BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Manusia hidup saling berketergantungan sehingga membuatnya cenderung untuk hidup berkelompok dan bermasyarakat. Kelemahan-kelemahan yang ada
pada diri masing-masing individu membuat mereka hidup saling tolong menolong untuk memenuhi kebutuhan primer maupun sekunder. Namun syariat membatasi
tolong menolong hanya pada hal-hal yang baik, tidak boleh untuk hal yang buruk.sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Al-Maidah 5: 2
ﺮ ْا ﻰ اﻮ وﺎ و ا اﻮﻘ او ناوْﺪ ْاو ْﺛﺈْا ﻰ اﻮ وﺎ ﺎ و ىﻮْﻘ او
بﺎﻘ ْا ﺪ ﺪﺷ ا نإ.
...Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya
Kelompok-kelompok manusia yang telah tebentuk kemudian berkembang menjadi kelompok yang lebih besar sehingga nantinya terbentuk aturan-aturan
yang mengatur pola ketergantungan antar manusia ataupun antar kelompok masyarakat tersebut. Kelompok masyarakat yang terikat aturan tersebut dipimpin
oleh penguasa yang mempunyai otoritas atas semua kelompok tersebut sehingga dari sinilah awal terbentuknya negara.
Ada beberapa pengertian tentang negara yang dikemukakan oleh para ahli. Diantaranya, Prof.R.Djokosutono, S.H. menyatakan bahwa negara adalah suatu
organisasi manusia atau kumpulan-kumpulan manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama. Sedangkan G.Pringgodigdo, S.H. menyatakan
bahwa negara adalah suatu organisasi kekuasaan atau organisasi kewibawaan yang harus memenuhi persyaratan unsur-unsur tertentu, yaitu harus ada
pemerintahan yang berdaulat, wilayah tertentu, dan rakyat yang hidup dengan teratur sehingga merupakan suatu nation bangsa.
1
Pendapat lain yakni Mirriam Budiarjo juga menyatakan definisi negara yaitu suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat yang
berhasil menuntut ketaatan dari warga negaranya terhadap peraturan perundang- undangan melalui penguasaan monopolistik dari kekuasaan yang sah.
2
Negara adalah agency atau alat dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat.
Negara adalah organisasi yang dalam suatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang
dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu. Negara juga menetapkan cara-cara dan batasan-batasan kekuasaan dapat digunakan baik oleh
1
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Jilid I, Jakarta, Balai Pustaka, 2002, h. 173
2
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, 1985, h. 41
individu dan golongan atau asosiasi, maupun oleh negara itu sendiri, demi mencapai tujuan bersama yakni tujuan negara.
3
Bentuk-bentuk negara jika dilihat dari segi hubungannya dengan agama maka ada tiga macam bentuk negara, yaitu:
4
1. Negara dengan paradigma integralistik
Negara merupakan lembaga politik sekaligus agama di mana pemerintahannya diselenggarakan atas dasar kedaulatan Tuhan. Dengan kata
lain bisa disebut juga dengan Negara Teokratis atau Negara Agama di mana kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan prinsip-prinsip
keagamaan. 2.
Negara dengan paradigma simbiotik Negara dan agama berhubungan secara timbal balik dan saling
memerlukan. Agama membutuhkan negara karena dengan negara agama dapat berkembang. Sedangkan negara membutuhkan agama agar negara
berkembang dalam bimbingan etika dan moral spiritual. 3.
Negara dengan paradigma sekularistik Negara menurut paradigma ini adalah negara yang berprinsip
memisahkan urusan agama dan negara. Pemisahan ini dilandasi pemikiran bahwa agama adalah tata nilai yang mengatur hubungan manusia dengan
3
A. Ubaidillah, Pendidikan Kewargaan : Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta, IAIN Jakarta Press, 2000, h. 33
4
Marzuki Wahid, Fiqh Mazhab Negara, Yogyakarta, LKiS Yoyakarta, 2001, h. 24-31
Tuhannya sehingga tidak bisa dicampuradukkan dengan hukum yang bersifat duniawi, dalam salah satu bentuknya yakni hukum negara.
Berbeda dengan pendapat di atas, pembagian bentuk negara menurut para jumhur ulama dibagi atas dua bentuk, yakni:
1. Dār al-Harb, yaitu negara yang tidak memberlakukan hukum Islam dalam
negaranya walaupun sebagian besar penduduknya beragama Islam. Namun ada juga yang mengartikannya sebagai sebuah negara yang mengingkari
adanya Islam dan cenderung untuk kehancurannya di dalam negaranya dan di luarnya.
5
2. Dār al-Islām, yakni negara yang memberlakukan hukum Islam dalam
negaranya walaupun sebagian besar penduduknya bukan muslim.
6
Pendapat lain juga mengartikannya sebagai wilayah yang membentuk negara muslim.
7
Namun ada pendapat lain yang menambahkannya menjadi tiga bentuk. Bentuk ketiga adalah D
ār Al-Muwahadah, yaitu negara yang menjadi bagian dari D
ār Al-Harb yang mempunyai perjanjian persahabatan dengan Negara Islam dan yang memberikan kebebasan adanya dan tumbuhnya komunitas muslim di
negaranya.
8
5
M. Ali Kettani, Minoritas Muslim di Dunia Dewasa ini, Jakarta, Rajawali Press, 2001, h. 374
6
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah,Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001, h. 223
7
M. Ali Kettani, Minoritas Muslim di Dunia Dewasa ini, h. 373
8
Ibid, h. 374
Dalam konsep negara yang ada di Indonesia, konsep Negara Islam telah lama sekali diperbincangkan. Bukan hanya sekedar perbincangan, upaya
penegakkan syariat dan membentuk Negara Islam di Indonesia juga telah ada. Jika dulu Kartosoewirjo sampai memproklamirkan berdirinya Negara Islam
Indonesia, sekarang ada HTI Hizbut Tahrir Indonesia yang ingin menegakkan sistem pemerintahan Khilafah di Indonesia dan NII Negara Islam Indonesia
yang ingin menjadikan Negara Indonesia menjadi Negara Islam. Adapun landasan hukum kewajiban mendirikan Negara Islam adalah QS.
An-Nisa 4: 59
ْنﺈﻓ ْ ﻜْ ﺮْ ﺄْا وأو لﻮ ﺮ ا اﻮ ﻃأو ا اﻮ ﻃأ اﻮ اء ﺬ ا ﺎﻬ أﺎ ﺎ نﻮ ْﺆ ْ ْآ ْنإ لﻮ ﺮ او ا ﻰ إ ودﺮ ﻓ ءْ ﺷ ﻓ ْ ْ زﺎ
ﺎ وْﺄ ْﺣأو ﺮْﺧ ﻚ ذ ﺮﺧﺂْا مْﻮ ْاو .
Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah Al Quran dan Rasul sunnahnya, jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.
Keharusan mematuhi ūlil amri dalam ayat di atas diartikan oleh
organisasi-organisasi tersebut sebagai keharusan mempunyai pemimpin atau kepala negara yang beragama Islam. Untuk mempunyai ulil amri tersebut hanya
dapat diwujudkan dengan membentuk Negara Islam. Untuk masyarakat
Indonesia, tentu kewajiban tersebut baru dapat dipenuhi jika Indonesia menjadi Negara Islam.
Selain HTI dan NII, masih banyak organisasi-organisasi yang mengatasnamakan Islam sebagai landasan organisasinya. Selain itu, dalam
perpolitikan Negara Indonesia juga banyak bermunculan partai-partai politik Islam atau yang berlandaskan Islam yang menarik para simpatisannya dengan
berbagai embel-embel syariat. Tujuan dari organisasi-organisasi dan partai-partai politik Islam ini tidak lain untuk mewujudkan Negara Indonesia yang berdasarkan
pada ajaran atau syari’at Islam dan mengubah Indonesia dari Negara Pancasila menjadi Negara Islam.
Jika ditilik dari tata hukum yang ada di Indonesia sebenarnya hal yang mengindikasikan bahwa hukum di Indonesia sejalan dengan syariat Islam
walaupun Negara Indonesia sendiri bukanlah Negara Islam.
9
Sebagai contoh, isi Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang
merupakan landasan hukum negara, pada alinea ketiga dinyatakan “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa…”.
10
Serta terdapat Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berisikan aturan-aturan yang berlandaskan
syariat serta adanya Kompilasi Hukum Islam yang berlaku bagi warganegara
9
Juhaya S.Praja, Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukan, Bandung, P.T. Remaja Rosdakarya, 1994, h. 81
10
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia,
Jakarta, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2003
yang beragama Islam namun tidak memaksakan aturan tersebut pada warganegara lain yang bukan muslim.
Pandangan tentang penerapan hukum Islam di Indonesia atau pemikiran untuk menjadikan Negara Indonesia menjadi Negara Islam tentu tidak dapat
diterima oleh semua orang. Abdurrahman Wahid misalnya, beliau menyatakan bahwa kewajiban menjalankan syariat Islam tidak perlu diperintahkan secara
formal berdasarkan undang-undang. Kewajiban ini menuntut kesesuaian dengan kedudukan dan kemampuannya. Ini berbeda dengan asas hukum negara dimana
setiap orang dianggap mengetahui hukum dan wajib menjalankannya serta dikenai sanksi jika melanggar atau tidak menjalankannya.
11
Pandangan beliau ini berbeda dengan pandangan tokoh lainnya, yakni M.Natsir, yang justru sangat
ingin mewujudkan Indonesia yang berlandaskan syari’at. Perbedaan pandangan inipun juga mungkin terjadi dalam kalangan
mahasiswa. Bagi sebagian mahasiswa yang pro dengan Negara Islam menyatakan bahwa Islam harus ditegakkan karena mendirikan Negara Islam adalah wajib
hukumnya. Namun bagi sebagian mahasiswa lainnya yang kontra dengan penegakan Negara Islam di Indonesia beralasan bahwa Indonesia adalah negara
yang multi ras, budaya, dan agama sehingga tidak mungkin terjadi penyamarataan hukum bagi semua warganegara.
11
Juhaya S.Praja, Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek, Bandung, P.T Remaja Rosdakarya, 1994, h. 33-34
Mahasiswa yang merupakan generasi penerus bangsa yang mempunyai intelektualitas dalam bernegara hendaknya dapat mewujudkan tujuan dan cita-cita
Negara Indonesia di masa depan. Tugas yang diemban ini akan mereka jalankan sesuai dengan konsep negara yang baik menurut pemikiran mereka masing-
masing. Bagi mereka yang setuju dengan konsep negara Islam, maka mereka akan mengupayakan perwujudannya di Indonesia. Namun bagi mereka yang tidak
setuju, maka mungkin mereka akan menghalang-halangi upaya tersebut dan akan mempertahankan bentuk Negara Indonesia yang sekarang telah terbentuk.
Bagi mahasiswa yang berlatar belakang pendidikan ketatanegaraan Islam seyogyanya lebih mengerti perihal negara dan pemerintahan Islam. Oleh karena
itu, asumsi yang mendasari penelitian ini adalah semakin tinggi tingkat penguasaan mahasiswa terhadap pengetahuan ketatanegaraan Islam, semakin
tinggi apresiasi dan keinginan mereka menerapkannya dalam realitas politik. Inilah tujuan spesifik dari penelitian ini, yaitu untuk menguji asumsi tersebut di
atas. Penelitian ini Penulis fokuskan pada mahasiswa Konsentrasi Siyasah
Syar’iyah karena Konsentrasi ini banyak mempelajari ilmu tentang ketatanegaraan Islam dan memang menjuruskan kajian ilmu yang berhubungan
dengan tatanegara Islam. Dalam visi misi jurusan pun juga disebutkan bahwa lulusan Konsentrasi Siyasah Syar’iyah diharapkan dapat menjadi ahli ataupun
praktisi politik atau negara. Oleh karena itu, mahasiswa Siyasah Syar’iyah penulis anggap sangat cocok untuk dijadikan sampel penelitian ini.
Penelitian yang ingin penulis lakukan berjudul “RESPON MAHASISWA KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH UIN JAKARTA
TERHADAP IDE NEGARA ISLAM DI INDONESIA ”. Hasil penelitian ini
akan memberi gambaran pandangan mahasiswa Siyasah Syar’iyah tentang sikap mereka atas penerapan ide Negara Islam di Indonesia.
Sebagai pedoman dalam menulis skripsi ini, penulis memakai panduan pada Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terbitan tahun 2007.
B. PERUMUSAN DAN PEMBATASAN MASALAH