Pelaksanaan Poligami Dalam Sistem Hukum Indonesia

BAB III POLIGAMI DAN FEMINISME DI INDONESIA

A. Pelaksanaan Poligami Dalam Sistem Hukum Indonesia

Di Indonesia peraturan yang memuat tentang poligami diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang No. 1 tahun 1974 ini mulai berlaku tanggal 1 Oktober 1975 yang diperuntukkan bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa melihat suku bangsa, asal-usul dan agama, warga Negara asli maupun keturunan asing, sehingga lebih menjamin unifikasi dalam hukum perkawinan. Undang-Undang ini dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 berupa Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam KHI dan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil PNS. Menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ini, laki- laki yang ingin berpoligami harus mendapat izin oleh pihak-pihak yang terkait dan Pengadilan Agama. Sebagaimana yang telah diatur oleh Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 3 ayat 2. Ketentuan-ketentuan selanjutnya dipaparkan dengan jelas dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 3 dan 4 dan dalam Kompilasi Hukum Islam KHI Pasal 55-59 yang menyebutkan bahwa syarat utama seorang suami beristri lebih seorang adalah dapat berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. 64 Bagi laki-laki yang tetap ingin berpoligami harus memenuhi syarat-syarat yang telah diatur Pengadilan Agama Pasal 4 ayat 2 sebagai berikut: 1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri; 2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; 3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Meskipun di dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 memperbolehkan untuk poligami bersyarat, pernikahan yang seperti ini baru dapat dilakukan benar-benar dalam keadaan mendesak dan bertujuan untuk menjaga keutuhan sebuah perkawinan serta menghindari perceraian. Karena perceraian hanya akan memberikan resiko yang berat kepada istri dan anak-anak yang ditinggalkan. 65 Apabila melihat pada alasan pemberian izin melakukan poligami di atas, dapat dipahami bahwa alasan itu mengacu pada tujuan pokok pelaksanaan perkawinan, yaitu sakinah, mawaddah dan rahmah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Undang-Undang tentang Perkawinan No. 1 tahun 1974 Pasal 5 menjelaskan, bahwa pihak suami harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1 Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 64 Kompilasi Hukum Islam Pasal 5 ayat 2 65 Gufron A. Mas’adi, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1997, h. 175-176 a. Adanya persetujuan dari istri istri-istri. b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan- keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. 2 Persetujuan yang dimaksud pada ayat 1 huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 dua tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama. Dalam prosedur melakukan poligami, seorang suami harus terlebih dahulu mengajukan permohonan ke pengadilan yang lebih lanjut diatur dalam Kompilasi Hukum Islam KHI Pasal 56, 57 dan 58. Sebelum memutuskan untuk memberi izin atau tidak, sekaligus untuk meyakinkan kebenaran data yang telah ada, pengadilan lebih dahulu mengadakan pemeriksaan apakah terpenuhi atau tidak syarat-syarat yang ditetapkan Undang-Undang. Dalam pemeriksaan tersebut pengadilan harus memanggil dan mendengarkan istri yang bersangkutan. 66 Adapun tata cara teknis pemeriksaannya menurut Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 Pasal 42 adalah sebagai berikut: 66 PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 42 3 Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41 pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan. 1 Pemeriksaan pengadilan itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 tiga puluh hari setelah diterimanya syarat permohonan beserta lampiran-lampirannya. Ketentuan hukum yang mengatur tentang pelaksanaan poligami ini mengikat semua pihak, pihak yang akan melangsungkan poligami dan pegawai pencatatan perkawinan. Apabila mereka melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pasal-pasal di atas akan dikenakan sanksi pidana. Persoalan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 45 Bab IX: 1 Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka: a. Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, Pasal 10 ayat 3, 40 Peraturan Pemerintah akan dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp.7.500,00 tujuh ribu lima ratus rupiah. b. Pegawai pencatatan yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat 1, 11, 12, 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum setinggi-tingginya Rp.7.500,00 tujuh ribu lima ratus rupiah. 2 Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat 1 di atas merupakan pelanggaran. 67 Kalau perkawinan poligami telah terjadi, maka: 1 Suami wajib memberikan jaminan hidup yang sama kepada semua istri dan anaknya. 2 Istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan istri kedua atau berikutnya itu terjadi. 3 Semua istri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinan masing-masing, kecuali jika ada kesepakatan yang telah disepakati sebelumnya, maka ketentuan ini tidak berlaku. Aturan selanjutnya mengenai Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil PNS yang kemudian dirubah menjadi Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1990 adalah ketentuan hukum perkawinan yang berisi tentang pembedaan perlakuan sikap Negara antara Pegawai Negeri Sipil PNS dan masyarakat umum dalam hal poligami. Artinya, poligami tidak dibenarkan bagi mereka yang bekerja di bawah lembaga negara, dalam hal ini adalah PNS. Selanjutnya dijelaskan, bahwa Pegawai Negeri Sipil PNS wanita tidak diperbolehkan menjadi istri yang kedua, ketiga, atau keempat, sebagaimana dipaparkan oleh pasal 4 ayat 2. 67 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, h. 49-50 Dalam teknisnya, seorang Pegawai Negeri Sipil PNS pria yang hendak melakukan poligami harus mengajukan izin tertulis dan harus mencantumkan alasan lengkap yang mendasari permintaan izin tersebut. 68 Adapun pejabat yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negeri Sipil wajib memberi pertimbangan dan meneruskannya kepada pejabat melalui saluran hirarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud. 69 Adapun bagi Pegawai Negeri Sipil laki-laki atau perempuan yang melakukan poligami tanpa sesuai prosedural yang ditetapkan, maka akan dihukum dengan diberhentikan dari instansi yang bersangkutan secara tidak hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil. 70 Implikasi dari Undang Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam KHI dapat disimpulkan, bahwa poligami di Indonesia secara yuridis diperbolehkan dengan syarat, bukan poligami boleh secara mutlak, akan tetapi diberi batasan paling banyak empat orang isrtri, itupun jika memenuhi syarat-syarat yang telah diatur dalam Pasal 55, 56, 57, 58, dan 59.

B. Lahirnya Aturan Poligami di Indonesia Dalam Lintas Sejarah