Respon mahasiswa terhadap sensifitas gender pada materi kuliah di jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(1)

JAKARTA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)

Oleh:

ANIS FACROTUL FUADAH NIM: 107051003758

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1432 H/2011 M


(2)

(3)

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Stara 1 di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatulah Jakarta.

Jakarta, 21 Juni 2011


(5)

Anis Fachrotul Fuadah

Respon Mahasiswa terhadap Sensitifitas Gender pada Materi Kuliah di Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Berita-berita diberbagai media masih menunjukan berbagai ketimpangan yang berkaitan dengan Gender dan Seksualitas, hal tersebut terlihat pada pilihan kata yang digunakan memperlihatkan perempuan hanya dijadikan objek seksual belaka. Tidak hanya itu, tubuh perempuan pun seolah dikendalikan oleh media dan bagaimana masyarakat memandang dan mengekspresikannya. Ironisnya, proses produksi dari seluruh komoditi media massa tersebut banyak dilakukan oleh mahasiswa lulusan ilmu komunikasi dan seni, disini terlihat bahwa melimpahnya perguruan tinggi yang menghasilkan ratusan bahkan ribuan tenaga kerja di industri media tidak menjamin bahwa mereka menghasilkan lulusan yang bermutu, yang mampu menghasilkan produk media yang berkualitas dan sensitif gender.

Lingkungan kampus, teknik pengajaran, kurikulum, hingga bahan ajar kadang masih merepresentasikan perempuan dan laki-laki stereotype khas patriarki. Hal tersebut memperlihatkan bahwa tidak semua ruang lingkup akademis bisa mengakomodir kehausan terhadap pengetahuan di luar pengetahuan yang maskulin. Tidak heran jika atmosfir lingkungan seperti itu menjadikan orang-orang yang berada didalamnya menjadi kaku dan kebal terhadap isu-isu perempuan dan kesetaraan gender. Dampaknya adalah para lulusan FIDKOM yang bergelut di bidang media tidak mempunyai ideologi yang berperspektif gender sehingga menghasilkan karya-karya yang bias gender.

Dalam study gender untuk mengukur sensitifitas harus dilihat bagaimana pengetahuan dan pemahaman orang tersebut terhadap gender, untuk itu sebelumnya peneliti melihat bagaimana tingkat pengetahuan dan pemahaman mahasiswa terhadap gender, sehingga bisa mengukur tingkat sensitifitas gender mahasiswa, dan juga melihat respon mahasiswa terhadap sensitifitas gender pada materi kuliah yang ada di jurusan KPI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan menggunakan metode deskriptif dan pendekatan kuantitatif, pengumpulan data dilakukan menggunakan penyebaran angket yang disebar pada 50 responden yakni mahasiswa KPI angkatan 2008 yang sebelumnya instrument dilakukan uji validitas dan reabilitasnya pada mahasiswa KPI angkatan 2009 sebanyak 30 responden dan mendapatkan nilai 0,90 yang berarti instrumen yang digunakan

valid dan reliabel sehingga instrumen penelitian dapat digunakan untuk penelitian ini.

Dari hasil pengolahan dan analisis data, diketahui bahwa tingkat pengetahuan dan pemahaman mahasiswa terhadap gender rendah, ini didapat dari

mean 99.52 hasil tersebut lebih kecil dari tabel yakni 250. Sedangkan tingkat sensitifitas mahasiswa dan hasil uji hipotesis (uji-F) maka respon mahasiswa terhadap sensitifitas gender pada materi kuliah di jurusan komunikasi dan penyiaran islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta adalah Negatif.


(6)

Bismillahirrahmannirrahiim

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan nikmat iman, nikmat islam, serta nikmat sehat sehingga penulis dapat menyusun skripsi ini. Sholawat serta salam marilah kita senandungkan kepada nabi besar kita Nabi Muhammad SAW juga bagi keluarga, sahabat, serta pengikutnya hingga akhir zaman.

Syukur alhamdulillah akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Respon Mahasiswa terhadap Sensitifitas Gender pada Materi Kuliah di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.” Skripsi ini diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar S1 di lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selama masa penelitian, penyusunan, dan penulisan skripsi ini penulis mendapat banyak bantuan dan dukungan dari segala pihak. Baik dari lingkungan keluarga, sahabat, teman, civitas akademika kampus, hingga pihak-pihak yang berada di tempat peneliti melakukan skripsi. Untuk itu pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ayahanda Alm. H. Chairuddin dan Ibunda Hj. Nurjannah yang selalu memanjatkan doa, mencurahkan kasih sayang, memberikan pengorbanan yang tiada tara, hingga memotivasi penulis dalam keadaan apapun sehingga penulis mampu kembali bangkit dan tetap semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.


(7)

3. Jajaran dekanat Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Yang terhormat Dr. H. Arief Subhan, MA selaku Dekan, Drs. H. Wahidin Saputra, MA selaku Pembantu Dekan Bidang Akademik, Drs. H. Mahmud Jalal, MA selaku Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum, dan Drs. Study Rizal LK, MA selaku Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan.

4. Dra. Rini Laili Prihatini, M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dengan sangat sabar sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Seluruh dosen pengajar Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi baik yang masih mengajar maupun yang sudah tidak mengajar. Terima kasih atas ilmu dan wawasan yang telah diberikan.

6. Seluruh staff dan karyawan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi atas kerja sama dan bantuannya selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

7. Pimpinan dan karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah &Ilmu Komunikasi yang telah menyediakan buku dan fasilitas Wi-Fi untuk mendapatkan referensi dan memperkaya isi skripsi ini.

8. Teman-teman KPI angkatan 2008 yang berkenan mengisi kuisioner hingga penulis bisamendapatkan data yang diperlukan.

9. Sahabat-sahabat seperjuangan KPI A angkatan 2007, Terima kasih atas kebersamaan dan kekeluargaan yang kita lewati selama 4 tahun terakhir. Semoga suatu saat kita bisa bertemu kembali dalam suasana yang bahagia dan dirahmati oleh Allah SWT.

10.Keluarga Besar Piramida Circle dan Batu Bara Institute, kalian adalah guru-guru di sekolah kehidupanku.


(8)

Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu namun tidak mengurangi rasa

terima kasih saya atas bantuan dan doanya selama ini.

Akhirnya hanya rasa syukur, ucapan terima kasih, dan permohonan maaf yang dapat penulis sampaikan jika selama ini banyak terjadi kesalahan serta kekhilafan yang pernah penulis lakukan. Semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi semua pihak tanpa terkecuali.

Billahitaufiqwalhidayah Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Jakarta, Juni 2011


(9)

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan Masalah ………... 9

C. Rumusan Masalah & Tujuan Penelitian... 10

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Tinjauan Pustaka ………... 12

F. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II LANDASAN TEORI A. Respon ………... 16

1. Pengertian Respon …... 16

2. Macam-Macam Respon ... 17

B. Gender ... 18

1. Pengertian Gender ... 18

2. Perbedaan Seks dan Gender ... 20


(10)

1. Metode Pembelajaran ………... 31

E. Inklusi Gender di Perguruan Tinggi ………. 33

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ……... 35

B. Paradigma dan Desain Penelitian ... 35

C. Populasi dan Tehnik Pengambilan Sampel ... 36

D. Variabel Penelitian ... 37

E. Definisi Operasional dan Indikator Penelitian ... 37

F. Kerangka Pemikiran ………... 39

G. Hipotesis Penelitian ………... 44

H. Teknik Pengumpulan Data ... 44

I. Sumber Data ……… 45

J. Uji Instrumen ... 46

1. Uji validitas ………. 46

2. Uji Reliabilitas ... 47

K. Uji Hipotesis (F) ……… 47


(11)

1. Sejarah Singkat Jurusan KPI ... 51

2. Visi, Misi, Tujuan dan Kompetensi Jurusan KPI 53 3. Sekilas tentang Mahasiswa Jurusan KPI Angkatan 2008 ……… 54

B. Karakteristik Responden ……….. 56

C. Validitas dan Reabilitas ……… 58

D. Analisis Data Lapangan ………... 59

1. Deskripsi Hasil Penelitian ……… 59

2. Respon Mahasiswa terhadap Sensitifitas Gender di Jurusan ………. 67

3. Analisis Uji Kai Kuadrat (uji Chi Square) ………. 70

4. Uji Hipotesis (Uji-F) ………. 76

BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(12)

Tabel 1 Perbedaan Seks dan Gender ………... 21

Tabel 2 Skala Likert ………... 44

Tabel 3 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 57

Tabel 4 Karakteristik Responden Berdasarkan Asal Sekolah …... 57

Tabel 5 Karakteristik Responden Berdasarkan Tempat Tinggal ... 58

Tabel 6 Pengetahuan Responden tentang Seks dan Gender ... 59

Tabel 7 Pemahaman Responden tentang Seks dan Gender ... 61

Tabel 8 Metode Pengajaran Dosen dikelas terkait dengan Aplikasi Kesetaraan ………... 63

Tabel 9 Materi/Baham Ajar Sensitif Gender yang diberikan Dosen ... 65

Tabel 10 Descriptive Statistic Tingkat Pengetahuan dan Pemahaman... 67

Tabel 11 Klasifikasi Skor Skala Pengetahuan dan Pemahama ……... 68

Tabel 12 Descriptive Statistic Tingkat Sensitifitas ... 69

Tabel 13 Klasifikasi Skor Skala Sensitifitas ………... 69

Tabel 14 Perhitungan X2 Tingkat Pengetahuan dan Pemahaman Berdasarkan Jenis Kelamin ... 71

Tabel 15 Perhitungan X2 Tingkat Pengetahuan dan Pemahaman Berdasarkan Tempat Tinggal …………... 72

Tabel 16 Perhitungan X2 Tingkat Pengetahuan dan Pemahaman Berdasarkan Asal Sekolah ………... 74


(13)

(14)

(15)

(16)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berita-berita diberbagai media masih menunjukan berbagai ketimpangan yang berkaitan dengan Gender dan Seksualitas, hal tersebut terlihat pada pilihan kata yang digunakan memperlihatkan perempuan hanya dijadikan objek seksual belaka. Tidak hanya itu, tubuh perempuan pun seolah dikendalikan oleh media dan bagaimana masyarakat memandang dan mengekspresikannya. Media menyajikan bagaimana perempuan seharusnya, alih-alih menciptakan solusi, justru media kemudian menawarkan mimpi-mimpi baru untuk menjadi perempuan yang diinginkan masyarakat. Lahirlah kemudian stereotype perempuan: menjadi perempuan baik-baik, istri yang sempurna, perempuan yang cantik itu yang langsing, indah dipandang mata.

Hal tersebut menciptakan struktur atau kondisi yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan di media.1 Tidak hanya dalam hal pencitraan, jika kita lihat komposisi pekerja media khususnya yang mempunyai wewenang sebagai pengambil kebijakan masih sedikit sekali di pegang oleh perempuan, jumlah perempuan wartawan hingga tahun 2009 hanya 10% - 12% dari seluruh jumlah wartawan Indonesia,2 dan dari jumlah itu tak lebih seperlimanya menduduki

1

Jurnal Perempuan, Pere pua da Cerita Kuasa Televisi , dalam Apa Kabar Media Kita, (Jakarta : PT. Percetakan Penebar Swadaya, 2009), Edisi 67, h.71.

2

Jurnal Perempuan, Nasib Jurnalis Perempuan di Indonesia, dalam Apa Kabar Media Kita, (Jakarta : PT. Percetakan Penebar Swadaya, 2009), Edisi 67, h.32


(17)

jabatan-jabatan struktural yang ikut ambil bagian dalam pengambilan keputusan redaksional. Representasi gender dan seksualitas di media yang timpang tersebut tidak hanya terbatas pada pemberitaan semata, hal ini juga banyak didapati pada cerita feature di media cetak, iklan di berbagai media, sinetron, berita infotainment, sitkom, talkshow, hingga film layar lebar. Misalnya Pada sinetron INAYAH, DAN SOLEHA, karakter pemeran utama digambarkan sebagaimana konstruksi perempuan di masyarakat, yakni sebagai perempuan yang tidak mandiri, lemah serta lebih mengedepankan emosi daripada rasio.

Dalam sinetron-sinetron Indonesia peran perempuan diranah domestik terlihat dominan, seperti ibu rumah tangga dan pembantu. Tidak hanya itu, perempuan juga dieksploitasi, eksploitasi disini bukan dalam pandangan yang seksisme namun eksploitasi atas sifat ataupun watak perempuan yang cenderung negatif bahkan tidak rasional, misalnya perempuan dalam sinetron digambarkan wataknya culas, selalu mendahulukan rasa daripada logika. Ironisnya, proses produksi dari seluruh komoditi media massa tersebut banyak dilakukan oleh mahasiswa lulusan ilmu komunikasi dan seni, disini terlihat bahwa melimpahnya perguruan tinggi yang menghasilkan ratusan bahkan ribuan tenaga kerja di industri media tidak menjamin bahwa mereka menghasilkan lulusan yang bermutu, yang mampu menghasilkan produk media yang berkualitas dan sensitif gender.3 Produk-produk media di Indonesia, terutama produk televisi swasta Jakarta yang bersiaran secara nasional, saat ini masih banyak dikeluhkan. Sesungguhnya tidak hanya terpusat pada TV swasta saja, namun pemberitaan di

3

Dina Listiorini, Mengajarkan Kekritisan Gender dan Seksualitas untuk Mahasiswa Komunikasi, dalam Jurnal Perempuan Pendidikan, Media dan Gender, (Jakarta : PT. Percetakan Penebar Swadaya, 2008), Edisi 61, h.61


(18)

media cetak seperti harian Pos Kota, masih terlihat ketimpangan dalam pemberitaan menyangkut soal gender dan seksualitas.4

Perguruan tinggi merupakan pendidikan terminal yang secara langsung di desain untuk menyiapkan pekerja meniti karier bagi sebagian besar lulusannya, bagi sebagian besar lulusannya perguruan tinggi merupakan pendidikan terakhir yang mereka terima. Oleh karena itu keahlian atau pelajaran-pelajaran yang mereka peroleh di perguruan tinggi berpengaruh teradap karier dan produktivitas para lulusannya. Perguruan tinggi juga merupakan lembaga pendidikan yang diciptakan untuk menjadi laboratorium ilmu pengetahuan yang diharapkan bisa meluluskan sumber daya manusia yang siap terjun dan berperan memberi manfaat pada kehidupan masyarakat baik laki-laki maupun perempuan. Namun, banyak ditemui ilmu pengetahuan yang masuk dalam kurikulum kampus yang luput dari pengetahuan tentang perempuan dan gender. Di perguruan tinggi khususnya pada fakultas ilmu komunikasi kata-kata gender nyaris tak terdengar dalam kegiatan belajar mengajar, kalaupun ada jumlahnya sedikit.

Hasil penelitian jurnal perempuan universitas yang memasukkan materi gender dalam mata kuliah masih bisa dihitung jari, hanya komunitas-komunitas atau forum-forum kajian diluar kampus yang bersuara, seperti yang terjadi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Universitas ini juga mempunyai fakultas komunikasi yang diberi nama Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM) yang sudah berdiri sejak 1989 dengan berbagai jurusan seperti Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Jurnalistik, Manajemen Dakwah, Bimbingan Penyuluhan Islam, Pengembangan Masyarakat Islam, dan

4


(19)

Kesejahteraan Sosial. Dulu memang pernah ada mata kuliah yang berhubungan dengan gender yakni Pengantar gender sekitar tahun 1999-2003.5 Namun, seiring bergantinya tampuk kepemimpinan maka berganti pula kebijakan hingga sekarang tidak ada lagi mata kuliah yang berkaitan dengan gender terutama jurusan KPI. Jurusan KPI merupakan salah satu jurusan Favorit pada fakultas tersebut, jurusan ini merupakan jurusan dengan jumlah mahasiswa terbanyak dibanding dengan jurusan-jurusan yang lain dalam naungan Fakultas Ilmu dakwah dan Ilmu Komunikasi. Pada jurusan ini diberikan mata kuliah-mata kuliah yang banyak berhubungan dengan media. Mulai dari Jurnalistik, Dasar-dasar siaran radio dan televisi, komunikasi massa, broadcasting, hingga produksi siaran televisi dan radio. Dari sekian banyak mata kuliah yang diberikan tidak ada satupun mata kuliah gender, selama peneliti mengikuti perkuliahan di jurusan KPI mata kuliah yang bermuatan gender hanya satu yaitu mata kuliah komunikasi antar agama dan budaya yang membahas tentang seks dan gender di akhir semester.

Ada juga mata kuliah yang bias gender, misalnya dalam mata kuliah Produksi Siaran Televisi, mahasiswa dalam mata kuliah tersebut diberikan materi-materi yang berkaitan dengan proses pembuatan produk televisi seperti Talkshow, iklan, dokudrama, feature, dan sebagainya. Bisa ditemui pada bahan ajar yang digunakan untuk pembuatan naskah yang masih bias gender, dalam bahan ajar tersebut mulai dari penokohan hingga penggambaran dalam story board

memperlihatkan bagaimana pelabelan terhadap perempuan, tokoh perempuan yang centil, angkuh, ambisius. Sedangkan laki-laki cerdas, supel. Penggambaran dalam story board pun memperlihatkan bagaimana perempuan hanya sebagai

5

Amelia Fauzia, dkk, Realita dan Cita Kesetaraan Gender di UIN Jakarta, (Jakarta, McGill IAIN-Indonesia Social Equity Project, 2004), h.125.


(20)

objek dan dieksploitasi tubuhnya, gambar yang diperlihatkan story board

perempuan dengan rok mini dan mengenakan baju dengan setengah dada terbuka. Mata kuliah produksi siaran televisi tersebut merupakan salah satu mata kuliah yang masuk pada kategori mata kuliah keahlian jurusan. Seperti yang sudah dikemukakan diatas, lulusan-lulusan dari jurusan ini dicetak untuk terjun ke media. Sehingga sangat disayangkan apabila lulusan-lulusan tersebut memproduksi acara yang masih bias gender.

Lingkungan kampus, teknik pengajaran, kurikulum, hingga bahan ajar kadang masih merepresentasikan perempuan dan laki-laki stereotype khas patriarki. Hal tersebut memperlihatkan bahwa tidak semua ruang lingkup akademis bisa mengakomodir kehausan terhadap pengetahuan diluar pengetahuan yang maskulin. Tidak heran jika atmosfir lingkungan seperti itu menjadikan orang-orang yang berada didalamnya menjadi kaku dan kebal terhadap isu-isu perempuan dan kesetaraan gender. Dampaknya adalah para lulusan FIDKOM yang bergelut di bidang media tidak mempunyai ideologi yang berperspektif gender sehingga menghasilkan karya-karya yang bias gender. Menurut Rocky Gerung dalam Jurnal Perempuan yang mengangkat tema Pengetahuan Perempuan, hal yang membuat konsep gender atau Feminis sulit diterima di Universitas adalah:6

1. Studi Gender masih dianggap keanehan akademis

2. Gender atau Feminis merupakan barang impor dari Barat

3. Divonis sebagai ajaran sesat dalam kerangka final agamis

6

Jurnal Perempuan, U iversitas da Fe i is e , dalam Pengetahuan Perempuan, (Jakarta : PT. Percetakan Penebar Swadaya, 2004), edisi 48, h.70.


(21)

Pendidikan formal memang bukan satu-satunya cara untuk menciptakan kehidupan yang berkesetaraan dan berkeadilan, namun tidak dapat dipungkiri jika pendidikan formal merupakan senjata penting untuk menghancurkan patriarki. Hal tersebut menjadi penting mengacu pada tiga alasan dasar. Pertama, lembaga pendidikan adalah wadah institusional dimana semua baik laki-laki maupun perempuan mengekspresikan segala potensinya, mengaktualisasikan, dan mendefinisikan identitas dirinya. Kedua, lembaga pendidikan merupakan institusi dinamis yang menyiapkan, memproduksi, dan mengembangkan potensi sumberdaya manusia. Ketiga, lembaga pendidikan mereproduksi ideologi atau doktrin tertentu baik melalui proses kebijakan atau via inkulturasi atmosfer kerja. Melalui pendidikan nilai-nilai diperkenalkan, ditransmisi, dan ditransformasikan,7 dan lulusan-lulusan dari perguruan tinggi pun dianggap orang-orang yang mengetahui banyak hal dan bisa menjadi opinion leader yang bisa merubah cara pandang masyarakat umum.

Pendidikan merupakan aktivitas yang khas bagi manusia dalam suatu komunitas masyarakat dengan tujuan untuk memanusiakan manusia, dan merupakan instrumen yang penting bagi pemberdayaan masyarakat, terutama bagi masyarakat yang termarjinalkan. Pendidikan juga merupakan kunci terwujudnya keadilan gender dalam masyarakat, karena disamping merupakan alat untuk mentransfer norma-norma masyarakat, pengetahuan dan kemampuan manusia, juga sebagai alat untuk mengkaji dan menyampaikan ide-ide dan nilai baru.

Dengan demikian, lembaga pendidikan merupakan sarana formal untuk sosialisasi sekaligus transfer nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam

7

Amelia Fauzia, dkk, Realita dan Cita Kesetaraan Gender di UIN Jakarta, (Jakarta, McGill IAIN-Indonesia Social Equity Project, 2004), h.5.


(22)

masyarakat, termasuk nilai dan norma gender. Nilai dan norma tersebut ditransfer secara lugas maupun secara tersembunyi, baik melalui buku-buku teks yang digunakan maupun pada suasana dan proses pembelajaran. Oleh karena itu, dalam lembaga pendidikan, sebagai tempat mentransfer pengetahuan kepada masyarakat, mewujudkan keadilan gender merupakan hal yang niscaya. Untuk mengarah pada terwujudnya keadilan gender yang dimaksud maka perlu; (1) memberlakukan keadilan gender dalam pendidikan dan menghilangkan pembedaan pada peserta didik, (2) mengupayakan keadilan gender di kalangan staf dan pimpinan, dan (3) meredam sebab-sebab terjadinya kekerasan dan diskriminasi melalui materi pengetahuan yang diajarkan, proses pembelajaran yang dilakukan, dan menentang segala ide dan pemikiran yang mengandung stereotipe negatif.8

Dari tiga hal di atas, maka hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pendidikan adalah bagaimana menyusun kurikulum yang dapat menciptakan relasi gender yang dinamis. Maka menjadi penting bagi pihak kampus untuk mengintegrasikan gender dan metodologi feminis dalam mata kuliah yang akan diajarkan kepada peserta didiknya. Dengan adanya pengintegrasian tersebut peserta didik akan memiliki pemahaman menyangkut konteks sosial, budaya, hukum, dan politik yang melibatkan perempuan dan laki-laki didalamnya sehingga tercipta ilmu pengetahuan dan pemahaman yang berkeadilan dan berkesetaraan. Pengintegrasian ini bisa disisipkan pada mata kuliah dasar dan pengantar beberapa mata kuliah pokok seperti Agama, Antropologi agama, pengantar sosiologi, komunikasi antar pribadi, Komunikasi Politik, Komunikasi antar agama dan budaya, broadcasting, produksi siaran televisi dan radio, dan

8

Khusnul Khotimah, Urge si Kurikulu Ge der , dalam Jurnal Insania, edisi sep-des 2008, h.1.


(23)

bahasa jurnalistik. Sedangkan untuk pengitegrasian metodologi feminis, bisa dimasukkan dalam mata kuliah metodologi penelitian sosial dan metodologi penelitian komunikasi. Dengan mengenalkan corak penelitian dan mata kuliah yang sensitif seperti itu diharapkan para lulusan FIDKOM terutama Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam yang akan bekerja di industri media massa mampu menciptakan iklim yang berkesetaraan dan berkeadilan bagi pemberdayaan perempuan.

Dengan demikian peserta didik yang bakal menjadi pekerja media dapat menjadi profesional yang mampu menjadi agen perubahan terhadap lingkungan atau kondisi yang patriarkis bukan malah makin menguatkan akar patriarki dikalangan para intelek dan pekerja professional. Terlebih lagi Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam sudah diperkuat dengan mata kuliah-mata kuliah keagamaan seperti Tafsir Al-Qur’an, Hadits, Tasawuf, dan sebagainya. Itu merupakan kelebihan yang bisa dijadikan bekal bagi mahasiswa untuk mengelaborasi pemahaman tentang kajian Gender, Media dan Islam. Bukankah Islam agama yang sarat dengan nilai kesetaraan juga menjunjung Moral dan Hak Asasi.9 Untuk itu media bisa dijadikan sarana dakwah bagi mahasiswa-mahasiswa tersebut dalam menyampaikan pesan-pesan Islam yang memanusiakan manusia.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Respon Mahasiswa terhadap Sensitifitas Gender pada Materi Kuliah di Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”

9


(24)

B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah

Bertolak dari Latar Belakang diatas, pembatasan masalah dalam penelitian ini ditekankan pada pengetahuan gender mahasiswa, pengetahuan gender yang dimaksud disini adalah pengetahuan mahasiswa terhadap gender dan ketimpangan gender dan bagaimana respon mereka terhadap sensitifitas gender pada materi kuliah di jurusan. Respon yang dimaksud disini adalah respon positif bilamana mahasiswa mengetahui, memahami, bersperspektif dan bisa memberikan contoh yang benar tentang gender dan respon negatif bilamana mahasiswa tidak mengetahui, memahami, bersperspektif dan tidak bisa memberikan contoh yang benar tentang gender

Sedangkan sensitifitas gender yang dimaksud disini adalah sensitifitas gender dalam pendidikan terhadap materi kuliah yang integrated di jurusan, yang dimaksud integrated disini adalah materi kuliah yang berdiri sendiri menjadi sebuah mata kuliah. Untuk mata kuliah yang menjadi amatan penelitian diantaranya Produksi siaran televisi, Jurnalistik, dan Komunikasi antar agama dan budaya, dengan pertimbangan bahwa mata kuliah-mata kuliah tersebut merupakan mata kuliah kejuruan yang ada di KPI dan merupakan mata kuliah yang mendasari pembuatan program di media.


(25)

2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang terjadi seperti tergambar diatas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana respon mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terhadap materi kuliah integrated yang sensitif gender?

2. Bagaimana tingkat pengetahuan dan tingkat sensitifitas gender mahasiswa terhadap materi kuliah di jurusan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan lingkup masalah yang telah disebutkan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui dan menganalisis respon mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terhadap materi kuliah integrated yang sensitif gender

2. Mengetahui dan menganalisis tingkat pengetahuan dan tingkat sensitifitas gender mahasiswa terhadap materi kuliah di jurusan.


(26)

D. Manfaat Penelitian

Dan adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Secara Akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan bermanfaat dalam menambah khazanah ilmu pengetahuan dalam ilmu dakwah dan ilmu komunikasi khususnya tentang kajian media dan gender.

2. Untuk para pembuat kebijakan baik itu lingkup Fakultas atau Jurusan, Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para penentu kebijakan perlunya perhatian serius terhadap aplikasi pemahaman konsep gender, kesetaraan gender dan kebijakan pengarusutamaan gender di universitas khususnya pada jurusan komunikasi penyiaran Islam dengan menambah mata kuliah yang terkait dengan gender atau melalui bahan ajar yang sensitif gender.

3. Untuk para praktisi baik itu calon pekerja media, pekerja media, penyusun kurikulum, penerbit buku-buku pelajaran, maupun PSW (Pusat Studi Wanita) ataupun lembaga-lembaga yang konsen terhadap isu-isu perempuan dan gender, yang berada dalam lingkungan universitas perlu melakukan koordinasi dan menjalin kerjasama dengan jurusan-jurusan yang ada di dalam universitas untuk menciptakan kurikulum dan bahan ajar yang sensitif gender. Dan juga sosialisasi yang lebih gencar lagi tentang gender dan kesetaraan.


(27)

E. Tinjauan Pustaka

1. “Respon Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi Terhadap Aplikasi

Kesetaraan Gender” yang ditulis oleh Asri Rahmita mahasiswa UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, tahun 2008. Asri Rahmita meneliti respon dosen terhadap aplikasi kesetaraan gender khususnya di ranah karier. Hasil penelitian menunjukan respon dosen fakultas dakwah positif, karena banyak dosen yang beranggapan bahwa perempuan zaman sekarang sudah lebih maju dibandingkan sebelumnya.

2. “Persepsi Mahasiswa terhadap kesadaran Gender”, yang ditulis oleh Alwin Taher Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor tahun 2009. penelitian alwin ditujukan untuk mengukur kesadaran mahasiswa yang sudah mendapat mata kuliah gender dan pembangunan. Hasil penelitian Persepsi mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat tahun masuk 2006 yang telah mengikuti Mata Kuliah Gender dan Pembangunan terhadap kesadaran gender sebagian besar adalah tinggi yaitu sebanyak 39 responden (56 persen) dan sisanya memiliki persepsi terhadap kesadaran gender yang sedang yaitu sebanyak 31 responden (44 persen). Hal yang menarik adalah bahwa tidak ada satu pun mahasiswa yang memiliki persepsi terhadap kesadaran gender yang rendah.

3. “Perspektif Gender dalam Pembelajaran di Pondok Pesantren As-Sulaiman


(28)

Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2006, penelitian Yulia melihat bagaimana pelaksanaan pembelajaran di pesantren dilihat dari perspektif gender dan bagaimana perlakuan pesantren terhadap santri laki-laki dengan perempuan. Hasil penelitian tersebut adalah pelaksanaan pembelajaran di pesantren belum berperspektif gender yang terlihat dari perlakuan kyai maupun guru-guru yang masih membedakan dalam pemberian tugas, peraturan, dan kepanitian pada hari-hari besar, santri perempuan di tempatkan pada tugas-tugas domestik, seperti seksi konsumsi. Begitu juga hasil dari perlakuan pesantren yang membebankan santri perempuan pada pekerjaan domestik seperti, masak, belanja, menyapu, dsb.

4. “Stereotype Gender tentang Pekerjaan pada Mahasiswa UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta”, yang ditulis oleh Dian Hesty Fakultas Psikologi UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2010, penelitian Dian ingin mengetahui berapa besar presentase stereotype gender tentang pekerjaan pada mahasiswa UIN Jakarta serta mengetahui jenis pekerjaan apa saja yang dinilai stereotype gender oleh mahasiswa UIN. Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa sebanyak 88% mahasiswa yang dijadikan subjek penelitian memiliki stereotype terhadap pekerjaan tertentu, di karenakan adanya anggapan bahwa perempuan lebih tepat jika bekerja di ranah domestik, adapun jenis pekerjaan yang memiliki stereotype gender adalah arsitek, pegawai asuransi, guru kesenian, perancang busana, instruktur senam, perawat, montir.

5. “Persepsi Mahasiswi Madura di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tentang

Relasi Gender”, yang ditulis oleh Amir Mahmud mahasiswa jurusan Sosiologi


(29)

tahun 2009. Penelitian Amir ingin melihat bagaimana persepsi mahasiswi Madura tentang relasi gender dan bagaimana pandangan mereka terhadap kepemimpinan perempuan. Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut menunjukan bahwa relasi gender muncul dalam beberapa pengaruh yaitu, pengetahuan, pendidikan, dan lingkungan. Mengenai kepemimpinan perempuan berdasarkan hasil penelitian tersebut perempuan boleh saja menjadi pemimpin publik, bagi mereka kualitas dan kemampuan yang menentukan untuk menjadi pemimpin bukan jenis kelamin.

Penelitian ini tentu saja berbeda dengan penelitian sebelumnya, mulai dari subjek penelitian hingga metode yang digunakan. Penelitian ini adalah penelitian perempuan jadi metode yang dipakai adalah kuantitatif karena penelitian ini hanya ingin melihat fenomena bukan melihat nomenanya dan tidak mendalam seperti halnya penelitian tentang perempuan. Penelitian ini menekankan pada tingkat pengetahuan gender mahasiswa komunikasi dan penyiaran Islam UIN Jakarta bagaimana pengetahuan mereka tentang gender, sudah cukup sensitifkah mereka terhadap mata kuliah yang ada di Jurusan, Selain itu penelitian ini ingin melihat bagaimana respon mahasiswa terhadap sensitifitas gender pada materi kuliah yang ada di Jurusan, dan apakah materi-materi kuliah yang ada sudah sensitif gender atau belum.


(30)

F. Sistematika Penulisan

Penulisan dalam skripsi ini dibagi dalam lima bab, yaitu:

BAB I Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan.

BAB II Tinjauan Teoritis yang meliputi Respon, terdiri dari pengertian respon, macam-macam respon. Gender yang terdiri dari pengertian gender dan seks, perbedaan gender dan seks, dan bentuk ketidakadilan gender. Gender dan Media, Gender dan Pendidikan yang terdiri dari metode pembelajaran, inklusi gender di perguruan tinggi.

BAB III Metodologi Penelitian yang terdiri dari lokasi dan awktu penelitian, paradigma dan desain penelitian, populasi dan teknik penarikan sampel, variabel penelitian, definisi operasional dan indikator penelitian, kerangka pemikiran, hipotesis penelitian, teknik pengumpulan data, sumber data, uji instrumen, uji hipotesis, dan teknik analisis data.

BAB IV Gambaran Umum dan Analisis Data yang terdiri dari gambaran umum Jurusan KPI, data-data hasil penelitian lapangan meliputi klasifikasi responden, deskripsi hasil penelitian, uji validitas dan realibilitas, respon mahasiswa terhadap sensitifitas gender, uji chi-square, dan uji hipotesis


(31)

(32)

16

LANDASAN TEORITIS A. Respon

1. Pengertian Respon

Respon berasal dari kata response, yang artinya jawaban, balasan atau tanggapan (reaction).1 Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa respon adalah tanggapan, reaksi atau jawaban terhadap suatu gejala atau peristiwa yang terjadi.2 Menurut Poerwadinata, respon diartikan sebagai tanggapan, reaksi, dan jawaban. Respon akan muncul dari penerima pesan setelah sebelumnya terjadi serangkaian komunikasi.3Sementara itu menurut Agus Sujanto yang disebut tanggapan adalah gambaran pengamatan yang tinggal di kesadaran kita sesudah mengamati. Secara umum tanggapan atau respon dapat diartikan sebagai hasil atau kesan yang didapat (yang tertinggal) dari pengamatan.4

Respon seseorang dapat dalam bentuk baik atau buruk, positif atau negatif. Apabila respon positif maka orang yang bersangkutan cenderung untuk menyukai atau mendekati objek, sedangkan respon negatif cenderung untuk menjauhi objek tersebut.

1

John M. Echols dan Hasan Sadili, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, cet XXI, 1993)

2

Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka, 2002), edisi ke-3, h.585

3Poerwadinata, Psikologi Komunikasi, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1999), cet ke-2, h.43

4


(33)

2. Macam-macam Respon

a. Respon Kognitif (Pengetahuan)

Istilah kognisi berasal dari kata cognoscare yang artinya mengetahui. Aspek kognisi banyak mempermasalahkan bagaimana cara memperoleh pemahaman tentang dirinya dan lingkungannya, serta bagaimana dengan kesadaran itu ia berinteraksi dengan lingkungannya. Setiap perilaku sadar manusia didahului oleh proses kognisi yang memberi arah terhadap perilaku dan setiap lahiriahnya baik dirasakan maupun tidak dirasakan.

b. Respon Afektif (Sikap)

Sikap merupakan kecenderungan untuk bertindak, beroperasi, berfikir dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi dan nilai. Sikap timbul dari pengalaman, tidak dibawa sejak lahir tetapi merupakan hasil belajar. Sikap mempunyai daya dorong atau motivasi dan bersifat evaluatif, artinya mengandung nilai menyenangkan atau tidak menyenangkan. Objek sikap dirasakan adanya motivasi, tujuan, nilai dan kebutuhan. Sayogo dan Fujiwati mengemukakan bahwa sikap merupakan kecenderungan yang berasal dari dalam diri individu untuk berkelakuan dengan suatu pola tertentu terhadap suatu objek berupa manusia, hewan atau benda akibat pendirian atau persamaannya terhadap objek tersebut.

c. Respon Konatif (Tindakan)

Jones dan Davis dalam Sarlito (1995) memberi definisi tindakan yaitu keseluruhan respon (reaksi) yang mencerminkan pilihan seseorang yang


(34)

mempunyai akibat (efek) terhadap lingkungannya. Suatu tindakan dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan dan diarahkan pada pencapaian sesuatu agar kebutuhan tersebut terpenuhi. Psikomotorik yang berhubungan dengan kebiasaan bertindak yang merupakan aspek perilaku yang menetap (Rahmat,1989).5

B. Gender

1. Pengertian Gender

Kata gender dalam bahasa Indonesia dipinjam dari bahasa Inggris secara harfiah “gender” berarti jenis kelami.6 sama halnya dengan seks yang juga jenis kelamin. Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.7 Menurut Mansour Faqih dalam bukunya “Analisis Gender dan Transformasi Sosial”

Gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya bahwa perempuan itu lemah lembut, cantik, emosional, dan sebagainya. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa, dan tidak boleh menangis. Ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Perubahan ciri dan sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ketempat yang lain, juga perubahan tersebut bisa terjadi dari kelas ke kelas masyarakat yang berbeda. Semua hal yang dapat

5 Pratama, “Pengertian Respon ,

http://pratamasandra.wordpress.com/2011/05/11, di akses pada senin 23 Mei 2011 pukul.16.06 wib.

6

John M.Echols dan Hasan Sadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, cet XII, 1983), h. 265

7

Helen Tierney (ed), Wo en’s “tudies Encyclopedia, Vol 1, (New York: Green Wood Press), h.153


(35)

dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki yang bisa bisa berubah, baik itu waktu maupun kelas.8

Mansour faqih mengungkapkan bahwa sejarah perbedaan gender terjadi melalui proses yang sangat panjang. Perbedaan Gender terbentuk oleh banyak hal yang disosialisasikan, diajarkan, yang kemudian diperkuat dengan mengkonstruksinya baik secara sosial maupun kultural. Melalui proses panjang tersebut pada akhirnya diyakini sebagai sesuatu yang kodrati baik bagi kaum laki-laki maupun perempuan, hal ini kemudian direfleksikan sebagai sesuatu yang dianggap alami dan menjadi identitas gender yang baku. Identitas gender adalah definisi seseorang tentang dirinya, sebagai laki-laki atau perempuan, yang merupakan interaksi kompleks antara kondisi biologis dan berbagai karakteristik perilaku yang dikembangkan sebagai hasil proses sosialisasi.9

Pengertian yang lebih kongkrit dan lebih operasional dikemukakan oleh Nasarudin Umar dalam bukunya yang berjudul Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur-an, yang mengemukakan bahwa gender adalah konsep kultural yang digunakan untuk memberi identifikasi perbedaan dalam hal peran, perilaku dan lain-lain antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di dalam masyarakat yang didasarkan pada rekayasa sosial.10 Lebih lanjut Nasarudin Umar menjelaskan bahwa penentuan peran gender dalam berbagai sistem masyarakat,

8

Mansour Faqih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial,( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 8-9

9

Ibid, h. 8-9

10

Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an,(Jakarta : Paramadina, 2001),h.35


(36)

kebanyakan merujuk kepada tinjauan biologis atau jenis kelamin. Masyarakat selalu berlandaskan pada diferensiasi spesies antara laki-laki dan perempuan. Organ tubuh yang dimiliki oleh perempuan sangat berperan pada pertumbuhan kematangan emosional dan berpikirnya. Perempuan cenderung tingkat emosionalnya agak lambat. Sementara laki-laki yang mampu memproduksi dalam dirinya hormon testosterone membuat ia lebih agresif dan lebih obyektif.

Dapat disimpulkan bahwa Gender adalah seperangkat sikap, peran, tanggung jawab, fungsi, hak, dan perilaku yang melekat pada diri laki laki dan perempuan akibat bentukan budaya atau lingkungan masyarakat tempat manusia itu tumbuh dan dibesarkan. Artinya perbedaan sifat, sikap dan perilaku yang dianggap khas perempuan atau khas laki-laki atau yang lebih populer dengan istilah feminitas dan maskulinitas, terutama merupakan hasil belajar seseorang melalui suatu proses sosialisasi yang panjang dilingkungan masyarakat, tempat ia tumbuh dan dibesarkan

2. Perbedaan seks dan Gender

Untuk memahami konsep gender harus dibedakan antara kata gender dengan seks. Seks mengacu pada pengertian perbedaan biologis jenis kelamin yang merupakan kodrat Tuhan karenanya bersifat permanen serta tidak dapat dipertukarkan. Sedangkan gender adalah peran-peran sosial yang dilakukan laki-laki dan perempuan bersifat tidak mutlak, bisa bertukar satu sama lain, dan tidak tetap berdasarkan waktu dan tempat. Gender adalah pandangan masyarakat tentang perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman. Gender secara umum digunakan untuk


(37)

mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial-budaya. Sementara seks secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. 11 Seks lebih banyak berkonsentrasi pada aspek biologi seseorang seperti komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya.

Tabel 1:

Perbedaan Seks dan Gender

No Karakteristik Sex Gender

1. Sumber Pembeda Tuhan Manusia (masyarakat)

2. Visi, Misi Kesetaraan Kebiasaan

3. Unsur Pembeda Biologis (alat reproduksi) Kebudayaan (tingkah laku)

4. Sifat Kodrat, tertentu tidak dapat

dipertukarkan

Harkat, martabat dapat dipertukarkan

5. Dampak Terciptanya nilai-nilai kenikmatan,

kedamaian, dll sehingga menguntungkan kedua belah pihak

Terciptanya norma-norma ketentuan

tentang “pantas” atau “tidak pantas”

laki-laki pantas menjadi pemimpin, perempuan pantas dipimpin dll, sering merugikan salah satu pihak yaitu perempuan

6. Keberlakuan Sepanjang masa, dimana saja, tidak mengenal perbedaan kelas

Dapat berubah, musiman dan berbeda antara kelas

Sumber : PSW UIN12

Dapat disimpulkan bahwa Sex adalah perbedaan biologis hormonal dan patologis antara perempuan dan laki laki misalnya laki laki memiliki penis, testis

11

Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an,(Jakarta : Paramadina, 2001),h.35

12

PSW UIN, Laporan Penelitian Gender Mainstreaming dalam Pendidikan Dasar dan Menengah, (Jakarta: PSW UIN, 2004), h.18


(38)

dan sperma, sedangkan perempuan mempunyai vagina, payudara, ovum, dan rahim. Laki laki dan perempuan secara biologis berbeda, dan masing masing mempunyai keterbatasan dan kelebihan biologis tertentu. Perbedaan biologis tersebut bersifat kodrati, atau pemberian Tuhan, dan tak seorangpun dapat mengubahnya. Sedangkan gender adalah suatu konsep yang mengacu pada peran- peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial yang dapat diubah sesuai dengan perubahan zaman.

3. Bentuk Ketidakadilan Gender

Perbedaan gender tidak menjadi masalah selama tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities ). Namun ternyata perbedaan gender seringkali melahirkan ketidakadilan baik bagi laki-laki maupun perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. ketidakadilan gender menurut beberapa pakar timbul dalam bentuk :

3.1. Stereotype

Pelabelan atau penandaan yang seringkali bersifat negatif secara umum dan melahirkan ketidakadilan. 13 Sebagai contoh, perempuan sering digambarkan emosional, lemah, cengeng, tidak rasional, dan sebagainya.

Stereotype tersebut yang kemudian menjadikan perempuan selama ini ditempatkan pada posisi domestik, kerapkali perempuan di identikan dengan urusan masak, mencuci, dan seks (dapur, sumur, dan kasur).

3.2. Kekerasan ( violence )

13

PSW UIN, Laporan Penelitian Gender Mainstreaming dalam Pendidikan Dasar dan Menengah, (Jakarta: PSW UIN, 2004), h.17


(39)

Kekerasan berbasis gender, kekerasan tersebut terjadi akibat dari ketidak seimbangan posisi tawar (bargaining position) atau kekuasaan antara perempuan dan laki-laki. Kekerasan terjadi akibat konstruksi peran yang telah mendarah daging pada budaya patriarkal yang menempatkan perempuan pada posisi lebih rendah.14 Cakupan kekerasan ini cukup luas, diantaranya eksploitasi seksual, pengabaian hak-hak reproduksi, trafficking, perkosaan, pornografi, dan sebagainya.

3.3. Marginalisasi

Peminggiran terhadap kaum perempuan terjadi secara multidimensional yang disebabkan oleh banyak hal bisa berupa kebijakan pemerintah, tafsiran agama, keyakinan, tradisi dan kebiasaan, atau pengetahuan.15Salah satu bentuk paling nyata dari marginalisasi ini adalah lemahnya peluang perempuan terhadap sumber-sumber ekonomi. Proses tersebut mengakibatkan perempuan menjadi kelompok miskin karena peminggiran terjadi secara sistematis dalam masyarakat.

3.4. Subordinasi

Penomorduaan (subordinasi) ini pada dasarnya merupakan keyakinan bahwa jenis kelamin tertentu dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya.16 Hal ini berakibat pada kurang diakuinya potensi perempuan sehingga sulit mengakses posisi-posisi strategis dalam komunitasnya terutama terkait dengan pengambilan kebijakan.

14

Ibid, h.17

15

Mansour Faqih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial,( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.14

16


(40)

3.5. Beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (double burden) Adanya anggapan bahwa perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin serta tidak cocok untuk menjadi kepala keluarga berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab perempuan.17 Untuk keluarga miskin perempuan selain bertanggung jawab terhadap pekerjaan domestik, mereka juga mencari nafkah sebagai sumber mata pencarian tambahan keluarga, ini menjadikan perempuan harus bekerja ekstra untuk mengerjakan kedua bebannya.

C. Gender dan Media

Realitas media di Indonesia menunjukkan adanya bias gender dalam representasi perempuan dalam media, baik media cetak maupun elektronik. Berbagai bentuk ketidakadilan gender seperti marjinalisasi, subordinasi, stereotipe atau label negatif, beban kerja, kekerasan dan sosialisasi keyakinan gender terlihat. Mengutip Rhenald Kasali, bagi profesional pemasaran, perempuan merupakan potensi pemasaran yang luar biasa. Sebagai target market, perempuan

telah “menciptakan” begitu banyak produk baru dibandingkan laki-laki. Itu sebabnya, jika dihitung, jumlah majalah atau tabloid dengan segmentasi perempuan lebih besar ketimbang laki-laki. Belum lagi consumer goods yang

ditujukan “hanya untuk wanita”.18

Reformasi melahirkan dua dampak dalam kehidupan sosial kita, satu sisi

17 Mansour Faqih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial,( Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2007), h.21

18

http://erhanana.wordpress.com/2008/03/20/representasi-perempuan-dalam-media diakses pada hari sabtu 7 mei 2011 pukul.11.11 wib


(41)

reformasi memberi ruang sebebas-bebasnya demi tersebarnya informasi, namun di sisi lain perspektif media dalam mengangkat persoalan gender masih sangat bias. Menurut Mariana Amirudin dalam Jurnal Perempuan, faktor-faktor yang menunjukan hal tersebut adalah : kebebasan pers sarat mengangkat tayangan dan pemberitaan yang penuh dengan tindakan kekerasan, menghakimi dan diskriminatif terhadap perempuan. Media lebih banyak melakukan pernyataan moral dan sensasional daripada membawa esensi untuk mencari solusi persoalan.19 Selanjutnya dikatakan, media mainstream sangat sedikit memberi tempat atau ruang untuk tayangan dan pemberitaan yang berpihak pada kebebasan dalam arti hak warga Negara, terutama perempuan dengan alasan kebutuhan industri media dan mengatasnamakan bahwa masyarakat lebih menyukai tayangan-tayangan kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan, bahkan media mainstream menjadi pihak yang berkuasa atas pencitraan masyarakat dan perempuan, dan meninggalkan kode etik jurnalistik sebagai salah satu mandat kebebasan pers.

Citra perempuan dalam media sesungguhnya berfungsi, sebagaimana dinyatakan oleh Karen Johnson dan Tom Ferguson dalam karya mereka “Thrusting Ourselves: The Sourcebook on Psychology fo Women” (1990).

Sebagai “cermin” wanita (women’s mirror),namun sayangnya “cermin” itu tidak

dengan sendirinya menggambarkan kealamian dan keautentikan dunia wanita, karena tak jarang malah mempromosikan standar kehidupan yang tidak realistik.20

“Wanita tidak hanya melihat diri mereka sebagaimana pria melihat

19

Jurnal Perempuan, Apa Kabar Media Kita?, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2010), Edisi 67, h.6


(42)

mereka, tetapi di dorong untuk menikmati seksualitas mereka melalui mata pria”. Petikan kalimat diatas dinukil dari analisis Janice Winship dalam tulisannya “Sexsuality for Sale” (1980), ketika dia membongkar relasi-relasi ideologi gender dan kapitalisme di balik penggambaran dan pencitraan wanita dalam iklan di majalah-majalah wanita21. Pencitraan perempuan yang terus-menerus dikonstruksi serta disosialisasikan lewat atau oleh media perlahan tapi pasti telah merubah standar budaya mengenai kecantikan yang mengendap dalam kesadaran kita. Karena itulah pergeseran citra perempuan ideal yang terus-menerus dibombardirkan lewat media harus dipahami sebagai bagian dari pengukuhan ideologi gender dan kapitalisme yang menjadikan perempuan sebagai objek dan sekaligus komoditas. Kenyataan tersebut yang sesungguhnya telah berperan dalam menciptakan kekerasan berwajah baru.

Sementara itu Menurut Idi Subandy dalam bukunya Sirnanya Komunikasi Empatik, didalam ruang publik kekerasan fisik dan psikologis terhadap perempuan hingga kini masih mewarnai karena ketimpangan relasi dan kekerasan tersebut semakin diperkukuh lagi dengan kekerasan simbolik (symbolic violence) yang berlangsung di ruang publik, dan kekerasan simbolik itu tumbuh subur dalam media. Corak dari kekerasan simbolik tersebut bisa kita temukan dalam bentuk penggunaan bahasa dan gambar yang muncul dalam media yang memposisikan perempuan dalam stereotype body not brain.22

20

Idi Subandi, Sirnanya Komunikasi Empatik, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy), h.116

21

Ibid, h.115


(43)

Di antara banyak persoalan media massa Indonesia yang tidak sensitif gender saat ini, setidaknya terdapat empat isu penting. Pertama, media massa masih memberi tempat bagi proses legitimasi bias gender, terutama dalam menampilkan representasi perempuan. Kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai citra dan teks pemberitaan, iklan, film, sinetron dan produk media massa lainnya. Yang ditampilkan adalah kondisi perempuan sebagai objek, dengan visualisasi dan identifikasi tubuh seperti molek, seronok, seksi, dan sejenisnya. Dalam pemberitaan kasus kriminal, perkosaan misalnya, perempuan juga sering digambarkan sebagai sosok yang seolah ikut andil sehingga meyebabkan kasus itu terjadi, bukan murni sebagai korban kejahatan kaum laki-laki. Di sisi lain penempatan (positioning) perempuan sebagai korban (survivor) atau saat menjadi pelaku/tersangka juga sarat dengan warna eksploitasi. Penggunaan kosakata masih berorientasi seksual (sex-oriented), seperti “dipaksa melayani nafsu”, “bertubuh molek”, dan sebagainya. Kedua, dalam aktivitas jurnalisme sangat sedikit kaum perempuan terlibat menjadi pekerja media. Persoalan kuantitatif ini barangkali tidak terlalu parah bila di antara jumlah yang sedikit tersebut para jurnalis perempuan telah memiliki sensitifitas gender. Ironisnya, karena umumnya mereka masuk dalam dunia jurnalistik yang sangat maskulin, ukuran-ukuran pemberitaan yang digunakan masih menggunakan ukuran laki-laki sebagai pihak dominan dalam pengambilan keputusan. Tulisan-tulisan yang disajikan para jurnalis perempuan pun sudah dikondisikan dalam “pola laki-laki” (male patterns).

Seandainya ada jurnalis perempuan yang concern terhadap sensitifitas gender, hanya menempati posisi yang kurang penting dalam jajaran dewan pengurus media. Bahkan dalam sejarah pers Indonesia, nama-nama tokoh pers pun


(44)

cenderung dihegemoni nama “laki-laki”. Ketiga, kepentingan ekonomi dan politik menuntut para pemilik media tunduk kepada industri atau pasar yang memang lebih permisif terhadap jurnalisme yang tidak sensitif gender. Perempuan dan segala stereotipe-nya dalam pandangan media massa adalah komoditas yang laku dijual. Media massa, di Indonesia, sebagai bagian dari lingkaran produksi yang berorientasi pasar menyadari adanya nilai jual yang dimiliki perempuan, terutama sebagai pasar potensial. Kondisi kultural ini didukung pula oleh permasalahan kultural di level organisasional media, terutama masalah coorporate culture yang masih sangat patriarkis. Keempat, regulasi media yang ada saaat ini tidak sensitif gender, Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers misalnya, kurang memperhatikan masalah-masalah perempuan dan media. Ditambah lagi, aturan-aturan normatif lainnya yang selama ini sudah ada pun kurang atau bahkan tidak ditaati oleh para pekerja media.23

D. Gender dan Pendidikan

Pendidikan merupakan aktivitas yang khas bagi manusia dalam suatu komunitas masyarakat dengan tujuan untuk memanusiakan manusia, dan merupakan instrumen yang penting bagi pemberdayaan masyarakat, terutama bagi masyarakat yang termarjinalkan. Pendidikan juga merupakan kunci terwujudnya keadilan gender dalam masyarakat, karena di samping merupakan alat untuk mentransfer norma-norma masyarakat, pengetahuan dan kemampuan manusia, juga sebagai alat untuk mengkaji dan menyampaikan ide-ide dan nilai baru. Dengan demikian, lembaga pendidikan merupakan sarana formal untuk sosialisasi

23

Iwan Awaludin Yusuf, Jurnalis e “ensitif Gender:sekadar wacana? ,


(45)

sekaligus transfer nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, termasuk nilai dan norma gender. Nilai dan norma tersebut ditransfer secara lugas maupun secara tersembunyi, baik melalui buku-buku teks yang digunakan maupun pada suasana dan proses pembelajaran. Oleh karena itu, dalam lembaga pendidikan, sebagai tempat mentransfer pengetahuan kepada masyarakat, mewujudkan keadilan gender merupakan hal yang niscaya. Untuk mengarah pada terwujudnya keadilan gender yang dimaksud maka perlu; (1) memberlakukan keadilan gender dalam pendidikan dan menghilangkan pembedaan pada peserta didik, (2) mengupayakan keadilan gender di kalangan staf dan pimpinan, dan (3) meredam sebab-sebab terjadinya kekerasan dan diskriminasi melalui materi pengetahuan yang diajarkan, proses pembelajaran yang dilakukan, dan menentang segala ide dan pemikiran yang mengandung stereotipe negatif. Dari tiga hal tersebut, maka hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pendidikan adalah bagaimana menyusun kurikulum dan membuat bahan ajar yang dapat menciptakan relasi gender yang dinamis.

Hingga saat ini masih banyak buku pelajaran di tingkat sekolah dasar hingga tingkat menengah memanipulasi citra perempuan. Perempuan masih selalu digambarkan ada di lingkungan rumah tangga, pekerjaannya hanyalah sebagai ibu rumah tangga yang bertugas memasak, menyapu, mengasuh anak, dan belanja kebutuhan rumah tangga. Walaupun dalam kenyataannya tidak ada lagi perbedaan antara insinyur perempuan dan insinyur laki-laki atau antara dokter perempuan dengan dokter laki-laki, tetapi dalam buku Pelajaran Bahasa Indonesia misalnya,


(46)

profesi ini selalu digambarkan sebagai sosok laki-laki24.

Stereotipe gender sampai saat ini juga masih terus ada dan terefleksikan pada saat calon mahasiswa memilih dan menentukan spesialisasi di sekolah kejuruan dan universitas, yang tampaknya ada semacam diskriminasi atau bias gender yang dilakukan secara sadar oleh calon mahasiswa berjenis kelamin perempuan maupun laki-laki. Ilmu sosial umumnya banyak diambil oleh siswa perempuan, sedangkan bidang teknologi banyak dipelajari oleh siswa laki-laki (UNICEF, 2007).

Lebih lanjut menurut Astuti dalam Margono, dalam evaluasi buku pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika SD, SLTP, dan SMA, terlihat bahwa 95% gambar-gambar dalam buku matematika adalah laki-laki. Apakah 95% laki-laki tersebut benar mempelajari matematika? Bila seseorang melihat semuanya laki-laki, maka seakan-akan perempuan tidak wajib belajar matematika. Contoh lain, dalam buku-buku pelajaran pada umumnya aktivitas permainan anak perempuan dan laki-laki digambarkan dengan pemisahan yang tegas, seperti anak laki-laki bermain mobil-mobilan, sepak bola, berlari-lari dan naik ke pohon, sedangkan anak perempuan bermain boneka atau masak memasak. Dalam buku-buku pelajaran itu permainan anak laki-laki digambarkan dengan kegiatan fisik aktif dan mobil, sedangkan anak perempuan gambaran fisiknya cenderung lebih pasif. Penanaman posisi yang keliru tersebut (bias gender) terus diacu sebagai suatu hal yang wajar oleh peserta didik perempuan (mahasiswi) maupun laki-laki (mahasiswa). Akibatnya, ketidakadilan gender terus berlangsung di sekolah-sekolah hingga sekarang. Kondisi ini tentu saja memprihatinkan dan

24


(47)

menjadi perhatian di kalangan pendidik sehingga menimbulkan pertanyaan, apakah kondisi seperti ini juga terdapat dalam buku-buku yang digunakan di perguruan tinggi.

1. Metode Pembelajaran

Metode merupakan salah satu sub-system dalam sistem pembelajaran yang tidak bisa dilepaskan begitu saja. Metode adalah cara atau prosedur yang diperlukan oleh fasilitator atau dosen dalam interaksi belajar dengan memperhatikan keseluruhan sistem untuk mencapai suatu tujuan.25

Macam-macam metode pembelajaran: 1) Metode Ceramah

Metode ini seringkali disebut metode kuliah (the lecture method). Dapat pula disebut dengan metode deskripsi. Metode ceramah merupakan metode yang memberikan penjelasan atau memberi deskripsi lisan secara sepihak (oleh seorang dosen) tentang suatu materi pembelajaran tertentu. Tujuannya adalah agar mahasiswa mengetahui dan memahami materi pembelajaran dengan jalan menyimak dan mendengarkan, peranan dosen dalam metode ini sangat dominan sedangkan mahasiswa hanya duduk mendengarkan.26

2) Metode diskusi

Merupakan metode yang biasanya dipergunakan dalam pembelajaran

dalam Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, Volume 9, Nomor 1, Maret 2008

25 H. Sudiyono, dkk, Strategi pembelajaran partisipatori di perguruan tinggi, (Malang:

UIN Malang Press,2006), h.118.

26 H. Sudiyono, dkk, Strategi pembelajaran partisipatori di perguruan tinggi, (Malang:


(48)

orang dewasa, karena mereka dapat berpartisipasi aktif untuk menyumbangkan pemikiran, gagasan dalam kegiatan diskusi. Dalam metode ini terjadi komunikasi banyak arah karena mahasiswa terlibat aktif dalam proses. Tujuan diskusi pada umumnya mencari pemecahan masalah, dari hasil diskusi tersebut muncul bermacam-macam jawaban yang perlu di pilih untuk mencapai mufakat/persetujuan.27

3) Metode role play


(49)

E. Inklusi Gender di Perguruan Tinggi

Isu gender mempunyai keterkaitan penting dengan proses pendidikan lembaga pendidikan dengan mengacu pada tiga alasan mendasar; pertama, lembaga pendidikan adalah wadah institusional yang mampu mewadahi ekspresi laki-laki dan perempuan, serta mengaktualisasikan dan mendefinisikan identitas dirinya. Kedua, lembaga pendidikan merupakan institusi dinamis yang menyiapkan, memproduksi dan mengembangkan potensi sumber daya manusia. Ketiga lembaga pendidikan mereproduksi ideologi atau doktrin tertentu, baik melalui kebijakan maupun melalui inkulturasi atmosfer kerja. Melalui proses pendidikanlah nilai-nilai bisa diperkenalkan, ditransmisikan dan ditransformasikan.28 Sebagai konsekuensinya, proses pendidikan dan pengajaran di lembaga pendidikan tinggi memainkan peranan penting dalam menggariskan dan merealisasikan arah pembangunan nasional, terutama pembangunan dalam pendidikan.

Kajian gender di perguruan tinggi diarahkan pada Tri Dharma perguruan tinggi, yang meliputi pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Tri Dharma pertama dapat diselenggarakan dengan cara misalnya pendidikan dan pengajaran inklusi gender. Caranya dengan; pertama, menjadikan mata kuliah gender sebagai matakuliah mandiri. Kedua, memasukkan materi dan atau isu gender pada salah satu materi pendidikan dan pengajaran.

28

Umi Sumbulah, dkk, Spektrum Gender Kilasan Inklusi Gender di Perguruan Tinggi, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h.36


(50)

Ketiga memasukkan isu gender pada materi pengajaran tanpa menyebutkan secara spesifik dengan sub topik materi gender.29

Dari tiga cara diatas, kemungkinan yang paling mudah dan dapat dilaksanakan dengan baik adalah mengintegrasikan gender kedalam mata kuliah tertentu terutama rumpun ilmu sosial dan keagamaan. Dari sisi materi, pendidikan gender dapat dilakukan seperti cara diatas, namun, dari sisi metode pengajaran dapat dilakukan dengan cara memberikan perlakuan yang sama antara mahasiswa laki-laki dan perempuan, memberikan akses dan partisipasi yang sama dalam kegiatan kelas, dan sebagainya. Sedangkan dari sisi penelitian, dapat dilakukan dengan penelitian yang menempatkan kepekaan (sensitive), kesadaran (awareness), dan tanggapan (rensponsive) terhadap permasalahan yang dihadapi perempuan dan laki-laki secara proporsional mulai dari rumusan masalah, latar belakang, kajian pustaka, hingga pada metode dan analisis data penelitian.30

29

Umi Sumbulah, dkk, Spektrum Gender Kilasan Inklusi Gender di Perguruan Tinggi, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h.37

30


(51)

35

METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta selama tiga bulan, dari bulan April hingga bulan Juni. Pemilihan lokasi adalah secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan efisiensi biaya, jarak, dan waktu dari peneliti. Selain itu, mahasiswa komunikasi penyiaran Islam merupakan mahasiswa yang dicetak sebagai pekerja media yang mana media saat ini menjadi salah satu penyumbang terbesar ketimpangan gender.

B. Paradigma dan desain penelitian

Penelitian ini adalah penelitian perempuan jadi paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma positivistik sebagai paradigma yang berpengaruh dan dapat melahirkan pendekatan kuantitatif dalam penelitian sosial.1 Sedangkan desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, yaitu metode penelitian yang bertujuan melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan cermat.2 Metode kuantitatif digunakan karena penelitian ini hanya ingin melihat fenomena

1 Burhan Bungin, metodologi Penelitian Kuantitatif,(Jakarta:Kencana Prenada Media

Group, 2005)h.32-33.

2Drs.Ju ro i, dkk, Metode Pe elitia Ko u ikasi , Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006 ,


(52)

bukan melihat nomenanya dan tidak mendalam sebagaimana penelitian tentang perempuan.

C. Populasi dan Tehnik Pengambilan Sampel C.1. Populasi

Penelitian ini menggunakan metode survei dengan pendekatan kuantitatif melalui pengisian kuesioner. Populasi dari penelitian ini adalah mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) tahun akademik 2008 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjumlah 177 mahasiswa.

C.2. Tehnik Penarikan Sampel

Penarikan responden dilakukan dengan Teknik Puposive Sampling atau dikenal juga dengan sampling pertimbangan yaitu teknik sampling yang digunakan peneliti jika peneliti mempunyai pertimbangan-pertimbangan tertentu di dalam pengambilan sampelnya atau penentuan sampel untuk tujuan tertentu (Riduwan dan Akdon, 2005). Responden yang dipilih adalah mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) tahun akademik 2008 atau semester enam sejumlah 55 mahasiswa 30% dari populasi. Pemilihan responden berdasarkan pertimbangan bahwa responden adalah mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam yang sudah mendapatkan materi-materi tentang komunikasi dan media dan merupakan calon-calon pekerja media hal tersebut menjadi salah satu indikator dari intelektual mahasiswa yang mempengaruhi tingkat pengetahuan mahasiswa terhadap pengetahuan gender. Alasan lainnya yaitu mahasiswa Komunikasi


(53)

Penyiaran Islam dengan tahun masuk 2008 dapat dengan mudah ditemui secara langsung karena masih aktif mengikuti perkuliahan.

D. Variabel Penelitian

1. Variabel independen dari penelitian ini adalah respon mahasiswa, dengan sub variabel:

a. Respon positif

b. Respon Negatif

2. Variabel dependennya materi kuliah yang sensitif gender, dengan sub variabel:

a. Metode pengajaran yang sensitif gender

b. Bahan ajar yang sensitif gender

E. Definisi Operasional dan Indikator penelitian 1. Variabel independen, respon, dengan sub variabel:

a. Respon positif

Definisi operasional: tanggapan, reaksi atau jawaban yang mendukung atau menyetujui suatu peristiwa yang terjadi

Indikator : - Mahasiswa mengetahui tentang gender dan seks


(54)

- Mahasiswa dapat memberikan contoh tentang kesetaraan gender dengan benar

b. Respon negatif

Definisi operasional: tanggapan, reaksi atau jawaban yang tidak mendukung atau tidak menyetujui suatu pristiwa yang terjadi.

Indikator : - Mahasiswa tidak mengetahui tentang gender dan seks

- Mahasiswa mengetahui tentang gender dan seks namun bias

- Mahasiswa tidak memahami perbedaan gender dan seks

- Mahasiswa tidak dapat memberikan contoh tentang kesetaraan gender dengan benar

- Mahasiswa dapat memberikan contoh tentang kesetaraan namun bias

2. Variabel dependen: sensitifitas gender pada materi kuliah, dengan sub variabel:

a. Metode pengajaran yang sensitif gender

Definisi operasional: Tehnik atau cara yang digunakan dalam proses belajar mengajar di kelas


(55)

Indikator: - memberikan akses dan partisipasi yang sama dalam kegiatan diskusi dikelas

- Materi kuliah yang sensitif gender

- Role play yang sensitif gender

b. Bahan ajar yang sensitif gender

Definisi operasional: Materi Kuliah yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar baik berupa hand out maupun buku referensi atau rujukan.

Indikator: - buku-buku atau bahan bacaan yang sensitif gender

-Memberikan contoh kasus yang tidak membedakan peran laki-laki dan perempuan dalam hand out

-Bahasa yang digunakan dalam hand out sensitif gender

F. Kerangka Pemikiran

Penentuan peran gender dalam berbagai sistem masyarakat kebanyakan merujuk kepada tinjauan biologis atau jenis kelamin. Masyarakat selalu berlandaskan pada diferensiasi spesies antara laki-laki dan perempuan. Organ tubuh yang dimiliki oleh perempuan sangat berperan pada pertumbuhan kematangan emosional dan berpikirnya. Perempuan cenderung tingkat


(56)

emosionalnya agak lambat. Sementara laki-laki yang mampu memproduksi dalam dirinya hormon testosterone membuat ia lebih agresif dan lebih obyektif.3

Pertanyaan yang selalu muncul ketika membicarakan persoalan gender dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan adalah pada landasan hukum, sebenarnya persoalan gender telah memiliki landasan hukum yang sangat kuat, secara nasional sudah banyak perangkat hukum yang dibuat oleh pemerintah seperti UUD 1945 Pasal 27 tentang Persamaan Hak dan Kewajiban Warga Negara, UU No.7 tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi dan Kekerasan terhadap Perempuan (ratifikasi CEDAW), instruksi Presiden No.9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional, dan masih banyak lagi.4 Namun demikian, walaupun perangkat hukum yang ada cukup memadai, sayangnya masih belum dapat di aplikasikan secara memadai pula. Hak-hak perempuan masih tereliminasi dalam berbagai lini kehidupan hanya karena dia berjenis kelamin perempuan. Salah satu contohnya besar materinya masih sangat patriarkhis, cenderung melecehkan, memberikan stereotip, dan menjadikan perempuan sebagai obyek. Padahal jika kita merujuk pada Ajaran Agama dalam hal ini agama Islam, secara tegas Islam menyatakan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang memiliki kedudukan sama di hadapan-Nya.

3 Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an,(Jakarta :

Paramadina, 2001),h.35

4


(57)

Al-Qur’an menyatakan :

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari diri (entitas) yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan pasangannya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kalian kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kalian saling tolong, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah maha Mengawasi”. (QS. Surat An-Nisa: 1)

Ayat diatas memberikan informasi bahwa penciptaan manusia sejak awal tidak menunjukan adanya perbedaan subtansi antara laki-laki dan perempuan. Namun dikalangan ulama mempunyai penafsiran yang beragam terhadap ayat diatas, salah satu lndasan penafsiran mereka merujuk pada hadits-hadits. Dalam hadits-hadits tersebut ada isyarat bahwa adam diciptakan dari tanah, kemudian dari tulang rusuk adam diciptakan hawa. Salah satu hadits dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, jika kalian mencoba meluruskannya ia akan patah.


(58)

Tetapi jika kalian membiarkannya maka kalian akan menikmatinya dengan tetap dalam keadaan bengkok”.5

Menurut Nurjannah Ismail dalam bukunya, Perempuan dalam Pasungan. Hadits tersebut walaupun shahih secara sanad, tetapi memiliki matan yang berbeda-beda dan sulit untuk ditentukan mana matan yang benar sehingga hadits tersebut termasuk hadits mudhtarib al-matan. Namun demikian, apabila ditempatkan dalam konteksnya yang ada, tidak hanya parsial kalimat-perkalimat, maka hadits-hadits tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan penciptaan awal perempuan. Hadits-hadits tersebut berisi pesan nabi kepada kaum laki-laki pada saat itu untuk berlaku baik terhadap kaum perempuan secara umum. Pesan nabi tersebut merupakan salah satu manifetasi dari semangat ajaran Islam yang hendak menempatkam laki-laki dan perempuan setara.6

Prinsip kesetaraan manusia dihadapan Tuhan merupakan konsekuensi paling logis dari doktrin Kemahaesaan Allah (Akidah Tauhid). Keunggulan manusia atas manusia lain semata-mata berdasarkan atas kedekatan dan ketaatan kepada Allah. Makna takwa yang disebutkan berkali-kali dalam Al-Qur’an tidak hanya pada aspek relasi manusia dengan Tuhan (hablun min Allah), tetapi juga pada relasi manusia dengan sesama manusia (hablun min al-nas)7.

5

Lihat misalnya dalam, Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an, I:449

6

Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan, (Yogyakarta: LKiS, 2003), h.271


(59)

Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka dapat dirumuskan dalam bagan dibawah ini:

Variabel Independen Variabel Dependen

Respon Mahasiswa

Respon Positif (+)

Respon Negatif (-)

Sensitifitas gender pada materi Kuliah

a. Metode Pengajaran yang sensitif gender

- Diskusi - Ceramah - Role play

b. Bahan Ajar yang sensitif gender

- Bahasa yang digunakan - Contoh kasus yang

digunakan

- Referensi bacaan (materi)

Sensitifitas Gender - Mengetahui tentang Gender - Memahami Gender


(60)

G. Hipotesis Penelitian

Agar penelitian lebih terarah sehingga dapat menjawab pertanyaan penelitian dan mencapai tujuan penelitian, maka dirumuskan hipotesis penelitian :

Adanya Sensitifitas Gender Mahasiswa pada Materi Kuliah di Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.

H. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan :

a. Angket

Metode ini biasa disebut juag metode kuisioner. Metode angket merupakan serangkaian atau daftar pertanyaan yang disusun secara sistematis, kemudian dikirim untuk diisi oleh responden. Setelah diisi, angket dikirim kembali atau dikembalikan ke peneliti.8 Angket yang akan disebar dalam penelitian ini sebanyak 55 angket, skala pengukuran yang digunakan adalah Skala Likert dengan pilihan jawaban lima tingkat jawaban. Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Neral (N), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS).

Tabel 1 Skala Likert

Sangat Setuju Setuju Netral Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju

SS S N TS STS

5 4 3 2 1

8

Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kuantitatif , (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005)


(61)

b. Dokumentasi/Pustaka

Penelitian dokumenter atau dokumentasi adalah pengumpulan data yang digunakan untuk menelusuri data historis.9 Data yang digunakan berupa bahan kepustakaan, jurnal, artikel, buku-buku, hasil penelitian, serta referensi yang sesuai dengan pokok permasalahan.

I. Sumber data

Sumber data yang akan ditelusuri

a. Data Primer

Sumber data primer yakni sumber data yang diperoleh langsung dari responden yang akan diteliti dengan cara mengisi kuisioner, responden dalam penelitian ini yaitu mahasiswa KPI angkatan 2008 berjumlah 50 mahasiswa yang masih aktif mengikuti perkuliahan

b. Data Sekunder

Sumber data sekunder diperoleh dari catatan-catatan atau referensi yang terkait dengan penelitian, baik itu penelitian sebelumnya, jurnal ilmiah, buku-buku, dan sebagainya.

9

Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kuantitatif , (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), h.144


(62)

J. Uji Instrumen 1. Uji Validitas

Validitas menunjukan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang ingin diukur.10 Jika peneliti menggunakan kusisioner dalam penelitiannya, maka kuisioner yang disusunnya harus mengukur apa yang diukurnya.

Item pertanyaan dinyatakan valid apabila dihitung dengan menggunakan koifisien korelasi setiap item pertanyaan dengan total skor dari keseluruhan item pertanyaan untuk masing-masing variabel. Uji korelasi ini dihitung dengan menggunakan rumus Pearson Product Moment.

Rumus Pearson Product Moment.11

N = Banyaknya responden

X = Skor tiap item pertanyaan

Y = Skor total responden

XY = Skor item tiap pertanyaan dikalikan total responden

∑XY = Jumlah hasil perkalian antara skor total responden

∑X = Jumlah seluruh skor tiap item pertanyaan

∑Y = Jumlah seluruh skor total responden

10

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai,(Jakarta:LP3ES, 1998), Edisi Revisi, h.124


(63)

2. Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah istilah yang digunakan untuk menunjukan sejauh mana suatu hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran tersebut dipakai dua kali/lebih. Reliabilitas ini berarti menunjukan konsistensi suatu alat pengukur dalam mengukur gejala yang sama.12 Teknik reabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik belah dua (split-half method) yaitu pengujian reliabilitas internal yang dilakukan dengan membelah item-item instrumen menjadi dua kelompok (ganjil dan genap), kemudian dijumlahkan, dicari korelasinya, dan kemudian dianalisis dengan rumus koefisien Spearman Brown, yang rumusnya sebagai berikut:

Keterangan :

rj = Reliabilitas internal seluruh instrumen

rb = Korelasi product moment antara belahan ganjil dan genap

Koefisien reliabilitas dianggap signifikan jika rj hitung > r tabel pada α = 0,05

K. Uji Hipotesis (Uji-F)

Pengujian semua koefisien penaksir regresi secara serentak maka pengujian tersebut dilakukan dengan uji-F test yaitu:

Ho : β1 = β2 = β3 = β4 = 0, artinya variabel independen tidak mempengaruhi variabel dependen

12

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai,(Jakarta:LP3ES, 1998), Edisi Revisi, h.140

rj = 2 rb 1+ rb


(1)

77 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tentang Respon Mahasiswa terhadap sensitifitas gender pada materi kuliah di jurusan, peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa:

1. Tingkat pengetahuan dan pemahaman mahasiswa terhadap gender pada kategori rendah, yaitu dengan skor perolehan mean 99.52. Mengapa demikian, sebab jika dikaitkan dengan tabel 10 skor 99.52 berada diantara kategori rendah. Jadi dapat disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan dan pemahaman gender mahasiswa rendah. Begitu juga untuk tingkat sensitifitas gender mahasiswa pada kategori rendah, yaitu dengan skor perolehan mean 63.24. mengapa demikian, sebab jika dikaitkan dengan tabel 11 skor 7.95 berada diantara kategori rendah.

2. Berdasarkan hasil perhitungan dari tingkat pengetahuan, pemahaman, dan sensitifitas gender mahasiswa. Respon mahasiswa terhadap sensitifitas gender di jurusan KPI pada materi kuliah di jurusan Negatif.


(2)

78

B. Saran

1. Untuk para pembuat kebijakan baik itu lingkup fakultas atau jurusan, perlunya perhatian serius terhadap aplikasi pemahaman konsep gender, kesetaraan gender dan kebijakan pengarusutamaan gender di Universitas khususnya pada Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam dengan menambah mata kuliah yang terkait dengan gender atau melalui bahan ajar yang sensitif gender.

2. Untuk para praktisi baik itu calon pekerja media, pekerja media, penyusun kurikulum, penerbit buku-buku pelajaran, maupun PSW (Pusat Studi Wanita) ataupun lembaga-lembaga yang konsen terhadap isu-isu perempuan dan gender, yang berada dalam lingkungan Universitas perlu melakukan koordinasi dan menjalin kerjasama dengan jurusan-jurusan yang ada di dalam Universitas untuk menciptakan kurikulum dan bahan ajar yang sensitive gender. Dan juga sosialisasi yang lebih gencar lagi tentang gender dan kesetaraan.

3. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan lebih mendalam lagi dengan menggabungkan antara kuantitatif dengan kualitatif agar bisa melihat nomena yang ada.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002).

Bungin, Burhan, Metodologi Penelitian Kuantitatif: Komunikasi, Ekonomi, dan Kebijakan Publik Serta Ilmu-ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta: Kencana, 2008).

Echols, M. John dan Hasan Shadily, An-English-Indonesia Dictionary. (Jakarta: PT. Gramedia Utama, 1993).

Faqih, Mansur, Analisis Gender dan Transformasi Sosial,( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)

Fauzia, Amelia dkk, Realita dan Cita Kesetaraan Gender di UIN Jakarta, (Jakarta:McGill IAIN, 2004)

Jumroni, dkk, Metode Penelitian Komunikasi, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006)

Muhammad, Husein, Ijtihad Kyai Husein, ( Jakarta: Rahima, 2011)

Nurohmah, Leli dkk, Kesetaraan Kemajemukan dan Ham, (Jakarta: Rahima, 2010)


(4)

PSW UIN, Laporan Penelitian Gender Mainstreaming dalam Pendidikan Dasar dan Menengah, (Jakarta: PSW UIN, 2004)

Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002),

Rahmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2004).

Singarimbun, Masri, Metode Penelitian Survei, (Jakarta: PT. Pustaka LP3ES, 1989).

Subandi, Idi, Sirnanya Komunikasi Empatik, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy)

Sudiyono, dkk, Strategi pembelajaran partisipatori di perguruan tinggi, (Malang: UIN Malang Press,2006),

Sujanto, Agus, Psikologi Umum, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001)

Sumbulah, Umi, dkk, Spektrum Gender Kilasan Inklusi Gender di Perguruan Tinggi, (Malang: UIN Malang Press, 2008)

Tierney, Helen (ed), Women’s Studies Encyclopedia, Vol 1, (New York: Green Wood Press)

Umar, Nasarudin, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an,(Jakarta : Paramadina, 2001),


(5)

B. Jurnal Ilmiah

Jurnal Insania, edisi sep-des 2008

Jurnal Perempuan, Apa Kabar Media Kita, (Jakarta : PT. Percetakan Penebar Swadaya, 2009), Edisi 67

Jurnal Perempuan Pendidikan, Media dan Gender, (Jakarta : PT. Percetakan Penebar Swadaya, 2008), Edisi 61

Jurnal Perempuan, Pengetahuan Perempuan, (Jakarta : PT. Percetakan Penebar Swadaya, 2004), edisi 48

Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, Volume 9, Nomor 1, Maret 2008

C. Internet

Pratama, Pengertian Respon, http://pratamasandra.wordpress.com, 2011

Representasi Perempuan dalam Media, http://erhanana.wordpress.com 2011

Iwan Awaludin Yusuf, Jurnalisme Sensitif Gender:sekadar wacana?, http://bincangmedia.wordpress.com 2011


(6)

Perhitungan Chi Square

(fo-fh)2 (fo-fh)2

fh fh Pengetahuan & Pemahaman 96.7 97.1 -0.4 0.16 0.001 Pengetahuan & Pemahaman

94.2 98.13 -3.39 11.5 0.11

Sensitifitas 64.22 63.81 0.41 0.16 0.002 Sensitifitas 75.2 71.26 3.49 12.1 0.17

Pengetahuan & Pemahaman

102.82

102.41 0.41 0.16

0.001 Pengetahuan

& Pemahaman

97.2 93.26 3.49 12.1 0.17

Sensitifitas 66.91 67.31 -0.4 0.16 0.002 Sensitifitas 63.8 67.73 3.39 11.49 0.16

Total 330.65 330.63 0.02 0.64 0.006 Total 330.4 330.38 6.98 47.19 0.61

(fo-fh)2 fh Pengetahuan &

Pemahaman

99.29

60.33 38.96 1517.825.15

Sensitifitas 100.55 99.22 1.33 1.768 0.017

Pengetahuan & Pemahaman

66.09

64.76 1.33 1.7680.027

Sensitifitas 62.55 63.86 -1.31 1.716 0.026

Total 328.48 288.17 40.31 1523.05 25.22

KOTA

DESA

fo-fh (fo-fh)2 L

P

Sekolah Respon fo fh fo-fh (fo-fh)2 ALIYAH

SMA

JK Respon fo fh


Dokumen yang terkait

Respon mahasiswa jurusan komunikasi dan penyiaran islam universitas islam negeri syariah Hidayatullah Jakarta terhadap program KICK Andy di Metro TV

0 5 129

Korelasi kemampuan akademik mahasiswa terhadap penyelesaian studi di program studi pendidikan fisika

0 6 65

Pengetahuan, sikap, dan perilaku mahasiswa program studi pendidikan dokter UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tentang makanan cepat saji ( fast food) tahun 2009

0 21 71

Respons mahasiswa komunikasi dan penyiaran Islam angkatan 2009 fakultas ilmu dakwah dan ilmu komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terhadap film sang pencerah

1 16 79

Respon Mahasiswa Jurusan Komunikasi Dan Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Terhadap Sinetron Religi Para Pencari Tuhan Di SCTV

1 26 114

Respon mahasiswa komunikasi dan penyiaran islam fakultas ilmu dakwah dan ilmu komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terhadap program Indonesia mencari bakat di Trans TV

1 9 101

Pustakawan Akademik dan Feasilibitas Pengembangan Insitutional Repository (Studi Kasus di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

0 11 17

Respon mahasiswa komunikasi dan penyiaran islam uin syarif hidayatullah jakarta terhadap program dakwah hikayat di indosiar

0 20 0

Perilaku pencarian informasi dosen jurusuan komunikasi fakultas ilmu dakwah ilmu komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam memenuhi kebutuhan berdakwah

0 12 0

Pengaruh self-regulated learning dan dukungan sosial terhadap prokrastinasi akademik mahasiswa psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

0 21 0