Dimensi-Dimensi Manusia Filsafat Manusia menurut Murtadlâ Muthahharî

Dari apa yang disampaikan di atas, Murtadlâ ingin menekankan bahwa keseimbangan dari segala aspek nilai-nilai kemanusiaan tersebut ditandai oleh keimanan dan keilmuan seseorang. Jika keimanan dan keilmuan seseorang stabil, sudah merupakan kepastian bahwa nilai-nilai kemanusiaannya sudah seimbang sebaigamana dijelaskannya. Karena menurut Murtadlâ, keilmuan saja tidak mampu menyelamatkan manusia dari kehancuran. 100 Dengan demikian, puncak hakikat manusia ialah berada pada keimanan dan keilmuannya.

2. Dimensi-Dimensi Manusia

Sebagaimana dituliskan dalam buku Muthahharî yang berjudul Bedah Tuntas Fitrah yang diterjemahkan oleh Afif Muhammad, bahwa dimensi- dimensi manusia tersebut di antaranya ialah mencari kebenaran, moral, estetika, kreasi dan penciptaan, kerinduan dan ibadah. Sedangkan Syamsuri menyebutnya dengan istilah dimensi intelektual, dimensi moral, dimensi estetis, dimensi ibadat ritus dan dimensi kreativitas. 101 Sebagai salah satu dari dimensi kemanusiaan, dimensi intelektual manusia sebenarnya sudah tertanam dalam diri manusia sejak lahir. Dimensi intelektual itu merupakan dimensi yang melahirkan dorongan-dorongan suci untuk mencari kebenaran. Dalam diri manusia terdapat dorongan-dorongan untuk mengetahui dan menalar hakikat sesuatu. 102 Artinya, manusia ingin 100 Murtadlâ Muthahharî, Neraca Kebenaran dan Kebatilan, Bogor: Ebook yang dipublikasikan oleh www.al-shia.org, 2001, h. 45. 101 Syamsuri, “Manusia Sempurna Perspektif Murtadlâ Muthahharî,” h. 38-43. 102 Murtadlâ Muthahharî, Bedah Tuntas Fitrah: Mengenal Hakikat dan Potensi Kita, terj. Afif Muhammad Jakarta: Citra, 2011, h. 49. memperoleh pengetahuan-pengetahuan tentang alam dan wujud benda-benda dalam keadaan yang sesungguhnya. Murtadlâ menyebut keadaan itu dengan “kesadaran filosofis” atau “pencarian kebenaran”. Dalam kajian Sidi Gazalba, otak diposisikan sebagai organ yang tak akan berfungsi tanpa adanya jiwa. 103 Jiwalah yang kemudian dapat menggerakkan otak, sehingga ia dapat berpikir. Fungsi berpikir ini yang kemudian membedakan dengan hewan. Hewan juga mempunyai otak tetapi tidak dapat berpikir sebagaimana manusia, karena memang hewan tidak memiliki jiwa yang mendorong otak untuk berpikir. Maka keunikan manusia sebagai makhluk berpikir ini yang Murtadlâ sebut dengan dimensi intelektual. Selain itu, manusia akan selalu terarah pada kecenderungan- kecenderungan moral, yaitu kecenderungan tentang bagaimana ia bersikap. 104 Sebagian manusia cenderung pada yang memberikan manfaat secara fisik, selebihnya cenderung pada keutamaan dan kebajikan. 105 Kecenderungan pertama ia sebut sebagai kebaikan materi, sedangkan kedua ia sebut sebagai kebaikan spiritual. Dalam diri manusia sebenarnya yang pertama muncul adalah rangsangan kebaikan, bukan kenikmatan. 106 Manusia sesungguhnya mempunyai ketergantungan terhadap kebaikan- kebaikan spiritual. Manusia sangat menyukai kejujuran dan sebaliknya dengan kebohongan. Ketergantungan manusia terhadap kebaikan-kebaikan spiritual 103 Sidi Gazalba, Ilmu, Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama Jakarta: Bulan Bintang, 1992, Cet. Ke-3, h.12. 104 Mujtaba Misbah, Daur Ulang Jiwa, terj. Jayadi Jakarta: al-Huda, 2008, Cet. Ke-1, h. 16. 105 Murtadlâ, Bedah Tuntas Fitrah, h. 53. 106 Murtadlâ, Perspektif al- Qur’an tentang Manusia dan Agama, h. 95. atau keutamaan itu dibagi menjadi ketergantungan individu dan ketergantungan sosial. 107 Ketergantungan individu merupakan ketergantungan terhadap kebaikan yang memang terdapat dalam diri seperti ketergantungan kepada penguasaan diri dan keberanian yang berarti kekuatan hati. Sedangkan ketergantungan sosial ketergantungan terhadap hubungan dengan manusia lainnya. Misalkan senang membantu, bekerjasama, kerja sosial, berbuat baik dan berkorban untuk orang lain, baik dengan jiwa maupun harta. Bahkan, ketergantungan kebaikan spiritual ini merupakan prilaku yang dapat meningkatkan derajat manusia. 108 Aspek sosial merupakan bagian terpenting dari ranah moral. Dalam tulisannya ia juga menjelaskan bahwa kepentingan sosial jauh lebih penting di bandingkan kepentingan pribadi, karena terdapat kebahagiaan tersendiri ketika seseorang dapat bersosial. Dalam kehidupan bermasyarakat, kepantingan umum mesti lebih diutamakan di atas kepentingan perorangan atau bahkan di atas kepentingan pribadi. Karena, jika setiap orang hanya mengutamakan kepentingan pribadi atau perorangan saja, niscaya kepentingan umum, bahkan termasuk kepentingannya sendiri akan terabaikan, karena itu ada sebagian orang yang berkorban demi membela kepentingan umum. 109 Dalam wacana Muthahharî mengenai dimensi moral manusia, tampak melandaskan moral tersebut kepada aspek spiritual. Bahwa manusia sesungguhnya akan mencapai kebahagiaan, yang emang diidamkan dalam 107 Ibid, h. 53. 108 Jalaluddin Rakhmat, Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih Bandung: Mizan, 2007, Cet. Ke-1, h. 150. 109 Murtadlâ Muthahharî, Dasar-dasar Epistemologi Pendidikan Islam, terj. Muhammad Bahruddin Jakarta: Sadra, 2011, Cet. Ke-1, h. 251. hidupnya, jika ia seseorang melandaskan hidupnya pada aspek kebaikan spiritual. Hal ini sejalan dengan ungkapan W. Poespoprodjo bahwa moral tersebut harus berlandaskan spiritual, tanpanya moral tidak akan terialisasi dengan baik bahkan gagal. 110 Ketertarikan manusia pada kebahagiaan tidak dapat dipungkiri, tetapi ketertarikannya terhadap keindahan pun tidak dapat diabaikan dari kehidupan manusia. Justru karena keindahan-keindahan manusia mampu hidup penuh optimis. Dalam kehidupan sehari-hari misalnya, seseorang tidak akan dapat mengabaikan keindahan pribadi ataupun di luar dirinya. Bagaimanapun juga, manusia akan terus memburu keindahan tersebut. Arahnya yang tak dapat dipisahkan dari keindahan itulah yang disebut dengan dimensi estetis. Itulah keunikan manusia. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat menangkap dunia sekitarnya sebagai suatu yang sangat mengagumkan. 111 Artinya manusia mampu menangkap keindahan yang tertuang di balik benda itu sendiri sehingga benda atau alam sekitar itu menjadi mengagumkan. Suatu bentuk keindahan yang tidak dapat ditangkap makhluk lain. Dimensi-dimensi kemanusian mempunyai hubungan langsung dengan fitrah dan fitrah dapat ditafsirkan. Penafsirannya ialah dalam diri manusia terdapat hakikat kemanusiaan yang suci. Salah satu di antaranya adalah kecendungan mencari Tuhan. Kecenderungan mencari Tuhan sebenarnya 110 W. Poespoprodjo, Filsafat Moral: Kesusilaan dalam Teori dan Praktek Bandung: Pustaka Grafika, 1999, Cet. Ke-1, h. 28. 111 Soerjanto Poespowardojo, “Menuju Manusia Seutuhnya,” h. 5. berasal dari kerinduan yang tertanam dalam diri manusia karena kerinduan hakiki manusia menyatu dengan roh manusia, setelah roh itu sampai dan menemukannya. Maka kerinduan itu sendiri berperan sebagai penggerak. Kerinduan tidak ada kaitannya sama sekali dengan kebersamaan dan pertemuan. Ia berpusat dalam diri individu itu sendiri. Kerinduan dapat mengantarkan seseorang pada suatu tingkat yang di situ ia ingin menjadikan yang dicintainya sebagai tuhan sesuatu yang dipuja dan dirinya sebagai hambanya. Sehingga yang dicintai disebut sebagai yang mutlak ada dan dirinya sebagai tidak ada. Maka kerinduan itu sendiri yang Murtadlâ sebut sebagai ritus atau ibadat. 112 Menurut Murtadlâ Muthahharî, kerinduan yang sangat tinggi ialah kerinduan akan Tuhannya. Kerinduan terhadap Tuhan merupakan suatu kecenderungan manusia untuk dekat dengan Tuhan. 113 Dalam artian, manusia sadar akan kehadiran Tuhan jauh di dasar sanubari mereka. Tetapi pertanyaannya ialah kalau memang hakikat manusia itu mempunyai kecenderungan untuk dekat dengan Tuhan, mengapa tidak sedikit orang yang jauh dari-Nya. Muthahharî menjelaskan bahwa lahirnya segala keraguan dan keingkaran manusia kepada Tuhan muncul ketika manusia menyimpang dari fitrah mereka sendiri. 114 Terlepas dari kecenderungan manusia untuk mensucikan sesuatu sebagaimana telah diterangkan, manusia masih mempunyai nilai dasar yang 112 Murtadlâ, Bedah Tuntas Fitrah, h. 55. 113 Murtadlâ, Perspektif al- Qur’an tentang Manusia dan Agama, h. 118. 114 Ibid, h. 118. tampaknya hal ini sering diabaikan. Bahwa manusia mempunyai ketertarikan- ketertarikan yang mendasar untuk membuat sesuatu yang belum ada dan belum dibuat orang. 115 Membuat sesuatu yang belum ada atau kata lain menciptakan merupakan bentuk dimensi kreativitas manusia. Dalam diri manusia, akan lahir kebahagiaan tersendiri yang menyelimuti hidup seseorang ketika ia mampu berkreasi. Dalam artian, ia mampu berkreasi dan kemudian mengaktualisasikan dalam bentuk nyata. Saat itulah menurut Muthahharî seseorang merasakan kepribadiannya. Merasakan kepribadiannya lewat kreativitas merupakan salah satu tanda bahwa ia benar- benar sadar akan dirinya. Pada saat itu manusia paham bahwa dirinya mampu menciptakan sesuatu dan mampu mewujudkan sesuatu yang bersifat metafisikan menjadi fisika. 115 Murtadlâ, Bedah Tuntas Fitrah, h. 54. 57

BAB IV KOMPARASI PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID

DAN MURTADLÂ MUTHAHHARÎ TENTANG FILSAFAT MANUSIA A. Pandangan mengenai Ayat-Ayat tentang Manusia Pandangan Gus Dur dan Murtadlâ Muthahharî mengenai manusia memang tidak akan lepas dari dasar utama agama yang mereka anut, al- Qur’an. Keduanya menjadikan al- Qur’an sebagai landasan utama dalam merumuskan pemikiran mengenai manusia. Tetapi memang mereka menginterpretasikannya dengan cara yang berbeda. Dalam pembahasan mengenai status manusia di muka bumi, keduanya menafsirkan surat al-Baqarah yang menjelaskan tentang ke-khalîfah-an manusia dengan ragam penafsiran yang tidak sama. Misalkan dalam menafsirkan surat al Baqarah2: 29, berikut teksnya:                                “Ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalȋfah di bumi. Mereka berkata: mengapa Engkau hendak menjadikan khalîfah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan dara. Tuhan berfirman: sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Kata kha lȋfah merupakan fȋʻil yang berarti yang menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya. Tetapi dalam memahami istilah ini,