Dengan demikian, Islam sama sekali tidak melakukan diskriminasi antara perempuan dan laki-laki dalam hal apapun. Keduanya dijanjikan akan
mendapatkan ganjaran atas amal keagamaan dan keduniaan. Lantas, bagaimana mungkin orang mengatakan bahwa perempuan dalam hal tertentu lebih rendah
dari laki-laki? Menyatakan pendapat demikian berarti secara total melawan semangat al-Qur’an. Dalam penciptaan pun, laki-laki dan perempuan berasal dari
sesuatu yang sama. mereka berasal dari nafsin wahidah, yaitu dari diri yang satu. Dalam bahasa arab, kata nafs berarti jiwa atau esensi. Apapun makna yang
diambil disini, akan mengindikasikan sumber asal-usul yang sama bagi laki-laki dan perempuan
104
.
B. Pemikiran Kaum Feminis tentang Aturan Poligami di Indonesia
Secara filosofis dan materiil, Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam KHI adalah setali tiga uang.
Keduanya mirip. Pasal-pasal yang terdapat di dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam KHI yang semula ditujukan untuk
melindungi perempuan, ternyata dalam kenyataannya justru merugikan perempuan. Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Pasal 3 ayat 1 disebutkan
secara implisit bahwa asas perkawinan adalah monogami, tetapi pada ayat 2 memberikan kelonggaran kepada suami untuk berpoligami hingga sebatas 4 orang
isteri. Di sini, Musdah Mulia berpendapat, muncul adanya ambivalensi hukum
104
Maulana Abul Kalam Azad, Tarjuman Al-Qur’an Delhi, 1980, h. 436
atau “standar ganda.”
105
Oleh karena itu, tidak ada kepastian hukum, yang oleh ilmuwan dan praktisi serta penegak hukum dikatakan sebagai salah satu prinsip
dasar berlakunya hukum. Syarat-syarat diperbolehkan poligami dalam Undang Undang-Undang No.
1 tahun 1974 seolah-olah mengamini, bahwa tujuan perkawinan yang utama adalah persoalan “biologis”. Lihat saja dalam klausul-klausul yang membolehkan
suami untuk menikah lagi, yaitu apabila istri tidak mampu memberikan keturunan anak, cacat, dan tidak mampu memberikan keturunan anak. Lihat saja dalam pasal
33 yang menyebutkan, bahwa kewajiban mencintai, menghormati hanya ditujukan pada istri. Belum lagi Pengadilan yang sering mempertanyakan istri,
apakah alasan penolakan mereka terhadap poligami suami layak atau tidak. Jika tidak memenuhi kewajibannya sebagai istri mengurus rumah tangga, punya anak,
nusyuz perempuan ditempatkan sebagai pihak yang salah dan dengan demikian memberi alasan bagi suami untuk poligami. Tujuan perkawinan semata-mata
diarahkan untuk pemenuhan kepentingan biologis dan meneruskan keturunan, dengan asumsi, bahwa perempuan selalu siap sedia untuk memenuhi dan kalau
tidak, akan menjadi alasan bagi suami untuk kawin lagi dengan perempuan lain.
106
105
Siti Musdah Mulia dan Anik Farida, Poligami: Budaya Bisu yang Merendahkan Martabat Perempuan, Yogyakarta: Kibar Press, 2007, h. 65-66
106
Siti Syamsiatun dan Alimatul Qitbiyah ed., Amandemen Undang Undang Perkawinan Sebagai Upaya Perlindungan Hak Perempuan dan Anak, Yogyakarta: PSW UIN Sunan Kalijaga,
2006, h. 56
Pada Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Pasal 1 Bab I dinyatakan, bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Ini
mengindikasikan, bahwa suami dan istri terikat menjadi satu two in one, dan dalam perkawinan suami dan istri saling melayani, bukan satu melayani dan
dilayani, karena dengan satu dilayani akan melahirkan hubungan yang hierarkis superior-inferior antara keduanya.
Jika dilihat pada tahap awal prosedur perkawinan poligami, jelas terlihat berbagai indikasi penyimpangan yang dilakukan oleh suami yang hendak
berpoligami. Misalnya, dengan memalsukan surat cerai, atau melakukan perkawinan alternatif, bahkan ironisnya poligami dilakukan perkawinan sirri
sebagai loncatan terakhir, suatu konstruksi budaya yang telah dilegitimasi dalam tatanan masyarakat, namun illegal di mata hukum. Dengan demikian, perkawinan
poligami yang dilakukan tidak memiliki konsekuensi hukum, sehingga berbagai macam persoalan yang timbul seperti status anak, pembagian harta gono-
ginibersama, dan lain-lain dalam perkawinan ini tidak dapat melibatkan Lembaga Negara seperti Pengadilan Agama, karena memang tidak diakui sah secara
negara. Salah satu syarat yang harus dipenuhi suami yang hendak berpoligami
adalah persetujuan isteri. Dengan demikian, di samping adanya kelonggaran, ada pula pengetatan. Ini adalah bukti wajah ambivalen pada kedua produk hukum
tersebut. “Standar ganda” dan lemahnya posisi isteri dalam perumusan hukum juga terserak pada pasal-pasal lainnya yang mengatur poligami. Dengan
demikian, keberadaan instrumen hukum ini seolah-olah hanya “perisai fantasi” saja untuk melindungi perempuan, karena sesungguhnya di dalamnya secara
filosofis, metodologis dan material tidak bisa menjamin kesetaraan dan keadilan terhadap perempuan.
Syarat yang diberikan negara pada suami yang ingin berpoligami pada Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Pasal 4 ayat 2.a atau Kompilasi Hukum
Islam KHI Pasal 57 poin a menyatakan, “istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri”.
Ayat ini menurut kacamata feminis dapat diinterpretasikan dalam berbagai hal terkait dengan perspektif masyarakat sebagai
berikut, 1 “kewajiban istri” dapat diartikan sebagai ibu rumah tangga yang harus bertanggung jawab terhadap semua urusan domestik. Konstruksi ini tentu saja
potensial melahirkan beban berlebih dan kekerasan berbasis gender, karena pada kenyataannya seiring dengan meningkatnya pendidikan perempuan, maka akses
perempuan di dunia publik semakin terbuka. 2 Jika suami dan istri sama-sama bekerja dan berkiprah di masyarakat, sementara interpretasi dari “kewajiban istri”
masih dipahami sebagai kewajiban melayani keluarga di wilayah domestik, maka beban yang tidak seimbang menjadi ancaman bagi perempuan, karena suami
dianggap terbebas dari tanggung jawab domestik tersebut sesuai argumentasi yang telah terkonstruk di masyarakat. Terlebih, hanya kewajiban perempuan yang
menjadi penekanan, bagaimana dengan kewajiban laki-laki? Peraturan idealnya
juga harus berlaku bagi laki-laki, sehingga hak-hak perempuan dapat terlindungi. Seharusnya, kewajiban yang terkait dengan pembagian kerja di wilayah domestik
atau publik menjadi tanggung jawab bersama yang harus dilakukan secara bahu- membahu, sehingga keadilan dan kesetaraan dalam keluarga dapat terwujud.
107
Jika yang dipermasalahkan adalah masalah “kewajiban”, dan ketika salah satu di antara suami atau istri tidak dapat melaksanakan kewajibannya,
seharusnya yang satu menolongnya, bukan hanya mempertimbangkan kewajiban dan mengabaikan haknya. Jika salah satunya mendapat cacat badan atau
menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan, yang satunya juga merasakan kecacatan dan kesakitan itu, bukan justru berpoligami.
Beranjak pada Pasal 4 ayat 2.b dalam Undang-Undang yang sama disebutkan, poligami dapat dilakukan apabila “istri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak bisa disembuhkan.”Alasan yang diberikan tentunya sulit untuk dirasionalisasikan”. Bagaimana tidak, keterkaitan dengan “penyakit” hanya
disandarkan kepada perempuan, bagaimana jika cacat atau sakit berkepanjangan yang diderita istri disebabkan oleh kekerasan yang disebabkan suami. Jika asumsi
ini dibalik, bagaimana halnya bila suami yang tidak dapat menjalankan kewajiban, dan penyakitcacat tersebut diderita oleh pihak suami. Hal seperti ini
tidak ada terjemahannya dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974. Bagaimana pula jika istri dalam keadaan lemah secara ekonomis maupun non ekonomis,
sehingga tidak memiliki kekuatan untuk menyatakan ketidaksetujuan untuk
107
Inayah Rahmaniyah ed., Menyoal Keadilan Dalam Poligami, h. 80
dipoligami. Meskipun persetujuan dari istri menjadi salah satu ketentuan, Undang-Undang juga tidak memberikan kepastian dan jaminan terhadap hak dan
kebebasan perempuan dalam memberikan persetujuan dan penolakan. Selanjutnya, izin poligami yang diberikan negara pada Undang-Undang
No. 1 tahun 1974 Pasal 4 ayat 3.c juga dinyatakan, “istri tidak dapat melahirkan keturunan.” Ini terkait dengan misi “regenerasi” dalam perkawinan. Perkawinan
walaupun bukan suatu kewajiban, menjadi sunnah Rasulullah yang paling disenangi. Bukan hanya dari sebatas upaya penyelamatan dari perzinaan, tetapi
hal ini harus diletakkan pada budaya yang transendental, yaitu untuk mendapat generasi penerus umat Islam itu sendiri. Perzinaan dalam Islam diharamkan
sebagai upaya untuk memurnikan produk perkawinan itu sendiri, bukan sebaliknya.
108
Ditinjau dari sisi perempuan, tidak tepat rasanya apabila alasan keturunan diindentikkan dengan istri yang dianggap “gagal” melahirkan keturunan, apalagi
dijadikan senjata bagi suami yang ingin mempunyai keturunan dengan cara mengawini perempuan lain.
Jika selama dalam hidup berumah tangga tidak dikaruniai anak dari sebuah perkawinan, tidak berarti bahwa salah satunya bertanggung jawab dan
yang lainnya tidak. Kegagalan tersebut mungkin saja diakibatkan impotensi atau mandul di salah satu pihak, baik itu suami maupun istri. Solusi dengan menikahi
perempuan lain bukan menyelesaikan masalah, khususnya jika yang mandul
108
Mansour Fakih dkk, Membincang Feminisme, h. 240-241
infertille adalah si suami. Ironisnya, jika istri tidak hamil, maka pada banyak kasus yang disuruh berobat adalah istri. Ini secara langsung menunjukkan
identiknya istri dengan kemandulan, sehingga dia istri dianggap paling bertanggung jawab atas ketidak hadiran anak dalam suatu keluarga. Padahal
kenyataannya, tidak selalu istri yang mandul. Ini menunjukkan pula, bahwa Undang-Undang No. 1 tahun 1974 memandang perempuan hanya dalam kaitan
dalam seksualitasnya saja istri dan fungsi reproduksinya bukan sebagai manusia seutuhnya.
Harga mati yang diberikan Undang-Undang untuk melegalkan poligami bagi laki-laki, jika istri tidak dapat memberi keturunan istri dianggap sebagai
pihak infertile tapi tidak ada aturan yang mengatur jika hal itu terjadi justru sebaliknya suami yang infertille. Artinya, Undang-Undang No. 1 tahun 1974 ini
menggunakan standar ganda double standar dalam mengatur dan menyikapi praktek poligami yang disebabkan oleh infertilitas. Ini sangat sinkron dengan
situasi yang terjadi di masyarakat.
109
Misalnya saja pada masyarakat Bugis, ketika dalam sebuah keluarga tidak ada keturunan, maka suami pada umumnya didukung oleh keluarganya untuk
melakukan poligami, seakan-akan tanpa adanya keturunan merupakan end of the world dan seringkali tanpa pemeriksaan yang mendalam tentang siapa yang
sebenarnya infertille. Sementara jika suami yang infertille, maka istri tidak didukung untuk menceraikan suaminya dengan alasan “suami tidak dapat
109
Sulistyowati Irianto, Perempuan Dan Hukum: Menuju Hukum Yang berperspektif Kesetaraan Dan Keadilan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006, h. 247
memberikan keturunan.” Istri justru diharapkan, bahkan diwajibkan untuk menunjukkan loyalitasnya pada suaminya dengan menjadi istri yang tidak
mempermasalahkan tentang anak, dan hal semacam ini mendapat legitimasi dari masyarakat.
Saat vonis menyatakan bahwa kemandulan ada di pihak suami, istri yang meninggalkan atau meminta cerai kepada suaminya karena suaminya tidak dapat
memberikan keturunan, akan memperoleh berbagai stigma dari masyarakat, seperti istri yang tidak setia kepada suami, istri yang tidak punya malu karena
ketidakmampuan memberikan keturunan merupakan suatu hal yang memalukan bagi istri maupun suami, stigma yang diberikan kepada istri dikaitkan dengan
ketidakmampuan untuk berereksi mate laso. Hal di atas itu dikarenakan penis dianggap sebagai simbol kemacoan
machismo laki-laki, sehingga lebih memalukan jika istri yang meninggalkan suami dari pada suami yang meninggalkan istri, jika itu berkaitan dengan
keturunan. Oleh karenanya, suami seringkali tidak ingin dipertanyakan seksualitasnya karena menganggap urusan kehamilan adalah urusan istri. Jika
kemudian ternyata suami yang mandul, maka ini akan menuai malu bagi suami dan keluarganya karena suami dianggap “lemah”. Meskipun lemah tidak harus
berarti impoten, tetapi kelemahan itu seringkali dianggap sebagai kelemahan dalam arti impotensi. Salah satu cara untuk menghindari hal ini, suami menolak
untuk diperiksakan.
110
110
Ibid, h. 247-248
Pada banyak kasus, jika suami ingin menikah lagi poligami dengan alasan ingin mendapatkan keturunan dari rahim perempuan lain, maka hal ini
seringkali dilakukan tanpa terlebih dahulu memeriksakan diri untuk mengetahui kemungkinan dirinya dapat memiliki anak. Jika memang anak menjadi tujuan
perkawinan keduanya, maka si laki-laki akan merasakan kekecewaan kedua setelah kekecewaan yang sama, karena tidak mendapatkan anak dari perkawinan
keduanya jika ternyata si laki-laki yang mandul dan ini akan menjadi “senjata makan tuan” bagi si laki-laki.
Ironisnya, seringkali laki-laki menikah tanpa persetujuan istri, padahal dalam Islam sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang No. 1 tahun
1974 tentang Perkawinan dinyatakan, bahwa seorang suami yang ingin beristri lagi harus memenuhi syarat-syarat seperti yang tercantum dalam Pasal 5 yakni
persetujuan istri, kepastian akan jaminan atas istri dan anak, dan jaminan akan keadilan terhadap istri-istri dan anak-anak. Kenyataannya, kebanyakan poligami
hanya dilakukan tanpa memenuhi syarat-syarat yang dimaksud, yakni suami menikah secara diam-diam, anak-istri ditelantarkan, jauh dari konsep berlaku adil.
Perbincangan-perbincangan yang berkaitan dengan poligami selalu dipandang dari sudut laki-laki, istri biasanya tidak ditampilkan untuk mengungkapkan
pengalamannya sebagai orang yang bermadu atau dimadu. Meskipun dasar prinsipil dari Undang-Undang No. 1 tahun 1974 mengacu
pada prinsip monogami, poligami diperbolehkan bagi muslim dengan persyaratan tertentu. Kondisi ini hanya menekankan kewajiban istri dan mengabaikan hak-
haknya. Pada Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 Bab VIII misalnya, dijelaskan tentang tata cara “beristri lebih seorang”. Pasal 41 a di Bab ini
menyatakan tentang diperbolehkannya seorang suami untuk beristri lagi berdasarkan alasan-alasan 1 istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
istri 2 istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan 3 istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Alasan-alasan di atas sekiranya belum mencerminkan keadilan dalam hal kesetaraan, karena hanya berlaku untuk istri, tidak bagi suami yang dibolehkan
poligami, sementara istri tidak diperbolehkan berpoliandri. Jangankan mempraktekkan poliandri, baru menyinggung saja kaum laki-laki sudah marah
besar, tapi tidak mau merefleksikan jika hal yang sama terjadi pada mereka.
111
Ketentuan di atas yang berkaitan dengan syarat alternatif untuk berpoligami, jika dicermati tidak selaras dengan tujuan perkawinan yang diatur
dalam Kompilasi Hukum Islam KHI itu sendiri. Pada Bab II Pasal 3, disebutkan bahwa “perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, dan rahmah.”
112
Tujuan ini selaras dengan ketentuan Al- Qur’an:
111
Dalam hasil penelitian dari referensi yang sama mengemukakan adanya sejumlah perempuan di suatu desa di Rembang, Pasuruan Jawa Tengah yang melakukan praktek poliandri
dengan cara nikah sirri. Poliandri diatur oleh seorang makelar yang menjaga agar suami-suami tidak saling mengenal, tidak saling bertemu ketika bergilir. Rata-rata suami-suami tersebut telah memiliki
istri, jadi tidak selalu bersama dengan perempuan yang mem-poliandrinya poliyandrus wife. Pada kenyataannya, laki-laki yang menjadi suami-suami tersebut ketika mengetahui, bahwa mereka
dipoliandri oleh perempuan yang sama, mereka segera menceraikan perempuan itu karena tidak rela “bermadu” atau “dimadu”
112
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 77 ayat 1
ْﻦ ِﻣ َ و ِﻪِﺗ ﺎ َﻳ َآ
ْن َأ َﻖ َﻠ َﺧ
ْﻢ ُﻜ َﻟ ْﻦ ِﻣ
ْﻢ ُﻜ ِ ﺴ ُﻔ ْـﻧ َأ ﺎ ًﺟ ا َ و ْ ز َأ
اﻮ ُﻨ ُﻜ ْﺴ َﺘ ِﻟ ﺎ َﻬ ْـﻴ َﻟ ِإ
َﻞ َﻌ َﺟ َ و ْﻢ ُﻜ َﻨ ْـﻴ َـﺑ
ًةﱠد َ ﻮ َﻣ ًﺔَْﲪَرَو
ﱠن ِإ ِ ﰲ
َﻚ ِﻟ َذ ٍت ﺎ َﻳ َ َ ﻵ
ٍم ْ ﻮ َﻘ ِﻟ َن و ُﺮ ﱠﻜ َﻔ َـﺘ َـﻳ
م و ﺮ ﻟ ا :
21 Artinya:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. Ar-Rum: 21
Dengan demikian, alasan-alasan yang ditentukan Undang-Undang pada prinsipnya masih bertentangan dengan konsep merawat cinta kasih antara suami
istri dalam keluarga. Keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah mengandaikan kesediaan kedua belah pihak untuk saling menghargai, menghormati dan
menerima kelebihan sekaligus kekurangan masing-masing. Jika kekurangan fisik, pada pihak perempuan dianggap sebagai
kelemahan, maka seharusnya tidak menjadi alasan untuk menghadirkan perempuan atau pihak lain untuk menutupi kekurangan tersebut dengan cara istri
pertama dimadu. Terlebih jika istri menderita karena suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan, sangat tidak manusiawi jika suami justru menduakan dengan
mengawini perempuan lain demi kepentingan suami sendiri. Sama halnya dengan kekurangan istri karena tidak dapat melahirkan keturunan. Kondisi semacam ini
tidak hanya menjadi persoalan suami, tetapi juga menjadi kekecewaan istri, dan tidak adil jika kekecewaan tersebut diselesaikan dengan menambah beban istri
karena dipoligami. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 19:
ﺎ َﻳ ﺎ َﻬ ﱡـﻳ َأ
َﻦ ﻳ ِﺬ ﱠﻟ ا اﻮ ُﻨ َﻣ َآ
َ ﻻ ﱡﻞَِﳛ
ْﻢ ُﻜ َﻟ ْن َأ
اﻮ ُﺛ ِﺮ َﺗ َءﺎ َﺴ ﱢﻨ ﻟ ا
ﺎ ًﻫ ْ ﺮ َﻛ َ ﻻ َ و
ﱠﻦ ُﻫ ﻮ ُﻠ ُﻀ ْﻌ َـﺗ اﻮ ُﺒ َﻫ ْ ﺬ َﺘ ِﻟ
ِﺾ ْﻌ َـﺒ ِﺑ ﺎ َﻣ
ﱠﻦ ُﻫ ﻮ ُﻤ ُﺘ ْﻴ َـﺗ َآ ﱠ ﻻ ِإ
ْن َأ َﲔ ِﺗ ْﺄ َﻳ
ٍﺔ َﺸ ِ ﺣ ﺎ َﻔ ِﺑ ٍﺔَﻨ ﱢـﻴ َـﺒ ُﻣ
ﱠﻦ ُﻫ و ُﺮ ِ ﺷ ﺎ َﻋ َ و ِف و ُﺮ ْﻌ َﻤ ْﻟ ﺎ ِﺑ
ْن ِﺈ َﻓ ﱠﻦ ُﻫ ﻮ ُﻤ ُﺘ ْﻫ ِﺮ َﻛ
ﻰ َﺴ َﻌ َـﻓ ْن َأ
اﻮ ُﻫ َﺮ ْﻜ َﺗ ﺎ ًﺌ ْﻴ َﺷ
َﻞَﻌَْﳚَو ُﻪﱠﻠ ﻟ ا
ِﻪﻴ ِﻓ ا ًﺮ ْـﻴ َﺧ
اًﲑِﺜَﻛ ء ﺎ ﺴ ﻨ ﻟ ا
:
19 Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang
nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, maka bersabarlah karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. An-Nisa’: 19
Lain lagi dengan Pegawai Negeri Sipil PNS, seorang yang ingin menikah lagi, maka ada persyaratan tambahan selain yang ditetapkan Undang-
Undang No. 1 tahun 1974, sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983, yaitu izin dari atasan Pasal 9 ayat 1, harus
disertai dengan alasan dan syarat-syarat yang meyakinkan Pasal 9 ayat 2. Syarat yang dimaksud terdiri atas syarat alternatif Pasal 10 ayat 1 sama dengan tiga
syarat diizinkannya seorang laki-laki berpoligami yang tercantum dalam Undang- Undang No. 1 tahun 1974 dan syarat kumulatif Pasal 10 ayat 3 izin tertulis istri,
penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari satu istri dan anak-anak sama dengan syarat yang dicantumkan dalam Undang-Undang No. 1 tahun
1974, Pasal 5 ayat 1 yang membedakan adalah bahwa suami menunjukkan bukti pajak penghasilan dan jaminan tertulis untuk berlaku adil. Begitulah
memang aturannya, tapi dalam praktek bukan saja persyaratan-persyaratan ini
yang seringkali diabaikan, tapi juga laki-laki yang ingin menikah lagi menggunkan cara alternatif poligami, yakni dengan menikah di bawah tangan
atau bahkan kawin liar.
113
Dalam ketentuan Undang-Undang mengatur prosedur pelaksanaan poligami bagi pegawai Negeri Sipil yang beragama Islam, tetapi tidak ada aturan
yang menjamin keadilan material dan spiritual bagi para istri dan anak masing- masing sebagai akibat dari pelaksanaan poligami. Undang-Undang No. 1 tahun
1974 tentang Perkawinan pada ayat 1 Pasal 5 disebutkan tentang syarat yang berkaitan dengan jaminan keadilan untuk dapat mengajukan permohonan
poligami ke Pengadilan sebagai berikut: a.
Adanya persetujuan istri b.
Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-
anak mereka. Pada ayat 2 bahkan terdapat penegasan bahwa persetujuan dari pihak
istri bukan sesuatu yang mutlak. Persetujuan yang dimaksud, pada ayat 1 huruf a Pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri-istrinya tidak
mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 dua
113
Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Hukum, Menuju Hukum Yang berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006, h. 243
tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama.
Undang-Undang di atas tidak secara tegas menjamin keterlibatan istri dalam memberikan persetujuan terhadap suami untuk melakukan poligami.
Undang-Undang juga tidak menyediakan perangkat yang dapat menjamin kepastian perlakuan adil, baik spiritual maupun material suami terhadap para
istrinya. Konsep adil yang menjadi ketentuan Undang-Undang boleh jadi diadopsi dari norma Islam yang mengandaikan keadilan dalam poligami. Namun demikian
tidak ada kepastian, keadilan apa yang dikehendaki Undang-Undang, karena keadilan yang bersifat non materiil hampir tidak dapat dilakukan. Undang-
Undang bahkan tidak mengatur lebih jauh prosedur pelaksanaan, kontrol dan ancaman bagi pelanggaran terhadap keadilan yang menjadi syarat bagi laki-laki
yang melakukan poligami. Alasan lain yang tidak diatur dalam Undang-Undang tetapi sering
dijadikan dasar melakukan poligami adalah asumsi, bahwa angka statistik menunjukkan jumlah perempuan lebih banyak dari pada laki-laki. Beberapa
penelitian ilmiah menunjukkan bahwa perempuan usia lanjut lebih banyak dari pada laki-laki usia lanjut. Salah satu penyebabnya adalah usia harapan hidup
perempuan Indonesia lebih panjang dari pada laki-laki. Fenomena ini disebabkan antara lain, karena daya tahan tubuh perempuan pada umumnya lebih baik, dan
perempuan lebih sedikit terkena resiko penyakit jantung. Kondisi demikian menyebabkan lebih banyak perempuan yang bertahan hidup di atas usia 60 tahun
dibanding laki-laki. Dengan demikian, kelebihan jumlah perempuan terjadi di usia lanjut dan jika alasan poligami adalah menolong perempuan, maka seharusnya
poligami dilakukan dengan para manula tersebut.
114
Begitu juga terhadap pandangan, bahwa laki-laki mempunyai potensi yang lebih besar untuk melakukan hubungan seks dibanding wanita, karena wanita
secara umum pasti melalui fase haid di tiap bulannya, maka dengan alasan ini jalan keluarnya adalah dengan menikahi wanita lebih dari satu. Asghar Ali
Engineer tokoh feminis berkebangsaan India ini membantah argumen tersebut. Asghar mengatakan, ayat Al-Qur’an dan hadis tidak pernah memberikan alasan
dan petunjuk kebolehan poligami karena alasan seks. Alasan yang ada adalah menyantuni janda dan anak yatim.
115
Harus diingat, perkawinan pra Islam tidak ada batasan, sementara dalam Islam hanya maksimal empat, yakni pengurangan
secara drastis, sebuah reformasi yang luar biasa. Demikian juga yang dicontohkan Nabi, poligaminya kepada janda yang dilakukan beberapa tahun setelah kematian
Khadijah r.a., maka kebolehan poligami hanya dalam keadaan-keadaan tertentu yang sangat sulit.
Melihat realitas kehidupan perempuan yang dipoligami, tampak adanya kekerasan terhadap perempuan yang masuk di Rifka Annisa Woman Crisis Center
tahun 2000, nasib perempuan bahkan tidak terjamah Undang-Undang. Data di
114
Innayah Rahmaniyah ed., Menyoal Keadilan Dalam Poligami, h. 84-85. Lebih lanjut lihat Syafiq Hasyim, Poligami dan Keadilan Kualitatif, Jakarta: P3M, 1999
115
Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan Dalam Islam, alih bahasa Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf Yogyakarta: LSPPA 7 CUSO, 1994, h. 224
Rifka Annisa menunjukkan, bahwa 62 dari kasus poligami yang masuk pada tahun 2000 adalah poligami sirri dan hanya 38 kasus poligami yang dilakukan
secara resmi. Sementara itu, data yang ada menunjukkan, bahwa 75 dari 90 kasus kekerasan terhadap istri solusi yang dipilih adalah cerai. Perceraian yang
diakibatkan oleh poligami seperti ini tidak diakomodir dan tidak mendapatkan jaminan Undang-Undang.
Berangkat dari itu semua, sesungguhnya perkawinan yang ideal merupakan hasil proses psikologis, yang dapat mengeksplorasi segala kebutuhan
suami istri, baik secara jasmani maupun ruhani. Sehingga ada pemenuhan kebahagian dalam hidupnya. Dalam konteks sosial, sesuatu yang sakral dan
sunnah menjadi ruang yang diperebutkan oleh agama dan negara, dimana wanita berada di antara keduanya, menjadi alat kontrol dan akses mengenai seksualitas,
tubuh dan gender. Premis mengenai konstruksi aturan hukum Islam di Indonesia yang
tertuang dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, seolah- olah menempatkan perempuan ditempat yang lebih rendah di banding laki-laki.
Hal itu tentu saja tidak bisa ditelan matang-matang. Dalam beberapa nash memang ditemukan adanya teks-teks yang bersifat misoginis, tetapi tentu saja
nash tersebut bukan bermakna global dan patut diamini sebagai dalih untuk mendiskreditkan perempuan. Misalnya saja dalam permasalahan penciptaan laki-
laki Adam a.s dari tanah, sementara perempuan Hawa dari tulang rusuk
Adam
116
, atau tidak bolehnya perempuan mengimami jamaah laki-laki dalam shalat
117
. Dalam hadis yang di riwayatkan Imam Muslim dan Tirmidzi dikatakan
bahwa:
ِﲎَﺛﱠﺪَﺣ ُﺪﱠﻤَُﳏ
ُﻦ ْﺑ ِﺪ ْﺒ َﻋ
ِﻪﱠﻠ ﻟ ا ِﻦ ْﺑ
ٍْﲑَُﳕ ﱡ ِﱏاَﺪْﻤَْﳍا
ﺎ َﻨ َـﺛ ﱠﺪ َﺣ ُﺪ ْﺒ َﻋ
ِﻪﱠﻠ ﻟ ا ُﻦ ْﺑ
َﺪ ﻳ ِﺰ َﻳ ﺎ َﻨ َـﺛ ﱠﺪ َﺣ
ُةَ ﻮ ْـﻴ َﺣ ِﱏَﺮَـﺒْﺧَأ
ُﻞ ﻴ ِﺒ ْﺣ َﺮ ُﺷ ُﻦ ْﺑ
ٍﻚ ﻳ ِﺮ َﺷ ُﻪﱠﻧ َأ
َﻊَِﲰ ﺎ َﺑ َأ
ِﺪ ْﺒ َﻋ ِﻦَْﲪﱠﺮﻟا
ﱠﻰ ِﻠ ُﺒ ُ ْ ﳊ ا ُثﱢﺪَُﳛ
ْﻦ َﻋ ِﺪ ْﺒ َﻋ
ِﻪﱠﻠ ﻟ ا ِﻦ ْﺑ
َﻋ و ٍﺮ ْﻤ
ﱠن َأ َل ﻮ ُﺳ َر
ِﻪﱠﻠ ﻟ ا ﻰ ﻠ ﺻ
ﷲ ا ﻪ ﻴ ﻠ ﻋ
ﻢ ﻠ ﺳ و َل ﺎ َﻗ
ﺎ َﻴ ْـﻧ ﱡﺪ ﻟ ا ٌع ﺎ َﺘ َﻣ
ُﺮ ْـﻴ َﺧ َ و ِع ﺎ َﺘ َﻣ
ﺎ َﻴ ْـﻧ ﱡﺪ ﻟ ا ُةَأ ْ ﺮ َﻤ ْﻟ ا
ُﺔَ ِ ﳊ ﺎ ﱠﺼ ﻟ ا
118
Artinya: Berkata kepada kami Muhammad Ibnu Abdillah Ibnu Numair al-
Hamdani, menceritakan kepada kami Abdullah Ibnu Yazid, menceritakan kepada kami Khaiwah bahwa mengkhabarkan kepadaku Syurahbil Ibnu
Syarik, bahwa mendengar bapaknya Abdurrahman al-Hubuli diceritakan dari Abdullah Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Dunia
adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita sholeha”.
Kutipan hadis di atas hanyalah salah satu dari nash yang berisi tentang memuliakan perempuan, yang sekaligus meyakinkan bahwa perempuan bukanlah
seperti apa yang tertulis dalam nash-nash misoginis. Dalam al-Qur’an tidak pernah ditemukan satu ayat-pun yang menunjukkan keutamaan seseorang karena
faktor jenis kelamin atau karena keturunan suku bangsa tertentu, sebagaimana yang difirmankan Allah dalam Al Qur’an Q.S. Al-Isra’ 17 ayat 70:
116
Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, h. 62
117
Hamim Ilyas, Perempuan Tertindas, h. 3
118
Abu Husein Muslim Ibn Hajaj Ibn Muslim Al Qusyairi An-Nisaburi, Shahih Muslim,Beirut, daarul afaaq al jadiidah, t.th. Juz 4, h. 178
ْﺪ َﻘ َﻟ َ و ﺎ َﻨ ْﻣ ﱠﺮ َﻛ
ِﲏَﺑ َمَد َآ
ْﻢُﻫﺎَﻨْﻠََﲪَو ِ ﰲ
ا ﱢﺮ َـﺒ ْﻟ
ِﺮ ْﺤ َﺒ ْﻟ ا َ و ْﻢ ُﻫ ﺎ َﻨ ْـﻗ َز َر َ و
َﻦ ِﻣ ِت ﺎ َﺒ ﱢﻴ ﱠﻄ ﻟ ا
ْﻢ ُﻫ ﺎ َﻨ ْﻠ ﱠﻀ َﻓ َ و ﻰ َﻠ َﻋ
ٍﲑِﺜَﻛ ْﻦ ﱠ ِ ﳑ
ﺎ َﻨ ْﻘ َﻠ َﺧ ً ﻼ ﻴ ِﻀ ْﻔ َـﺗ
ء اﺮ ﺳ ﻹ ا :
70
Artinya: Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut
mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik- baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. Al-Isra’: 70
Kata bani Adam dalam ayat ini menunjukkan kepada seluruh anak cucu Adam, tanpa membedakan jenis kelamin, suku bangsa, dan warna kulit.
Sesungguhnya, masih banyak nas yang menjadi sandaran bahwa tidak sepatutnya ada pembedaan gender dalam hidup bermasyarakat antara laki-laki dan
perempuan, yang menjadikan posisi perempuan berada dalam segala keterbatasan. Perempuan juga membutuhkan kebebasan dalam bertindak, karena kebebasan
adalah masalah pertama yang harus diperjuangkan. Walau bagaimanapun, kebebasan merupakan kekayaan termahal bagi setiap manusia yang memiliki hak
untuk merdeka dan bebas. Namun perlu menjadi catatan, kebebasan yang ditekankan bukanlah kebebasan mutlak tanpa batas, melainkan kebebasan yang
dibatasi dengan kerangka syariat, hukum dan etika sosial. Hukum yang merupakan satu aspek kehidupan, memiliki pengaruh dalam
menentukan terjaga atau tidaknya kepentingan pribadi di samping kepentingan sosial yang beraneka ragam. Seringkali kepentingan satu pihak tidak dapat
tercapai dan berbenturan dengan pihak lain yang juga memiliki kepentingan. Hal
inilah yang menjadi tujuan mulia aturan hukum dengan menyertakan aturan- aturan aplikatif lengkap, yang pada prinsipnya merupakan kekuatan berdiri
kokohnya hukum guna mencapai tujuan mulia tersebut. Namun, sering pula hukum yang sudah dirancang sedemikian rupa, tidak dihiraukan, sehingga tujuan
mulia itu berbelok arah menjadi suatu kondisi yang dapat menimbulkan kerugian pada pihak pelaku ataupun orang lain yang berhubungan dengan itu, baik disadari
ataupun tidak. Merupakan satu hal yang tidak mudah dalam merancang suatu hukum, diperlukan pertimbangan mendalam dan meluas pada berbagai aspek.
Begitu pula bagi Indonesia, negara yang merupakan wilayah berkekuatan hukum, meliputi jutaan penduduk, aneka agama, adat dan budaya. Tugas
pembentukan hukum di Indonesia dibebankan pada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dengan sistem bottom up, yaitu hukum berasal dari aspirasi
rakyat ataupun top down, yaitu masyarakat dipaksa untuk mengerti dan mematuhi aturan yang dibuat.
Dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 selaku acuan dalam melakukan perbuatan hukum perkawinan, seharusnya bisa melihat dengan jelas
visi dan posisi perempuan dalam perkawinan. Persoalan yang timbul kemudian mengenai cinta, emosi, kebutuhan seksual, serta hak-haknya dalam rumah tangga
seyogyanya dapat dirangkul dan dicarikan solusi yang solutif, bukan seharusnya dimadu atau diceraikan saat ditemukan kelemahan fisik atau non fisik yang
menimpa kaum perempuan, seperti adanya kesenjangan dalam masalah domestik antara suami istri, adanya penyakit, bahkan saat keturunan tidak dihasilkan dalam
suatu perkawinan, selalu saja perempuan yang menjadi “tumbal” atas ketidaksempurnaan mereka.
Begitulah kacamata feminis melihat aturan poligami dalam aturan Negara. Praktik poligami yang kerap ramai dibicarakan dan dipertanyakan ketika praktik
poligami oleh para pelakunya dianggap telah banyak melakukan kekacauan dan kemudaratan di tengah-tengah keluarga yang sakinah dan tata sosial masyarakat.
Bahkan, kini telah muncul gerakan-gerakan yang menuntut kepada pemerintah agar melarang atau paling tidak membatasi, mengatur, dan lebih memperketat
praktik poligami sesuai prinsip kesetaraan. Asumsi bahwa poligami sebagai salah satu aturan yang tidak
konstitutional, disadari atau tidak, akhir-akhir ini telah memberi implikasi pada perubahan Undang-Undang tentang perkawinan di Negara-negara Muslim,
termasuk Indonesia. Asumsi ini dibangun bersamaan dengan masuknya gerakan kesetaraan gender dalam konstitusi Negara. Menurut gerakan yang dipelopori
oleh organisasi-organisasi perempuan, aturan syari’ah dianggap tidak memberikan hak yang sama kepada permpuan dalam hal perkawinan atau hukum
keluarga. Poligami merupakan aturan syariat, khususnya yang terkait dengan poligami, yang dapat membahayakan kedudukan dan peran seorang istri, jika
dikaitkan dengan persamaan hak. Karena alasan itu, organisasi-organisasi perempuan semakin lantang
meneriakkan perlunya revisi Undang-Undang tentang perkawinan sebagaimana
yang telah diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
No.1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1983 dan Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 1990 serta edaran No.08SE83 tentang Izin
Berpoligami bagi Pegawai Negeri Sipil. Mereka menilai ketentuan-ketentuan yang ada di dalam UU itu masih menyiratkan sikap anti kesetaraan
deskriminatif terhadap perempuan. Lihat dalam syarat yang diberikan Negara pada suami yang ingin
berpoligami pada Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 4 ayat 2.a atau Kompilasi Hukum Islam KHI Pasal 57 ayat a menyatakan,
“istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri”. Argumentasi yang membenarkan alasan di atas dipandang cukup berlebihan. Posisi perempuan
dalam pandangan masyarakat yang telah terkonstruk rapi sebagai seseorang yang hanya terlibat dalam urusan domestikrumah tangga seperti mengasuh anak,
menjaga harta atau hal yang bersifat materi lainnya, dan mengurus kebutuhan rumah tangga, kini agak sulit untuk diterima. Keterkaitan dunia pendidikan
dengan program pemerintah yang mencanangkan wajib belajar 9 tahun melemahkan pandangan masyarakat tersebut. Bagaimana tidak, pendidikan yang
didapatkan selama di bangku sekolah tentunya tidak bisa ditelantarkan begitu saja, dengan posisi perempuan yang harus total berada dalam ruang domestik.
Apalagi begitu banyaknya kesempatan kerja untuk lulusan Perguruan Tinggi yang
secara tidak lansung akan mengurangi waktu kerja perempuan dalam rumah tangga. Secara substansial ini akan mengurangi perannya dalam mengurus rumah
tangga. Dalam beberapa hal, pengaruh kapitalisme telah membuka kesempatan- kesempatan baru bagi perempuan termasuk kemungkinan untuk eksis di luar
keluarga dan menentang dominasi patriarkal seorang laki-laki.
119
Mencoba menelusuri referensi lain ditemukan, kesibukan atau peran perempuan wanita di ruang publik telah ada semenjak perkembangan Islam,
bukan hanya dipengaruhi faktor zaman atau kapitalisme belaka. Dalam berbagai referensi, dapat ditemui banyak perempuan Muslim mengambil bagian dalam
perang, dan beberapa diantara mereka adalah penguasa. Tidaklah benar apabila perempuan distereotipkan selalu berdiam di rumah. Semasa Rasulullah,
perempuan telah memainkan peran penting dalam dunia publik. Nabi dan sahabat setelah itu tidak pula pernah berusaha mencegah perempuan melakukan hal
seperti itu. Karena pengaruh asing dan non Islamlah yang mempromosikan pembatasan peran perempuan di wilayah publik dalam Islam.
120
Redaksi dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 4 ayat 2.a atau Kompilasi Hukum Islam KHI Pasal 57 Ayat 1 mengenai
“kewajiban istri”, dapat diartikan dalam berbagai hal. Ini disebabkan tidak adanya aturan yang menjelaskan secara eksplisit mengenai makna dan filosofisnya. Jika
119
Haideh Moghissi, alih bahasa, M. Maufur, Feminisme dan Fundamentalisme Islam, Yogyakarta: LKiS, 2005, h. 107
120
Asghar Ali Engineer, alih bahasa, Agus Nuryanto, Pembebasan Perempuan, Yogyakarta: LKiS, 2007, h. 279
redaksi tersebut dimaksudkan istri berbuat nusyuz atau tidak mengindahkan perkataan suami sebagai kepala keluarga atau bahkan istri melakukan tindakan
tidak terpuji, aturan ini tentu mudah diterima dan tidak perlu lagi diperdebatkan. Namun, lain halnya apabila redaksi ayat tersebut mengindikasikan, bahwa
keterlibatan istri di wilayah publik wanita karir, dimana suami dan istri sama- sama bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tanggganya, dianggap juga
sebagai penyelewengan istri yang tidak mampu memenuhi kewajibannya sebagai istri secara bersamaan. Akibatnya, hal yang tidak seimbang timbul dengan
seiringnya, karena bagaimana bisa dua peran dan posisi yang berbeda diwajibkan untuk memenuhi satu kebutuhan yang sama.
Pada kritik selanjutnya, mengenai Pasal 4 ayat 2.b dalam Undang- Undang yang sama disebutkan, poligami dapat dilakukan apabila “istri mendapat
cacat badan atau penyakit yang tidak bisa disembuhkan.” Sejalan dengan pemikiran feminisme, alasan yang diatur Undang-Undang di atas tidak bisa
diamini begitu saja. Butuh pembicaran dan penjelasan yang konkrit mengenai ayat tersebut. Dijangkiti suatu penyakit atau cacat yang tidak bisa lagi
disembuhkan dijadikan alat oleh suami untuk lebih leluasa melakukan poligami. Musibah yang menimpa “istri” tidak seharusnya berbuah poligami, hal ini
akan lebih meneguhkan superior laki-laki dan mendiskreditkan perempuan tanpa daya tawar. Sesungguhnya, laki-laki dan perempuan diciptakan dari jenis yang
sama, dan hanya dibedakan pada perbedaan yang spesifik antara keduanya, yaitu dalam hal biologis. Sebagai manusia, tidak boleh ada superioritas apapun dari
yang satu terhadap yang lain, karena siperioritas hanyalah sebuah ungkapan yang didasarkan pada premis yang salah, yakni laki-laki itu menjadi penguasa dan
perempuan itu yang dikuasai. Sejauh ini penyusun melihat alasan penyakitcacat sebagai alasan poligami
tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan kesetaraan yang ditawarkan Undang- Undang Dasar 1945 Pasal 27 yang menyatakan “menjamin persamaan hak antara
laki-laki dan perempuan”. Perempuan semestinya tidak kehilangan hak-haknya – sebagai istri—dalam keadaan serba kekurangan. Saat itu peran dan dampingan
suami sangat dibutuhkan, bukan malah meninggalkan lantas menikahi perempuan lain yang lebih sehat “fisik”nya.
Menyambut asumsi yang dibalik oleh pemikir feminis pada bab sebelumnya, bagaimana apabila keadaan serba tidak sehat tersebut diderita oleh
pihak suami. Apakah di sini istri patut juga untuk berpoliandri lantas menceraikan suaminya yang dianggap tidak menguntungkan bagi pribadinya. Dengan
berpoliandri pun tidak ada nas atau ketentuan yang melegalkan seorang istri untuk berbuat demikian, lalu apa tawaran yang semestinya dapat diterima perempuan
secara adil dan dapat dilegitimasi masyarakat apabila posisinya terbalik seperti ini. Sangat radikal memang. Namun, hal semacam ini apakah pernah dipikirkan
oleh mereka yang berpoligami dengan alasan istri sakit seperti ini. Dalih ini selalu terpikir untuk menciptakan wujud hukum yang adil, seimbang, dan
mensejahterkan, tanpa menguntungkan salah satu pihak dengan keberpihakan
Negara yang selalu mendukung nilai patriarkal. Saatnya suara perempuan menjadi daya tawar dalam konstruksi Undang-Undang ke depan.
Beranjak pada ayat selanjutnya, tentang izin poligami yang diberikan negara pada Pasal 4 ayat 3.c dalam Undang-Undang yang sama dinyatakan,
“Istri tidak dapat melahirkan keturunan.” Persoalan “regenerasi” di sini diangkat sebagai sumber masalah utama dalam kehidupan rumah tangga, dan menjadikan
suami berhak melakukan poligami. Keresahan yang timbul akibat tidak hadirnya seorang anak kandung dari rahim istri, patut menjadi kegalauan yang pasangan
suami istri. Anak adalah salah satu dari misi dilakukannya perkawinan, yang akan menjadi kebanggaan dan penerus kehidupan keluarga kelak. Sayangnya, menurut
penulis, penyebab tak kunjung lahirnya seorang anak, apakah disebabkan karena mandul, impotensi, atau penyakit lainnya tidak pernah dicari tahu dulu
kebenarannya, apakah itu suami atau istri. Sementara Undang-Undang mengklaim secara tegas posisi itu dibenarkan apabila berada di pihak istri. Belum lagi jika
berbicara masalah mandul atau impotensi lebih jauh, karena kata “mandul” bukan berarti tidak bisa menikmati terwujudnya nafkah batin, hanya saja tidak bisa
melahirkan keturunan yang idealnya, kebutuhan seks juga menjadi kebutuhan primer dalam kehidupan rumah tangga, bukan hanya kebutuhan suami saja atau
istri saja. Menurut penulis, dengan terjadinya kemandulan pihak istri bukan berarti
menjadikan seorang istri bisa diceraikan atau dipoligami. Poligami dapat
menghilangkan hak istri dalam perkawinan. Mandul bukan berarti tidak bisa melakukan hubungan seksual yang bisa memberikan kepuasan satu sama lain
hingga titik nadir. Mandul juga bukan berarti kehilangan gairah untuk melakukan hubungan intim kedua pasangan. Mandul dapat diartikan sebagai kegagalan, tidak
berhasil, atau tidak dapat membentuk keturunan pada manusia.
121
Selama ini diasumsikan, bahwa mandul berarti seseorang perempuan telah kehilangan
gairah seksualnya untuk melakukan hubungan seks dengan partnernya, atau tidak mampu melaksanakan kewajibannya secara batiniah. Dengan alasan itu ia tidak
berhak lagi untuk mendapatkan nafkah batinnya disebabkan faktor mandul, dan dengan itu dia boleh dipoligami. Padahal, salah satu tujuan perkawinan adalah
terpenuhinya kebutuhan seksual. Dengan keadaan mandul pun, tentunya istri masih dapat melakukan hubungan badan dengan satu kelemahan, yakni tidak bisa
membuahkan keturunan. Berbeda dengan infertille atau impotensi, yang dialami oleh laki-laki atau
pihak suami.
Impotensi yang
dikarenakan ketidakmampuan
untuk mempertahankan ereksi ini, lebih bersifat merugikan bagi istri. Dengan terjadinya
impotensi tentunya hubungan suami istri tidak dapat dilakukan karena salah satunya “bermasalah”. Hal semacam ini yang jelas-jelas merugikan salah satu
pihak perempuan tidak pernah terjamah oleh Undang-Undang untuk
mengkodifikasikannya ke dalam materi Undang-Undang Perkawinan. Jelas terlihat dalam kasus ini, apabila laki-laki yang mempunyai masalah seputar
121
httpwww.wikipedia.com
perkawinanpoligami dapat diberi solusi oleh Undang-Undang berupa syarat alternatif yang salah satunya jika istri mandul. Namun tidak bagi perempuan,
yang mempunyai masalah perkawinan dengan keadaan suami yang impoten. Perempuan hanya dituntut untuk setia dan mencoba belajar untuk menerima
keadaan. Sungguh keadaan yang sangat ironis sekali. Mari belajar pada pernikahan Rasulullah dan Khadijah r.a, bahwa
persoalan regenerasi bukan satu-satunya hal yang perlu dipermasalahkan. Sejarah bangsa arab menceritakan, bahwa saat itu anak laki-laki adalah segala-galanya
bagi mereka, maka tak heran jika seorang perempuan melahirkan anak perempuan akan menanggung malu dan menjadi aib bagi keluarga mereka, tak ayal bayi
perempuan juga banyak yang dibunuh dan dikubur hidup-hidup untuk menjaga kehormatan keluarga mereka. Prilaku yang sangat jahiliyah. Kebiasaan tersebut
masih mentradisi hingga masa Rasul, walaupun saat itu tidak ada lagi bayi-bayi perempuan yang dibunuh dan dikubur hidup-hidup, tetapi anak laki-laki tetap
menjadi segalanya. Frame sejarah di atas dapat jadikan sebuah telaah, jika Rasul
mengutamakan misi pernikahan adalah “regenarasi”dan mempermasalahkan hal tersebut, tentunya Rasul sudah menikahi perempuan lain yang bisa memberikan
beliau anak laki-laki, untuk membantu da’wah beliau dalam mengembangkan Islam. Dalam kenyataannya, tidak sedikitpun terlihat adanya hasrat beliau untuk
meimpikan wujud anak laki-laki dan menafikan Aisyah r.a sebagai satu-satunya keturunan Rasulullah yang berjenis kelamin perempuan. Sementara praktek
poligami yang digembor-gemborkan selalu diinisiasi dari sunnah Rasulullah. Jika dihadapkan dalam kontek seperti frame di atas, apakah izin poligami karena istri
tidak dapat melahirkan tetap dijadikan alasan untuk melegalkan poligami suami di mata hukum. Menurut penyusun aturan tersebut mesti ditinjau kembali agar
benar-benar bisa mengamalkan seruan syari’at sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah.
Mencermati isi Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 4, apabila aturan tersebut tetap dijalankan seperti yang telah ada sekarang
tanpa diberikan sebuah inovasi baru, maka menurut Beni Ahmad Saebani akan menghasilkan poin yang sangat berujung dilematis bagi perempuan, dan tidak
untuk laki-laki, yakni perceraian dan poligami
122
. Solusi yang berupa alternatif tersebut bukanlah sebuah tawaran yang
diinginkan. Dengan mengambil jalan bercerai tentu sangat menyakitkan. Memang jalan perceraian dapat menyelesaikan satu masalah, tetapi melahirkan masalah
baru. Karena dalam hukum Islam tidak dibenarkan melakukan hal tersebut, yakni mencari kemaslahatan dan meninggalkan kemudaratan dibelakangnya. Mudarat
bagi wanita adalah sulit mengganti suaminya karena ketidakmampuannya bertindak sebagai istri. Setelah diceraikan, siapa yang hendak menikahinya nanti?
Apalagi saat berada dalam keadaan sakit atau di klaim mandul karena tidak bisa melahirkan oleh suami dan pengadilan. Akhirnya, penderitaan panjang yang
122
Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Dalam Hukum Islam Undang-Undang, Perspektif Fiqh Munakahat Undang-Undang no. 1 tahun 1974 Tentang Poligami dan Problematikanya,
Bandung: Pustaka Setia, 2008, h, 32
didapati istri yang tidak ada akhirnya, lantaran tidak ada yang mau menikahinya lagi. Sementara hak seksual istri tidak dipikirkan lagi, karena hukum dianggap
menilai hak seksual itu hanya kebutuhan bagi laki-laki yang diprediketkan “machoisme” sebagai lambang kejantanan. Sebaliknya, perempuan dipandang
sebagai objek menguntungkan hanya dari seksualitas belaka. Alternatif kedua adalah suami mengambil jalan poligami. Tindakan inipun
dirasakan berat, terutama bagi wanita. Sulit bagi istri untuk menerima pengalaman pahit ini, bahkan ini akan menjadi pengalaman terburuk sepanjang
hidupnya. Betapa tidak, suaminya akan bercumbu dengan perempuan lain, perbuatan yang selama ini dilakukan oleh suaminya bersama dirinya.
Posisi perempuan sebagai istri oleh Undang-Undang maupun oleh Peraturan Pemerintah RI sebagaimana diuraikan di atas, berada dalam posisi yang
sangat dilematis. Dalam satu sisi Undang-Undang menjamin hak yang sama dalam hukum dan masyarakat antara perempuan dan laki-laki, tetapi di satu sisi
malah Undang-Undang ini masih memberi peluang seorang suami untuk beristri lebih dari satu.
123
Semuanya telah diatur, jika istri mandul maka suami boleh melakukan poligami, kalau tidak istri berpeluang akan diceraikan. Peran istri
dalam kasus ini tidak mempunyai daya tawar untuk bisa mendapatkan jaminan yang lebih baik.
123
Zohra Andi Baso, Langkah perempuan, Makassar: Yayasan Lembaga Konsumen, 2000, h. 8
Keadilan yang dikemukakan oleh Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 41 adalah
keadilan di sisi materi saja, karena tidak ada sedikitpun kalimat yang ditemukan menyatakan keadilan dari sisi batiniah istri yang dipoligami, dan ini kurang
menunjukkan rasa adil. Karena dalam Undang-Undang juga tidak menyebutkan bila suami yang mengalami hal yang sama, maka istri berhak mengajukan hal
yang sama, atau melakukan tindakan yuridis lainnya yang dapatdibenarkan Undang-Undang.
Sejumlah pasal dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 tentang Izin
Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil, termasuk di dalamnya aturan poligami, mengandung nilai-nilai yang deskriminatif terhadap perempuan yang
berpengaruh dalam kehidupan perkawinan dengan aturan yang ambigu dan standar ganda. Di satu sisi, perkawinan berdasarkan azaz monogami, namun di
sisi lain perkawinan poligami dibolehkan secara bersyarat. Akibatnya perempuan tidak memiliki posisi meyakinkan dalam perkawinan. Padahal Indonesia telah
meratifikasi konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan melalui Undang-Undang No. 7 tahun 1984 sejak lebih dari 20 tahun
yang lalu. Meskipun ada perempuan yang mengetahui adanya hal-hal yang
diskriminatif, hal ini sulit untuk diungkapkan atau dijadikan bahan argumentasi karena pemikiran mereka yang telah dikuasai oleh nilai-nilai yang dominan di
masyarakat. Misalnya, bahwa poligami diperbolehkan dalam Islam dengan mengabaikan berbagai persyaratan dalam berpoligami. Hal ini disebabkan
perempuan secara budaya disosialisasikan untuk tidak berekspresi dalam mengungkapkan apa yang diinginkannya, dan karena kelompok-kelompok yang
normanya norma laki-laki dominan dalam masyarakat menghasilkan dan mengontrol secara dominan dalam berekspresi. Akhirnya, stigma tersebut menjadi
benar-benar dominan dan terstruktur di masyarakat, akibatnya perempuan menanggapi poligami sebagai suatu hal yang sewajarnya karena itulah norma
yang dominan di masyarakat, terlepas apakah poligami tersebut memenuhi aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam Islam limited poligamy atau tidak.
124
Sementara itu, masih dalam konstruk budaya yang menjadikan perempuan sebagai pihak yang didominasi, kondisi dengan dominasi tersebut, istri
mengamati akan terjadi hal yang “membahayakan” dirinya dimadu, isteri hanya akan bereaksi mengalah dan diam, reaksi diam dan terpaksa mengalah
menunjukkan ketidakberdayaannya terhadap kekuasaan suami. Inilah budaya patriarkhi yang lahir akibat adanya kekuasaan suami dalam perkawinan yang
terjadi karena unsur-unsur kultural yang di dalamnya terdapat norma-norma di dalam kebudayaan tertentu yang memberi pengaruh menguntungkan bagi suami.
Pembedaan peran dan posisi antara suami dan istri dalam keluarga dan masyarakat diturunkan secara kultural dalam masyarakat setiap generasi bahkan
124
Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Hukum, Menuju Hukum Yang berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006, h. 250
sampai diyakini sebagai ideologi, yang akhirnya dilegitimasi sebagai ketentuan Tuhan dan Agama yang tak dapat dirubah. Ideologi ini kemudian melahirkan dan
mendefinisikan bagaimana perempuan dan laki-laki seharusnya berpikir dan bertindak. Kenyataan inilah yang akhirnya melahirkan deskriminasi gender.
Asumsi terakhir yang penulis kutip dari tulisan tokoh feminis Indonesia, Gadis Arivia mengungkapkan, bagaimana hukum bisa belajar dan merasakan
pengalaman-pengalaman perempuan? Mulai dari masyarakat yang heterogen, suara yang plural, dan ontologi perbedaan seksual.
125
C. Implikasi Poligami Dalam Persfektif Feminisme di Indonesia