merupakan langkah dasar menuju kealiman, amal saleh, dan bekerja keras di jalan Allah.
122
B. Pandangan tentang Manusia secara Utuh
1. Manusia yang Hakiki
Mengenai pandangan kedua tokoh tentang hakikat manusia, masing- masing mempunyai konsep yang menarik. Manusia oleh Gus Dur dipandang
sebagai makhluk Tuhan yang sangat mulia. Kemuliaan itu tercermin pada potensi-potensi yang tidak terdapat di makhluk selainnya. Sedangkan Murtadlâ
mengatakan bahwa manusia sebenarnya satu-satunya makhluk Tuhan yang diciptakan untuk diuji. Sehingga wajar jika ia dibekali oleh Tuhan kemampuan-
kemampuan yang tidak dimiliki makhluk lain yang tidak diciptakan untuk diuji. Tetapi dalam menjelaskan lebih lanjut mengenai manusia, Gus Dur
menitik tekankan hakikat manusia itu kepada penggunaan segala daya upaya manusia untuk kesejahteraan manusia. Daya upaya di sini lebih pada potensi
kemanusiaan manusia yang digunakan maksimal dan seimbang demi kemaslahatan bersama. Itu berarti segala usaha manusia dalam segala
aktivitasnya hanya untuk kesejahteraan manusia.
123
Jadi, manusia itu akan tampil ketika ia benar-benar manusia jika ia kemudian memperjuangkan kesejahteraan
umat. Apa yang diungkapkan Gus Dur itu sangat menarik, karena dalam
memandang manusia yang juga sama-sama berlandaskan al- Qur’an, tetapi
122
Ibid, h. 123.
123
Syaiful, Humanisme Gus Dur, h. 12.
melahirkan teori yang berbeda dengan teori Muthahharî mengenai hakikat manusia.
Kalau dilihat dari aspek epistemologi, konsep mengenai hakikat manusia Gus Dur dan Murtadlâ sama-sama berlandaskan al-
Qur’an dan Hadis. Itu artinya, bahwa konsep kedua tokoh tersebut bersumber dari al-
Qur’an dan Hadis. Karena memang, al-
Qur’an dan hadis merupakan bagian dari sumber ilmu pengetahuan.
124
Karena bersumber dari al- Qur’an dan Hadis, maka
pemikiran keduanya tentang manusia pun tidak akan pernah lepas dari nilai-nilai landasan tersebut.
Memang keduanya sama-sama berlandaskan al- Qur’an dalam menyusun
konsep hakikat
manusia itu
sendiri. Tetapi
Gus Dur
dalam menginterpretasikannya lebih menekankan pada aspek sosial. Baginya, manusia
yang sesungguhnya akan tampak ketika segala potensi kemanusiaannya digunakan dan mempunyai dampak sosial yang positif bagi umat manusia. Itulah
yang disebut dengan raḥmatan lil ʻâlamîn.
Maka seandainya terdapat dua diskriminasi, yaitu diskriminasi terhadap Tuhan dan manusia. Maka manusia seharusnya memilih membela manusia
untuk dibebaskan dari diskriminasi itu. Karena Tuhan itu sendiri tidak perlu dibela. Tuhan itu Mahakuasa, jika manusia memilih membela Tuhan, itu sama
saja dengan menyepelekan kemahakuasaan Tuhan. Bahkan meletakkan
124
Dinar Dewi Kania, “Objek Ilmu dan Sumber-Sumber Ilmu,” dalam Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam, Adian Husaini et al Jakarta: Gema Insani, 2013, h. 93-101.
kemahakuasaan Tuhan di bawah kekuasaan manusia, karena Ia butuh pertolongan manusia.
Gus Dur menjadikan Manusia yang raḥmatan lil ʻâlamîn itu sebagai
model manusia paling ideal. Karena itulah hakikat diturunkannya manusia di muka bumi. Manusia diturunkan ke muka bumi untuk mengolah dengan baik
baik isi alam demi rahmat untuk seluruh alam termasuk kesejahteraan manusia. Nabi Muhammad lahir di bumi pada hakikatnya diutus untuk membebaskan
manusia dari segala penindasan, diskriminasi dan lain sebagainya. Maka hakikat kedatangan Muhammad ialah untuk memanusiakan manusia.
Tetapi Muthahharî berpandangan berbeda dengan apa yang disampaikan Gus Dur. Muthahharî menekankan esensi kemanusiaan manusia berada pada
aspek ketauhidan. Bahwa manusia yang esensial ialah dia yang beriman. Keimanan menurutnya merupakan hal yang dapat mengarahkan manusia pada
cara-cara yang harus ia lalui. Maka yang menjadikan manusia manusia yang utuh itu tampil pada keimanannya.
125
Tetapi diredaksi lain ia juga menambahkan bahwa kehakikian manusia tampil juga pada keilmuannya.
126
Seseorang yang beriman, dalam tiap tindakannya tentu tidak akan pernah lepas dari ajaran-ajaran Tuhan, yaitu yang tertuang dalam al-
Qur’an. Bahwa tindakan manusia yang menjadikannya sebagai manusia yang bertingkah laku
sebagaimana dalam al- Qur’an ialah beramal baik, yaitu menggunakan segala
125
Murtadlâ, Perspektif al- Qur’an tetanng Manusia dan Agama, h. 123.
126
Ibid, h. 68.
potensinya untuk kebaikan dan demi ridha Allah.
127
Tentu keimanan yang dimaksud harus dilandaskan pada ilmu, sehingga objek yang diimani tidak salah
sasaran. Sebenarnya Gus Dur tidak mengabaikan tauhid atau ketuhanan dalam
mengungkapkan teorinya mengenai manusia. Manusia yang hakiki bukan dia yang asal menciptakan kesejahteraan di muka bumi dan kemudian meniadakan
Tuhan. Tetapi justru menciptakan kesejahteraan umat manusia itu merupakan suatu bentuk keimanannya kepada Tuhan. Dalam istilah lain, menciptakan
kesejahteraan merupakan bentuk aplikasi yang sesungguhnya dari keimanan kepada Tuhan.
Yang menarik dari Gus Dur ialah untuk mendekatkan diri dengan Tuhan, manusia hendaknya tidak memisahkan antara kepentingan hidupnya dan
moralitas yang dianutnya.
128
Maka, menciptakan kesejahteraan manusia merupakan salah satu bentuk pendekatan diri kepada Tuhan, atau dalam rangka
membentuk keimanan seseorang kepada Tuhan itu sendiri. Sedangkan Murtadlâ justru berkebalikan darinya. Untuk menciptakan
kesejahteraan, manusia harus beriman. Sedangkan keberimanan manusia merupakan fitrah yang terdapat dalam diri manusia.
129
Kalau mengambil contoh cara Nabi Ibrahim dalam membangkitkan keimanannya, ia justru mendapatkan
keimanannya melalui pendayagunaan intelegensia secara optimal dan benar.
127
Ibid, h. 65.
128
Abdurrahman Wahid, Tuhan tidak Perlu Dibela Yogyakarta: LKIS, 2010, Cet. Ke-4, h. 85.
129
Murtadlâ Muthahharî, Bedah Tuntas Fitrah: Mengenal Hakikat dan Potensi Kita, terj. Afif Muhammad Jakarta: Citra, 2011, 135.
Maka intelegensia inilah bentuk keilmuan seseorang yang menurut Murtadlâ tidak dapat dipisahkan dari keimanan pada manusia hakiki.
130
Maka Muthahharî sesungguhnya lebih menekankan pada ketauhidannya. Kalau manusia sudah beriman, sudah seharusnya ia berprilaku baik kepada
seluruh alam demi ridha-Nya. Jadi keimanan bagi Murtadlâ merupakan segala- galanya bagi manusia itu sendiri. Karena imanlah yang menunjukkan bahwa
segala potensi kemanusiaannya berjalan dengan maksimal dan seimbang. Sedangkan menurut Gus Dur, segala potensi kemanusiaan manusia tersebut
berjalan dengan baik dan seimbang jika manusia mampu memperjuangkan kesejahteraan umat manusia.
Tetapi hal yang tidak dapat dipungkiri ialah persamaan anjuran kedua tokoh agar terus berprilaku baik antar sesama dan berlaku arif terhadap
lingkungan lingkungan demi kebaikan mamanusia itu sendiri. Di samping itu keduanya juga sama-sama tidak kemudian membuang unsur keyakinan dalam
diri manusia dalam melihat manusia yang hakiki tersebut.
2. Dimensi-dimensi Manusia