keadilan dan pemenuhan hak-hak mereka sangat ditekankan. Hal ini untuk menghindari agar jangan sampai terjadi kejahatan yang memanfaatkan mereka
dan harta mereka.
55
Ayat di atas sebenarnya tidak secara langsung titik tekan uraiannya kepada persoalan poligami, melainkan pada persoalan anak yatim, karena dalam
persoalan tersebut terkandung problem mendasar yang sering menimpa mereka, yaitu persoalan ketidakadilan.
H. Asbâb al-Nuzûl Ayat Poligami
Asbâb al-Nuzûl adalah sebab-sebab turunnya ayat. Asbâb al-Nuzûl memberikan informasi keterkaitan turunnya ayat dengan suatu peristiwa. Masfuk
Zuhdi, mendefinisikan Asbâb al-Nuzûl dengan: semua yang disebabkan olehnya diturunkan suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebabnya, atau
memberi jawaban terhadap sebabnya, atau menerangkan hukumnya, pada saat terjadinya peristiwa.
56
Penyebab turunnya suatu ayat, selalu berkaitan dengan suatu peristiwa. Peristiwa turunnya ayat tersebut, juga dapat diperkirakan dengan dugaan kuat
tujuan sebuah ayat diturunkan oleh Allah SWT. Oleh sebab itu, mengetahui dan memperhatikan Asbâb al-Nuzûl adalah suatu keharusan dalam mengkaji Al-
Qur’an agar memperoleh pemahaman yang utuh, lengkap, dan sempurna,
55
Inayah Rahmaniyah dan Moh. Sodik, Menyoal Keadilan Dalam Poligami, Yogyakarta:, h. 7-8
56
Masyfuq Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an, Surabaya: Bina Ilmu, 1990, h. 37
sehingga terhindar dari kekeliruan, dan bermanfaat mengetahui hikmah disyariatkannya hukum, dan mengenai kekhususan hukum.
57
Surat An-Nisa’ ayat 4 sebagai salah satu ayat yang menyoroti poligami, diturunkan di Madinah, terdiri dari 176 ayat, merupakan surat terpanjang keempat
setelah al-Baqarah, al-A’raf, dan Ali-Imran. Surah itu diberi nama An-Nisa’ karena kandungannya banyak memuat penjelasan hal-hal yang berkaitan dengan
perempuan. Sebelum Islam dibawa Muhammad SAW, orang Arab memiliki tradisi
memelihara anak-anak perempuan yatim di rumah-rumah mereka dengan alasan memberi perlindungan dan menjadi wali bagi mereka, kemudian menikahi
mereka tanpa mahar atau dengan mahar yang lebih kecil dibandingkan dengan mahar yang lazim mahar standar, dan kemudian menguasai harta anak-anak
yatim tersebut. Anak-anak yatim itu dikuasai, diremehkan, dan diberlakukan tidak adil. Jika wali itu sudah tidak berkenan, atau tidak merasa nyaman dengan anak-
anak yatim tersebut, mereka diusir atau ditinggalkan begitu saja. Sehubungan dengan itu, Allah menurunkan ayat ke-3 surat An-Nisa’ sebagai teguran, saran,
dan peringatan bagi mereka yang menikahi anak perempuan yatim.
58
Ketika ayat ini turun, masih banyak orang mukmin yang mempunyai istri lebih dari empat, seperti al-Haris bin Qais yang memiliki delapan istri dan Naufal
bin Muawiyah yang mempunyai lima istri. Mereka dianjurkan oleh Nabi agar
57
Muhammad Ali Ash Shobuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, alih Bahasa Muhammad Qodirun Nur, Jakarta: Pustaka Amani, t.t., h. 29
58
Nurjannah Ismail, Perempuan Dalam Pasungan, Bias Laki-Laki Dalam Penafsiran, Yogyakarta: LKiS, 2003, h. 36
memilih empat di antaranya. Dengan demikian, akan tampak bahwa Islam tidak mengambil inisiatif memperbolehkan istri lebih dari satu, bahkan Islam
mendorong sebaliknya, membatasinya dan dengan enggan membolehkan sampai empat istri dalam situasi yang memungkinkan saat itu.
Para ulama fiqh sepakat bahwa kebolehan poligami dalam perkawinan didasarkan pada firman Allah SWT surat An-Nisa’ 4: 3. ini masih ada
kaitannya dengan ayat sebelumnya yaitu surat An-Nisa’ ayat 2. Ayat 2 mengingatkan kepada para wali yang mengelola harta anak yatim, bahwa mereka
berdosa besar jika sampai memakan atau menukar harta anak yatim yang baik dengan yang jelek dengan jalan yang tidak sah, sedangkan ayat 3 mengingatkan
kepada para wali anak wanita yatim yang mau mengawini anak yatim tersebut, agar si wali itu beritikad baik dan adil, yakni si wali wajib memberikan mahar dan
hak-hak lainnya kepada anak yatim wanita yang dikawininya. Ia tidak boleh mengawininya dengan maksud untuk memeras dan menguras harta anak yatim
atau menghalang-halangi anak wanita yatim kawin dengan orang lain. Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah r.a waktu ditanya oleh Urwah bin al-Zubair ra
mengenai maksud ayat 3 surat An-Nisa’ tersebut. Jika wali anak wanita yatim tersebut khawatir atau takut tidak bisa berbuat adil terhadap anak yatim, maka ia
wali tidak boleh mengawini anak wanita yatim yang berada di bawah perwaliannya itu, tetapi ia wajib kawin dengan wanita lain yang ia senangi,
seorang isteri sampai dengan empat, dengan syarat ia mampu berbuat adil terhadap isteri-isterinya. Jika ia takut tidak bisa berbuat adil terhadap isteri-
isterinya, maka ia hanya beristeri seorang, dan ini pun ia tidak boleh berbuat
zalim terhadap isteri yang seorang itu. Apabila ia masih takut pula kalau berbuat zalim terhadap isterinya yang seorang itu, maka tidak boleh ia kawin dengannya,
tetapi ia harus mencukupkan dirinya dengan budak wanitanya.
59
Rasyid Rida lebih lanjut mengemukakan, bahwa maksud ayat 3 surat An- Nisa’ ialah untuk memberantas atau melarang tradisi zaman jahiliyyah yang tidak
manusiawi, yaitu wali anak wanita yatim mengawini anak wanita yatim tersebut tanpa memberi hak mahar dan hak-hak lainnya dan ia bermaksud untuk makan
harta anak yatim dengan cara tidak sah serta ia menghalangi anak yatimnya kawin dengan orang lain agar ia tetap leluasa menggunakan harta anak tersebut.
Demikian pula tradisi zaman jahiliyyah yang mengawini isteri banyak dengan perlakuan yang tidak adil dan tidak manusiawi, dilarang oleh Islam berdasarkan
ayat tersebut.
60
Quraish Shihab menghubungkan ayat tersebut dengan surat An-Nisa’ 127. Ia mengatakan bahwa mereka para wali yang menguasai anak yatim
dilarang mengawini anak-anak yatim yang mereka inginkan karena harta dan kecantikan. Ayat tersebut bukan membuat peraturan untuk berpoligami karena
poligami telah dianut dan dilaksanakan sebelum ayat ini turun.
61
Setelah ayat tersebut turun, jumlah istri laki-laki muslim dalam berpoligami dibatasi, yaitu paling banyak sampai empat orang. Seorang yang
sudah terlanjur beristri lebih dari empat orang harus menceraikan istrinya
59
Rasyid Rida, Tafsir al-Manar, Mesir; Dar al-Manar, t.t. , h. 344-345
60
Ibid, h. 347-348
61
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbâh, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Ciputat: Lentera Hati, 2000, h. 324
sehingga jumlah istri yang terikat nikah dengannya dalam waktu yang sama hanya empat orang. Oleh karena itu, para ulama dan fuqaha telah menetapkan
persyaratan bagi mereka yang hendak berpoligami sebagai berikut: 1. Dia harus memiliki kemampuan dan kekayaan yang cukup untuk membiayai
berbagai kebutuhan istri-istrinya itu. 2. Dia harus memperlakukan istri-istrinya itu dengan adil.
62
Kandungan pemahan ayat di atas menurut Asghar Ali Engineer, ayat tersebut menjelaskan, bahwa Al-Qur’an “enggan” untuk menerima institusi
poligami.
63
Hal ini juga dibenarkan oleh Siti Musdah Mulia, yang menyatakan, bahwa sebenarnya dengan menyimak susunan redaksi ayat itu saja, dapat
diketahui secara jelas, bahwa ayat tersebut bukan anjuran untuk poligami, melainkan lebih kepada memberikan solusi agar para wali terhindar dari berbuat
tidak adil terhadap anak yatim yang berada dalam perwalian mereka, yaitu dengan mengawini perempuan lain saja.
62
Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syari’at Islam, Jakarta; PT Rineka Cipta, 1992, h. 44- 45.
63
Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, ali bahasa. Agus Nuryanto, cet. ke-1 Yogyakarta: LKiS, h. 112
BAB III POLIGAMI DAN FEMINISME DI INDONESIA