1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagaimana diungkapkan oleh Jan Hendrik Rapar yang diambil dari definisi Plato dalam Pengantar Filsafat bahwa filsafat ialah ilmu yang berupaya
untuk memahami hakikat realitas ada dengan mengandalkan akal budi.
1
Karena filsafat mencoba memahi segala realitas yang ada, sehingga objeknya melingkupi
segala yang ada termasuk juga manusia. Ketika filsafat berobjekkan manusia, filsafat menjadi ilmu yang mengaji
tentang seluk-beluk manusia. Dalam artian, filsafat akan membahas mengenai manusia secara mendalam, baik dari unsur dan fungsi hidupnya. Jika dikaitkan
dengan suatu tokoh, itu berarti mengacu pada pemikiran tokoh tersebut mengenai manusia itu sendiri secara mendalam. Maka dari itu, kajian menganai filsafat
manusia mengarah pada hakikat manusia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, manusia disebutkan sebagai alam
kecil yang merupakan bagian dari alam besar yang ada di atas alam. Ia adalah makhluk yang bernyawa, makhluk antromorphen dan merupakan binatang yang
menyusui, akan tetapi juga merupakan makhluk yang dapat mengetahui dan menguasai kekuatan-kekuatan alam di luar dan di dalam dirinya, baik lahir
maupun batin.
2
1
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat Yogyakarta: Kanisius, 2010, Cet. Ke-14, h. 15.
2
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka, 1987, Cet. Ke-1, h. 291.
Al- Qur’an menyebutkan manusia dengan beberapa istilah, yaitu basyar,
insân dan nâs. Istilah basyar mempunyai arti bahwa manusia merupakan makhluk yang terdiri dari karakteristik fisiologis, biologis dan psikologis.
3
Istilah insân digunakan dalam al-
Qur’an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, yaitu jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang dengan
yang lain akibat perbedaan fisik, mental dan kecerdasan.
4
Maka aspek jiwa dan raga inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang memang benar-benar
berbeda dengan makhluk lain. Sedangkan istilah nâs digunakan untuk menunjukkan sifat universal manusia atau untuk menunjukkan spesies manusia.
Artinya ketika menyebut nâs berarti adanya pengakuan terhadap spisies di dunia ini yaitu manusia.
5
Insân merupakan istilah yang sangat cocok untuk menggantikan istilah manusia yang akan dibahas dalam kajian ilmiah ini. Dalam membahas tentang
manusia insân dalam bahasa al- Qur’an, para tokoh Islam mempunyai beragam
pendapat, sesuai dengan latar belakang keilmuannya. Menurut al-Jîlî, manusia merupakan makhluk yang keruhaniannya
merupakan unsur pokok dalam hidupnya. Unsur pokok tersebut yang menjadikan manusia memiliki potensi untuk meneladani sifat-sifat Tuhan.
6
Dengan usaha ini, sesungguhnya manusia berada dalam proses pengembaraan menuju Tuhan.
3
Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Glogal, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaidi Jakarta: Paramadina, 2003, h. 300.
4
M. Qurash Shihab, Wawasan al- Qur’an Bandung: Mizan 1997, h. 278.
5
Bahruddin, Paradigma Psikologi Islam: Studi tentang Elemen Psikologi dari al- Qur’an
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, h. 76.
6
Abdul Karîm Ibnu al-Jîlî, Insân Kâmil: Ikhtisar Memahami Kesejatian Manusia dengan Sang Khâliq hingga Akhir Zaman, terj. Misbah el-Majid Surabaya: Pustaka Hikma Perdana, 2006, h.
319.
Keintiman antara manusia dan Tuhan merupakan titik akhir dari pengembaraan tersebut. Pada tahap ini manusia sesungguhnya sudah mencapai realitasnya
sebagai manusia yang hakiki. Berbeda dengan
„Alî Syari
‘
atî, ia memandang bahwa manusia tidak akan pernah mencapai realitasnya, karena antara manusia dan Tuhan selalu terdapat
jarak yang memisahkan keduanya. Sehingga manusia pada hakikatnya selalu berada dalam proses menuju realitasnya.
7
Jadi meskipun dengan segala unsur- unsur individunya ia berpotensi untuk mencapai taraf yang lebih tinggi dari
tingkatan kemanusiaan yang dicapainya, tetapi pencapaiannya hanya sebatas terus- menerus maju ke arah realitasnya.
8
Kalau kedua tokoh di atas membahas tentang manusia dalam kaitannya dengan penyatuannya dengan Tuhan, tetapi Abudurrahman Wahid dan Murtadlâ
Muthahharî membahas tentang manusia yang dikaitkan dengan eksistensi manusia sebagai makhluk yang hidup di dunia dan bertugas untuk menjaga
keberlangsungan hidupnya. Dalam menjaga keberlangsungan hidup manusia, kedua tokoh tersebut menjelaskan dimensi-dimensi manusia yang kemudian
diarahkan untuk menjaga keseimbangan berbagai aspek dari hidup manusia. Tetapi keduanya mempunyai perbedaan titik tekan dalam mencapai tujuan
dari konsepnya. Gus Dur menjelaskan dimensi-dimensi manusia yang
7
„Alî Syari„atî, Tugas Cendikiawan Muslim, terj. Muhammad Faishol Hasanuddin Jakarta: YAPI, 1990, h. 68-69.
8
„Alî, Tugas Cendikiawan Muslim, h. 64.
dikembangkan itu berujung pada ranah sosial.
9
Sedangkan Murtadlâ Muthahharî menjabarkan dimensi-dimensi manusia tersebut berpangkal pada keimanan dan
keilmuan.
10
Dalam merumuskan konsep tentang hakikat manusia filsafat manusia, kedua tokoh sama-sama mendapatkan inspirasi dari al-
Qur’an. Al-Qur’an merupakan landasan utama keduanya dalam konsep tersebut, sehingga dalam
membahas tentang manusia, keduanya juga menyertakan ayat-ayat yang kemudian dijabarkan. Maka pembahasan kedua tokoh tentang ayat-ayat mengenai manusia
perlu juga dibahasnya. Selain pembahasan mengenai kebebasan manusia dalam menentukan masa depannya.
Latar belakang dari penulisan skripsi ini adalah berawal dari konflik Sunni dan Syiah yang terjadi di Sampang pada 26 Agustus 2012. Berdasarkan MUI Jawa
Timur konflik tersebut lahir karena perbedaan aliran, yaitu Sunni dan Syiah. Meskipun para peneliti menyebutkan bahwa faktor digerakkannya masyarakat
adalah masalah keluarga pemimpin masing-masing kelompok, tetapi faktanya masyarakat itu bergerak atas nama membela Islam dari kesesatan Syiah.
Ajaran-ajaran Syiah yang sangat berbeda dengan Sunni yang kemudian dianggap sesat antara lain ialah anggapan Syiah yang memposisikan Imam seperti
nabi, anggapan Syiah tentang selainnya adalah pelacur, menghalalkan darah Sunni,
9
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan Jakarta: The Wahid Institute, 2007, Cet. Ke-1, h. 30.
10
Murtadlâ Muthahharî, Perspektif al- Qur’an tentang Manusia dan Agama, terj. Haidar
Bagir Bandung: Mizan, 1992, Cet. Ke-6, h. 30.
melecehkan Nabi dan Ummul Mu ’minin dan lainnya.
11
Ajaran-ajaran ini yang membakar jiwa jihat Sunni Sampang, sehingga mereka menganggap ajaran Syiah
sebagai ajaran yang bertentangan dengan Islam. Mereka menjadi tak lagi mampu melihat persamaan-persamaan bahwa mereka juga berlandaskan al-Qur
’an dan hadis.
Dari faktor inilah, penulis terpanggil untuk mencari titik persamaan dari kedua aliran tersebut melalui pengkajian terhadap pemikiran masing-masing satu
tokoh dari kedua aliran tersebut. Dengan demikian penulis mengambil Abdurrahman Wahid dan Murtadlâ Muthahharî sebagai perwakilan. Alasannya,
kedua tokoh tersebut hidup di masa yang sangat dekat, umurnya hanya selisih 20 tahun. Di samping itu, keduanya merupakan tokoh yang mempunyai pengaruh
yang cukup besar di Sunni dan Syiah dan bahkan di dunia pemikiran. Kemudian, kedua tokoh tersebut sama-sama tidak hanya membaca buku-buku pemikiran
Islam, tetapi juga membaca dan mengkaji secara mendalam buku-buku karya filosof barat.
Di tengah perbedaan yang begitu menyeramkan itu, menjadi sangat menarik ketika pemikiran keduanya tersebut dibahas untuk kemudian mencari titik
temu yang tepat sekaligus perbedaannya dalam suatu kajian komparasi. Maka untuk mencapai hal itu, penulis mengangkat tema tersebut dalam sebuah penelitian
skripsi yang berjudul Filsafat Manusia: Studi Komparasi antara Abdurrahman Wahid dan Murtadlâ Muthahharî.
11
MUI Jawa Timur, Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia MUI Prof. Jawa Timur, No. Kep-01SKF-MUIJTMI2012, Tentang kesesatan ajaran Syiah.
B. Batasan Masalah