Implikasi Poligami Dalam Persfektif Feminisme di Indonesia

sampai diyakini sebagai ideologi, yang akhirnya dilegitimasi sebagai ketentuan Tuhan dan Agama yang tak dapat dirubah. Ideologi ini kemudian melahirkan dan mendefinisikan bagaimana perempuan dan laki-laki seharusnya berpikir dan bertindak. Kenyataan inilah yang akhirnya melahirkan deskriminasi gender. Asumsi terakhir yang penulis kutip dari tulisan tokoh feminis Indonesia, Gadis Arivia mengungkapkan, bagaimana hukum bisa belajar dan merasakan pengalaman-pengalaman perempuan? Mulai dari masyarakat yang heterogen, suara yang plural, dan ontologi perbedaan seksual. 125

C. Implikasi Poligami Dalam Persfektif Feminisme di Indonesia

1. Implikasi Sosio-Psikologis terhadap Perempuan Kaum feminis menegaskan bahwa poligami pada hakikatnya merupakan pelecehan dan penghinaan terhadap martabat perempuan. Sebab, mana ada perempuan yang rela dimadu sebagaimana halnya laki-laki mana ada yang bersedia dimadu. Secara psikologis semua isteri akan merasa terganggu dan sakit hati melihat suaminya berhubungan dengan perempuan lain. Sejumlah penelitian mengungkapkan bahwa rata-rata isteri begitu mengetahui suaminya menikah lagi secara spontan mengalami perasaan depresi, stres berkepanjangan, sedih dan kecewa bercampur satu, serta benci karena merasa telah dikhianati. Mereka bingung ke mana harus mengadu. Di samping itu, mereka juga malu pada tetangga, malu pada teman kerja, malu pada keluarga, bahkan malu pada anak- 125 Gadis Arivia, Feminisme Sebuah Kata Hati, h. 324-325 anak. Akhirnya semua kekesalan dan kesedihan hanya bisa dipendam sendiri yang lambat laun jika tidak diatasi akan menimbulkan berbagai macam gangguan fisik, seperti sulit tidur, sulit makan, sembelit, sariawan dan flu yang berkepanjangan serta gangguan emosional, seperti mudah tersinggung, mudah marah, dan mudah curiga. 126 Hal demikian disebabkan setidaknya oleh dua alasan, pertama karena rasa cinta isteri yang begitu mendalam. Kedua, karena isteri merasa inferior atau rendah diri seolah-olah suaminya berbuat demikian lantaran ia tidak mampu memenuhi kepuasan biologisnya. Perasaan inferior itu semakin lama meningkat menjadi problem psikologis, terutama kalau mendapat tekanan dari keluarga. 127 Problem psikologis lainnya adalah dalam bentuk konflik internal dalam keluarga, baik di antara sesama isteri, antara isteri dan anak tiri atau di antara anak-anak yang berlainan ibu. Permusuhan di antara isteri diistilahkan oleh Faruk, sebagaimana dikutip oleh Musdah, dengan women womeni lupus perempuan yang kuat akan mengalahkan perempuan yang lemah. Mereka para isteri “bertarung” untuk memperebutkan perhatian lebih banyak dari suami. Selain terhadap isteri, perkawinan poligami juga membawa dampak buruk bagi perkembangan jiwa anak, terutama bagi anak perempuan. Musdah mengutip penelitian yang dilakukan oleh Mudhofar Badri, yang mengungkapkan bahwa perkawinan poligami menimbulkan beban psikologis yang berat bagi anak-anak. 126 Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat., h. 135-137 127 Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami, cet. ke-1 Jakarta: LKAJ, Solidaritas Perempuan, dan The Asia Foundation [TAF], 1999, h. 51 Anak malu ketika ayahnya dijuluki “tukang kawin”, sehingga timbul rasa minder dan menghindar bergaul dengan teman sebayanya. Bagi anak perempuan biasanya sulit bergaul dengan teman laki-lakinya. 128 2. Implikasi Kekerasan Terhadap Perempuan Kekerasan terhadap perempuan, khususnya yang terjadi dalam rumah tangga sering disebut sebagai kekerasan yang berbasis gender gender based violence. Kekerasan terhadap perempuan menurut pasal 1 Deklarasi PBB tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang- wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi. 129 Poligami berimplikasi pada maraknya berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Laporan Rifka Annisa, sebuah institusi yang peduli pada kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan di Provinsi Yogyakarta, menjelaskan bahwa selama tahun 2001 mencatat sebanyak 234 kasus kekerasan terhadap isteri. Data- data mengenai status korban mengungkapkan 5,1 poligami secara rahasia, 2,5 dipoligami resmi, 36,3 korban selingkuh, 2,5 ditinggal suami, 4,2 dicerai, 0,4 sebagai isteri kedua, da 0,4 lainnya sebagai teman kencan. Jenis kekerasan 128 Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat h. 141-143 129 Musdah Mulia, Pandangn Islam., h. 53 yang dilaporkan meliputi kekerasan ekonomi senyak 29,4 ; kekerasan fisik 18,9 ; kekerasan seksual 5,6 ; dan kekerasan psikis 46,1 . 130 Laporan Rifka Annisa tersebut sejalan dengan berbagai temuan penelitian menjelaskan bahwa salah satu sebab munculnya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, khususnya penganiayaan terhadap isteri adalah suami menikah lagi atau suami memiliki affair dengan perempuan lain. Penganiayaan yang dilakukan terhadap isteri dapat berupa pemukulan secara fisik, pemaksaan hubungan seksual, ancaman, intimidasi dan teror, serta pemberian uang belanja yang dibatasi atau mengabaikan kewajiban memberi nafkah. Dengan kata lain, dikenal empat bentuk kekerasan terhadap isteri, yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan ekonomi, dan kekerasan seksual. Kehidupan kaum perempuan yang dipoligami lebih banyak mengalami kekerasan daripada kebahagiaan. Penelitian Khairuddin NM, menyimpulkan bahwa poligami merupakan faktor yang paling banyak memicu perilaku kekerasan dari suami terhadap isteri, terutama dalam bentuk pelecehan hak-hak yang berkaitan dengan seksualitas. 131 Kekerasan terhadap isteri yang diakibatkan oleh poligami bukan hanya diderita oleh isteri pertama, melainkan juga dirasakan oleh isteri kedua, ketiga dan seterusnya. Artinya, dalam kasus poligami terjadi kekerasan beruntun yang menimpa semua isteri. Kekerasan yang menimpa isteri 130 Litbang Rifka Annisa WCC, Laporan Data Kasus Tahun 2001, Yogyakarta: Rifkla Annisa, 2001, h. 5-5; dalam Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat., h. 149 131 Khairuddin N.M,. Pelecehan Seksual Terhadap isteri, Yogyakarta: PPK Gajah Mada, 1998, hlm. 59; dalam Ibid., h. 150 kedua dan seterusnya biasanya dalam bentuk stigma atau pemberian label “perempuan murahan” atau “perempuan genit” dan perlakuan sinis di masyarakat. Kekerasan dalam bentuk lain adalah apa yang sering disebut dengan marital rape perkosaan terhadap isteri. Kekerasan jenis ini acap kali terjadi dalam perkawinan poligami yang disebabkan oleh pembagian hari gilir untuk isteri yang tidak teratur. Semua bentuk pemaksaan terhadap perempuan dalam hubungan seksual identik dengan perkosaan, dan perkosaan itu sangat menyakitkan, meski itu dilakukan oleh suami terhadap isterinya. 132 Bentuk kekerasan lain yang dialami isteri adalah kekerasan ekonomi. Mengutip hasil penelitian Leli Nurohmah, kaum feminis menyatakan bahwa kekerasan jenis ini biasanya berupa pengabaian pemenuhan kebutuhan ekonomi terhadap para isteri dan anak-anaknya. Suami hampir tidak pernah tahu kekurangan ekonomi yang dialami isteri untuk membiayai kehidupan anak- anaknya. 133 3. Implikasi Sosial terhadap M asyarakat Ketentraman masyarakat bersumber dari ketentraman dalam keluarga. Problem sosial yang sering muncul di masyarakat sebagai implikasi dari poligami adalah nikah di bawah tangan. Nikah di bawah tangan adalah perkawinan yang 132 Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami., h. 55 133 Leli Nurohmah, Pengalaman perempuan dalam Menjalani perkawinan Poligami Studi Tentang Makna Bertahan dan Strategi bertahan dalam Perkawinan Poligami Bagi Perempuan Betawi Cinere, tesis Magister pada Program Kajian Wanita UI Jakarta 2003, h. 157-158; dalam Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat., h. 154-155 tidak dicatatkan, baik di kantor Pencatat Nikah atau Kantor Urusan Agama KUA bagi umat Islam dan Kantor Catatan Sipil KCS bagi yang bukan Muslim. Para suami yang berpoligami biasanya enggan mencatatkan perkawinannya karena malu dan segan berurusan dengan aparat pemerintah. Lagi pula kebanyakan perkawinan poligami dilakukan secara rahasia dan sembunyi- sembunyi karena khawatir ketahuan isteri dan anak-anak, atau malu kalau perkawinannya itu diketahui oleh banyak orang. Para suami juga tidak ingin direpotkan dengan berbagai urusan administratif negara. Mereka tidak perlu Akta Nikah karena mereka telah punya dengan isterinya terdahulu, akan tetapi problem yang muncul adalah para isteri yang dinikahi tanpa pencatatan pada institusi negara Kantor Urusan Agama dan Kantor Catatan Sipil atau tidak memiliki Akta Nikah maka perkawinannya tidak sah secara hukum, dan dengan sendirinya tidak dapat menuntut hak-haknya, seperti hak atas nafkah, warisa, harta gono- gini, dan hak perwalian, terutama jika suaminya meninggal dunia. Maraknya perkawinan di bawah tangan berdampak pada tingginya jumlah perempuan dan anak-anak yang ditinggalkan begitu saja oleh suami. Kebanyakan para isteri ditinggalkan tanpa melalui proses hukum di pengadilan, dan juga tanpa jaminan apa pun. Selain itu, perkawinan bawah tangan juga membawa dampak sosial bagi perempuan. Perempuan yang melakukannya akan sulit bersosialisasi di masyarakat karena mereka sering dianggap sebagai isteri simpanan atau melakukan kumpul kebo tinggal serumah tanpa status pernikahan. 134 Adapun dampaknya bagi anak adalah status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, dan tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya, seperti yang dijelaskan dalam Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 42 dan 43.

D. Analisis Penulis