penyempurnaan manusia itu sendiri.
92
Dengan demikian dalam kreativitasnya tercermin mutu dan martabat manusia.
B. Filsafat Manusia menurut Murtadlâ Muthahharî
1. Perspektif Murtadlâ Muthahharî tentang Manusia
Murtadlâ Muthahharî memberikan perhatian yang cukup serius mengenai tema tentang hakikat manusia. Ia banyak membahas hakikat manusia
di berbagai buku yang ditulisnya. Bahkan ia menulis buku khusus yang menyoroti tentang manusia, yaitu buku yang berjudul Insone Komel yang dialih
bahasakan oleh ʻAbdillâh Ḥâmid Baʻabud menjadi Manusia Seutuhnya: Studi
Kritis berbagai Pandangan Filosofis. Penjelasan Muthahharî menganai hakikat manusia sangatlah menarik.
Konsep yang ia tawarkan sangat berbeda dengan konsep manusia hakiki sebagaimana banyak orang pahami dari pelopor konsep insân kâmil, Ibn Arabi,
yang memang menjadi icon utama dalam perbincangan tentang hakikat manusia. Bahwa apa yang ia sampaikan mengenai manusia yang benar-benar
manusia adalah suatu hal yang baru. Muthahharî memandang manusia sebagai makhluk yang terdiri dari apa
yang ada pada malaikat dan apa yang ada di hewan.
93
Dengan demikian, dalam diri manusia terdapat unsur yang tidak dimiliki malaikat yaitu unsur kehewanan
meliputi nafsu, amarah dan lainnya dan juga terdapat unsur yang tidak dimiliki
92
Soerjanto Poespowardojo, “Menuju Manusia Seutuhnya,” dalam Sekitar Manusia Jakarta:
Gramedia, 1983, Cet. Ke-4, h. 5.
93
Murtadlâ Muthahharî, Manusia Seutuhnya: Studi Kritis berbagai Pandangan Filosofis, terj. ʻAbdillâh Ḥâmid Baʻabud Jakarta: Sadra Institute, 2012, Cet. Ke-1, h. 27.
hewan seperti akal dan lainnya. Jika melihat unsur-unsur tersebut, sesungguhnya manusia memang diciptakan untuk diuji, karena unsur-unsur
tersebut yang mendorong lahirnya serangkaian potensi. Hal itulah yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang unik dan mempunyai keunggulan
melebihi makhluk lain. Manusia merupakan makhluk yang diilhami kebaikan dan keburukan
kedalam jiwanya.
94
Sehingga dengan itu manusia mampu memahami kebaikan dan keburukan. Karena kebaikan dan keburukan memang sudah tertanam dalam
diri manusia, maka meskipun tanpa belajar atau tanpa guru manusia sebenarnya sudah mampu membedakan antara kebaikan dan keburukan.
Selain itu ia memposisikan manusia sebagai makhluk yang dalam dirinya terdapat segumpalan potensi-potensi yang memang khas. Karena
potensi-potensi tersebut adalah suatu hal yang khas, maka makhluk selainnya tidak mempunyai potensi-potensi sebagaimana manusia miliki. Di sinilah nilai
lebih manusia dibandingkan dengan makhluk lain, yaitu memiliki potensi yang tidak dimiliki makhluk lain..
Peneliti handal dari UIN Syarif Hidayatullah, Syamsuri, mengatakan dalam laporan hasil penelitiannya mengenai konsep hakikat manusia
Muthahharî, bahwa manusia mempunyai banyak potensi. Potensi itu biasa disebut juga dengan dimensi kemanusiaan atau nilai kemanusiaan. Menurutnya,
Muthahharî mengklasifikasikan dimensi-dimensi tersebut setidaknya menjadi
94
Murtadlâ Muthahharî, Islam dan Tantangan Zaman: Rasionalitas Islam dalam Dialog Teks yang Pasti dan Konteks yang Berubah, terj. Ahmad Sobandi Jakarta: Pustaka Hidayah, 2011, Cet.
Ke-1, h. 321.
lima bagian, yaitu dimensi intelektual, dimensi moral, dimensi estetis, dimensi ibadat ritus dan dimensi kreativitas.
95
Dalam pandangannya mengenai hakikat manusia, ia menjadikan dimensi kemanusiaan tersebut sebagai ukuran yang sangat menentukan
kemanusiaan manusia. Manusia yang benar-benar manusia adalah ia yang segala dimensi kemanusiaannya berkembang secara seimbang dan stabil.
96
Seimbang dalam hal ini menurutnya ialah seiring perkembangan potensi- potensi kemanusiaannya, tercipta juga keseimbangan dalam perkembangannya.
Sehingga tak satu pun dari nilai-nilai itu yang berkembang tidak selaras dengan nilai-nilai lain. Manusia seperti itulah yang disebut sebagai imam.
Kalau berbicara mengenai perkembangan, tentunya terdapat titik awal dari perkembangan tersebut. Bahwa suatu perkembangan pasti diawali oleh titik
rendah dan kemudian bergerak menuju arah yang lebih sempurna. Sama halnya dengan perkembangan manusia menjadi manusia. Titik awal dari kemanusiaan
tidak lain ialah berpangkal pada aspek kehewanannya yang kemudian terus berkembang menjadi kemanusiaan.
97
Pada mulanya, manusia hanyalah sekadar susunan fisik, tetapi bersamaan dengan perkembangan esensinya, ia menjadi lebih bersifat spiritual.
Menurutnya, roh manusia berasal dari keberadaan fisiknya dan berkembang menuju kebebasan. Itu berarti, kehewanannya bertindak sebagai suatu sarang.
Di dalam sarang tersebut kemanusiaannya tumbuh dan menjadi sempurna.
95
Syamsuri, “Manusia Sempurna Perspektif Murtadlâ Muthahharî”, h. 36.
96
Murtadlâ, Manusia Seutuhnya, h. 28.
97
Murtadlâ, Perspektif al- Qur’an tentang Manusia dan Agama, h. 68.
Sehingga kebebasan dinilai olehnya sebagai kemampuan manusia dalam penguasaan terhadap aspek-aspek lainnya.
Dengan demikian manusia yang hakiki adalah ia yang menguasai secara relatif, baik lingkungan internal maupun eksternalnya tanpa menghilangkan
keimanan dan keilmuan bahkan menguatkan keduanya. Sebagaimana yang diungkapkan dalam bukunya:
Individu yang hakiki ialah yang terbebaskan dari ikatan internal maupun eksternal dan mengikatkan diri pada suatu keimanan dan keyakinan.
98
Perbedaan yang paling penting dan mendasar antara manusia dan makhluk-makhluk lainya terletak pada iman dan ilmu yang merupakan
kriteria kemanusiaannya.
99
Maka, kebebasan manusia dari ikatan internal dan eksternal yang kemudian mengikatkan dirinya pada suatu keimanan dan keilmuan merupakan
tanda atau ukuran mengenai hakikat manusia. Bahwa, seseorang yang dikatakan perkembangan seluruh nilai kemanusiaannya seimbang dan stabil
jika individu tersebut bebas dari segala ikatan internal dan eksternal yang kemudian memupuk keimanan dan keilmuan.
Keimanan merupakan media dalam memperluas manusia secara vertikal, sedangkan keilmuan memperluas manusia secara horizontal.
Keimanan dan keilmuan merupakan hal yang sangat penting bagi manusia. Karena keimananlah yang mengilhami manusia tentang apa yang mesti kita
kerjakan. Sedangkan keilmuan menunjukkan kepada kita apa yang ada di sana.
98
Ibid, h. 68.
99
Ibid, h. 65.
Dari apa yang disampaikan di atas, Murtadlâ ingin menekankan bahwa keseimbangan dari segala aspek nilai-nilai kemanusiaan tersebut ditandai oleh
keimanan dan keilmuan seseorang. Jika keimanan dan keilmuan seseorang stabil, sudah merupakan kepastian bahwa nilai-nilai kemanusiaannya sudah
seimbang sebaigamana dijelaskannya. Karena menurut Murtadlâ, keilmuan saja tidak mampu menyelamatkan manusia dari kehancuran.
100
Dengan demikian, puncak hakikat manusia ialah berada pada keimanan dan
keilmuannya.
2. Dimensi-Dimensi Manusia