nilai-nilai kemanusiaan yang dirangkai Murtadlâ. Sebaliknya, dimensi estetis yang menurut Murtadlâ merupakan bagian dari unsur dasar kemanusian, ternyata
Gus Dur tidak menjadikannya sebagai bagian dari unsur-unsur dasar kemanusiaan.
Tidak hanya itu, perbedaan yang mencolok dari pemikiran keduanya ialah penekanan dan orientasi penyusunan dimensi-dimensi manusia. Gus
menitik tekankan pada dimensi-dimensi universal manusia yang mengarah pada kesejahteraan. Artinya, manusia akan sempurna jika unsur-unsur universal
manusia itu digunakan secara optimal dan seimbang demi terlahirnya kesejahteraan umat manusia. Sedangkan Murtadlâ, berorientasi pada keimanan
dan keilmuan.
3. Tentang Kebebasan Manusia
Perdebatan mengenai kebebasan sudah tidak lagi menjadi kajian yang baru dalam dunia pemikiran. Tetapi tema ini akan tetap menjadi kajian yang
menarik karena perdebatan mengenainya tidak pernah tuntas dan menjadi lebih menarik lagi ketika konsep tentang kebebasan tersebut dikontektualkan.
Dalam tiap perjalanan hidup manusia, akan terus menghasilkan pengalaman-pengalaman yang berbeda tiap individu. Dua orang yang
berkunjung ke Burobudur, salah satunya tidak dapat menyalahkan atau membenarkan pengalaman lainnya, karena apa yang dialami dan dipikirakan tiap
individu mengenai Burobudur merupakan suatu yang berbeda. Maka pemaksaan terhadap orang lain untuk menerima kebenaran mutlak pengalaman seseorang
sehingga menyalahkan pengalaman lainnya merupakan tindakan tidak rasional.
143
Ulasan di atas menampilkan konsep kebebasan manusia dalam berpikir. Bahwa tiap individu mempunyai kesempatan untuk berpikir berbeda dengan
orang lain yang tak bisa dapat disalahkan dan dipaksakan oleh orang lain. Dalam konsep kebebasan Gus Dur memperlihatkan pentingnya saling mengerti dan
menghormati antara individu yang juga mempunyai kebebasan yang sama. Seseorang yang sudah mencapai taraf ini akan merasa bahagia dan bangga atas
perbedaan yang dimilikinya dan tidak kemudian memaksakan pemikirannya kepada orang lain.
Maka kebebasan manusia menurut Gus Dur ialah kehendak manusia yang tidak dipaksa oleh segala kehendak di luar dirinya. Dalam artian,
kehendaknya adalah keputusan yang dilakukan oleh diri sendiri secara sadar. Tetapi kebebasan itu tidak didasarkan pada egoisme, tetapi lebih tepat harus
didasarkan pada jiwa kemanusiaan.
144
Menurutnya, manusia adalah makhluk berpikir yang memiliki kebebasan menggunakan rasionya. Bahwa kemerdekaan berpikir manusia harus dijunjung
tinggi karena ia adalah keniscayaan dalam Islam.
145
Tetapi kemerdekaan itu tidak menjadikan manusia bebas berpikir tanpa batas. Dalam memahami
kemerdekaan berpikir ala Gus Dur, kita harus melanjutkannya pada suatu titik mengenai batas-batas kemerdekaan itu.
143
Abdurrahman, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, h. 67.
144
Ibid, h. 307.
145
Ibid, h.143.
Manusia tidak akan pernah mampu berpikir sebegitu bebasnya, karena ia mempunyai banyak kekurangan-kekurangan. Manusia tak dapat berpikir dengan
kemerdekaan yang sempurna kerena yang sempurna itu hanyalah Allah. Maka batasan-batas kemerdekaan manusia ialah kesempurnaan Allah.
Kebebasan berpikir ini hendaknya harus diimbangi dengan kesadaran akan kebebasan individu, bahwa setiap individu memiliki kebebasan yang sama
antara yang satu dan yang lainnya. Tiap individu mempunyai peluang berpendapat yang sama, sehingga tiap individu juga berpeluang yang sama untuk
berbeda pendapat mengenai hasil pemikirannya tentang suatu objek. Tetapi perbedaan itu tidak merupakan malapetaka bagi kehidupan manusia, bahkan
perbedaan itu adalah rahmat.
146
Tetapi dalam berpikir, manusia seharusnya berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan,
147
keadilan, menghormati dan bersikap benar terhadap fakta.
148
Kebebasan manusia untuk berpikir merupakan senjata utama dalam mencari solusi problematika hidup yang kemudian dilengkapi dan didukung
dengan fasilitas-tasilitas lain. Segala fasilitas itu dituangkan Tuhan kepada manusia karena manusia memang disiapkan untuk menentukan nasibnya sendiri.
Tuhan hanya menyediakan kehidupan itu sendiri.
149
Dalam surat al-Baqarah2: 61 difirmankan bahwa “wa dluribat ʻalaihimu
al-dzillatu wa al- maskanatu wa bâ’û bi ghadlabin mina Allahi” ”dibuatkan
146
Ibid, h. 145.
147
Ibid, h. 307.
148
Ibid, h. 335.
149
Abdurrahman, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, h. 102.
bagi kaum mulimin kehinaan dan kemiskinan”. Menurut Gus Dur, ayat ini menjelaskan bahwa Islam menolak kemiskinan sebagai sesuatu yang langgeng
dan tetap. Maka dari itu, manusia mempunyai kebebasan untuk tetap melestarikan kemiskinan tersebut atau merubahnya menjadi kekayaan.
150
Maka Allah tidak menentukan nasib manusia, melainkan manusia sendiri yang
menentukan.
151
Bahkan dalam menentukan kebenaran, termasuk kebenaran suatu agama, Tuhan menyerahkannya kepada akal sehat manusia.
152
Itu berarti pilihan agama bagi seseorang merupakan pilihan akal sehatnya yang merupakan bentuk
kebebasannya. Hal ini menunjukkan keharusan kepada manusia untuk menghormati keputusan-keputusan seseorang dalam memilih agamanya.
Tetapi dalam tulisannya yang berjudul Kerangka Pengembangan Doktrin Ahlu al-sunnah wa al-
Jamaʻah, Gus Dur membatasi kebebasan manusia pada kekuasaan Tuhan yang menurutnya tidak dapat dilawan.
Manusia diperkenankan menghendaki apa saja yang dimaunya, walaupun kehendak itu sendiri harus tunduk kepada kenyataan akan kekuasaan
Allah yang tidak dapat dilawan lagi.
153
Sayangnya, Gus Dur tidak melanjutkan menjelaskan konsep kuasa Tuhan atas manusia itu. Tetapi kalau melihat latar belakang Gus Dur, konsep itu sama
dengan teori yang diungk apkan Asy’ariyah. Bahwa manusia mempunyai
kemerdekaan kehendak tetapi atas persetujuan Tuhan.
154
150
Abdurrahman, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, h. 215.
151
Abdurrahman, Tuhan tidak Perlu Dibela, h. 91.
152
Abdurrahman, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, h. 14.
153
Abdurrahman, Islam Kosmopolitan, h. 35.
154
Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf Jakarta: Erlangga, 2006, h. 81.
Dalam memandang hal ini, Murtadlâ Muthahharî juga berkomentar mengenai kebebasan manusia. Menurutnya, manusia bebas dari kungkungan
kekuatan absolut yang menjadikannya tertekan ketakutan. Maka dari itu sesungguhnya takdir Tuhan tidak membatasi kebebasan manusia, melaikan
hanya sebagai hakikat sejati.
155
Artinya taqdir Tuhan merupakan keputusan mutlak dari peristiwa- peristiwa dan fenomena-fenomena. Dalam kata lain, taqdir merupakan ketetapan
suatu hukum yang pasti mengenai suatu kejadian seperti hukum kausalitas. Manusia memang bebas dari pengaruh taqdir Tuhan secara langsung mengenai
tindakannya dan kehendaknya, tetapi ia tidak akan pernah bebas dari hukum- hukum yang telah ditentukan tadi.
Tetapi ketetapan itu tidak menjadikan manusia terbelenggu, justru hal tersebut yang mengahruskan manusia agar memiliki kehendak bebas dan sifat
yang penuh kearifan. Sedangkan kebebasan itu sendiri ialah tidak adanya berbagai rintangan dalam jalan pertumbuhan.
156
Dengan demikian manusia akan mampu sepenuhnya membebaskan diri dari kepatuhan terhadap kendali
lingkungan dan sosial, serta mengatur nasib mereka. Sebagaimana ia ungkapkan dalam bukunya.
Ketetapan Ilahi itu mengharuskan manusia memiliki kearifan dan kehendak bebas, agar mereka mampu sepenuhnya membebaskan diri dari
kepatuhan terhadap kendala lingkungan dan sosial, serta mengatur nasib mereka.
157
155
Murtadlâ, Perspektif al- Qur’an tetanng Manusia dan Agama, h. 143.
156
Murtadlâ Muthahharî, Wacana Spiritual, terj. Strio Pinandito Jakarta: Firdaus, 1991, h. 39.
157
Murtadlâ, Perspektif al- Qur’an tentang Manusia dan Agama, h. 143
Ungkapan di atas juga memeberikan penulis penjelasan bahwa kebebasan manusia itu tidak hanya dipandang dari kebebasannya dari belenggu
kekuatan Tuhan yang absolut itu. Tetapi juga dilihat dari aspek sosial. Bahwa manusia yang bebas adalah manusia yang tidak patuh terhadap lingkungan dan
sosial yang kemudian bebas mengatur nasibnya. Kebebasan sosial ialah kebebasan manusia dalam hubungannya dengan
individu-individu lain dalam suatu masyarakat sehingga tidak menghalangi pertumbuhannya,
tidak memenjarakannya
untuk mencegah
berbagai aktivitasnya, tidak memeras atau memperbudaknya, tidak memeras segala
kekuatan fisik dan mentalnya demi berbagai kepentingannya sendiri, yang dapat pula digolongkan ke dalam beberapa jenis.
158
Orang lain tidak boleh menghalangi pertumbuhannya dan tidak mempersiapkan sarana bagi kesempurnaannya dan tidak menggunakan seluruh
kemampuan pemikiran dan fisiknya untuk kepentingan mereka. Satu dari tujuan diutusnya para nabi adalah memberikan kebebasan sosial kepada manusia.
Yakni, menyelamatkan manusia dari tawanan dan penghambaan kepada orang lain.
Tidak hanya itu, Murtadlâ juga menjelaskan tentang kebebasan dari tekanan-tekanan internal seseorang. Dalam artian, manusia adalah makhluk yang
bebas dari belenggu diri sendiri.
159
Tidak berhenti di situ, ia melanjutkan lagi
158
Murtadlâ, Wacana Spiritual, h. 40.
159
Murtadlâ, Perspektif al- Qur’an tetanng Manusia dan Agama, h. 68.
dengan kalimat “dan mengikatkan diri pada keimanan dan keyakinan.
160
Tampaknya mengikatkan diri pada keimanan dan keyakinan itulah yang disebut dengan kebebasan spiritual.
Kebebasan spiritual ialah kebebasan diri seseorang terhadap kebebasan sosial, kebebasan dari berbagai ikatan yang lain.
161
Kecenderungan spiritual
yang tertuang
dalam diri
manusia menjadikannya berusaha untuk terus melangkah di jalan pertumbuhan dan
kesempurnaan spiritual dan tidak mengikuti kecenderungan materi saja. Itu berarti bebas dari rakus, ketamakan, syahwat, marah dan hawa nafsu dapat
merealisasikan kebebasan spiritual. Orang-orang yang bebas secara hakiki di dunia ini adalah mereka yang pada awalnya telah membebaskan dirinya dari
tawanan hawa nafsu. Ia mencontohkannya pada pandangan seseorang kepada seorang wanita
tetapi ia mencegah dorongan nafsu tersebut dan mematuhi kesadarannya. Orang yang demikian, Murtadlâ menyebutnya sebagai manusia bebas.
162
Muthahharî menilai kebebasan spiritual sangat penting dalam kehidupan manusia, bahkan menyebutnya sebagai sarana bagi manusia untuk meraih
kebebasan sosial. Dengan kata lain, manusia yang telahmencapaikebebasan spiritual, manusia yang mendapat didikan ajaran para nabi, pasti menghormati
hak-hak sosial manusia lainnya. Mereka tidak akan melakukan kezaliman, berbuat yang melampaui batas dan menghianati orang lain.
160
Ibid, h. 68.
161
Murtadlâ, Wacana Spiritual, h. 54.
162
Ibid, h. 61.
Tampaknya kedua tokoh tersebut sama-sama mengakui kebebasan manusia dalam menentukan pilihan-pilihan hidupnya. Hal tersebut tampak pada
paparan di atas tentang kemampuan manusia untuk bebas. Maka menurut keduanya, manusia mampu menjadi orang berilmu atau menjadi orang bodoh
sekalipun. Tetapi dalam mencapai pilihan-pilihan itu tetap membutuhkan usaha- usaha yang mengarah pada pilihan-pilihan tersebut.
Tetapi memang kalau menurut Gus Dur, kebebasan tersebut tetap dibatasi oleh kemahabebasan Tuhan. Artinya sebebas-bebasnya manusia, tetap
Tuhan yang mengiyakan segala keputusan manusia. Hanya saja, usaha manusia sangat berpengaruh terhadap keputusan Tuhan, meskipun keputusan bebas
Tuhan itu sendiri tidak dapat diintervensi. Sedangkan Murtadlâ menyatakan bahwa kebebasan manusia itu dibatasi oleh kepastian hukum alam. Manusia bisa
menjadi orang pintar jika ia melalui proses-proses alam yang telah ditentukan Tuhan. Misalkan jika ia mempunyai otak untuk berpikir, dan berusaha untuk
mengasah otak untuk menjadi orang pintar.
C. Refleksi Pemikiran Abdurrahman Wahid dan Murtadlâ Muthahharî