B. NEGARA ISLAM
Dalam al-Quran memang tidak terdapat pernyataan tentang negara daulah, namun prinsip-prinsip pokok dalam kehidupan bernegara sangat jelas
diterangkan. Beberapa prinsip pokok tersebut antara lain prinsip musyawarah, keadilan, persamaan, taat pada pemimpin, dan lain-lain.
21
Islam dengan sifat-sifat khasnya bertujuan menciptakan kesejahteraan umum bagi umat manusia seluruhnya, baik muslim ataupun bukan. Ajaran-ajaran
tentang ibadah dan muamalah, tentang pemerintahan politik, sosial, ekonomi, semuanya ditetapkan sebagai suatu keharusan agama yang harus ditaati.
Ketetapan-ketetapan Tuhan untuk kesejahteraan manusia ini hanya dapat diwujudkan dalam kumpulan manusia yang terorganisir. Organisasi-organisasi
manusia yang berada di bawah suatu tampuk kepemimpinan dan berjalan berdasarkan aturan-aturan yang telah ada. Inilah yang bakal atau malah mungkin
sudah merupakan suatu bentuk negara. Inilah bentuk keterkaitan antara negara dengan ketetapan-ketetapan Tuhan atau bisa disebut juga agama.
Demikian eratnya hubungan agama dengan negara menurut ajaran Islam sama halnya dengan pertautan tiang dengan gedung karena sesungguhnya agama
adalah tiang negara. Karena itu suatu konsepsi Negara Islam tanpa agama tidak mungkin, seperti tidak mungkinnya konsepsi agama Islam yang kosong dari cita
kemasyarakatan dan politik negara. Islam menegakkan segala perundang-
21
Mujar Ibnu Syarisf, Hak-hak Politik Minoritas Non-Muslim dalam Komunitas Islam, Bandung, Angkasa, 2003, h. 11.
undangannya atas dasar moral. Karena itu negara menurut pandangan Islam adalah negara moral yang berundang-undang dasar tertulis yaitu Al-Qur’an dan
Hadist.
22
1. Pengertian Negara Islam
Negara Islam menurut Yusuf Qardhawy dibagi menjadi enam kategori.
23
a. Negara Islam adalah negara madani yang berlandaskan Islam yang
ditegakkan berdasarkan baiát dan musyawarah, dan pemimpinnya dipilih dari kalangan orang jujur, kuat dan terpercaya, serta penuh perhatian.
b. Negara Islam adalah negara konstitusional yang berdasarkan syariat yang
terdapat dalam Al-Qurán dan as-Sunnah. c.
Negara Islam adalah negara yang bertujuan menyebarkan dakwah Islamiyah ke seluruh penjuru bumi
d. Negara Islam adalah negara yang melindungi hak-hak kaum lemah dan
tertindas dari kezaliman kaum kuat. e.
Negara Islam adalah negara yang menegakkan dan menjamin hak-hak asasi dan kebebasan iman setiap warganegaranya.
f. Negara Islam adalah negara yang selalu berpegang dan tidak menyimpang
dari prinsip dan moral, yakni tidak membolehkan cara batil untuk
22
Yusuf Qardhawy, Fiqh Negara, Jakarta, Robbani Press, 1997, h. 29-58
23
Ibid, h. 52-53
mewujudkan kebenaran dan tidak membolehkan perwujudan kebaikan yang menggunakan sarana keji.
Berbeda dengan Yusuf Qardhawy, M.Iqbal
24
menyatakan beberapa pengertian negara Islam yang dirangkum dari pendapat-pendapat para ulama
yang kemudian disusun dalam enam kategori, yaitu: a.
Negara Islam adalah negara yang di dalamnya berlaku hukum Islam walau mayoritas penduduknya bukan muslim.
b. Negara Islam adalah negara yang dipimpin oleh seorang muslim.
c. Negara Islam adalah negara yang dapat memberikan rasa aman kepada
penduduknya yang beragama Islam dalam menjalankan aktifitas keagamaannya.
d. Negara Islam adalah negara yang wilayahnya didiami oleh mayoritas
orang-orang Islam dan di negara tersebut berlaku hukum Islam. e.
Negara Islam adalah negara yang pemerintahannya dipegang oleh umat Islam, mayoritas penduduknya muslim, dan berundang-undangkan hukum
Islam. Dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa negara Islam adalah
negara yang memberlakukan hukum Islam dalam negaranya tanpa melihat mayoritas penduduknya, pemerintahannya dipegang oleh umat Islam yang
24
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, terjemahan, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001, h. 222- 224
menjamin keamanan warganegaranya dalam melaksanakan ibadah, dan melindungi hak-hak asasi warganegaranya.
2. Kriteria Negara Islam
Terbentuknya suatu negara tidak terlepas dari empat unsur utama yakni wilayah, penduduk atau warga negara, konstitusi , dan pemerintahan.
Masing-masing unsur saling terkait dan terikat pada ketentuan-ketentuan yang berlaku. Islam sendiri adalah sebagai contoh suatu aturan yang mencakup
semua hal termasuk di dalamnya aturan-aturan tentang ketatanegaraan. Negara yang diatur menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Islam ini
yang kemudian disebut Negara Islam atau Dâr al-Islam.
25
Sebuah negara dapat disebut Negara Islam apabila di dalam negara tersebut berlaku syariat Islam. Pemberlakuan syariat Islam ini dapat dilihat
dari beberapa hal berikut
26
: a.
Sebuah negara dapat disebut Negara Islam jika ia dipimpin oleh pemimpin muslim di mana ia mendasari kebijakan-kebijakan pemerintahannya
dengan syariat Islam b.
Suatu negara juga bisa disebut Negara Islam jika mayoritas penduduknya adalah muslim dan menerapkan syariat Islam dalam kehidupannya sehari-
25
M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, Jakarta, Gema Insani Press, 2000, h. 311.
26
Abul A’la Al-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam terjemahan, Bandung, Mizan, 1993, h. 158
hari baik dalam hal yang berkaitan dengan ekonomi, sosial, maupun dalam bidang politik
c. Negara Islam akan melindungi seluruh warga negaranya, yaitu semua
umat yang beragama Islam dan orang-orang yang bukan Islam namun hidup dan menetap dalam wilayah negara Islam
3. Sejarah Pembentukan Negara Islam
Pada periode Makkah umat Islam belum memulai kehidupan bernegara. Nabi ketika itu hanya menyampaikan dakwahnya kepada
masyarakat Makkah dengan penekanan kepada aspek ibadah dan akidah, tetapi aspek yang lain tidak diabaikan. Ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan
pada periode Makkah juga banyak berbicara tentang kecaman terhadap praktek-praktek bisnis yang curang, penindasan oleh kelompok ekonomi dan
politik terhadap kelompok yang lemah dan berbagai ketimpangan sosial lainnya.
27
Setelah hijrah ke Madinah, keberadaan Nabi dan ajaran Islam sudah mendapat tempat dan simpati dari masyarakatnya. Di kota yang baru ini
Rasulullah baru bisa secara aktif menerapkan dominasi sosial ajaran Islam untuk menciptakan masyarakat yang berbudaya.
27
Fazlur Rahman, Muhammad Sebagai Pemimpin Militer, terj. M. Hasyim Assagaf, Lampung, Yapi, 1990, h. 38
Dari masyarakat yang berbudaya inilah Rasulullah mulai menciptakan suatu kekuatan politik. Hal pertama yang dilakukan beliau dalam
pembentukan sebuah negara adalah membuat Piagam Madinah pada tahun pertama Hijriyah.
28
Piagam yang berisi 47 pasal ini memuat peraturan- peraturan tentang hubungan antara berbagai komunitas dalam masyarakat
Madinah yang majemuk. Di negara yang baru ini Rasulullah sebagai kepala negara dan Piagam Madinah sebagai konstitusinya.
Terwujudnya Piagam Madinah merupakan bukti sifat kenegaraan Rasulullah, karena isinya memperhatikan kepentingan orang Yahudi dan
mempersatukan kedua umat di bawah kepemimpinannya. Bagi umat Islam Rasulullah telah berhasil menciptakan persatuan dan kesatuan serta
persaudaraan di antara kaum Muhajirin dan Anshar dan Rasulullah telah mendamaikan di antara suku tersebut.
4. Sistem Pemerintahan Negara Islam
Islam tidak menetapkan secara pasti seperti apa dan bagaimana sistem pemerintahan yang baik dan harus dijalankan oleh negara Islam demi
mencapai tujuan kesejahteraan hidup dunia dan akhirat. Masing-masing pemikir muslim mempunyai pola pikir sendiri-sendiri dalam merumuskan
konsep sistem pemerintahan yang baik.
28
Ahmad Sukarja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk
, Jakarta, UI Press, 1995, h. 10
Menurut Ibnu Abi Rabi, salah seorang pemikir muslim zaman klasik, bentuk pemerintahan yang baik adalah bentuk monarki atau kerajaan di bawah
pimpinan seorang raja atau penguasa tunggal. Alasan utama pemilihan bentuk ini karena yakin bahwa banyak kepala yang mempimpin suatu negara hanya
akan membuat situasi lebih kacau dan persatuan tidak akan dapat diwujudkan.
29
Berbeda dengan Ibnu Abi Rabi yang berasal dari masa klasik, seorang tokoh kontemporer muslim bernama Fazlur Rahman justru menyatakan bahwa
bentuk pemerintahan yang baik adalah bentuk demokrasi.
30
Menurutnya, organisasi negara dalam Islam memperoleh kekuasaannya dari rakyat yaitu
masyarakat muslim sehingga ia bersifat demokratik. Adapun wujud bentuk pemerintahannya dikenal adanya dewan perwakilan rakyat yang akan
menyalurkan aspirasi warganegara dalam perpolitikan negara. Pendapat pemikir kontemporer lainnya bernama Mohammad Husain
Haikal justru berbeda lagi dengan pendapat kedua tokoh di atas. Menurut Haikal, di dalam Islam tidak terdapat satu sistem pemerintahan yang baku.
Umat Islam bebas menganut sistem pemerintahan yang bagaimana pun asalkan sistem tersebut menjamin persamaan antar warga negaranya, baik hak
maupun kewajiban, dan juga di muka hukum, dan pengelolaan urusan negara
29 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Jakarta, UI Press, 1993, h. 46.
30
John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan, Jakarta, Rajawali, 1984, h. 481.
diselenggarakan atas dasar musyawarah atau syura, dengan berpegang kepada tata nilai moral dan etika yang diajarkan Islam bagi peradaban manusia.
31
5. Perdebatan Negara Islam di Indonesia
Berbicara mengenai hubungan Islam dan negara di Indonesia, ada tiga hal yang harus diperhatikan karena merupakan dasar pemikiran yang
melandasi perdebatan tentang ideologi negara di Indonesia:
32
a. Adanya pendapat yang berbeda tentang konsep Negara Islam dan akar
sejarahnya. b.
Munculnya Islam sebagai suatu ideologi tidak terlepas dari tuntutan politik dan sosio-kultural dalam kondisi kesejahteraan tertentu.
c. Pancasila sebagai ideologi negara tidak selalu ditampilkan dan
diinterpretasikan secara sama. Salah satu pelopor konsep negara berdasarkan Islam di Indonesia
adalah Mohammad Natsir. Selain berkomitmen membela Islam sebagai dasar negara, ia juga seorang pembela demokrasi yang gigih. Dalam pandangannya,
demokrasi merupakan perwujudan modern dari ajaran yang sangat fundamental dalam Islam yakni syura.
33
31
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 188-189.
32
M. Bambang Pranowo, Islam dan Pancasila: Dinamika Politik Islam di Indonesia, dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an Volume III, No.1, 1992, h. 5
33
Ibid, h. 7
Dalam Sidang Konstituante tahun 1957, penolakan kalangan Islam terhadap Pancasila didasarkan pada pandangan bahwa Pancasila adalah
ideologi sekuler dan mengandung pengertian yang belum jelas. M. Natsir misalnya menyatakan bahwa tidak ada orang yang membantah kebaikan yang
ada pada ideologi Pancasila, namun penjelasan yang diberikan oleh para pendukung ideologi Pancasila sangat kabur.
Sejalan dengan pendapat Natsir, Ahmad Zaini tokoh NU menyatakan bahwa Pancasila mengandung slogan-slogan yang bagus. Tetapi sayangnya
ideologi itu tidak memiliki pedoman dengan pengertian yang jelas yang siap untuk dipraktekkan. Sutan Takdir Alisjahbana dari Partai Sosialis Indonesia
PSI mengakui bahwa sangat berlebihan jika menganggap Pancasila sebagai falsafah negara. Sebab, bukan hanya karena komponen-komponennya yang
bersifat heterogen tapi juga karena Pancasila tidak terlepas dari kontradiksi.
34
Kekaburan Pancasila pada masa Orde Lama ini dihilangkan oleh pemerintahan Orde Baru yakni Presiden Soeharto dan para menterinya.
Menurut Soeharto, Pancasila adalah suatu keutuhan yang padu. Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa menyinari keempat sila lainnya. Namun
Ketuhanan Yang Maha Esa harus pula dilaksanakan dengan semangat
34
M. Bambang Pranowo, Ibid., h. 7.
keempat sila lainnya. Dalam Negara yang berdasarkan Pancasila ini, takwa kepada Tuhan adalah sangat mutlak.
35
Sejalan dengan pendapat di atas, para intelektual muslim pada masa pasca-orde baru justru ingin menjembatani jurang ideologi antara Islam
politik dan negara. Pengembangan gagasan reformasi politik ini dibangun dari pertimbangan-pertimbangan dari aspek teologis maupun politis.
Pertimbangan-pertimbangan tersebut antara lain:
36
1. Pandangan bahwa Islam tidak boleh berada pada posisi yang berhadap-
hadapan dengan negara. Pancasila tidak ditempatkan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan Islam, melainkan keduanya harus dipandang sebagai
dua hal yang saling melengkapi. Pandangan ini tumbuh dari pemahaman bahwa setiap sila dalam Pancasila sejalan dengan ajaran-ajaran Islam.
Karena itu, dalam pandangan mereka sama sekali tidak penting meragukan keabsahan negara Indonesia yang secara formal didasarkan
kepada sebuah ideologi yang non-religius. 2.
Sepanjang sejarah politik Indonesia modern, para aktivis politik Islam belum mampu mengembangkan tradisi memerintah yang kuat. Untuk
menanggulanginya, para pemimpin dan aktivis politik Islam dirasa penting untuk menjalin hubungan dengan lembaga-lembaga politik yang
35
M. Bambang Pranowo, Ibid, h.12-13
36
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Jakarta, Paramadina, 1998, h. 152-156
ada agar peran mereka lebih efektif dalam proses-proses pembuatan kebijakan negara.
3. Seluruh pendekatan dan strategi di atas merupakan langkah-langkah yang
harus diambil untuk memulihkan kembali harga diri dan citra para aktifis politik Islam. Dan yang lebih penting, strategi tersebut dapat
membangkitkan rasa keterikatan umat Islam terhadap persoalan negara. Lain halnya dengan keadaan yang ada sekarang. Kelompok-kelompok
Islam radikal yang sekarang banyak bermunculan, merasa menemukan waktu yang tepat untuk menegaskan bentuk keberagamaan di Indonesia. Beberapa
kelompok-kelompok tersebut antara lain Majelis Mujahidin Indonesia MMI, Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam KISDI, dan Front Pembela
Islam FPI. Perjuangan yang mereka lakukan untuk mencapai misi utama
pemberlakuan syariat Islam dilakukan dalam dua pola, yakni pola perjuangan kultural dakwah Islam dan struktural politik. Pendekatan struktural yang
mereka lakukan adalah kekuasaan negara diupayakan dipegang oleh seorang muslim yang jelas komitmennya terhadap Islam dan siap memberlakukan
syariat Islam dalam lingkup sosial kenegaraan sehingga kehidupan bernegara dapat dikelola sesuai dengan ajaran yang dituntunkan oleh Allah SWT.
37
37
Khamami Zada, Islam Radikal, Jakarta, Teraju, 2002, h. 157
Sementara itu, pendekatan kultural dilakukan dalam format gerakan pembinaan akidah, akhlak, pendidikan, sosial dan ekonomi tanpa terlibat
sedikitpun dalam urusan perjuangan politik. Gerakan ini lebih mengutamakan pendekatan akhlak individual, keluarga dan masyarakat. Usaha ini dilakukan
melalui lembaga-lembaga pendidikan formal atau nonformal, pengajian, dan kursus-kursus keagamaan lainnya. Melalui jalan ini mereka mempengaruhi
masyarakat untuk ikut bergabung.
38
Mereka sangat giat memperjuangkan aspirasi Islam kepada pemerintah sekaligus melakukan kegiatan dakwah di masyarakat. Hal ini dapat disimak
dari gerakan mereka yang memperjuangkan aspirasi Islam dengan lobi-lobi kekuasaan dan pawai demonstrasi menentang kebijakan negara, sekaligus
dibarengi dengan kegiatan dakwah di masyarakat.
39
Berbeda dengan kelompok Islam radikal umumnya, Laskar Jihad tidak menggunakan pola ini secara keseluruhan. Mereka lebih memilih jalur
dakwah langsung kepada masyarakat. Itu sebabnya Laskar Jihad tidak mau melakukan demonstrasi. Mereka memandang demonstrasi sebagai suatu
bagian dari demokrasi yang dianggapnya sebagai sistem kafir yang harus ditolak.
40
38
Khamami Zada, Ibid, h. 157
39
Ibid., h. 159
40
Ibid., h.160
BAB III KONSENTRASI SIYASAH SYARIYAH UIN JAKARTA