Mebal Valor.
42
Bahkan pemikiran-pemikiran yang cemerlang dan langkah- langkah yang mencengangkan itu juga mendapatkan perhatian dari Universitas
Tampel. Dan namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study.
43
Keluasan cakrawala keilmuannya yang melintasi ilmu agama serta kepiawayannya memanfaatkan ilmunya untuk memberikan solusi-solusi kreatif
mengenai seluruh aspek permasalahan-permasalahan umat merupakan keunggulan Gus Dur yang patut dijuluki sebagai pendekar intelektual yang
handal. Bahkan sampai saat ini tampaknya belum ada tokoh Islam yang mampu menggantikan posisi tersebut.
B. Murtadlâ Muthahharî
1. Riwayat Hidup
Murtadlâ Muthahharî merupakan putra dari seorang ulama terkemuka dan dihormati, Syekh Muhammad Husain Muthahharî.
44
Muhammad Husain adalah orang pertama yang memperkenalkannya dengan ilmu pengetahuan. Ia
berada di bimbingan ayahnya sampai 12 tahun setelah kelahirannya.
45
Kelahirannya bertepatan pada 2 Februari 1920 M yang bertepatan dengan 12 Jumadil Ula 1228 H di Fariman.
46
42
Abdurrahman Wahid, http:id.wikipedia.org.
43
Ibid.
44
Haidar Baqir, Murtadlâ Muthahharî, Sang Mujahid Sang Mujahid Bandung: Yayasan Muthahharî, 1998, h. 25.
45
Syamsuri, “Manusia Sempurna Perspektif Murtadlâ Muthahharî” Laporan Penelitian Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2001, h. 8.
46
Haidar, Murtadlâ Muthahharî, h. 26.
Bekal ilmu keagamaan pertamakali didapatkan dari ayahnya. Sehingga sang ayah bukan hanya sekedar orang tua darinya, tetapi juga menjadi seorang
guru yang sangat mempunyai perhatian yang cukup tinggi terhadap pendidikannya, sehingga ia selalu membimbingnya dengan baik. Sedangkan
keilmuan tentang membaca, menulis, surat-surat pendek al- Qur’an dan
pengentar sastra Arab didapatkan dari madrasah di Fariman tempat ia belajar.
47
Tampaknya, ilmu-ilmu yang didapatkan itulah yang kemudian menjadi bekal dan bahkan mampu memengaruhi perkembangan intelektualnya.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar tersebut, ia kemudian berpetualang ke Hawzah Masyhad untuk melanjutkan studi keagamaannya.
Tempat itu adalah pusat pendidikan agama Syi’ah. Di Hawzah Masyhad
tersebut, Muthahharî telah menunjukkan kecerdasan dan keseriusan dalam upaya mempelajari ilmu-ilmu Islam. Di sana, beliau juga telah menunjukkan
minat besar terhadap filsafat dan Irfan. Selama di Masyhad, beliau banyak terinspirasi oleh kepribadian seorang filsuf Islam tradisional ternama kala itu,
Mirza Mehdi Syahidi Razavi.
48
Tepatnya pada 1936, ia pindah ke Qom untuk memperdalam ilmu keagamaan. Di tempat tersebut, ia belajar di bawah bimbingan Ayatullah
Boroujerdi dan Khomeini.
49
Tentunya kepindahan tersebut berlasan yang kuat.
47
Dewan Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, h. 313.
48
Muhsin Labib, Filosof Sebelum dan Sesudah Mulla Shadra Jakarta: Lentera, 2005, h. 278.
49
Jamaluddin Rahmat, “Kata Pengantar,” dalam Murtadlâ Muthahharî, Perspektif al Qur’an tentang Manusia dan Agama Bandung: Mizan, 1992, h. 8.
Di antara faktor-faktor yang menjadikannya pindah ialah pertama, guru yang menjadi curahan perhatiannya, Mirza Mehdi Syahidi Razawi wafat pada
tahun 1936. Kedua, Kemunduran yang dialami Hawzah Masyhad. Ketiga, adanya tekanan-tekanan destruktif dari pemerintah tirani yaitu raja Reza Khan,
terhadap seluruh lembaga-lembaga ke-Islam-an, termasuk Hawzah Mashyad.
50
Kerajaan Persia kala itu menganggap bahwa eksistensi berbagai institusi Islam tersebut dapat mengganggu stabilitas politis negara.
51
Khomeini merupakan guru yang mempunyai hubungan yang sangat dekat dengannya. Sang imam adalah pengajar muda yang mempunyai
kedalaman dan
keluasan wawasan
keislaman dan
kemampuan menyampaikannya kepada orang lain dengan sangat baik. Kehebatannyalah
yang menjadikan pelajaran-pelajaran khomaeni terutama pelajaran mengenai irfannya meninggalkan bekas yang amat kuat dalam hati Muthahharî. Bahkan
materi yang disampaikan Khomaeni itu masih terngiang-ngiang di telinganya sampai beberapa hari setelah mendengarkannya.
Tidak hanya Khomaeni yang menjadi gurunya. Bahkan ʻAllamah
Thabatthaba ʻî yang juga merupakan ulama besar di masanya juga menjadi guru
favoritnya di bidang filsafat dan irfan. Sedangkan pemikiran ʻAllamah juga
dipengaruhi kajian-kajian mengenai Nahj al-Balâghah. Nahj al-Balâghah
50
Muhsin, Filosof, h. 279.
51
Murtadlâ Muthahharî, Mutiara Wahyu, terj. Syekh Alî al- Ḥamîd Bogor: Cahaya, 2004, h.
155-156.
merupakan kumpulan wacana, pidato, surah-surah dan kata-kata bijak khalîfah keempat dan imam pertama dalam madzhab
Syi’ah, „Alî bin Abî Thâlib.
52
Pada tahun 1950 Murtadlâ konsentrasi lebih keras lagi pada studi filsafat. Ia meneruskan bacaannya tentang Marxisme melalui terjemahan Persia
dari karya George Pulizer yang berjudul Introduction to Philosophy dan mulai mengikuti diskusi Kamis Thabatthaba
ʻî tentang “filsafat materealis.” Diskusi ini berlangsung dari tahun 1950-1953 dan menghasilkan lima jilid buku Ushul-
e Falsafah va Ravesh-e Realism Prinsip-prinsip Filsafat dan Metode Realistik. Murtadlâ kemudian mengedit karya ini dan menambahkan catatan-catatan yang
luas lebih besar dari naskah aslinya sendiri dan secara bertahap menerbitkannya 1953-1985. Di samping itu pada waktu ini ia mempelajari Ibn
Sina dengan Thabatthaba ʻî. Di antara teman kelasnya adalah Muntazeri dan
Behesti Mengenai Nahj al-Balâghah, selain dikenal merupakan suatu model
ketinggian sastra Arab, seperti antara lain diungkapkan oleh Syaikh Mu
ammad „Abduh, kitab ini berisi banyak ungkapan-ungkapan teologis, filosofis, dan mistis yang amat sophisticated. Dari kitab ini di samping ucapan-
ucapan para imam lain kaum Syi’ah menggali banyak dasar-dasar filsafat dan irfan. Inkorporasi Nahj al-Balâghah ke dalam sistem Filsafat Islam yang
berkembang di Iran diketahui mencapai puncaknya pada aliran Hikmah Mullah Shadra. Untuk sekedar mengetahui isinya, khususnya yang menarik minat
52
Haidar Baqir, Membincang Metodologi Ayatullâh Murtadlâ Muthahharî Yogyakarta: UGM, 2004, h. 2.
Muthahharî, berikut ini adalah topik-topik yang terutama dibahas kitab ini Muthahharî
dalam karyanya
yang berjudul
Sayr’e dar Nahu al- Balâghah pelancangan dalam Nahj al-Balâghah. Teologi dan metafisika,
suluk tasawuf dan ibadah, kuliah-kuliah mengenai akhlak, serta dunia dan keduniaan dalam hubunganya dengan sikap seseorang arif dan sufi
terhadapnya. Dari kesemuanya di atas itulah yang membentuk dasar karakter pola
pikir Muthahharî menjadi seorang pemikir Syi ʻî yang dapat memadukan antara
filsafat dan agama serta menanggapi setiap persoalan secara rasionalitas dan filosofis, sebagaimana di dalam Sya
’ir dan Nahj al-Balâghah, misalnya Murtadlâ membantah pernyataan sebagian pengamat yang menyatakan bahwa
rasionalisme dan kecendrungan kepada filsafat lebih merupakan pengaruh budaya intelektual Persia dari pada budaya intelektual ke-Islam-an. Dia
menunjukkan bahwa semuanya itu berada di jantung ajaran Islam, sebagaimana ditunjukkan oleh al-
Qur’an, Hadis nabi dan ajaran para imam.
2. Karya-Karya