Sejarah Poligami dalam Islam

sangat jarang ditemukan dalam praktek perkawinan di masyarakat. Praktek poliandri hanya dijumpai pada suku Tuda dan suku-suku di Tibet. Bahkan, dalam Islam tidak dibenarkan perempuan untuk memiliki suami lebih dari seorang dengan alasan apapun. Isilah ini pula yang digunakan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia untuk menyebut perkawinan antara seorang suami dengan beberapa istri.

F. Sejarah Poligami dalam Islam

Poligami telah dikenal manusia dengan lika-liku sejarah yang sangat panjang. Dalam perjanjian lama misalnya, disebutkan Nabi Sulaiman a.s memiliki tujuh ratus “istri” bangsawan dan tiga ratus gundik. Proses poligami kemuadian meluas, disamping dalam masyarakat Arab Jahiliyah, juga pada bangsa Ibrani dan Sicilia yang kemudian melahirkan sebagian besar bangsa Rusia, Lithuania, Polandia, Cekoslowakia dan Yugoslavia, serta sebagian penduduk Jerman, Swiss, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia, Norwegia dan Inggris. Gereja di Eropa pun mengakui poligami hingga akhir abad ke-XVII atau awal abad XVIII. 40 Poligami juga dilakukan oleh banyak bangsa, termasuk bangsa Ibrani, Arab, Jerman, Saxon, Afrika, Hindu India, Cina dan Jepang. Bila melihat sejarah, akan terbukti bahwa poligami telah ada sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu di kalangan bangsa-bangsa yang hidup pada masa 40 Quraish Shihab, Perempuan: Dari Cinta Sampai Seks, Dari Nikah Mut’ah Sampai Nikah Sunnah, Dari Bias Lama Sampai Bias Baru, Jakarta : Lentera Hati, 2005, h. 159-160 zaman purba. Seperti halnya agama Like di Cina memperbolehkan poligami sampai 130 orang, bahkan ada raja Cina yang beristri sampai 30000 orang istri. 41 Martin Luther King, pendiri Protestan bersikap cukup toleran terhadap poligami dengan alasan, bahwa Tuhan tidak melarang, dan bahwa Nabi Ibrahim a.s sendiri beristri dua. King menilai poligami lebih baik daripada perceraian, kendati dia menganjurkan monogami dan menyatakan, bahwa poligami baru dapat dilakukan jika ada kondisi khusus yang membenarkannya. Selain itu poligami juga kerap dipraktekkan oleh orang Yahudi. Menurut ajaran Talmud seorang laki-laki dapat menikahi banyak istri, karena Rabbah menyatakan bahwa hal tersebut boleh dilakukan, dengan syarat jika laki-laki itu mampu membiayai istri-istrinya, tetapi orang bijak yang hidup pada waktu itu menyarankan untuk menikah tidak lebih dari empat orang. 42 Praktek poligami dalam agama Yahudi berlangsung sampai abad ke-11 hingga poligami dilarang oleh sidang muktamar Rabbi di Worms. Dalam kalangan orang-orang Yahudi Eropa poligami masih dipraktekan sampai abad pertengahan, sementara di kalangan orang-orang Yahudi yang hidup di negara- negara Muslim masih memprakekkan poligami hingga sekarang. Sekarang poligami turut berkembang secara modern mengikuti perkembangan zaman. Perkembangan modern akhirnya melihat poligami sebagai perkawinan yang terkutuk. Para orientalis barat mengklaim perkawinan poligami 41 Mustafa As Siba’iy, Wanita Diantara Hukum Islam Dan Perundang-Undangan, alih bahasa Khadidjah Nasution, Jakara: Bulan Bintang,1977, h. 100 42 Haufa Jawad, Otentisitas Hak-Hak Perempuan: Perspektif Islam Atas Kesetaraan Gender, Yogyakarta: Fajr Pustaka Baru, 2002, h. 146 sebagai sesuatu yang tidak bermoral. Ada indikasi, bahwa praktek poligami dipengaruhi oleh gagasan Jerman dan Yunani-Romawi atau pengaruh Kristen yang tidak dapat dipertanggung jawabkan secara historis. Dalam sejarahnya, tidak ditemukan ada informasi yang membenarkan pendapat tersebut. Jika ditelaah dalam kitab suci agama Yahudi dan Nasrani, maka akan tertera bahwa poligami adalah jalan hidup yang diterima. Semua Nabi yang disebutkan dalam Talmud, Perjanjian Lama, Al-Qur’an beristri lebih dari seorang, kecuali Yesus atau Nabi Isa as. Ketika Islam datang, kaum pria memiliki istri sampai sepuluh atau lebih, tanpa batasan. Islam lalu memberitahu mereka, bahwa ada batasan yang tidak boleh dilanggar, yakni empat saja. Karena poligami hanya boleh dilakukan sebagai solusi dalam keadaan darurat. Poligami dalam Islam sama sekali bukan sarana untuk mengumbar hawa nafsu tanpa batas. 43 Jika melihat kepada poligami yang dilakukan Nabi Muhammad SAW, sesungguhnya perlu disadari, bahwasanya beliau baru berpoligami setelah pernikahan pertamanya berlalu sekian lama, setelah wafatnya istri beliau Khadijah r.a. Pada saat itu Nabi SAW telah bermonogami selama 25 tahun. Lalu tiga atau empat tahun setelah kematian Khadijah r.a barulah beliau menikahi Aisyah r.a. Disusul setelah itu pernikahan poligami beliau dengan Saudah binti Zam’ah janda tua yang suaminya meninggal di perantauan, Hindun atau Ummu 43 Ahmad Faiz, Cita Keluarga Islam, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2001, h. 205-208 Salamah janda yang suami gugur di peperangan, Ramlah janda yang dicerai suaminya karena suaminya murtad, Huriyah binti Al Haris yang seorang tawanan perang pasukan Islam, Hafsah seorang janda putri dari Umar bin Khathab, Shafiyah binti Huyay salah seorang tawanan perang yang dimerdekakan Rasul, Zainab binti Jahesy seorang janda yang dulunya dinikahkan dengan seorang budak, dan yang terakhir Zainab binti Khuzaimah yang suaminya gugur dalam perang uhud. Perlu diingat, bahwa semua perempuan yang beliau nikahi kecuali Aisyah ra, adalah janda-janda yang sebagian di antaranya berusia senja, atau tidak lagi memiliki daya tarik yang memikat. Istri-istri yang disebut di atas inilah yang seringkali disoroti oleh mereka yang tidak mau tahu atau enggan memahami latar belakang pernikahan itu. 44 Oleh karena itu, tidak dapat dibenarkan bahwa poligami adalah sebuah anjuran, dengan alasan pahwa perintah dalam Al-Qur’an dimulai dengan bilangan dua-dua, tiga-tiga, empat-empat, baru kemudian perintah monogami dilakukan kalau khawatir tidak dapat berlaku adil. Tidak dapat juga menjadikan poligami Rasulullah sebagai hal yang diteladani, karena tidak semua apa yang dilakukan beliau perlu diteladani. Sebagaimana tidak semua wajib atau terlarang bagi beliau, wajib atau terlarang pula bagi umatnya. 45 44 Quraish Shihab, Perempuan, h. 170-171 45 Ibid, h. 168-169

G. Landasan Teologis Poligami dalam Islam