Dimensi-dimensi Manusia Pandangan tentang Manusia secara Utuh

Maka intelegensia inilah bentuk keilmuan seseorang yang menurut Murtadlâ tidak dapat dipisahkan dari keimanan pada manusia hakiki. 130 Maka Muthahharî sesungguhnya lebih menekankan pada ketauhidannya. Kalau manusia sudah beriman, sudah seharusnya ia berprilaku baik kepada seluruh alam demi ridha-Nya. Jadi keimanan bagi Murtadlâ merupakan segala- galanya bagi manusia itu sendiri. Karena imanlah yang menunjukkan bahwa segala potensi kemanusiaannya berjalan dengan maksimal dan seimbang. Sedangkan menurut Gus Dur, segala potensi kemanusiaan manusia tersebut berjalan dengan baik dan seimbang jika manusia mampu memperjuangkan kesejahteraan umat manusia. Tetapi hal yang tidak dapat dipungkiri ialah persamaan anjuran kedua tokoh agar terus berprilaku baik antar sesama dan berlaku arif terhadap lingkungan lingkungan demi kebaikan mamanusia itu sendiri. Di samping itu keduanya juga sama-sama tidak kemudian membuang unsur keyakinan dalam diri manusia dalam melihat manusia yang hakiki tersebut.

2. Dimensi-dimensi Manusia

Mengenai dimensi-dimensi manusia yang ditawarkan kedua tokoh tersebut, penulis akan mengalisisnya dengan baik. Gus Dur tidak serta-merta menentukan dimensi-dimensi kemanusiaan. Demikian juga dengan Muthahharî. Keduanya mempunyai landasan-landasan yang cukup menarik menganai dimensi-dimensi manusia itu sendiri. 130 Mulyadi Kartanegara, Renungan-Renungan Filosofis Murtadlâ Muthahharî Makalah Seminar Internasional Pemikiran Murtadlâ Muthahharî di Auditorium Adhiyana Wisma Antara lt.2, 2004, h. 2. Dalam hal ini, Gus Dur memandang bahwa dimensi-dimensi manusia merupakan aspek terpenting bagi perkembangan manusia menuju kesempurnaannya sebagai makhluk terbaik Tuhan, demikian juga Murtadlâ memandangnya. Hanya saja secara sepintas dimensi-dimensi kemanusia yang ditawarkan kedua tokoh tersebut mempunyai perbedaan-perbedaan istilah. Menurut Gus Dur, dimensi-dimensi manusia yang dimaksud ialah dimensi badani, keyakinan, moral, kepemilikan, kreativitas dan rasionalitas. 131 Sedangkan Muthahharî mengistilahkan dimensi-dimensi kemanusiaan itu sebagai dimensi intelektual, moral, estetis, ibadat dan kreativitas. 132 Kalau penulis hitung, akan menemukan jumlah klasifikasi yang berbeda antara keduanya. Gus Dur menentukan nilai-nilai dasar tersebut menjadi enam, sedangkan Murtadlâ menentukannya menjadi lima. Tetapi secara substansial, istilah-istilah tersebut mempunyai persamaan-persamaan pembahasan yang mendasar meskipun titik tekannya berbeda. Dari dimensi keyakinan yang diungkapkan Gus Dur tampaknya penulis dapat menelusuru titik temu atau titik persamaan di sela-sela pembahasannya dengan kajian dimensi ibadat menurut Muthahharî. Dimensi keyakinan menurut Gus Dur merupakan dorongan yang lahir dalam diri manusia untuk meyakini keberadaan Tuhan dan menjalankan ajaran-ajaran-Nya. 133 Menurut Murtadlâ, dimensi ibadat merupakan kemampuan untuk menjangkau suatu tempat di luar 131 Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan Kebudayaan Depok: Desantara, 2001, Cet. Ke-2, h. 180. 132 Syamsuri, “Manusia Sempurna Perspektif Murtadlâ Muthahharî” Laporan Penelitian Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2001, h. 36. 133 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, h. 6. alam material dan hasrat untuk menguasai cakrawala yang lebih tinggi dan luas. Hasrat semacam itu merupakan ciri seluruh umat manusia. 134 Kajian antara keyakinan dan ibadat merupakan kajian mendasar keagamaan. Dengan demikian, pemikiran kedua tokoh tersebut dipertemukan dalam lingkup keagamaan, bahwa fitrah manusia merupakan dorongannya untuk menjadi makhluk beragama. Hal ini telah disinggung dengan baik oleh Syamsuri dalam penelitiannya, bahwasanya dalam lubuk hati manusia telah tertanam suatu kesadaran untuk beriman dan menyembah Allah beragama. Dalam kaitannya dengan dimensi moral menurut Gus Dur dan dimensi etis menurut Murtadlâ, penulis dapat menelusuri persamaan pandangan keduanya tentang kedua hal tersebut. Bahwa manusia tidak akan pernah mampu hidup dengan baik dan tidak akan hidup dalam suatu masyarakat tanpa dilandaskan pada nilai-nilai moral. Gus Dur juga membahas pentingnya moralitas itu yang dibingkai dengan istilah etika sosial. Bahkan Gus Dur menyebutkan bahwa al- Qur’an merupakan kitab moral. 135 Untuk menjadikannya dekat dengan Tuhan, manusia tidak boleh memisahkan diri antara kepentingan hidupnya dari moralitas yang dianutnya. 136 Sedangkan Murtadlâ sendiri juga membahas aspek moralitas manusia tidak pernah lepas dari ranah sosial manusia. 137 Maka ketika pembahasan tentang moral, pada hakikatnya hal 134 Murtadlâ, Perspektif al- Qur’an tetanng Manusia dan Agama, h. 131. 135 Abdurrahman, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, h. xix. 136 Abdurrahman Wahid, Tuhan tidak Perlu Dibela, h. 85. 137 Murtadlâ Muthahharî, Dasar-dasar Epistemologi Pendidikan Islam, terj. Muhammad Bahruddin Jakarta: Sadra, 2011, Cet. Ke-1, h. 251. Lihat juga Murtadlâ Muthahharî, Manusia dan Alam Semesta: Konsep Islam tentang Jagat Raya Ebook yang dipublikasikan oleh www.al-shia.org, h. 93. tersebut membahas ranah sosial. Karena moral membahas mengenai hubungan manusia yang satu dengan yang lainnya. Manusia juga mempunyai dimensi kreativitas. Dalam hal ini, Gus Dur memandang dimensi kreativitas ini sebagai sisi manusia yang begitu penting untuk melahirkan pengembangan-pengembangan dari yang telah ada menjadi hal baru yang begitu bermanfaat untuk kepentingan hidup manusia itu sendiri. 138 Maka di sinilah letak persamaan pembahasan istilah bekerja ala Gus Dur dengan istilah kreativitas ala Murtadlâ. Karena Murtadlâ memaknai kreativitas dengan menciptakan sehingga melahirkan hal baru yang bermanfaat. 139 Dimensi rasionalitas manusia dalam pandangan Gus Dur tampaknya tidak berbeda dengan dimensi intelektual menurut Murtadlâ. Murtadlâ menyatakan bahwa dorongan manusia untuk mengetahui dan menalar hakikat sesuatu merupakan dimensi intelektual manusia. 140 Bahkan manusia tidak hanya mengetahui, tetapi juga mampu menemukan tentang hukum alam semesta dan kebenaran umum yang berlaku di dunia. 141 Sedangkan nalar merupakan aktivitas berpikir manusia yang oleh Gus Dur disebut sebagai fungsi akal. Maka manusia merupakan makhluk yang mempunyai kemampuan akal. 142 Mengenai dimensi-dimensi manusia berikutnya, tampaknya kedua tokoh tersebut mengalami perbedaan yang signifikan. Misalkan dimensi materi dan kepemilikan dalam pandangan Gus Dur tidak terdapat dalam segenap susunan 138 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, h. 11. 139 Murtadlâ, Bedah Tuntas Fitrah, h. 54. 140 Ibid, h. 49. 141 Murtadlâ Muthahharî, Manusia dan Alam Semesta: Konsep Islam tentang Jagat Raya Bogor: ebook yang dipublikasikan oleh www.al-shia.org, h. 4. 142 Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 30. nilai-nilai kemanusiaan yang dirangkai Murtadlâ. Sebaliknya, dimensi estetis yang menurut Murtadlâ merupakan bagian dari unsur dasar kemanusian, ternyata Gus Dur tidak menjadikannya sebagai bagian dari unsur-unsur dasar kemanusiaan. Tidak hanya itu, perbedaan yang mencolok dari pemikiran keduanya ialah penekanan dan orientasi penyusunan dimensi-dimensi manusia. Gus menitik tekankan pada dimensi-dimensi universal manusia yang mengarah pada kesejahteraan. Artinya, manusia akan sempurna jika unsur-unsur universal manusia itu digunakan secara optimal dan seimbang demi terlahirnya kesejahteraan umat manusia. Sedangkan Murtadlâ, berorientasi pada keimanan dan keilmuan.

3. Tentang Kebebasan Manusia