Lahirnya Aturan Poligami di Indonesia Dalam Lintas Sejarah

Dalam teknisnya, seorang Pegawai Negeri Sipil PNS pria yang hendak melakukan poligami harus mengajukan izin tertulis dan harus mencantumkan alasan lengkap yang mendasari permintaan izin tersebut. 68 Adapun pejabat yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negeri Sipil wajib memberi pertimbangan dan meneruskannya kepada pejabat melalui saluran hirarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud. 69 Adapun bagi Pegawai Negeri Sipil laki-laki atau perempuan yang melakukan poligami tanpa sesuai prosedural yang ditetapkan, maka akan dihukum dengan diberhentikan dari instansi yang bersangkutan secara tidak hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil. 70 Implikasi dari Undang Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam KHI dapat disimpulkan, bahwa poligami di Indonesia secara yuridis diperbolehkan dengan syarat, bukan poligami boleh secara mutlak, akan tetapi diberi batasan paling banyak empat orang isrtri, itupun jika memenuhi syarat-syarat yang telah diatur dalam Pasal 55, 56, 57, 58, dan 59.

B. Lahirnya Aturan Poligami di Indonesia Dalam Lintas Sejarah

Di Indonesia, praktek poligami bukan hal yang asing lagi. Laki-laki dari berbagai suku bangsa di Indonesia sudah menganut pahammemahami bahwa 68 PP No. 45 tahun 1990 Pasal 4 ayat 3 69 PP No. 45 tahun 1990 Pasal 5 ayat 2 70 PP No. 45 tahun 1990 Pasal 15 ayat 1 dan 2. Adapun untuk ayat 2 berbunyi, Pegawai Negeri Sipil PNS yang melanggar ketentuan pasal 4 ayat 2, dijatuhi hukuman dispilin pemberhentian dengan tidak hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil. Adapun isi Pasal 4 ayat 2 adalah larangan , Pegawai Negeri Sipil PNS wanita untuk menjadi istri kedua, ketiga, dan keempat praktek beristri banyak itu sebagai sebuah kelaziman. Di pulau Jawa, poligami sudah ada sejak zaman Mataram Kuno dan Majapahit. Setelah kerajaan-kerajaan Hindu itu hancur, tradisi itu kemudian berlanjut pada zaman kedatangan Islam ke Nusantara dan mendapat legitimasi penuh karena dianggap memiliki sandaran religius. Banyak perempuan yang kemudian menjadi korban tradisi poligami dan menjadi bagian dari selir-selir para raja yang berkuasa di tanah Jawa. Pada masa pra-kemerdekaan sampai masa-masa awal kemerdekaan, praktek poligami di Indonesia umumnya hanya dilakukan oleh kalangan elite masyarakat saja, di antaranya kaum priyayi dan elite agama seperti para kyai. Menurut sejarah, ada perbedaan antara praktek poligami yang dilakukan kalangan priyayi dengan kalangan kyai. Kalangan priyayi yang umumnya berasal dari golongan Islam abangan biasanya menyatukan istri-istrinya dalam satu rumah, sementara kalangan kyai dan santri sebagian besar membuatkan rumah yang terpisah-pisah bagi istri-istrinya. Salah satu perempuan Jawa yang berhasil mendokumentasikan penderitaan dirinya di bawah tradisi poligami adalah Kartini. Berbeda dengan perempuan-perempuan Jawa seusianya saat itu, Kartini telah memiliki kesadaran tentang sebuah emansipasi dan kesetaraan gender. Kendati demikian, putri dari seorang priyayi di Jepara itu, tetap tidak dapat mengelak dari tradisi turun- temurun kaum bangsawan Jawa. Orang tua yang dihormatinya, memaksa Kartini untuk menjadi istri keempat Bupati Rembang saat itu. Ia tak kuasa melawan sebuah doktrin yang cukup membuatnya masygul. Walaupun suaminya memiliki tiga istri di luar dirinya, Kartini sendiri tidak pernah menerima adanya poligami, sehingga seluruh hidup perkawinannya adalah rangkaian penderitaan yang tak henti-hentinya. 71 Bagi Kartini, poligami adalah aib dan dosa karena memperlakukan wanita sewenang-wenang. Karena itu serangan-serangannya amat tajam, dan cendrung emosional. “Bagaimana saya bisa menghormati seseorang yang sudah kawin dan menjadi ayah, yang apabila sudah bosan kepada anak dan istrinya, dapat membawa perempuan lain ke rumah dan mengawininya secara sah sesuai dengan hukum Islam,” tulis Kartini kepada Stella Zeehandelaar teman Belanda nya. Katanya, meskipun hal itu seribu kali tidak boleh disebut dosa menurut ajaran Islam, selama-lamanya dia tetap menganggapnya begitu. 72 Pada era 1950-an, praktek poligami sangat terkenal dengan pernikahan poligami Soekarno dengan Hartini. Sebagai istri tertua, Fatmawati menentang keputusan tersebut, namun hanya sia-sia belaka, Fatmawati malah tersingkir dari istana merdeka. Pernikahan ini dianggap sebagai tamparan yang keras bagi organisasi wanita dan pejuang hak-hak wanita saat itu. Masalahnya Soekarno identik dengan Negara, dan kekuasaanya yang hampir tak terbatas itu menyebabkan setiap tindakan-tindakannya menjadi dogma. 73 Pada tahun 1952, pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan tentang pemberian pensiun bagi para janda Pegawai Negeri yang melakukan poligami. Peraturan yang mengindikasikan dukungan pemerintah terhadap poligami ini 71 Liza Hadiz, Perempuan Dalam Wacana Politik Orde Baru, Jakarta: LP3ES, t.t, h. 74 72 Th. Sumartana, Tuhan dan Agama Dalam Pergulatan Batin Kartini Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993. h. 41 73 Liza Hadiz, Perempuan Dalam Wacana Politik Orde Baru, h. 77 mendapatkan protes keras dari beberapa organisasi perempuan. Pada masa orde baru, organisasi perempuan mengusulkan pada pemerintah agar dilakukan reformasi hukum perkawinan. Usulan ini didukung oleh kelompok nasionalis yang menghendaki adanya penyatuan hukum di seluruh Indonesia. Pada akhirnya, pada tahun 1973 pemerintah Soeharto menyetujui adanya reformasi hukum perkawinan, yang berlangsung cukup lama dan melalui proses yang panjang. Memasuki zaman orde baru, poligami kembali marak dibicarakan sejak muncul pernyataan kontroversial Khafifah Indar Prawarsana yang pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid Gus Dur menjabat sebagai Menteri Negara Pemberdayaan Wanita 1999-2001. Menurut Khafifah, Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, yang termasuk di dalamnya poligami harus dihapuskan. Peraturan tersebut terlalu berlebihan karena meragukan laki-laki untuk mengontrol dirinya. Menurutnya, Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 ditujukan untuk mengembalikan hak asasi laki-laki untuk berpoligami sesuai dengan syariat Islam. Berbeda dengan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan saat itu, Sinta Nuriah menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 tersebut harus dipertahankan untuk melindungi perempuan. Pada era kepemimpinan Megawati 2001-2004, dengan berbagai tantangan krisis yang dihadapi banyak perempuan berharap, bahwa kondisi dan berbagai soal perempuan akan mendapat perhatian dan solusi yang lebih baik. Presiden wanita pertama Republik Indonesia ini diharapkan membawa angin segar, setidaknya bagi kebangkitan perempuan. Namun demikian, dalam konteks poligami yang terjadi justru sebuah dilemma, karena Megawati didampingi seorang Wakil Presiden yang memiliki lebih dari satu istri. Perdebatan seputar poligami terus bergulir di akhir tahun 2001 dengan kemunculan Puspo Wardoyo, seorang pengusaha yang mengaku sukses melakukan poligami dengan empat orang istri. Puspo bahkan mengkampanyekan poligami yang diyakininya sebagai tuntutan Islam yang kaffah. Pada tahun 2003, Puspo mempromosikan “Poligami Award” dan membagikan 25 Award kepada mereka laki-laki yang dipandang sukses mempraktekkan poligami dalam rangka mendukung poligami. Selepas itu pada tahun 2006, sebuah berita tentang poligami kembali menggemparkan masyarakat Indonesia. Seorang ulama yang sangat populer dan menjadi panutan jutaan masyarakat Indonesia, Abdullah Gymnastiar, diberitakan menikah lagi setelah beberapa tahun hidup bahagia dengan istri pertama yang dikaruniai 7 putra-putri. Polemik poligami saat itu semakin mengemuka dan perdebatan yang berujung pada interpretasi agama tetap menjadi primadona. Pertautan antara tafsir agama, peraturan pemerintah, dan kemajuan teknologi yang memungkinkan tersebarnya informasi secara kilat menjadi sebuah realitas persoalan yang semakin menantang. Demikianlah wacana poligami semenjak sebelum kemerdekaan hingga awal zaman reformasi. Wacana ini terus dikaitkan dengan persoalan agama dan politik. Pro poligami yang digunakan oleh partai politik dan organisasi Islam untuk menunjukkan penentangan mereka terhadap kelompok nasionalis-sekuler. Pelarangan poligami bagi organisasi dan partai Islam merupakan penentangan dan penolakan terhadap Islam, karena Islam dipahami sebagai ajaran yang secara normatif membolehkan poligami. Pelarangan poligami yang demikian dianggap sebagai penentangan terhadap Islam. Perdebatan semakin seru ketika Rancangan Undang-Undang tentang perkawinan diusulkan menjadi Undang-Undang. Akhirnya, setelah mengalami perdebatan yang panjang, monogami akhirnya ditetapkan menjadi salah satu asas tetapi dengan pengecualian bagi orang-orang yang menurut hukum dan agamanya diizinkan beristri lebih seorang. 74

C. Pengertian Feminisme