35
Tindak pidana ta‟zir ini tidak ditentukan oleh syariat sebagaimana dalam hudud dan qisas wa diyat. Syariat hanya menetapkan sebagian saja, yaitu seperti
riba, mengkhianati amanah, mencel orang lain dan korupsi. Ini karena jarimah- jarimah tersebut mempunyai sifat berbahaya yang terus menerus bagi masyarakat
dan tata tertib umum. Sedang sebagian besar lainnya diserahkan kepada yang berwenang untuk
menetapkannya sendiri dengan syarat harus diperlukan oleh masyarakat, demi memelihara kemaslahatan dan peraturan umumnya dan dengan syarat tidak
menyalahi nash-nash syariat dan prinsip-prinsipnya. Perbedaannya adalah, yang ditetapkan oleh syariat itu keharamannya terus menerus, sedangkan yang
ditetapkan oleh pemerintah itu tidak demikian. Menurut hukum Islam huku
man ta‟zir adalah hukuman yang tidak tercantum nash atau ketentuannya dalam Al Qur‟an dan As-Sunnah, dengan
ketentuan yang pasti dan terperinci. Sedangkan menurut hukum positif dalam pengertian di atas, hukuman itu harus tercantum dalam Undang-Undang. Akan
tetapi, apabila dipelajari dengan teliti maka dapat juga kita temui persesuaiannya terutama pada garis besarnya. Hukuman ta‟zir dimaksudkan untuk mencegah
kerusakan dan menolak timbulnya bahaya. Apabila tujuan diadakannya ta‟zir itu demikian maka jelas sekali hal itu ada dalam Al-Qur;an dan As-Sunnah, karena
setiap perbuatan yang merusak dan merugikan orang lain hukumnya tetap dilarang. Allah SWT berfirman dalam Al-
Qur‟an. QS. Al-Qashash: 77
36
Artinya: dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. QS. Al-Qashash: 77
Juga dalam sebuah hadis Rasulullah SAW, bersabda:
Dari Abi Sa‟id Sa‟ad ibn Malik ibn Sinan ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda: Janganlah membahayakan orang lain dan jangan membahayakan diri sendiri.
HR. Ibnu Majah dan Ad-Duruquthni
37
Abdul Qadir Audah membagi hukam ta‟zir kepada tiga bagian: -
Hukuman ta‟zir atas perbuatan maksiat. -
Hukuman ta‟zir dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umum. -
Hukuman ta‟zir atas perbuatan-perbuatan pelanggaran mukhalafah.
38
37
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika: Jakarta, September 2004, cetakan pertama, h. 11.
38
Abdul Qadir Audah, At Tasyri‟ Al-Jinaiy Al-Islamiy,Dar Al-Kitab Al‟Araby, Beirut, tanpa
tahun, h. 128.
37
Perbedaan mendasar antara macam- macam ta‟zir diatas adalah bahwa
suatu perbuatan itu, dalam kategori pertama hukumnya adalah haram selama- lamanya dan merupakan maksiat. Jadi zatnya itu haram. Sedangkan perbuatan itu
pada kategori kedua tidak dianggap haram melainkan memenuhi kriteria tertentu. Dengan demikian yang haram bukan zatnya, tapi sifatnya. Adapun perbuatan
pada kategori ketiga itu memang diperintahkan atau dilarang akan tetapi melakukannya dianggap sebagai pelanggaran, bukan maksiat. Jadi yang ketiga ini
merupakan perbuatan yang diharamkan syariat zatnya, namun jika dilakukan dianggap sebagai pelanggaran, bukan sebagai maksiat.
Dengan melihat penjelasan diatas maka seorang pelaku tindak pidana pencucian uang dapat dihukum dengan hukuman
ta‟zir sanksi pidana yang ditetapkan oleh negara.
39
39
http:www.voa-islam.comnewsindonesiana2012070419758menerima-uang-dari- tindak-pidana-pencucian-hukumnya-haram
artikel diambil pada 10 juli 2013
38
BAB III TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PASIF MENURUT UNDANG-
UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 DAN HUKUM PIDANA ISLAM
A. Pencucian Uang Pasif menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.
Pasal yang mendukung tentang pencucian uang pasif dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2010 terdapat di Pasal 5 ayat 1 yaitu:
“Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 lima tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 satu
miliar rupiah”. Penulis memiliki pandangan yang sama dengan apa yang di maksud
dalam Pasal 5 ayat 1 ini, bahwa seseorang yang menerima aatau memanfaatkan uang yang patut diduganya merupakan hasil dari tindak pidana pencucian uang,
maka orang tersebut bisa diberikan sanksi sesuai dengan isi pasal 5 ayat Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2010 tersebut.
Yang dimaksud dengan “patut diduganya” adalah suatu kondisi yang memenuhi setidak-tidaknya pengetahuan, keinginan, atau tujuan pada saat
terjadinya transaksi yang diketahuinya yang mengisyaratkan adanya pelanggaran hukum.
Ketika ada pencucian aktif pasti ada pencucian pasifnya, yang jelas di dalam hukum penerima pasif itu adalah bagian dari pencucian uang. Contoh lain
39
adalah penanganan pencucian uang yang dilakukan Badan Narkotika Nasional BNN dengan tersangka Kalapas Narkotika Nusakambangan Marwan Adli.
Dalam kasus tersebut, Marwan memanfaatkan nama dua anak dan seorang cucunya untuk membuka rekening dan menampung uang hasil transaksi
narkotika. Mereka yang dimanfaatkan, memang tidak mengetahui dari mana dan untuk apa uang yang ditransfer ke rekening mereka. Anak dan cucu Marwan pun
diketahui tidak pernah menikmati uang tersebut, karena pengelolaan sepenuhnya di tangan Marwan.
Artinya harus mulai dimunculkan kesadaran untuk bertanya uang tersebut berasal dari mana. Langkah itu untuk menghindari praktik-praktik korupsi dari
awal. Dalam upaya penyidikan kasus pencucian uang yang dilakukan Fathanah, KPK dapat menerapkan pola demikian. Penyidikan dapat dilakukan sekaligus
baik aktor pencucian uang yang berperan aktif atau pun pasif penerima. Kalau berlama-lama tidak dijerat maka pelaku akan memiliki cara sendiri untuk
menghilangkan hasil dari pencucian uang. Vitalia Shesya, Ayu Azhari, dan beberapa perempuan lainnya menerima aliran dana dari Fathanah. Mereka ada
yang sudah mengembalikan dan ada juga yang hartanya disita KPK. Sejauh ini, hasil pemeriksaan mereka tidak ada kesengajaan untuk melindungi. Mereka tidak
tahu asal usul uang itu, kata juru bicara KPK Johan Budi saat dikonfirmasi detikcom, Jumat 1052013. Johan menjelaskan, pengakuan Fathanah,
perempuan itu adalah temannya. Uang itu juga, berdasarkan pengakuan diberikan
40
untuk hubungan bisnis, manggung, dan sebagai teman. Mereka juga tidak menanyakan dari mana uang itu, tuturnya.
40
B. Pencucian Uang Pasif Menurut Hukum Pidana Islam.
Penjelasan mengenai pencucian uang pasif antara hukum Islam dan hukum konvensional adalah sama, dimana apabila kita menerima hadiah ataupun
hibah dari seseorang alangkah lebih baik kalau kita menyelidiki asal usulnya pemberian tersebut.
Mencari asal usul harta yang diberikan kepada kita di perbolehkan apalagi di zaman seperti sekarang ini, segala sesuatunya harus lebih berhati-hati. Karena
semakin berkembangnya jaman semakin berkembang pula kejahatannya. Dimana menerima dan memanfaatkan uang yang berasal dari pencucian
uang haram hukumnya. Hal ini diatur dalam al-Quran Surat al-Baqarah 188.
Artinya: dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan janganlah kamu membawa urusan
harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, Padahal kamu mengetahui.
QS. Al-Baqarah: 188
Hal sama juga ditegaskan dalam al-Quran Surat al-Nisa: 29.
40
http:news.detik.comread20130512064425224340510kpk-bisa-jerat-penerima-pasif- duit-fathanah-dengan-pasal-pencucian-uang
artikel diambil 5 juli 2013
41
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. QS. Al-Nisa:
29
Penerima uang yang berasal dari tindak pidana pencucian uang wajib mengembalikannya kepada negara. Uang tersebut kemudian dimanfaatkan untuk
kemaslahatan umum. Penerima hasil pencucian uang tidak perlu dihukum jika sudah mengembalikan hasil itu kepada negara. Hal ini dinilai wajar, karena
penerima belum tentu berperan sebagai pelaku kejahatan asal yang kemudian hasilnya diputar dalam proses pencucian uang.
C. Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang Pasif
Pada ranah hukum pidana Islam, permasalahan kejahatan Money Laundering ini dapat dikategorikan ke dalam Fiqih Jinayat. Jinayat dalam istilah
hukum sering disebut delik atau tindak pidana. Secara etimologi, Jinayah merupakan bentuk verbal noun mashdar dari kata jana yang berarti berbuat dosa
atau salah, sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah. Secara terminologi kata jinayat mempunyai beberapa pengertian, bahwa jinayat
adalah perbuatan yang dilarang oleh syara‟ baik perbuatan itu mengenai jiwa,