi. Sedangkan faktor dari luar yaitu masuknya budaya barat yang banyak diadopsi masyarakat, kekuatan hukum yang semakin tegas, kurangnya bimbingan konseling dari gereja kepada keluarga, dan terjadinya perubahan dalam masyarakat dengan masuknya budaya barat sehingga terjadi memudarnya budaya , nilai-nilai agama, adat. Faktor dari luar ini memberi peluang kepada sebuah keluarga untuk mengambil keputusan dengan perceraian. dari berbagai media juga dapat dilihat bahwa perceraian itu mudah untuk dilakukan, masyarakat Batak Toba Kristen terpengaruh dengan fenomena yang terjadi disekitarnya.


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………..i

ABSTRAKSI………. . iv

DAFTAR ISI………v

BAB I PENDAHULUAN……….. ………….. 1

1.1. Latar Belakang Masalah……….... 1

1.2. Perumusan Masalah………...11

1.3. Tujuan Penelitian ………..11

1.4. Manfaat Penelitian……….11

1.5. Defenisi Konsep………. …………...12

BAB II KERANGKA PEMIKIR……….. …………...14

BAB III METODE PENELITIAN……… …………...30

3.1. Jenis Penelitian………..30

3.2. Lokasi Penelitian………30

3.3. Unit Analsis dan Informan………...30

3.4. Teknik Sampling……….31

3.5. Teknik Pengumpulan Data………..………...31

3.6.Teknik Analisa Data………... 32

3.7. Keterbatasan Penelitian……….……….33

BAB IV INTEPRETASI DATA………..35

4.1. Setting Lokasi………...35

4.1.1. Sejarah Asal-usul Kota Medan……….……….35

4.1.2. Gambaran Masyarakat Kota Medan ………...………..41

4.1.3. Gambaran Etnies Batak Toba Di Kota Medan ……….... 46

4.2. Profil Informan……….…………....53


(7)

4.2.2. Profil Informan Biasa (Penatua Gereja , Adat Dan Masyarakat)…….…59

4.3. Hasil Interpretasi Data …...………...………….………….67

4.3.1. Makna Lembaga Perkawinan Masyarakat Batak Toba………...67

4.3.2. Makna Perkawinan Menurut Agama Kristen………...………72

4.4. Faktor-Faktor Yang Melatar Belakangi Sebuah Keluarga Memutuskan Untuk Bercerai……….………75

4.5. Pandangan Kristen Terhadap Keluarga Bercerai………..….96

4.6. Pandangan Masyarakat Batak Toba Terhadap Keluarga Yang Bercerai………...101

4.7. Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Perceraian Dikalangan Batak Toba Kristen……….…….104

BAB V PENUTUP……….108

5.1. Kesimpulan………...………108


(8)

ABSTRAKSI

Perkawinan yang ideal menjadi harapan setiap pasangan yang melangsungkan perkawinan tidak selamanya seperti yang diharapkan. Kegagalan dalam perkawinan akibat konflik rumah tangga sering diakhiri dengan perceraian. Perceraian yang merupakan pemutusan terhadap hubungan perkawinan antara suami dan isteri, yang dimana si isteri mengambil keputusan untuk menceraikan suaminya. Stereotip yang kurang baik terhadap janda atau orang yang melakukan cerai sekarang ini kurang berlaku, yang dulunya cerai itu dianggap aib, sekarang lambat laun itu sudah mengalami perubahan. Banyak dalam masyarakat yang telah melakukan perceraian, memutuskan tali perkawinan dengan perceraian. Perceraian dianggap solusi yang dapat mengakhiri penderitaan, mengakhiri permasalahan, tekanan, dan lain-lain.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mengambil beberapa informan yaitu 3 orang laki-laki dan 3 orang perempuan yang telah resmi bercerai dengan suami atau isterinya yang berada di wilayah kota Medan. Dan 9 informan biasa yang terdiri dari penatua gereja, adat dan masyarakat biasa. Penelitian ini dilakukan hanya kepada suku Batak Toba dan beragama Kristen. Alasan menggunakan penelitian dengan metode kualitatif ini untuk memberikan keleluasaan dan kesempatan bagi peneliti untuk bisa menggali informasi secara lebih mendalam, karena kasus yang diangkat cukup sensitif. Hasil dalam penelitian ini adalah bahwa keputusan untuk bercerai dikalangan Batak Toba Kristen itu adalah merupakan pilihan rasional yang dianggap merupakan solusi yang tepat dalam mengakhiri setiap permasalahan yang terus-menerus yang tidak mempunyai harapan lagi untuk bisa dipertahankan. Berbagai faktor yang membuat sebuah keluarga Batak Toba Kristen memutuskan untuk bercerai diantaranya : terjadinya konflik dimana dalam sebuah keluarga tersebut tidak dikaruniai anak, faktor perselingkuhan yang dilakukan isteri, salah satu pihak telah meninggalkan keluarga tanpa ijin dalam waktu yang sangat lama, kehadiran pihak ketiga seperti mertua dalam keluarga sehingga memicu konflik, ketidakhadiran seorang anak laki-laki dalam rumah tangga tersebut, dan pertengakaran/perselisihan yang terus menerus, hingga mengambil keputusan dengan melakukan perceraian. Dari hasil penelitian juga terdapat yang menceraikan bukan hanya perempuan saja, tetapi laki-laki atau suami juga menceraikan isterinya. Terjadinya perceraian dikalangan Batak Toba Kristen itu didasari oleh faktor intern dan faktor ekstern. Dimana faktor intern(dari dalam rumah tangga) tersebut yaitu terjadinya konflik, perselisihan, pertengkaran yang terus menerus sehingga sulit untuk dipertahankan lagi. Sedangkan faktor dari luar yaitu masuknya budaya barat yang banyak diadopsi masyarakat, kekuatan hukum yang semakin tegas, kurangnya bimbingan konseling dari gereja kepada keluarga, dan terjadinya perubahan dalam masyarakat dengan masuknya budaya barat sehingga terjadi memudarnya budaya , nilai-nilai agama, adat. Faktor dari luar ini memberi peluang kepada sebuah keluarga untuk mengambil keputusan dengan perceraian. dari berbagai media juga dapat dilihat bahwa perceraian itu mudah untuk dilakukan, masyarakat Batak Toba Kristen terpengaruh dengan fenomena yang terjadi disekitarnya.


(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Perkawinan bukanlah sekedar ritus untuk mengabsahkan hubungan seksual antara dua jenis manusia, tetapi hubungan yang masing-masing mempunyai peranan penting untuk menjaga keutuhan lembaga tersebut. Setiap perkawinan mempunyai tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal selama-lamanya . Kebahagian lahir dan bathin menjadi dambaan setiap manusia.

Sebelum tahun 1974 Hukum Perkawinan di Indonesia bersifat pluralisme. Perkawinan adalah gabungan antara dua manusia yang awalnya mungkin mempunyai tujuan dan mimpi yang sama, atau yang merasa dapat menjalankan walau dengan perbedaan yang ada dan pemahaman yang tak sama; dan untuk keberhasilan perkawinan itu diperlukan keinginan, tekat dan usaha dari keduanya, tidak dapat hanya dilakukan sendiri. Bukanlah suatu aib jika keutuhan itu memang tidak dapat lagi dipertahankan

Undang - Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ini mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975 . Adanya suatu Undang - Undang Perkawinan yang bersifat nasional itu memang mutlak perlu bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia, yang masyarakatnya terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan golongan penduduk. Maka Undang - Undang Perkawinan ini, disamping meletakkan asas-asas hukum perkawinan nasional, juga menampung prinsip - prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan


(10)

telah berlaku bagi berbagai golongan masyarakat. Undang-Undang Perkawinan ini pada intinya mengandung isi tentang Perkawinan dan Perceraian

Perkawinan pada hakikatnya merupakan bentuk kerjasama kehidupan antara pria dan wanita di dalam masyarakat di bawah satu peraturan khusus dan hal ini sangat diperhatikan baik oleh agama, negara maupun adat, artinya bahwa dari peraturan tersebut betujuan untuk mengumumkan status baru kepada orang lain sehingga pasangan ini diterima dan diakui statusnya sebagai pasangan yang sah menurut hukum, baik agama, negara maupun adat dengan sederetan hak dan kewajiban untuk dijalankan oleh keduanya, sehingga pria itu bertindak sebagai suami sedangakan wanita bertindak sebagai istri.

Keluarga sebagai unit terkecil, memerlukan organisasi tersendiri dan karena itu perlu adanya peran dan fungsi masing-masing anggota keluarga, terutama peran dan fungsi suami dan isteri dan juga anggota keluarga lainnya. Keluarga terdiri dari bebrapa orang, secara otomatis akan terjadi interaksi antar anggotanya. Interaksi dalam keluarga juga akan menentukan dan berpengaruh terhadap keharmonisan atau sebaliknya tidak bahagia (disharmonis).

Kondisi keluarga yang bahagia merupakan keluarga ideal yang dicita-citakan dan didambakan oleh setiap pasangan suami isteri. Gunarsa (2004) mengatakan keluarga yang bahagia atau keluarga yang ideal adalah keluarga yang seluruh anggotanya merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekacauan dan merasa puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya(eksistensi dan aktualisasi diri)yang meliputi aspek fisik, mental,emosi dan sosial.


(11)

Sistem keluarga ideal menurut Sanderson (1995:481), yaitu menyangkut hubungan suami dan isteri, orang tua dan anak-anaknya, serta keluarga dan semua kerabat, dan hubungan ini telah banyak mengalami perubahan saat ini, karena pada awalnya hubungan-hubungan tersebut lebih di warnai oleh kepentingan ekonomis belaka(walau tidak semua). Keluarga ideal juga tidak terlepas dari sejauh mana ia mampu menjalankan fungsi keluarga dengan baik di dalam keluarga, karena fungsi keluarga tidak dapat dipisahkan dari keluarga ideal. Adapun fungsi keluarga itu adalah fungsi pengaturan seksual, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi, fungsi afeksi, fungsi penentuan status, fungsi perlindungan dan fungsi ekonomi.

Keluarga merupakan suatu kelompok sosial kecil yang terdiri dari suami, istri beserta anak-ananknya yang belum menikah yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat sebagai wadah dan proses pergaulan hidup dan memiliki unsur-unsur sistem sosial yang mencakup kepercayaan, perasaan, tujuan, kaidah-kaidah, kedudukan dan peranan, tingkatan sanksi, kekuasaan dan fasilitas. Lembaga keluarga memegang peran amat penting dalam setiap masyarakat. Lembaga ini memegang fungsi sebagai pengaturan seksual, penerus keturunan, sosialisi, kasih sayang, penentuan status sosial seseorang, perlindungan dan ekonomi.

Di dalam sistem patriakhat yang dianut sebagian keluarga Indonesia seorang ayah masa kini tetap menjadi pusat otoritas dalam keluarga. Mekanisme dalam mengambil keputusan. Menjelaskan betapa kuatnya paternalisasi dan pengkulturan figur atau peran laki-laki. Ayah adalah satu-satunya yang berhak memutuskan atas anak perempuanya, demikian pula seorang suami atas isterinya.


(12)

Kekacauan keluarga ditafsirkan sebagai pecahnya suatu unit keluarga, terputusnya atau retaknya struktur peran sosial jika satu atau beberapa anggota gagal menjalankan kewajiban peran mereka. Perceraian menunjukkan adanya derajat pertentangan yang tinggi antara suami isteri dan memutuskan ikatan perkawinan. Tentu saja sebagai akibat dari perceraian ini akan mempunyai pengaruh terhadap janda bekas istri dan terhadap anak-anak yang mungkin telah dilahirkan dalam perkawinan itu. Banyak tekanan pada keluarga yang dapat melemahkan, dan di beberapa kejadian meruntuhkan kehidupan keluarga. Akan tetapi dalam suatu keluarga terutama suami dan isteri sebagai orang tua tidak selamanya mampu menjalankan peran fungsi-fungsi keluarga. Hal ini disebabkan karena adanya pemicu konflik yang mempengaruhi keharmonisan keluarga tersebut diantaranya :

1. Tidak adanya tanggung jawab suami, dalam hal kebutuhan ekonomi

2. Adanya perselingkuhan baik yang dilakukan oleh pihak suami maupun pihak isteri.

3. Berbeda prinsip dalam mengurangi bahtera rumah tangga seperti masalah anak, masalah pekerjaan dll.

4. Biologis adalah keadaan suami atau isteri yang tidak mempunyai kemampuan jasmani untuk membina perkawinan yang bahagia, seperti sakit, impoten, atau mandul.

5. Suami ingin menikah lagi dengan orang lain yang lebih dikenal dengan istilah poligami atau dimadu.


(13)

Berikut adalah data tingkat perceraian yang terjadi di Kota Medan Tabel 1.1

DATA TINGKAT PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA MEDAN Tahun Sisa

tahun lalu

diterima Jumlah Batal dicabut Ijin poligami Kelalaian atas kewajiban suami Cerai talak Cerai gugat

2005 105 1028 1133 63/39 2 1 241 530

2006 105 1015 1130 59/33 2 2 167 438

2007 163 1051 1214 66/33 1 3 265 490

2008 141 1351 1492 95/49 1 6 335 731

Sumber Data Pengadilan Agama Medan 2009

Namun demikian, kekalnya suatu rumah tangga yang akan dicapai itu tergantung kepada masing-masing pasangan suami istri bersangkutan. Artinya, apabila sebuah rumah tangga itu tidak dijalani dengan sikap keterbukaan, saling perhatian, saling menyayangi dan sikap serta saling berfikir positif, hal ini dapat menimbulkan konflik dan masa suram yang dihadapi sebuah rumah tangga. Konflik dan masa suram dimaksud dapat disebabkan oleh beberapa faktor permasalahan. Faktor permasalahan ini dapat mengganggu azas kekalnya perkawinan sehingga dapat rnengakibatkan terjadinya perceraian.

Suku Batak merupakan salah satu dari ratusan suku yang ada di Indonesia. Suku Batak berasal dari Pulau Sumatera. Suku Batak itu sendiri terbagi dalam enam suku yaitu suku Batak Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, Angkola, dan suku Batak Mandailing. Pengertian Batak menurut J. Warneck, Batak berarti ‘penunggang kuda


(14)

yang lincah’ akan tetapi menurut H.N. Van der Tuuk, Batak berarti ‘kafir’, sehingga sampai detik ini pengertian Batak sampai sekarang belum dapat di jelaskan secara pasti dan memuaskan. Suku Batak memiliki Adat istiadat, Bahasa, nyanyian dan Filsafat. Ada satu kutipan yang bertuliskan, “ Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati pahlawannya, Suku yang besar adalah suku yang menghargai adat dan budayanya.

Dalam suku Batak Toba agama yang dianut adalah pada umumnya Kristen. Agama dan budaya itu dalam Batak Toba hampir tidak dapat dipisahkan. Seperti halnya dengan adat perkawinan, setelah adanya pemberkatan dari gereja ada lagi acara yang meriah berupa pesta adat. Dalam perkawinan ini semua ikatan keluarga baik dari pihak laki-laki, perempuan, tulang ,semua keluarga memberikan berupa nasihat agar kelak nantinya keluarga itu keluarga yang rukun dan keluarga yang “gabe” lahir anak laki-laki dan anak perempuan.

Dalam suku Batak Toba khususnya Kristen ikatan adat atau budaya itu masih melekat dan agama itu masih dijunjung tinggi. Dalam adat Batak Toba perceraian itu jarang terjadi, dimana dalam adat Batak Toba ada istilah “apapun akan dilakukan agar perceraian itu tidak terjadi” ikatan budaya itu masih kuat. Banyak ditemukan sekarang ini keluarga Batak Toba yang beragama Kristen sudah melakukan cerai secara hukum dipengadilan. Tiap tahun semakin bertambah orang Batak Toba yang melakukan cerai di pengadilan.


(15)

Tabel 1.2

DATA TINGKAT PERCERAIAN DI PENGADILAN NEGERI MEDAN

Tahun Jumlah orang yang bercerai

2008 181

2009 57

Sumber Pengadilan Negeri Medan 2009

Dari jumlah perceraian tahun 2008 bahwa untuk Batak Toba Kristen yang melakukan cerai adalah sebanyak 181 orang. Dan pada tahun 2009 perceraian itu semakin meningkat hingga 57 orang Batak Toba Kristen yang melakukan perceraian di pengadilan negeri Medan. (sumber data dari Pengadilan Negeri Medan).

Dengan adanya adat yang mengikat akan mempersempit kesempatan orang untuk bercerai. Adat dalam Batak Toba itu sangat di junjung tinggi sehingga perceraian itu sangat rendah. Agama juga yang sangat mendukung untuk menolak terjadinya perceraian. Dengan adanya agama Kristen protestan yang menolak perceraian itu maka kesempatan masyarakat juga akan semakin sempit dalam melakukan perceraian.

Dalam agama Kristen, bahwa sahnya suatu perkawinan harus diberkati di gereja oleh Pendeta. Acara pemberkatan nikah tersebut dilakukan untuk memberi kepastian bahwa perkawinan itu sah menjadi suatu hubungan suami isteri antara kedua mempelai. Hal ini sesuai dengan pasal 1 ayat 1 undang-undang perkawinan. Dalam acara pemberkatan tersebut, ekdua mempelai sama-sama berjanji untuk sehidup semati, baik dalam suka maupun duka ,seperti tertulis ”Karena itu, apa yang


(16)

telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."(Markus 10 - 10:9 & Matius 19 - 19:6).

Pernikahan Kristen dipandang sebagai kontrak publik dihadapan para saksi dengan seorang laki-laki dan seorang perempuan yang dengan saling setuju dan dilakukan secara bebas membuat janji-janji tak bersyarat untuk setia seumur hidup satu kepada yang lain dengan pertolongan Tuhan. Setelah adanya pemberkatan nikah di gereja maka perkawinan tersebut harus disahkan lagi dalam administrasi negara yaitu dihadapan Pegawai Catatan Sipil yang biasanya dilaksanakan disalah satu ruangan gereja yang bisaa disebut “ruang biduk perhobasan”. Kedua mempelai dan orang tuanya sebagai saksi dalam pencatatan perkawinan tersebut.

Dengan penegasan dari ajaran Kristen terkhusus agama Kristen protestan tersebut bahwa perceraian itu jelas dilarang oleh agama Kristen. Dalam agama Kristen, perceraian itu jelas ditolak seperti yang tertulis pada : ”Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."(Markus 10 - 10:9 & Matius 19 - 19:6).

Dalam adat Batak Toba, khusunya pada masyarakat yang beragama Kristen protestan, bahwa setelah adanya pemberkatan yang dilakukan di gereja, selanjutnya dilaksanakan upacara adat. Dalam upacara adat sebagaimana kebisaaan pada masyarakat Batak Toba yang tujuannya untuk mensyahkan perkawinan itu secara hukum adat. Dengan dilaksanakan adat tersebut, maka perkawinan tersebut telah sah dan kedua mempelai telah mempunyai kedudukan dalam masyarkat adat. Dalam upacara tersebut dilakukan untuk “manggarar utang( membayar utang)” kepada kerabat yang bersangkutan sesuai dengan adat Batak Toba.


(17)

Dalam hal ini peran dari Dalihan Na Tolu sangat di butuhkan. Perkawinan orang Batak haruslah diresmikan secara adat berdasarkan adat Dalihan Na Tolu, dan upacara agama serta catatan sipil. Artinya segala perkawinan yang telah dilaksanakan, selanjutnya dilakukan pencatatan di kantor catatan sipil untuk mendapat kelengkapan Administrasi Negara.

Masyarakat Batak Toba menganut sistem kekarabatan patrilineal atau garis kebapakan atau mempertahankan garis keturunan laki-laki yang melakukan perkawinan dalam bentuk perkawinan jujur (sinamot), dimana isteri setelah kawin masuk dalam kekerabatan suami dan termasuk anak-anak berada dibawah kekuasaan suami/bapak. Setiap perkawinan yang dilaksanakan seperti yang telah dijelaskan diatas, mengharapkan hubungan perkawinan itu kekal sampai selama-lamanya. Akan tetapi tidak lah mudah untuk menjalaninya. Diperlukan usaha dan kerja sama yang baik antara pihak suami dan pihak isteri. Setiap orang pasti menginginkan keluarganya tetap harmonis sampai beranak cucu, tidak jarang dalam kehidupan nyata banyak keluarga yang gagal di tengah jalan. Dengan berbagai alasan yang diyakini bisa menjadi syarat untuk melakukan perceraian.

Dalam hal putusnya perkawinan atas perceraian, suami dan isteri tidak leluasa penuh untuk menentukan sendiri syarat-syarat untuk memutuskan hubungan perkawinan tersebut, melainkan terikat juga pada peraturan hukum dan adat yang berlaku. Menurut pasal 38 Undang-Undang No 1 Tahun 1974, dikatakan bahwa” perkawinan putus karena kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan” pasal 39 mengatakan bahwa “perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan “


(18)

untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami dan isteri tidak akan hidup rukun sebagai suami isteri .

Dalam masyarakat Batak Toba terjadinya perceraian sama halnya dengan perkawinan. Dimana dalam upacara perkawinan agar kedua mempelai tersebut sah menjadi keluarga dan kekerabatan dalam adat Batak Toba maka disyahkan dengan cara adat yang berlaku dalam Batak Toba. Begitu juga halnya dengan perceraian yang terjadi pada masyarakat Bataka Toba, apabila terjadi perceraian, maka akan diselesaikan terlebih dahulu secara adat. Maka terlebih dahulu dikumpulkan pengetua-pengetua adat dan juga kekerabatan dari Dalihan Na Tolu untuk membicarakan hal-hal yang terjadi diantara kedua belah pihak. Disini Dalihan Na Tolu menanyakan kedua belah pihak yang berperkara dan berusaha untuk mendamaikannya, akan tetapi apabila tidak dapat lagi didamaikan dan kedua belah pihak berkeras untuk bercerai, maka para penetua adat tersebut memutuskan untuk bercerai. Perceraian secara hukum adat tetap dianggap sah sepanjang hukum adat tersebut masih berlaku pada masyarakat setempat.

Fenomena yang terjadi dalam masyarakat Batak Toba Kristen yaitu perceraian pada Batak Toba Kristen itu sekarang ini yang telah banyak di temui. Dapat dilihat dari data yang diperoleh dari Pengadilan Negeri Medan yang melakukan perceraian secara hukum, Baik itu yang melakukan perceraian secara adat maupun perceraian secara hukum di pengadilan telah banyak ditemui. Hal inilah yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti “Fenomena Perceraian Dikalangan Batak Toba Kristen” adat yang di junjung tinggi masyarakat mengurangi kesempatan kepada masyarakat untuk tidak melakukan perceraian dan juga agama yang telah melengkapi adat tersebut sehingga kesempatan masyarakat Batak Toba itu


(19)

sulit bercerai. Dan sekarang ini perceraian pada masyarakat Batak Toba Kristen sudah ada ditemukan.

1.2 Perumusan Masalah

Dari uraian diatas yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pandangan masyarakat Batak Toba terhadap adanya perceraian dalam sebuah keluarga?

2. Apa yang menjadi latar belakang terjadinya perceraian dikalangan Batak Toba Kristen ?

3. Bagaimana pandangan agama Kristen terhadap perceraian dalam sebuah keluarga?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian saya adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana sikap etnis Batak Toba yang beragama Kristen terhadap adanya perceraian dalam sebuah keluarga.

2. Untuk mengetahui latar belakang terjadinya perceraian di kalangan Batak Toba Kristen.

3. Untuk mengetahui kedudukan agama dan budaya dalam rumah tangga etnis Batak Toba Kristen.


(20)

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan khususnya yang berkaitan dengan perceraian yang terjadi pada Batak Toba terlebih pada Batak Toba Kristen.

1.4.2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan literature kajian terhadap perkembangan ilmu sosiologi. Sekaligus menjadi acuan bagi penelitian berikutnya khususnya kajian yang berhubungan dengan perceraian dalam Batak Toba Kristen.

1.5. Defenisi Konsep

Dalam penelitian ini menggunakan beberapa defenisi konsep untuk mempermudah melakukan suatu penelitian. Konsep adalah suatu istilah yang terdiri dari satu kata atau lebih yang menggambarkan suatu gejala atau yang menyatakan suatu ide gagasan untuk memperjelas suatu keadaan suatu penelitian (Iqbal Hasan 2002;17). Untuk menjelaskan maksud dan pengertian konsep-konsep yang terdapat dalam penelitian ini, maka dibuat batasan-batasan konsep yang dipakai sebagai berikut :

1. Perceraian

Perceraian adalah suatu pemutusan yang melembaga terhadap hubungan perkawinan. Sebagai akibatnya setiap pelaku mendapatkan haknya untuk menikah lagi secara sah. Perceraian dibedakan dengan perpisahan yang berarti suami hidup dan isteri hidup terpisah walaupun masih dalam ikatan perkawinan (Thomas Ford


(21)

Hoult). Perceraian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah cerai hidup antara pasangan suami isteri yang diakui secara resmi secara formal resmi menurut hukum dan secara adat.

2. Keluarga

Keluarga adalah suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah atau adopsi, merupakan susunan rumah tangga sendiri, berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami isteri, ayah dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan perempuan dan merupakan pemeliharaan kebudayaan bersama.

3. Batak Toba

Batak Toba adalah salah satu suku yang terdapat di Indonesia yang berasal dari Sumatera Utara.

4. Agama Kristen

Agama Kristen adalah salah satu agama yang terdapat di Indonesia yang dianut oleh masyarakat dan diyakini, dipercayai oleh masyarakat tertentu


(22)

BAB II

KERANGKA PEMIKIR

Menurut H.R.Otje Salman Soemadingrat (2002;173) perkawinan adalah implementasi perintah Tuhan yang melembaga dalam masyarakat untuk membentuk rumah tangga dalam ikatan-ikatan kekeluargaan, sama konsepnya dengan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang perkawinan No.1 tahun 1974 mengatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa..

Emile Durkheim dalam Nurdien (1999) mengatakan bahwa “ ikatan kekeluargaan (perkawinan) dengan suasana tradisi dan adat-istiadat oleh karena adanya perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat akan bergeser kearah kontrak berdasarkan pengaturan oleh Negara”. Namum ada banyak tantangan yang muncul dalam kehidupan perkawinan/keluarga dewasa ini: (1) Goncangnya lembaga perkawinan akibat dari polygamy (permaduan). (2) Melunturnya cinta suami isteri. (3) Faktor penghambat luar keluarga yaitu keadaan ekonomi yang tidak menguntungkan, hukum perundang-undangan yang mentolerir perceraian, ledakan penduduk, keadaan sosio-psikologis yaitu perubahan fungsi ayah dari strukstur patriakhat kepada nuclear family, pandangan tentang perceraian cenderung permisif, pandangan dan praktek seks sebagai konsumsi, komersialisasi seks ( BKKBN,2004)

Dalam Koenjaraningrat (2002) bahwa perkawinan merupakan suatu saat yang terpenting pada daur hidup(life cycle) dari semua manusia diseluruh dunia, karena merupakan


(23)

saat peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga. Perkawinan adalah penerimaan status baru dengan sederatan hak dan kewajiban yang baru serta pengakuan status baru oleh orang lain. Perkawinan membentuk satu tali hubungan sosial yang baru dan juga jumlah anggota keluarga bertambah. Masuknya keluarga suami/isteri menimbulkan banyak sekali peran kewajiban baru , dan juga penyesuaian dan ketegangan-ketegangan baru. Oleh karena itu suatu perkawinan menimbulkan berebagai macam akibat, yang juga melibatkan banyak sanak keluarga termasuk suami itu sendiri.

Clayton dalam Kamanto (2000:63-65) mengatakan bahwa keluarga merupakan suatu sistem sosial yang didalamnya memiliki unsur-unsur sanksi, kekuasaan, fasilitas, kedudukan dan peran serta tujuan bersama keluarga yang terdiri dari suami, isteri, dan anak yang secara otomatis memiliki peran dan fungsinya masing-masing, yang pada akhirnya membangun perilaku pada pola interaksi didalam suatu keluarga nantinya juga akan menentukan dan ikut mempengaruhi keharmonisan dan ketidakharmonisan dalam keluarga

Dari segi taraf hidup, mungkin kita temukan keluarga terdidik, keluaga yang mampu, kurang mampu atau kombinasi dari berbagai variasi-variasi. Dari segi falsafah hidup, ditemukan keluarga yang modern, rasional berencana dan menata masa depan dengan penuh perhitungan. Ada pula keluarga tradisional yang masih mendahulukan tradisi lama untuk dipertahankan dan sulit berubah, tergantung pada nasib atau sikap lain. Namun bagaimanapun dalam keanekaannya dijumpai suatu persamaan yang esensial dari keluarga yaitu mengenai fungsinya. Walaupun lama-kelamaan fungsi ini pun akan mengalami perubahan. Paling sedikit ada dua fungsi


(24)

utama yang harus dijalankan oleh keluarga. Fungsi ini amat mendasar, bila tidak dipenuhi akan membuat keluarga itu tidak berarti.

Keluarga sebagai agen sosialisasi paling awal bagi setiap individu memang mengalami perubahan seiring berubahnya masyarakat, namun tidak dalam derajat yang sama. Hal ini disebabkan Karena adanya ikatan sosial yang khusus antar anggota keluarga. Keluarga adalah suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah atau adopsi; dan juga merupakan susunan rumah tangga sendiri, berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami isteri, ayah, ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan perempuan dan merupakan pemeliharaan kebudayaaan bersama.

Sumber kebahagiaan manusia umumnya berasal dari hubungan sosial. Baik itu merupakan hubungan cinta atau kekuasaan, hubungan itu mendatangkan kepuasan yang timbul dari perilaku orang lain, demikian halnya terhadap kepuasan-kepuasan yang tidak mementingkan diri sendiri. Pekerjaan yang dilakukan seorang diri pun menimbulkan kebahagiaan. Penderitaan dan kebahagiaan manusia itu ditentukan oleh perilaku orang lain. Sama halnya pada tindakan manusia yang mendatangkan kesenangan di satu pihak, menimbulkan ketidaksenangan pada pihak lain.

Lembaga keluarga memegang peranan penting dalam setiap masyarakat. Lembaga ini memegang fungsi sebgai pengaturan seksual, penerus keturunan, sosialisasi, kasih sayang, penentuan status sosial seseorang, perlindungan dan ekonomi.


(25)

Pada umumnya perceraian dewasa ini terjadi karena salah satu pihak tidak lagi dapat memenuhi harapan dan kebutuhan pasangannya, hingga salah satu pihak atau kedua-duanya tidak ingin melanjutkan perkawinan. Perceraian terjadi sebagai akibat dari perkawinan yang tidak bahagia. Sebahagian orang berpendapat bahwa perceraian merupakan suatu tanda kemunduran kesusilaan dan kemerosotan moral dalam masyarakat.(Polak, 1985)

Tingginya tingkat perceraian di suatu wilayah (Negara atau kawasan) dapat digunakan sebagai indikasi untuk mempertanyakan bagaimana eksistensi keluarga di wilayah tersebut. Goode mengatakan bahwa perubahan pada tingkat perceraian merupakan indikasi terjadinya perubahan-perubahan sosial lainnya didalam masyarakat. Namun perubahan tingkat perceraian terssebut tidak dapat langsung menunjukkan bahwa masyarakat yang bersangkutan mengalami disorganisasi.

Menurut (Norton & Glick,1977;john Peters,1979) bahwa tingginya tingkat perceraian merupakan produk dari industrialisasi dan urbanisasi, modernisasi dapat memudarkan ideology, kultur serta batas-batas kebangsaan suatu Negara. Modernisasi menyebabkan timbulnya saling ketergantungan yang tinggi antar Negara yang mempunyai kesamaan struktur. Konsekuensi dari ketergantungan dan kesamaan struktur tersebut tidak hanya berlaku pada distribusi energy, tingkat inflasi serta alokasi bahan-bahan mentah, tetapi juga pada perkawinan, keluarga serta pola-pola perceraian. Hal yang perlu dicatat menurut mereka adalah semakin besarnya tuntutan kaum wanita terhadap otonomi, keadilan, hak-hak dan imbalan yang mereka terima. (Erna Karim,1995:9)

Pada Masyarakat Batak memandang bahwa perkawinan sebagai hal yang sakral, suci, perpaduan hakikat kehidupan antara laki-laki dengan perempuan menjadi satu bukan sekedar membentuk rumah tangga dan keluarga. Perkawinan itu


(26)

sangat penting bagi masyarakat Batak sehingga ada istilah balga anak pasohotan, magodang boru pamulion asa marhasohotan (maksudnya bahwa setiap anak laki-laki dan perempuan yang sudah beranjak dewasa sudah saatnya memikirkan jodoh/berumahtangga). Demikian saran seorang ibu kepada anaknya yang telah akil balik berkeluarga. (Rajamarpodang, 1999)

Hasil penelitian Bruner dalam Ihromi(1990) bahwa setiap perkawinan orang Batak meletakkan dasar bagi hubungan yang permanen antara kelompok keturunan mempelai wanita, yaitu kelompok pemberi isteri atau hula-hula dan kelompok keturunan mempelai laki-laki, kelompok penerima isteri atau boru.

Pada masyarakat Batak adalah perkawinan itu dianggap sangat sakral , kesakralan ini menjadi ciri khas masyarakat Batak terlebih setelah memeluk agama Kristen. Pengaruh masuknya agama Kristen ini jelas kelihatan dalam masyarakat Batak sebab sebelumnya orang Batak boleh mempunyai banyak isteri (poligami) tetapi setelah agama Kristen masuk keadaan ini berubah. Ajaran agama Kristen yang dianut masyarakat Batak tidak mengijinkan adanya poligami dan perkawinan diyakini sebagai suatu peristiwa yang sakral. Hanya nilai budaya yang diwarisi masyarakat Batak yang dapat menggambarkan apa yang mengikat perkawinan itu sehingga perkawinan itu begitu teguh. Pahit getirnya perkawinan harus dihadapi dengan kerelaan bersama suami isteri (Rajamarpodang, 1999)

Dahulu perkawinan masyarakat Batak adalah sakral dan apabila di perhatikan perkembangan sekarang ini apakah perkawinan itu masih tetap dianggap sakral. Hasil penelitian Rajamarpodang (1999) bahwa sudah banyak masalah yang timbul bahwa perkawinan itu sudah makin umum sifatnya. Masalah ini dapat saja timbul karena


(27)

adanya campur tangan yang besar dari pihak keluarga kedua belah pihak pasangan suami isteri tersebut. Hal ini disebabkan sebagaimana yang telah dikatakan bahwa perkawinan orang Batak itu tidak hanya melibatkan pasangan suami-isteri saja tetapi, tetapi melibatkan keluarga kedua belah pihak, sehingga dalam perceraian pun peranan keluarga ini sangat besar. Jika sebuah perkawinan orang orang Batak tidak memiliki keturunan (atau anak laki-laki) maka pihak keluarga laki-laki akan berusaha untuk mencari isteri lain bagi anaknya sampai dapat memiliki anak laki-laki( keturunan sebagai penerus marga)

Pada masyarakat Batak perkawinan menjadi pertanda bahwa seorang individu telah mempunyai hak serta kewajiban didalam adat, baik hak untuk berbicara dalam pertemuan adat maupun hak untuk mengadakan upacara adat. Perkawinan juga merupakan sarana perluasan tali ikatan antara kelompok kekerabatan yang tercakup dalam Dalihan Na Tolu. Disamping itu perkawinan juga mempunyai tujuan untuk memperoleh keturunan, memenuhi kebutuhan akan teman hidup, akan harta, akan gengsi dan naik kelas dalam masyarakat ( Koenjarangnirat 1998:90).

Menurut Salvicion dan Ara Celis (1989) Keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidupnya dalam suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan didalam perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan.

Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa keluarga adalah :


(28)

-Terdiri atas 2 orang atau lebih

-Adanya ikatan perkawinan atau pertalian darah -Hidup dalam satu rumah tangga

-Di bawah asuhan seseorang kepala rumah tangga -Berinteraksi diantara sesama anggota keluarga

-Setiap anggota keluarga mempunyai peran masing-masing -Diciptakan, mempertahankan suatu kebudayaan

Prinsip-prinsip teori pertukaran yang diterapkan oleh Pieter M Blaw di dalam menganalisa hubungan sosial antara orang yang saling mencintai, seperti hal nya dengan perkawinan. Hubungan sosial dapat dikelompokkan kedalam dua kategori umum didasarkan pada apakah reward yang ditukarkan itu bersifat intrinsic (termasuk kasih sayang, kehormatan atau kecantikan) atau ekstrinsik(seperti uang, barang-barang). Reward yang intrinsik berasal dari hubungan itu sendiri. Sebaliknya, hubungan ekstrinsik berfungsi sebagai alat bagi suatu reward yang lainnya, dan bukan reward untuk hubungan sendiri. Dalam kasus seperti itu, reward dapat dilepaskan dari hubungan tertentu, dan pada prinsipnya dapat diperoleh dari setiap pasangan pertukaran (Doyle Paul Johnson,1990:77)

Dengan adanya ketidakseimbangan itu disebabkan karena adanya pihak-pihak yang memiliki surplus akan sumber-sumber atau sifat-sifat yang mampu memberikan reward, yang cenderung untuk menawarkan berbagai pelayanan atau hadiah secar sipihak, sementara pihak lain tidak. Dalam hal ini pihak pertama dapat menikmati sejumlah reward yang berhubungan dengan status yang tinggi akan kekuasaan atas orang lain


(29)

Ada 2 persyaratan yang harus dipenuhi bagi perilaku yang menjurus pada pertukaran sosial menurut Blaw dalam Margaret Poloma (1994:83) yaitu :

1. Perilaku tersebut berorientasi pada tujuan-tujuan lainnyaa yang hanya dapat dicapai melalui interaksi dengan orang lain

2. Perilaku harus bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan tersebut.

Pertukaran sosial yang dimaksud disini terbatas pada tindakan-tindakan yang tergantung pada reaksi-reaksi penghargaan dari orang lain dan yang berhenti apabila reaksi-reaksi yang diharapkan ini tidak kunjung datang (Doyle Paul Johnson 1990:77).

Blaw juga mengatakan“kemampuan orang atau kelompok memaksakan kehendaknya pada pihak lain, walaupun terdapat penolakan melalui perlawanan, baik dalam bentuk pengurangan pemeberian ganjaran secara teratur maupun dalam bentuk penghukuman, sejauh kedua hal itu ada dan memperlakukan sanksi negative”. Dengan demikian kekuasaan hanya dilihat sebagai pengendalian melalui sanksi-sanksi negative (Margaret Poloma,1994:85-86).

Pada pola keluarga konjugal, setiap orang mempunyai kebebasan untuk memilih dan menentukan calon pasangan hidupnya sendiri. Selain itu sistem keluarga itu mengandalkan pasangan suami isteri untuk berbuat lebih banyak terhadap kehidupan keluarga masing-masing yang terdiri dari suami isteri, dan anak-anak. Kerabat luas tidak lagi penyangga kehidupan pasangan suami isteri. Akibatnya anggota keluarga konjugal menjadi kurang tergantung pada kerabatnya, sehingga kewajiban yang tua menjadi berkurang dan keluarga konjugal tidak banyak menerima bantuan dari kerabat. Konsekuensi logisnya adalah kontrol sosial dari anggota kerabat luas menjadi berkurang dan tidak efekrif lagi, sehingga beban


(30)

emosional dan financial keluarga konjugal menjadi lebih berat. Perubahan pada tingkat perceraian tidak dapat langsung menunjukkan bahwa masyarakat yang bersangkutan mengalami disorganisasi. Adanya beberapa indikasi seperti :

1. Tingkat “hidup bersama”antar jenis kelamin yang berbeda tidak menjadi semakin tinggi

2. Tidak menurunnya angka perkawinan resmi, bahkan dibeberapa Negara terlihat

semakin tinggi

3. Adanya perbaikan kehidupan personal dari individu-individu yang memasuki

kehidupan berkeluarga melalui perkawinan

4. Adanya perubahan dalam sistem keluarga dan struktur sosial di masyarakat.

Teori pilihan rasional umumnya berada dipinggiran aliran utama sosiologi tahun 1989 dengan tokoh yang cukup berpengaruh adalah Coleman, ia mendirikan jurnal Rationality and Society yang bertujuan menyebarkan pemikiran yang berasal dari perspektif pilihan rasional. Tori pilihan rasional (Coleman menyebutkan ”Paradikma tindakan rasional”) adalah satu-satu yang menghasilkan integrasi berbagai paradikma sosiologi. Coleman dengan yakin menyebutkan bahwa pendekatannya beroprasi dari dasar metodelogi individualisme dan dengan menggunakan teori pilihan rasional sebagai landasan tingkat mikro untuk menjelaskan fenomena tingkat makro. Teori pilihan rasional memusatkan perhatian pada aktor dimana aktor dipandang sebagai menusia yang mempunyai tujuan atau mempunyai maksud artinya aktor mempunyai tujuan dan tindakan tertuju pada upaya untuk mencapai tujuan tersebut, aktorpun dipandang mempunyai pilihan atau nilai serta keperluan.

Dalam Teori pilihan rasional tidak menghiraukan apa yang menjadi pilihan atau apa yang menjadi sumber pilihan aktor, yang penting adalah kenyataan bahwa tindakan dilakukan


(31)

untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan tingkatan pilihan aktor. Teori pilihan rasional Coleman tanpak jelas dalam gagasan dasarnya bahwa tindakan perseorangan mengarah pada suatu tujuan dan tujuan itu ditetentukan oleh nilai atau pilihan, tetapi selain Coleman menyatakan bahwa untuk maksud yang sangat teoritis, ia memerlukan konsep yang lebih tepat mengenai aktor rasional yang berasal dari ilmu ekonomi dimana memilih tindakan yang dapat memaksimalkan kegunaan atau yang dapat memuaskan keinginan dan kebutuhan mereka. Ritzer (2004:394)

Ada dua unsur utama dalam teori Coleman, yakni aktor dan sumber daya. Sumber daya adalah sesuatu yang menarik perhatian dan yang dapat dikontrol oleh aktor. Coleman mengakui bahwa dalam kehidupan nyata orang tak selalu berprilaku rasioanl, namun ia merasa bahwa hal ini hampir tak berpengaruh terhadap teorinya. Pemusatan perhatian pada tindakan rasional individu dilanjutkannya dengan memusatkan perhatian pada masalah hubungan mikro-makro atau bagaimana cara gabungan tindakan individu menimbulkan prilaku sistem sosial. Meski seimbang, namun setidaknya ada tiga kelemahan pendekatan Colemans. Pertama ia memberikan prioritas perhatian yang berlebihan terhadap masalah hubungan mikro dan makro dan dengan demikian memberikan sedikit perhatian terhadap hubungan lain. Kedua ia mengabaikan masalah hubungan makro-makro. Ketiga hubungan sebab akibatnya hanya menunjuk pada satu arah, dengan kata lain ia mengabaikan hubungan dealiktika dikalangan dan di antara fenomena mikro dan makro. (Ritzer 2004:394-395).

Terjadinya perkawinan yang akan membentuk sebuah keluarga akan didasari dengan adat, dan agama. Begitu juga dengan suku batak Toba Kristen bahwa adat dan agama merupakan hal yang utama dalam perkawinan yang akan membentuk sebuah keluarga bahagia. Pada masyarakat batak Toba bahwa adat itu sangat dijunjung tinggi, dimana mulai dari seorang anak yang masih dikandungan, lahir, tumbuh besar, menikah, hingga meninggal


(32)

dunia selalu memakai adat. Maka dikatakan bahwa masyarakat batak hidupnya sebagian besar untuk adat.

Agama menawarkan suatu hubungan transendetal melalui pemujaan dan upacara ibadat, sehingga memberikan dasar emosional bagi rasa aman dan identitas yang lebih kuat ditengah ketidakpastian dan ketidakberdayaan kondisi manusia dari arus perubahan sejarah.melalui ajaran-ajaran otoritatif tentang kepercayaan dan nilai, agama memberikan kerangka acuan ditengah pertikaian dan kekaburan pendapat serta sudut pandangan manusia. Fungsi agama yang bersifat kependetaan ini menyumbang stabilitas, ketertiban dan seringkali mendukung pemeliharaan status quo(Bagong suyanto;2004)

Adat adalah suatu cara pikir bangsa Indonesia, dimana mereka membentuk dunianya.(Weltanschauung)(Geertz 1983:209-210;Benda Beckham 1979:113-114). Mohammad Kusnu mengatakan adat adalah tatanan hidup rakyat Indonesia yang bersumber pada rasa susilanya (Koesnoe 1979:A9). Susila ini dimengerti dalam suatu konteks harmoni spiritual, dimana kedamaian menyeluruh ada karena kesepakatan bersama (Geertz,1983:210)

Sebagian kebisaaan adat dijalankan sesuai dengan irama alam, yang kepadanya terikat kehidupan suku dan huta. Adat yang mengatur dengan kokoh segenap kehidupan serentak sebagai rangkuman segala hukum (Schreiber 1867:268). Bentuk-bentuk pergaulan, penggarapan ladang dan sawah, pembangunan rumah, perawatan orang sakit dan penguburan mayat, peprangan dan perdamaian, permainan dan tari-tarian, perkawinan dan upacara kurban, dipelihara dilaksanakan dan diatur menurut adat (Schreiner 1994:2). Manusia dalam keseluruhannya diwarnai oleh adat. Adat merupakan suatu kewajiban yang sudah dan


(33)

menentukan. Adat adalah kuasa penertib. Adat sumber hidup dan jalan menuju keselamatan. Maka orang yang berbuat dan bertingkah laku tidak sesuai dengan adat disebut na so maradat (orang yang tidak hidup menurut tatanan sosial(Bruner 1961:510).

Pelanggaran terhadap adat, misalnya perkawinan terlarang, membawa kutukan ilahi (supernatural sanctions). Hal ini bisa mengakibatkan kerugian ekonomis, penyakit yang parah, mandul dan bahkan kematian. Besarnya hukuman tergantung kepada beratnya pelanggaran terhadap adat. Hukuman itu bisa saja hanya berlaku pada pelanggar adat tersebut tetapi bisa juga sampai kepada anak,cucu-cucu dan keturunan selanjutnya. Maka persekutuan dengan adat berarti juga persekutuan dengan nenek moyang,yang berakar dalam huta yang memberi hidup pada keturunannya memalui lading-ladang mereka. Dalam persekutuan hidup dengan nenek moyang adat itu menyatakan diri sebagai religi. Adat menghubungkan nasib individu dengan nasib nenek moyang dan nasib keturunannya. Karena itu dapat dimengerti mengapa orang Batak Toba Toba sangat kuat mempetahankan adatnya. Adat tidak hanya mengatur kehidupan sekarang (hich et nunc) tetapi juga mengatur hidup sesudah kehidupan ini. Adat yang digenapi itu menjamin keseimbangan harmonis antara kekuatan dalam mikrokosmos dengan ketertiban makrokosmos. Harmoni kekuatan-kekuatan itu membawa hasil, yaitu mempetahankan atau menaikkan kekuatan hidup manusia, dhidup ternaknya dan ladangnya sebagaimana diharapkan (Schreiner 1994 dalam Sulistyowati Irianto, 2005)

Karena adat berpengaruh sangat kuat, mengandung rahmat dan hukuman serta kehidupan orang Batak Toba untuk memandang dunianya (Weltanschuung) maka adat bersifat mutlak. Biarpun orang Batak Toba menjadi Kristen atau islam atau terpelajar atau merantau, mereka tetap menghargai dan melaksanakan adatnya. Mungkin pelaksanaannya


(34)

tidak seperti dahulu lagi, tetapi isinya tetap sama (Bruner 1971 dalam Togar Nainggolan , 2006)

Timbulnya berbagai masalah yang terjadi dalam sebuah keluarga, membuat keluarga tersebut goncang dan sebagian akan mengambil keputusan yang dianggap jalan yang terbaik yaitu dengan bercerai, tetapi sebagian lagi mampu bertahan dan kembali rukun dengan keluarganya. Perkembangan zaman sekarang ini memberikan peluang kepada keluarga untuk memutuskan tali perkawinan yaitu dengan perceraian.

Bagi masyarakat Batak perceraian masih dianggap sebagai suatu penyimpangan dari norma-norma dan nilai-nilai masyarakat. Perceraian dianggap merusak struktur kekeluargaan dan hubungan kekerabatan Dalihan Na Tolu. Perceraian adalah hal yang tabu bagi mereka. Hal ini disebabkan nilai perkawinan pada masyarakat Batak itu sangat tinggi dan sakral sehingga tidak dapat dirusak. Ini diyakini oleh masyarakat Batak secara turun temurun, juga sejalan dengan ajaran agama yang dianut oleh mayoritas orang Batak yaitu agama Kristen. Dimana agama Kristen tidak mengijinkan adanya perceraian. Namun pada fakta-fakta yang ada dimasyarakat Batak dapat menerima adanya isteri kedua dengan alas an: perkawinan dengan isteri pertama tidak mempunyai anak sama sekali, tidak memiliki anak laki-laki, perkawinan yang tidak bahagia sehingga untuk menghindari perceraian maka isteri harus menerima kehadiran isteri kedua.

Selain adat, norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, Agama juga mendasar perhatiannya pada sesuatu yang ada diluar jangkauan manusia yang melibatkan takdir dan kesejahteraan terhadap dunia di luar jangkauannya, manusia selain memberikan tanggapan serta menghubungkan dirinya, juga memberikan atau menyediaakan bagi pemeluknya suatu dukungan, pelipur lara dan rekonsiliasi.


(35)

Manusia membutuhkan moral disaat menghadapi ketidakpastian dan membutuhkan rekonsiliasi dengan masyarakat bila diasingkan dari tujuan dan norma-normanya. Kegagalan mengejar aspirasi, karena dihadapkan dengan kekecewaan serta kebimbangan, maka agama menyediakan sarana emosional penting yang membantu dalam menghadapi unsur-unsur kondisi manusia tersebut. Dalam memberi dukungan dalam setiap permasalahan agama menopang nilai-nilai dan tujuan yang telah terbentuk, memperkuat moral dan membantu mengurangi kebencian.(Bagong suyanto;2004)

Agama menyucikan norma-norma dan nilai masyarakat yang telah terbentuk, mempertahankan dominasi tujuan kelompok diatas keinginan individu, dan disiplin kelompok diatas dorongan hati individu. Dengan demikian agama memperkuat legitimasi pembagian fungsi, fasilitas dan ganjaran yang merupakan cirri khas suatu masyarkat. Agama juga menangani keterasingan dan kesalahan individu yang menyimpang. Agama juga melakukan fungsi yang bisa bertentangan dengan fungsi sebelumnya. Agama dapat pula memberikan standar nilai dalam arti dimana norma-norma yang telah terlembaga dapat dikaji kembali secara kritis dan kebetulan masyarakat memang sedang membutuhkannya. Hal ini memang benar, khususnya dalam hubungannya dengan agama yang menitikberatkan transendesi Tuhan, dan konsekuensi superioritasnya dan kemerdekaan masyarkat yang mapan. (Bagong suyanto;2004)

Agama melakukan fungsi-fungsi identitas yang penting. Dengan menerima nilai-nilai yang terkandung dalam agama dan kepercayaan-kepercayaan tentang hakikat dan takdir manusia, individu mengembangkan aspek penting tentang


(36)

pemahaman diri dan batasan diri. Melalui perna serta manusia didalam ritual agama dan doa, mereka juga melakukan unsure-unsur signifikan yang ada dalam identitasnya. Dengan cara ini, agama mempengaruhi pengertian individu tentang “siapa ia” dan “apa ia” (Bagong suyanto;2004)

Agama dan adat merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Dalam budaya batak toba bahwa agama dan adat itu saling melengkapi. Seperti halnya dengan perkawinan, perkawinan yang dilakukan secara agama maka dalam adat batak toba setelah selesai pemberkatan maka akan dilanjutkan dengan acara adat.

Perceraian merupakan hal yang tidak diingini setiap keluarga. Setiap keluarga menginginkan keluarga tersebut kekal sampai maut memisahkan mereka. Adat sangat berperan baik itu dalam perkawinan maupun perceraian, karena dalam adat batak toba bukan hanya perkawinan saja yang menggunakan adat, perceraian juga seharusnya harus menggunakan adat.


(37)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian dengan pendekatan kualitatif. Penelitian kualiatatif dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan atau proses menjaring data /informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek/bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Alasannya adalah karena penelitian kualitatif dapat memberikan keleluasaan dan kesempatan peneliti untuk bisa menggali informasi secara lebih mendalam terutama permasalahan yang akan diangkat tergolong hal yang sensistif

3.2 .Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah kota Medan.lokasi penelitian diambil dengan alasan, dimana tingkat perceraian dikalangan Batak Toba itu masih tergolng sangat rendah ,dan juga tingkat perceraian pada masyarakat kota lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat tradisional, dan di perkotaaan masyarakat melakukan perceraian di Pengadilan Negeri. Maka untuk memudahkan penelitian saya mengambil data dari pengadilan Negeri Medan.

3.3. Unit Analisis dan Informan.

Unit analisis adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian (Arikunto,1999:22). Adapun unit analisis dalam penelitian ini keluarga Batak Toba Kristen yang telah bercerai, baik itu perceraian secara adat maupun perceraian secara hukum yang bertempat tingal di wilayah kota Medan. Dari


(38)

keseluruhan unit analisis ini akan diambil informan yang dianggap dapat menjawab permasalahan penelitian ini. Agar sesuai dengan tujuan penelitian maka perlu ditetapkan kriteria-kriteria informan kunci sebagai berikut.

- Keluarga dari perempuan atau laki-laki yang bercerai - Berasal dari suku Batak Toba dan beragama Kristen

- Keluarga yang bercerai baik perceraian secara adat ,maupun secara hukum Sedangkan yang menjadi informan bisa adalah para penatua gereja baik pendeta, raja adat penatua yang tahu tentang adat Batak Toba .

3.4 Teknik Sampling

Teknik yang digunakan untuk menarik sampel adalah accidental sampling dan purposive sampling. Accidental sampling yaitu sampel dengan pertimbangan tertentu yang tidak dirancang pertemuannya terlebih dahulu. Dan purposive sampling yaitu menentukan sampel dengan pertimbangan tertentu yang dipandang dapat memberikan data secara maksimal

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Untuk dapat mengumpulkan data-data yang diperlukan sebagai sumber data guna menunjang penelitian ini maka peneliti akan mengumpulkan data melalui :

- Observasi yaitu pengamatan pencatatan statistik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Pada penelitian ini penulis mengobservasi data-data statistic tingkat perceraian yang terjadi pada Batak Toba Kristen di kota Medan.

- Wawancara mendalam yaitu untuk mendapatkan data secara lengkap sebagaimana yang dinginkan, dibantu oleh instrumen penelitian. Wawancara


(39)

mendalam yang dilakukan peneliti dalam hal ini karena permasalahannya yang sangat sensitive

- Studi kepustakaan yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan yang dipergunakan untuk mencari dokumentasi data yang dinginkan dan berkenan dengan objek penelitian

3.6 Teknik Analisa Data

Analisa data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema.(Maleong,1993:103). Data yang sudah terkumpul melalui pengamatan, hasil wawancara , maupun data penunjang dari studi kepustakaan akan diolah/dianalisis untuk menemukan makna setiap data/informasi, hubungan antara satu dengan yang lain dan memberikan tafsiran yang dapat diterima akal sehat dalam konteks masalahnya secara keseluruhan.

Semua data-data yang terkumpul dari hasil wawancara disatukan kemudian data tersebut akan diedit. Tujuannya adalah untuk melihat apakah dari semua hasil observasi wawancara, internet, kajian pustaka dan teori dipergunakan untuk menginterpretasikannya.


(40)

3.6Jadwal kegiatan

3.7. Keterbatasan Penelitian

Selama dalam penelitian penulis mempunyai banyak kendala dan keterbatasan penulis dalam mendapatkan data yaitu:

NO Kegiatan Bulan

8 9 10 11 12 1 2 3 4

1 Pra Observasi √

2 ACC Judul √

3 Penyusunan Proposal √ √

4 Seminar proposal √

5 Revisi Proposal √ √

6 Penyerahan Hasil Seminar √

7 Operasional Penelitian √ √

8 Bimbingan √ √

9 PenuL.Sn Laporan Akhir √ √


(41)

1. Dalam mendapatkan data sender dari pengadilan sangat sulit, dimana dalam pengambilan data sekunder itu mempunyai waktu yang lumayan lama sehingga penulis tidak bisa tidak dapat melanjutkan penuL.Sn karena data sekunder dari pengadilan belum lengkap. Tapi ahirnya data tersebut saya dapatkan juga dengan waktu yang begitu lama.

2. Dalam pencarian alamat informan peneliti sangat kewalahan, karena peneliti merupakan penduduk pendatang di kota Medan jadi dalam mencari alamat sangat sulit.

3. Dalam wawancara informan sebagian kurang terbuka, peneliti berusaha agar informan saya itu mau terbuka.

4. Untuk memudahkan saya dalam wawancara saya harus membawa teman perempuan agar mereka lebih terbuka. Mereka lebih terbuka apabila yang mewawancari itu adalah perempuan.


(42)

BAB IV

INTEPRETASI DATA 4.1 Setting Lokasi

4.1.1 Sejarah Asal-Usul Kota Medan

Kota Medan dahulu merupakan kampung kecil yang berada disalah satu tanah datar atau Medan yang pada waktu itu kita kenal sebagai “Kampung Medan Putri”, letaknya tidak jauh dari jalan Putri Hijau sekarang. Selama kurang lebih 80 tahun, Medan telah berkembang menjadi kota Medan seperti saat ini. Menurut Tengku Lukman Sinar, SH dalam bukunya yang berjul “Riwayat Hamparan Perak” tahun 1971, Medan didirikan oleh Guru Patimpus sekitar tahun 1590-an. Guru Patimpus adalah seorang putra Karo bermarga Sembiring Pelawi dan beristrikan seorang Encik Pulo Brayan. Guru Patimpus juga merupakan nenek moyang Datuk Hamparan Perak(Dua Belas Duta) dan Datuk Suka Piring, yaitu dua dari tempat Kepala suku Kesultanan Deli. Dalam bahasa Karo, kata “Guru” berarti “Dukun” ataupun “orang pintar” kemudian kata”Pa” merupakan sebutan untuk seorang bapak berdasarkan sifat atau keadaan seseorang. Sedangkan kata “Timpus” berarti “Bundelan, bungkus atau balut”. Dengan demikian Guru Patimpus dapat diartikan sebagai seorang dukun yang memiliki kebiasaan memungkus sesuatu dalam kain yang diselempangkan dibadan untuk membawa barang bawaannya. Hal ini dapat diperhatikan pada Monumen Guru Patimpus yang didirikan disekitar Balai Kota Medan.

Kampung Medan juga sering dikenal sebagai Medan-Deli. Lokasi asli Kampung Medan adalah sebuah tempat dimana Sungai Deli bertemu dengan Sungai Babura. Terdapat berbagai kerancuan dari berbagai sumber literature mengenai


(43)

asal-usul kata “Medan” itu sendiri. Dari catatan penulis-penulis portugis yang berasal dari awal abad ke-16 disebutkan bahwa Kota Medan berasal dari nama “Medina”, sedangkan dari sumber lainnya menyatakan bahwa Medan berasal dari bahasa India”Meiden”, yang lebih kacau lagi bahwa ada sebagian masyarakat yang menyatakan bahwa disebutkannya kata”Medan” karena kota ini merupakan tempat atau area bertemunya berbagai suku sehingga disebut sebagai Medan pertemuan.

Bila kita menilik dari sumber-sumber sejarah bahwa kota Medan pertama sekali didiami oleh suku Karo, tentunya kata Medan itu haruslah berasal dari bahasa Karo. Dalam salah satu kamus Karo-Indonesia yang ditulis oleh Darwira Prinst, 2002: kata Medan berarti ‘menjadi sehat” ataupun “lebih baik”. Hal ini memang berdasarkan pada kenyataan bahwa Guru Patimpus benar adanya adalah “orang pintar” yang dalam hal ini memiliki keahlian dalam pengobatan tradisional karo pada masa tersebut.

Medan pertama kali ditempati oleh orang-orang suku Karo, hanya setelah penguasa Aceh, Sultan Iskandar Muda mengirimkan panglimanya, Gocah Pahlawan beregelar Laksamana Khoja Bintan untuk menjadi wakil KerajaanAceh di Tanah Deli, barulah Kerajaan Deli mulai berekembang. Perekembangan ini ikut mendorong pertumbuhan dari segi penduduk maupun kebudayaan Medan. Dimasa pemerintahan Sultan Deli kedua Tuanku Panglima Parunggit (memerintah dari 1669-1698), terjadi sebuah perang Kavaleri di Medan. Sejak saat itu Medan menjadi membayar upeti kepada Sultan Deli.

Diluar pulau Jawa, Medan merupakan contoh perkembangan kota yang pesat. Medan semula hanya bernama Kampung Medan, terletak di pertemuan sungai Deli


(44)

dan sungan Babura. Guru Patimpus, seorang Karo mulai merintis pemukiman Medan pada tahun 1590. Tembakau kemudian mengubah kampong Medan menjadi pusat perdagangan sejak 1642. John Anderson, seorang pegawai kerajaan Inggris dari Penang, dalam kunjungannya ke Medan pada tahun 1823 menemukan bahwa Medan saat itu masih merupakan sebuah kampong kecil berpenduduk sekitar 200 orang. Belanda menguasai Tanah Deli sejak tahun 1858 , setelah Sultan Ismail, penguasa Kerajaan Siak Sri Indrapura, memberikan beberapa bekas tanah kekuasaannnya, Deli, Langkat dan Serdang.

Medan mengalami perkembangan pesat hingga tahun 1860-an, ketika penguasa-penguasa Belanda mulai membebaskan tanah untuk perkebunan tembakau. Jacob Nienhuys Van der falk dan Eliot, pedagang tembakau asal Belanda mempelopori pembukaan kebun tembakau di Tanah Deli. Nienhuys yang sebelumnya berbisnis tembakau di Jawa, Pindah ke Deli diajak seorang Arab-Surabaya bernama Said Abdullah Bilsagih, saudara Ipar Sultan Deli, Mahmud Perkasa Alam Deli. Nienhuys pertama kali berkebun tembakau ditanah milik Sultan Deli seluas 4000 bahu di Tanjung Spasi, dekat Labuhan Maret 1864, Niunhuys megirim contoh tembakau hasil kebunnya ke Rotterdam, Belanda untuk diuji kualitasnya, ternyata daun tembakau itu dianggap berkualitas tinggi untuk bahan cerutu. Melambunglah nama Deli di Eropa sebagai penghasil bungkus cerutu terbaik. Hal ini menarik investor-investor asing dan menyebabkan banyak orang-orang dari daerah lain yang pindah kedaerah Deli untuk mencari nafkah. Perjanjian tembakau ditandangani Belanda dengan Sultan Deli pada tahun 1865. Selang dua tahun, Niunhuys bersama Jannsen, P.W.Clemen, dan Cremer mendirikan perusahaan De Deli Maatschappij


(45)

yang disingkat Deli Mij di Labuhan. Pada tahun 1869, Nienhuys memindahkan kantor pusat Deli Mij dari labuhan ke kampung Medan.

Kantor baru itu dibangun di penggir sunga Deli, tepatnya di kantor PTPN II(eks PTPN IX) sekarang. Dengan perpindahan kantor tersebut, Medan dengan cepat menjadi pusat aktifitas pemerintahan Propinsi Sumatera Timur dan Kerajaan Deli serta pusat perdagangan, sekaligus menjadi daerah yang paling mendominasi perkembangan di Indonesia bagian barat. Pesatnya perkembangan perekonomian mengubah Deli menjadi pusat perdagangan yang mahsyur dengan julukan het dollar land alias tanah uang. Mereka kemudian membuka perkebunan baru didaerah Martubung, Sunggal pada tahun 1869, serta Sunga Beras dan Klumpang pada tahun 1875.

Tahun 1918, Medan dijadikan Kota Praja, tetapi tidak termasuk didalamnya daerah kota Maksum dan daerah Sungai kera yang tetap berada di bawah Kesultanan Deli. Ketika itu, penduduk Medan telah berjumlah 43.826 jiwa dan terdiri dari 409 orang bangsa Eropa, 25.000 orang bangsa Indonesia,8269 orang bangsa Cina, dan 130 orang bangsa Asia lainnya.

Berdasarkan keputusan Gubernur Propinsi Sumatera Utara Nomor 66/III/PSU, terhitung mulai tanggal 21 september 1951, daerah kota Medan diperluas tiga kali lipat. Keputusan tersebut disusul oleh Maklumat Walikota Nomor 21 tanggal 29 september 1951 yang merupakan luas kota Medan menjadi 5.130 Ha dan meliputi 4 kecamatan, yaitu:

1. Kecamatan Medan 2. Kecamatan Medan Timur


(46)

3. Kecamatan Medan Barat

4. Kecamatan Medan Baru dengan keseluruhan 59 kepenghuluan.

Melalui UU Darurat No.7 dan 8 tahun 1056 dibentuk propinsi Sumatera Utara Daerah Tingkat II antara lain, Kabupaten Deli Serdang dan Kota Medan khususnya memerlukan perluasan daerah untuk mampu menampung laju perkembangan penduduk. Oleh karena itu, dikeluarkan Perintah No.22 tahun 1973, dengan masuknya beberapa Kabupaten Deli Sedang kedalam kota Medan, sehingga belakangan ini wilayah kota Medan menjadi 116 kelurahan. Kemudian dengan surat persetujuan Mendagri No.140/22/1/PVOP tanggal 30 Mei 1986, jumlah kelurahan di Kota Medan menjadi 144 kelurahan yang kemudian pada tahun 1997 menjadi 151 kelurahan.

Kemudian melalui Peraturan Pemerintah RI No.35 tahun 1992 tentang pembentukan beberapa kecamatan termasuk kecamatan di Sumatera Utara termasuk dua kecamatan pemekaran di Kota Daerah Tingkat II Medan, sehingga sebelumnya terdiri dari 19 kecamatan di mekarkan menjadi 21 kecamatan. (Kota Medan Dalam Angka 2009,BPS kota Medan,hal 26)

Kota Medan merupakan salah satu dari 17 daerah tingkat II di daerah Sumatera Utara, yang terletak di bagian timur Propinsi Sumatera Utara dan berada di antara 3° 30'-98°-3° 43' LU dan 98° 35'-98° 44'BT. Permukaan tanahnya cendrung miring ke Utara dan berada pada ketinggian 2,5-37,5 m diatas permukaan laut. Luas Kota Medan saat ini adalah 265.10 km². Sebelumnya hingga 1972 Medan hanya mempunyai luas sebesar 52 32 km², namun kemudian diedarkan Peraturan


(47)

Pemerintah No.22 Tahun 1973 yang memperluas wilayah kota Medan dengan mengintegrasikan sebagian wilayah Kabupaten Deli Serdang.

Kota Medan merupakan pusat pemerintahan tingkat I propinsi Sumatera Utara dengan jumlah penduduk sekitar 2.083.156 jiwa. Secara geografis Kota Medan berbatasan dengan

- Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka

- Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Deli Tua dan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deliserdang - Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Percut Sei Tuan dan Tanjung

Morawa Kabupaten Deli Serdang (....Karakteristik Penduduk Kota Medan Propinsi Sumatera Utara, bps Kota Medan , hal 11)

Laju pertumbuhan penduduk adalah perubahan penduduk yang terjadi jika dibandingkan dengan sebelumnya dan dinyatakan dengan persentase. Komposisi penduduk Kota Medan berpengaruh terhadap kebijakan pembangunan kota, baik sebagai subjek maupun objek pembangunan. Keterkaitan komposisi penduduk dengan upaya-upaya pembangunan kota yang dilaksanakan, didasarkan kepada kebutuhan pelayanan yang harus disediakan kepada masing-masing kelompok usia penduduk. Proporsisi penduduk berdasarkan usia, dapat dilihat bahwa penduduk paling banyak adalah yang berada pada usia 20-24 dengan perincian penduduk laki-laki 116.164 jiwa, 11,23% sedangkan perempuan 121.385 jiwa, 11,58%. Dapat dikatakan bahwa jumlah penduduk pada tahun 2007 yang paling banyak adalah


(48)

perempuan dengan total keseluruhan 1.048.460 jiwa sedangkan laki-laki hanya 1.034.696 jiwa.

4.1.1.Gambaran masyarakat kota Medan

Penduduk asli Sumatera Utara adalah suku bangsa Melayu yang berdiam di Pesisir Timur Sunatera Utara. Penduduk pada daerah ini sebagian besar hidup dari mata pencaharian sebagai nelayan dan petani. Penduduk lainnya yang berada didaerah pedalaman sumatera utara , seperti suku bangsa batak umumnya adalah bermata pencaharian sebagai petani dan mengusahakan hasil hutan, sedangkan pola mata pencaharian suku lainnya yang merupakan pendatang berkembang sesuai dengan perkembangan perkebunan-perkebunan yang dibuka pada masa pemerintahan Kolonial Belanda. Untuk menopang perkembangan perkebunan pada masa dibuka oleh pemerintah Belanda , mereka menjalankan politik “pintu Terbuka” bagi pendatang atau perantau dari berbagai daerah didalam negeri maupun dari luar negeri. Kebijakan ini merangsang berbagai suku bangsa yang ada disekitar Sumatera Timur seperti Aceh, Batak dan Minangkabau untuk dating merantau ke Sumatera Utara dan kota yang menjadi sarana utama dari perantau itu adalah Kota Medan.

Persentase jumlah penduduk kota Medan dilihat dari kelompok Etnies pada tahun 2007 terdapat suku bangsa jawa dengan jumlah penduduk laki-laki sekitar 33,02% dan penduduk suku jawa perempuan adalah 33,03%, maka jumlah penduduk untuk etnis suku jawa sebanyak 33,03%, suku Batak Toba dengan persentase penduduk laki-laki sebanyak 19,06% dan penduduk etnis toba perempuan sebanyak 19,35% , sehingga jumlah penduduk Batak Toba berjumlah 19,21%. Penduduk etnis


(49)

Cina laki-laki sebanyak 10,65%, dan perempuan 10,66% sehingga jumlah penduduk etnis Cina sekitar 10,65%. Etnies Mandailing dan Angkola laki-laki sebanyak 9,37% dan perempuan sebanyak 9,38% sehingga jumlah penduduknya sekitar 9,38%. Etnies Minang laki-laki sebanyak 8,72 dan perempuan sebanyak 8,48% sehingga jumlah penduduknya sekitar 8,60%. Penduduk Suku Melayu sekitar 6,59%. Suku Karo berjumlah 4,20%, Aceh memiliki persentase jumlah penduduk sekitar 2,78%, Simalungun berjumlah 0,69%, Nias berjumlah 0,69%, Pakpak berjumlah 0,34% dan suku lainnya terdapat persentasenya sekitar 3,95%.(Badan Pusat Statisitik Kota Medan 2007)

Dari data diatas menunjukan bahwa jumlah penduduk yang lebih mayoritas adalah suku Jawa, sedangkan yang paling rendah persentasenya adalah suku Pakpak. Dalam penelitian yang dilakukan bahwa yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah Suku Batak Toba yang jumlah persentase penduduknya di Kota Medan adalah sekitar 19,21%. Persentase laki-laki etnis batak toba sekitar 19,06% dan perempuan sekitar 19,35%. Selisih anatara jumlah persentase laki-laki dan perempuan Etnies Batak Toba yang ada di Kota Medan adalah 0,19%.

Masyarakat kota Medan pada umumnya bermata pencaharian sebagai petani, pedagang dan bekerja sebagai pegawai negeri dan pegawai swasta. Dengan potensi utama daerah dibidang agribisnis dan sektor pariwisata. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan prosesnya yang berkelanjutan merupakan kondisi utama bagi kelangsungan pembangunan ekonomi daerah. Karena penduduk mengalami peningkatan dan berarti pula kebutuhan ekonomi juga akan bertambah. Hal ini hanya bisa diperoleh melalui peningkatan output agregat (barang dan jasa) atau sering


(50)

disebut PDRB atas dasar harga konstan setiap tahun. Jadi dalam pengertian ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi adalah penambahan PDRB atas dasar harga konstan. Sejalan dengan peningkatan PDRB ADH konstan tahun 2000 kota Medan selama periode 2005-2007, pertumbuhan ekonomi kota Medan selama periode yang sama, meningkat rata-rata di atas 7,77 persen

Kota Medan merupakan salah satu kota terbesar di Indonesia yang mengalami perkembangan yang cukup pesat. Dalam perkembangannya kota Medan tidak lepas dari peran suku bangsa pendatang misalnya etnis Cina, Batak, Jawa, Minang yang membaur dengan suku asli yaitu suku melayu. Kota Medan merupakan salah satu daerah yang sering dijadikan tempat dimana masyarakat lain datang untuk memulai hidup barunya untuk bekerja. Kondisi sosial ekonomi masyarakat kota Medan dapat digolongkan ekonomi yang memiliki perkembangan yang yang sangat maju, karena di daerah kota Medan merupakan daerah yang sangat strategis dan sangat banyak usaha-usaha yang ada. Sehingga di Medan sangat banyak lowongan kerja yang mampu menampung pekerja-pekerja, baik itu yang telah tamat dari perguruan tinggi yang ada di Kota Medan maupun yang berasal dari luar dating ke Medan hanya untuk mencari kerja. Ini menggambarkan bahwa kota Medan itu memiliki potensi ekonomi yang tinggi, yang tidak kalah dari daerah-daerah lain yang juga memiliki sosial ekonomi yang tinggi. 13-2-2010).

Interaksi yang terbangun diantara berbagai suku tersebut mendorong pertumbuhan ekonomi yang kebanyakan bergerak dalam sektor informal terutama


(51)

sektor perdagangan. Perpaduan berbagai suku bangsa yang terdapat di kota Medan mampu menciptakan keadaan yang rukun, damai dan kondusif bagi iklim usaha dan perdagangan yang dapat memberikan citra yang positif bagi kota Medan, meskipun terdapat berbagai konflik yang terjadi, tetapi masing-masing kelompok atau masyarakat masih mampu mengendalikan atau meredam konflik tersebut, sehingga kota Medan yang dikenal dengan kota yang masyarakatnya majemuk dikatakan sebagai salah satu kota yang paling aman dan rukun. Dengan keadaan tersebut kota Medan sering dijadikan salah satu wilayah tujuan urbanisasi dari berbagai wilayah di Indonesia. Ini dilihat dari permukiman yang ada di kota Medan yang saling berdekatan dan mempunyai tingkat solidaritas yang cukup baik. Dilihat juga dari berbagai suku / etnis dan agama yang saling berdekatan dan dapat menjalin hubungan dengan baik. Masyarakat setempat membentuk kelompok-kelompok seperti STM (serikat tolong-menolong) baik sesama etnis dan lain etnis, kumpulan marga dan sebagainya (http://www.binawargahki.blogspot.com/2010/02/html, pkl. 18.30).

Interaksi sosial yang terjadi antar etnis di kota Medan menunjukkan keberadaan penduduk kota Medan mengalami perkembangan pertumbuhan perekonomian, ini dilihat dari keberadaan penduduk kota Medan yang mempunyai keinginan bekerja keras. Perselisihan yang ada antar etnis tidak membuat penduduk kota Medan untuk terus berpacu dalam memajukan dan mensejahterakan kota Medan untuk dapat lebih maju lagi. Interaksi yang terjadi pada masyarakat pribumi dengan masyarakat pendatang merupakan interaksi yang sangat positif, dimana interaksi yang dijalin tidak menghambat laju pertumbuhan ekonomi. Tingkat perekonomian yang semakin maju dengan masuknya orang luar untuk membuka lapangan pekerjaan di


(52)

kota Medan. Kebanyakan yang memiliki usaha-usaha yang ada di kota Medan adalah orang asing. Ini menggambarkan bahwa masyarakat kota Medan Wellcome dengan pendatang baru.

Penduduk kota Medan yang memiliki masyarakat yang majemuk yang dimana masyarakat terdiri dari berbagai suku. Interaksi yang terjadi dengan masyarakat pribumi sumatera utara sangat terjalin dengan baik, ini terlihat dari konflik-konflik yang terjadi dapat di kendalikan agar tidak terjadi konflik yang berkepanjangan dan juga budaya kerjasama yang ada di Kota Medan yang dapat digolongkan dengan baik. Dalam bidang politik juga bahwa masyarakat tidak terlalu memandang SARA, terbukti dengan suku yang dapat digolongkan Minoritas dikota Medan dapat memimpin sebuah provinsi, itu merupakan wujud nyata yang dapat dilihat bahwa masyarakat tidak mempersoalkan yang namanya SARA.

Persentase jumlah penduduk agama Islam di kota Medan sebanyak 67,83%, persentase agama katolik sebanyak 2,89%, Agama Kristen Protestan sebanyak 18,13%, Agama Budha sebanyak 10,4% dan agama Hindu sebanyak 0,68% dan lainnya sekitar 0,07 %. Dari data tersebut bahwa yang persentase jumlah penduduk yang tertinggi di Kota Medan adalah Agama Islam, sedangkan untuk Agama Kristen hanya 18,13%. Dan yang menjadi sasaran dari penelitian adalah agama Kristen Protestan.

4.1.3. Gambaran Etnies Batak Toba Di Kota Medan

Hubungan kekerabatan dalam masyarakat kota Medan masih sangat baik, dimana dari hasil pengamatan juga bahwa setiap etnis-etnis/suku-suku, marga masih


(53)

mempunyai berupa persekutuan atau perkumpulan yang dapat meningkatkan kekerabatan keluarga tersebut. Perkumpulan marga juga dapat mendorong meningkatkan kekerabatan dan juga dapat meningkatkan ekonomi keluarga. Seperti halnya dengan Dalihan Na Tolu bagi suku Batak Toba yang berfungsi memberi keseimbangan dalam kekerabatan. Dalihan Na Tolu ini dapat menumbuhkan sistem kekerabatan yang baik yang dimanapun dan kapanpun akan selalu berfungsi, meskipun tidak berada dikampung halamannya atau telah merantau, maka falsafah Dalihan Na Tolu akan selalu tetap ada. Adat-istiadat juga sangat dijunjung tinggi membuat sistem kekerabatan itu semakin baik. Karena bagi suku Batak Toba bahwa yang paling dikenal adalah adatnya yang dikenal begitu dijunjung tinggi, orang tidak mempunyai adat dalam suku batak Toba dianggap hal yang tidak baik. Orang yang diangkat menjadi orang batak Toba saja di buat adatnya, apalagi orang yang asli batak toba, maka seharusnya akan ber adat.

Aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat Etnies batak Toba di kota Medan mulai aktif mulai dari subuh. Banyak kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakat kota Medan demi memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Seperti halnya para inang-ingang parengge-rengge, para inang-inang parrengge-rengge ini sudah mulai bekerja mulai jam 3 pagi,mereka sudah ke berangkat ke pajak untuk berjualan. Para ibu-ibu ini berjualan sampai sekitar jam 10 pagi sebagian. Sebagian mereka sampai sore bekerja sebagai parengge-rengge.

Tidak jauh beda dengan bapak-bapak yang mulai dari pagi mereka mengais rejeki, yaitu para bapak-bapak supir angkut(oplet). Mereka juga mulai dari jam 3 atau jam 4 mereka sudah keluar dari rumah dan mencari sewa, dan kebanyakan sewa


(54)

mereka adalah para inang-inang parengge-rengge. Para bapak-bapak ini selain mencari sewa kearah pajak-pajak, mereka juga mencari sewa kearah terminal amplas, karena sebagian bus yang berasal dari luar kota menuju Medan sampai dikota Medan adalah pagi, para bapak-bapak supir angkot ini sudah standby di terminal amplas menunggu bus dari luar kota datang. Tidak kalah juga dengan para bapak-bapak tukang becak, sebagian bapak-bapak ini hampir 24 jam stanby menunggu sewa. Mereka siap sedia mengantarkan sewa kapan dan kemanapun.

Berbeda dengan mayarakat yang bekerja di kantor, baik PNS, pegawai swasta, dan pekerja-pekerja di supermarket atau Mall/plaza. Mereka yang bekerja di sector ini sangat berbeda dengan pekerjaan yang dilakukan oleh inang-inang parengge-rengge dan bapak-bapak tukang becak dan super angkut tersebut. Mereka mulai bekerja jam 8 pagi dan kalau mereka bekerja di PNS atau pegawai swasta mereka hanya bekerja sampai jam 4 atau 5 sore. Berbeda juga dengan swalayan atau Mall yang mulai jam 8 sampai jam 10 malam buka.

Kehidupan sosial ekonomi masyarakat kota Medan juga dapat dilihat dari banyaknya masyrakat yang tinggal di pinggiran rel atau di kolong jembatan atau juga di pinggiran-pinggiran sungai. Banyak juga yang mengais rejeki dengan mecari barang-barang bekas, dalam mencari barang-barang bekas mereka tidak memandang umur, baik itu anak, ibu, bapak mereka bersama-sama mencari barang-barang bekas. Mereka sudah mulai mencari sejak subuh ke tempat sampah, dan pada siang hari sebagian dari mereka mengamen persimpangan lampu merah. Dari hasi pengamatan penulis, di kota Medan sangat banyak orang yang mengamen. Mereka terdiri dari ayah, ibu atau anak-anak mereka.


(1)

kehadiran anak laki-laki dalam sebuah keluarga Batak Toba maka itu dikatakan belum gabe. Dikatakan gabe apabila sudah meiliki anak laki-laki dan perempuan. Karena kalau dalam sebuah keluarga Batak yang tidak memiliki anak laki-laki maka akan sangat berpengaruh dengan kehidupan adat mereka samapai mati

- Perceraian Terjadi Akibat Adanya Pihak Ketiga dalam Rumah Tangga.

Kehadiran pihak ketiga sangant bertentangan dalam sebuah rumah tangga, setiap kata yang dinamakan dengan orang ketiga maka akan terjadi konflik. Begitu juga dengan kehadiran mertua di sebuah rumah tangga tidak selamanya akan berjalan sesuadi dengan yang diharapkan. Mertua menjadi pemicu konflik dalam sebuah rumah tangga yang selalu mencampuri kehidupan rumah tangga anaknya, ikut sertanya mertua dalam urusan rumah tangga anaknya membuat salah satu pihak baik itu isteri ataupun suami kurang dihargai dalam sebuah rumah tangga. Konflik yang terjadi antara mertua dan menantu sering kali terjadi, yang membuat seorang suami tidak tahu harus berbuat apa. Sehingga banyak sebuah rumah tangga tidak bertahan akibat kehadiran mertua di dalam rumah tangga mereka dan suami lebih memilih atau selalu mendukung apa yang menjadi kehendak dari orang tuanya tanpa memikirkan perasaan si isteri.


(2)

2. Faktor yang mempengaruhi terjadinya perceraian dikalangan Batak Toba Kristen

Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar keluarga itu sendiri yang

dapat mempengaruhi sebuah rumah tangga untuk tidak bertahan. Faktor eksternal itu seperti : perkembangan zaman dimana masuknya budaya barat dan telah diadopsi oleh banyak masyarakat Batak Toba Kristen, kekuatan hukum yang semakin tegas dalam menangani permasalahan keluarga, memudarnya nilai-nilai adat-istiadat dan norma-norma, agama hanya dijadikan sebagai identitas untuk mencari atau memenuhi persyaratan, kurangnya bimbingan konseling dari gereja, sehingga keluarga tersebut kurang dibekali oleh nilai-nilai agama, dan sebleum pernikahan tidak ada konseling atau bimbingan pra nikah dari gereja . Faktor ini memberi peluang kepada masyarakat Batak Toba dalam memutuskan tali perkawinannya dengan perceraian.

Fakktor intern adalah faktor yang berasal dari rumah tangga itu sendiri.

Seperti halnya dengan timbulnya masalah-masalah rumah tangga yang memicu konflik dalam sebuah keluarga seperti ketidak hadiran seorang anak, ketidak hadiran anak laki-laki, perselingkuhan yang terjadi, kehadiran pihak ketiga seperti mertua dalam sebuah keluarga,tidak mau di madu dan salah satu pergi meninggalkan keluarganya. Disamping adanya kesempatan untuk bercerai yang berasal dari luar rumah tangga maka rumah tangga itu dengan mudah memutuskan untuk bercerai tanpa melihat nilai-nilai adat, agama yang dianutnya.


(3)

3. Pandangan agama Kristen pada keluarga bercerai

Agama Kristen sampai kapan pun tidak akan pernah mengeluarkan yang namanya ijin perceraian. Karena perceraian adalah hal yang melanggar ajaran Kristen. Gereja tidak melayani perceraian tetapi gereja hanya melayani yang namanya pernikahan. Dalam ajaran Kristen dikatakan” apa yang telah dipersatukan Tuhan tidak dapat dipisahkan manusia” dan mereka akan satu sampai maut memisahkannya”.

Pandangan Kristen terhadap keluarga bercerai adalah keluarga tersebut terlalu buru-buru dalam mengambil keputusan untuk bercerai, keluarga tersebut tidak meyakin agamanya, dan agama itu dijadikan keluarga itu hanya sebagai identitas yang memenuhi persyaratan, dan kurang iman Kristen sekarang ini menjadi pemicu terjadinya perceraian.

4. Pandangan masyarakat Batak Toba terhadap keluarga bercerai - Keluarga tersebut terlalu cepat dalam mengambil keputusan

- Keluarga bercerai itu terpengaruh akan dunia yang mengarah ke arah masyarakat postmo

- Keluarga yang bercerai itu tidak melihat nilai-nilai atau adat Batak Toba yang akhirnya

- Semakin memudarnya nilai-nilai budaya Batak Toba, dan semakin kurangnya pemahaman masyarakat terhadap filosofi Batak Toba (Hamoraon, Hagabeon, Hasangapo) dan juga kurang berfungsi lagi Dalihan Natolu sebagai penyeimbang dalam adat.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi.2002.Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan

Praktek.jakarta:PT Rineka Cipta

Bambang Swondo. Adat dan Upacara perakawinan daerah Umatera Utara.PN. Balai Pustaka. Jakarta 1978

Doyle.Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1990

Djaren Saragih dan Djisman Samosir, Hukum Perkawinan adat Batak, Tarsito Bandung, 1980

Goode, William J. 1983. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bina Aksara. Geertz, Hildred. 1983. Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Pers.

H.Hilman Hadikusuma (B) Hukum Perkawinan Adat, PT.Cipta Adytia Bhakti, Bandung ,1990

Ihromi. T.O Rampai Sosiologi Keluarga, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 1999

Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama. Penerbit Ghalia Indonesia; Jakarta.2002 Khairuddin H,Sosiologi Keluarga Lyberty; Yogyakarta.1997

Moleong, M.A Lexi,J,Dr. Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya,Bandung 1989

Nainggolan Togar,Dr. Batak Toba Toba Di Jakarta.Bina Media. Medan 2006


(5)

solidaritas Gajah Mada, 1994

Ritzer George ,Teori Sosiologi Modern,:Kencana Prenada Group.cetakan ke enam, Jakarta, 2008

Sulistyowati Irianto, Perempuan di antara Berbagai Pilihan Hukum, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005

Suyanto Bagong. Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan. Prenada Media. Jakarta 2004

TM.Sihombing(Ompu ni Marulahan) Jambar Hata Dongan Tu Ulaon. CV.Tulus Jaya 1989.

Weinata Sairin dan JM.Pattiasina, pelaksanaan Undang-undang Perkawinan Dalam

Perspektif Kristen, PT.BPK Gunung Mulia,Jakarta 1994

di akses tanggal 14 September

2009 pukul .19.00

di akses tanggal 14 September

2009 pukul 19.00

19.00

http://www.usu.ac.id/id/files/artikel/irma_Batak_Toba.pdf. di akses tanggal 26 november 2009 pukul 16.00

2009 pukul 16.00

pukul 16.00


(6)