Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pokok pembahasan utama yang hendak penulis ungkapkan dalam skripsi ini adalah tentang keadilan sosial berdasarkan teori keadilan yang dikembangkan oleh John Rawls 1921-2002. Pada awalnya, ide awal penulis untuk mengangkat pembahasan skripsi mengenai John Rawls bermula ketika pada pertengahan tahun 2009 penulis melihat video acara Justice with Michael Sandel di internet. Acara ini merupakan kuliah umum yang banyak diminati dan diikuti oleh ribuan mahasiswa Universitas Harvard setiap tahunnya. Materi-materi yang dibahas ialah berkaitan dengan masalah-masalah keadilan dalam perspektif para filsuf dalam bidang filsafat politik dan moral, dan kebetulan yang penulis lihat saat itu adalah tentang pembahasan mengenai keadilan John Rawls. Penulis sangat terkesan dengan kuliah umum tentang filsafat yang berlangsung di sebuah auditorium besar Universitas Harvard dengan setting tata cahaya dan lampu bak layaknya sebuah acara program talk show di televisi yang penuh gemerlap. Penulis terkesan karena jarang sekali ada sebuah acara yang membahas tentang filsafat dengan begitu mengasyikkan dan menghibur dan menarik minat begitu banyak mahasiswa. Program yang dipandu langsung oleh Michael Sandel, seorang profesor filsafat di Harvard, yang terkenal sebagai tokoh Neo-Aristotelian Komunitarian, berlangsung interaktif dengan audiens, dialogis, seru, dan menghibur. Ia membahas berbagai pemikiran para filsuf tentang keadilan, di antaranya John Rawls. Dari sinilah kemudian penulis terdorong dan tertarik untuk memahami lebih lanjut tentang John Rawls. Secara khusus, alasan pokok penulis pembahasan mengenai pemikiran Rawls didasarkan pada arti penting pemikirannya bagi perkembangan kajian filsafat politik normatif abad ke-20. Rawls, bisa dikatakan, merupakan salah satu dari pemikir-pemikir penting dalam bidang filsafat politik yang terkemuka sepanjang pertengahan abad ke-20 hingga sekarang. Gagasan John Rawls mengenai keadilan tertuang dalam karya utamanya, A Theory of Justice, yang diterbitkan kali pertama pada tahun 1971. Buku ini oleh banyak kalangan dianggap sebagai karya terpenting dalam bidang filsafat politik selama seratus tahun terakhir. Sebelum terbitnya A Theory, kajian filsafat politik tengah mengalami masa redup dan kelesuan serta tidak menunjukkan suatu progres yang signifikan. Hal demikian dikarenakan tidak adanya lagi karya-karya besar berpengaruh yang lahir dan muncul pasca karya John Stuart Mill pada pertengahan abad ke-19. Akan tetapi, kondisi itu sontak berubah dengan kehadiran A Theory yang mendorong dan membawa gairah serta semangat baru dalam perkembangan kajian filsafat politik. Pasca A Theory, berbagai diskusi, kajian, artikel-artikel dan mimbar- mimbar ilmiah hingga karya-karya besar semisal Anarchy, State and Utopia karya Robert Nozick; Liberal Theory of Justice karya Brian Barry, dan sebagainya, bermunculan sebagai reaksi terhadap karya Rawls. Karya Rawls juga telah melahirkan berbagai perdebatan filosofis di berbagai universitas, buku-buku maupun jurnal-jurnal filsafat terkemuka. Di antara debat filosofis antara Rawls dengan para kritikusnya yang paling terkemuka dan riak-riaknya masih bergelombang hingga kini ialah debat yang dikenal dengan ―Debat Liberal- Komunitarian‖. Debat ini melibatkan para filsuf dalam tradisi liberal yang mewarisi filsafat Immanuel Kant Neo-Kantian dengan kelompok filsuf yang dikenal dengan sebutan ―Komunitarian‖ yang sangat dipengaruhi oleh filsafatnya Aristoteles, karena itu mereka juga disebut Neo Aristotelian, dengan tokoh- tokohnya seperti Michael Sandel, Charles Taylor dan lain- lain. Pengaruh A Theory begitu luas. Selang sepuluh tahun sejak diterbitkannya, karya Rawls ini telah diterjemahkan ke dalam dua puluh tujuh 27 bahasa di dunia termasuk bahasa Indonesia, dan juga ada sekitar 2500 artikel yang membahas tentang karya Rawls tersebut. Samuel Freeman, seorang profesor filsafat Universitas Pennsylvania, mengatakan bahwa berbagai komentar atas A Theory yang berlimpah ini menunjukkan betapa kuat dan luasnya pengaruh ide dan gagasan Rawls yang merangsang berbagai kontroversi intelektual dan filosofis. 1 Secara umum, signifikansi pemikiran John Rawls dalam konteks filsafat dapat disimpulkan ke dalam sebuah catatan sebagaimana diutarakan oleh Will Kymlicka berikut ini: ―Rawls memiliki arti penting historis tertentu [pertama] dalam mendobrak kebuntutan intusionisme dan utilitarianisme. Tetapi teorinya penting karena alasan yang lain. [Kedua] Teori Rawls mendominasi filsafat politik, bukan dalam arti disepakati secara luas, sebab hanya sedikit orang yang setuju dengan seluruh teorinya, tetapi dalam arti bahwa para ahli teori yang muncul belakangan telah mempertegas dirinya berlawanan dengan Rawls. Mereka menjelaskan apa teori mereka dengan 1 Samuel Freeman ed, The Cambridge Companion to Rawls, New York: Cambridge University Press, 2003, h. 1 membandingkannya dengan teori Rawls. Kita tidak akan memahami karya tentang keadilan yang muncul belakangan ini jika kita tidak memahami Rawls.‖ 2 Dari deskripsi mengenai arti penting teorinya keadilannya dalam kajian filsafat politik sebagaiman penjelasan penulis di atas, maka hal tersebut mendorong minat dan ketertarikan penulis untuk mengangkat dan membahas teori keadilan Rawls. Hal demikian menjadi alasan mengapa penulis mengangkat pembahasan keadilan sosial berdasarkan teori keadilan yang dikembangkan oleh Rawls. Wacana keadilan sosial yang berkembang dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh teori keadilan Rawls, sebagaimana dijelaskan Kymlicka di atas. Maka penelitian mengenai pemikiran Rawls tentang keadilan menjadi sebuah usaha dan upaya yang penting dan signifikan dalam rangka memahami lebih lanjut karya-karya tentang keadilan dewasa ini. Dalam rangka teori keadilan , ―keadilan sosial‖ sering disebut juga sebagai ―keadilan distributif‖, di mana keduanya seringkali digunakan secara bergantian. Keadilan distributif berkenaan dengan pembagian nikmat dan beban dalam kehidupan sosial. Jenis keadilan satu ini memiliki tradisi pemikiran panjang yang ditemukan dalam teori keadilan Aristoteles. Keadilan distributif ini berhubungan dengan masalah membagi yang adil. Keputusan dalam membagi yang adil haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara intuitif maupun rasional. Artinya, prinsip dalam membagi sesuai dengan kesadaran intuitif seseorang tentang apa yang adil sense of justice, sekaligus sejalan dengan pertimbangan akal sehat rasional. 2 Will Kymlicka, Pengantar Filsafat Politik Kontemporer: Kajian Khusus atas Teori- Teori Keadilan, terj. Agus Wahyudi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, h. 70. Tanda kurung dalam kutipan di atas berasal dari penulis. Keadilan sosial dipahami sebagai keadilan yang berkaitan dengan bagaimana seharusnya hal-hal yang enak untuk didapatkan dan yang menuntut pengorbanan, keuntungan benefits dan beban burdens dalam kehidupan sosial dibagi dengan adil kepada semua anggota masyarakat. Dengan pengertian sederhana ini, suatu kondisi sosial atau pun kebijakan sosial tertentu dinilai sebagai adil dan tidak adil ketika seseorang, atau golongansekelompok orang tertentu hanya mendapatkan keuntungan yang sedikit dari apa yang seharusnya mereka peroleh, atau beban yang begitu besar dari apa yang seharusnya mereka pikul. 3 Dalam hal ini, pengertian ―distribusi‖ tidak boleh dipahami secara literal, yakni seolah- olah diandaikan adanya ‗agen‘ yang bertugas membagikan atau mendistribusikan barang- barang. Melainkan ―distribusi‖, pengertiannya lebih ditujukan pada ―cara‖ bagaimana lembaga-lembaga sosial utama menentukan hak dan kewajiban, dan mengatur pembagian nikmat dan beban dengan layak. 4 Pertautan makna keadilan sosial dengan keadilan distributif menjadi semacam cara praktis untuk membedakan batas lingkup kajian keadilan sosial dengan keadilan hukum, atau keadilan retributif. Aristoteles membagi tiga macam keadilan: keadilan umum, keadilan distributif, dan keadilan retributif. Secara umum, tiga macam keadilan itu bisa disederhanakan menjadi dua saja 3 David Miller, Principles of Social Justice, London: Harvard University Press, 1999, h. 1 4 David Miller, Principles of Social Justice, h. 2 ditinjau dari segi pokok persoalannya, yaitu: keadilan distributif dan keadilan retributif. 5 Keadilan retributif berkenaan dengan ―hukuman‖ punishment. Masalah pokoknya ialah bagaimana orang yang melakukan kesalahan dihukum dengan adil. Keadilan retributif berkenaan dengan kontrol bagi pelaksanaan keadilan distributif, lebih berhubungan dengan keadilan legal atau hukum. 6 Adapun keadilan distributif berkenaan dengan ―pembagian‖ distribution. Masalah pokoknya berkaitan dengan bagaimana membagi dengan adil. Kendati hakikatnya berbeda, terdapat titik temu antara keduanya, yaitu setiap putusan untuk menghukum maupun membagi haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral maupun akal sehat. Dari keduanya, keadilan distributif termasuk jenis keadilan paling penting karena terbilang banyak menimbulkan kesulitan. Soalnya, bagaimana seharusnya membagi dengan adil kepada setiap orang, karena setiap orang ingin bagian yang lebih banyak daripada bagian yang sedikit, sementara itu tidak tersedia barang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang. Semakin terbatas dan langka suatu barang atau nikmat maka ia semakin bernilai dan berharga. Barang- barang sosial yang berharga itu tidak sekedar yang bersifat immaterial semisal kekayaan dan pendapatan, tapi juga immaterial seperti kekuasaan, kebebebasan, kesempatan dan kehormatan, serta lain sebagainya. Barang-barang sosial itu harus dibagi dengan adil kepada semua orang. Dalam arti, pokok persoalan keadilan 5 John Christman, Social and Political Philosophy: A Contemporary Introduction, London: Routledge, 2002, h. 60 6 Bur Rasuanto, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Ra wls dan Habermas. Dua Teori Filsafat Politik Modern, Jakarta: Gramedia, 2004, h. 6 sosial itu mencakup pembagian dalam tiga bidang, yang disebut juga sebagai masalah standar dalam keadilan sosial: politik kuasa, ekonomi uang, dan sosial status. Tiga bidang ini dalam skripsi ini kelak akan disebut dengan ―nilai-nilai primer sosial‖. Secara garis besar, prinsip keadilan sosial dibagi menjadi dua macam. Dua macam prinsip: prinsip formal dan prinsip substantif atau material. Kedua prinsip ini juga bisa disebut dengan keadilan formal dan keadilan substantif. 7 Prinsip keadilan formal itu hanya ada satu saja, yakni prinsip persamaan. 8 Prinsip ini memiliki tradisi pemikiran panjang, di mana Aristoles yang merumuskannya. Prinsip formal berbunyi: ―equals ought to be created equally and unequals may be treated unequally ‖. Prinsip ini bisa dipahami sebagai ―orang-orang yang sama‖ atau ―hal-hal yang sama‖ harus diperlakukan secara sama, sedang orang atau hal yang tidak sama boleh diperlakukan tidak sama. Akan tetapi, prinsip formal ini h anya menyajikan ―bentuk‖ dan tidak mempunyai ―isi‖. 9 Memang disebutkan bahwa pada orang-orang atau hal-hal yang sama harus diperlakukan dengan cara yang sama, tetapi prinsip ini tidak menjelaskan apa yang har us dimengerti dengan ‗orang-orang yang sama‘, dan ‗hal-hal yang sama‘. Prinsip ini tidak menerangkan pada segi apa manusia atau hal-hal dan kasus-kasus tertentu harus dianggap sama atau tidak sama. 7 Morris Ginsberg, Keadilan dalam Masyarak at, Yogyakarta: Pondok Edukasi, 2003, h. vii. 8 Dalam etika sering dikatakan, ada tiga hal umum yang selalu berkaitan dengan keadilan. 1 Keadilan selalu tertuju kepada orang lain, 2 Keadilan menuntut untuk ditegakkan kewajiban, dan 3 Keadilan menuntut persamaan. 9 9 Morris Ginsberg, Keadilan dalam Masyarak at; Oleh karena itu, prinsip formal sulit dijadikan pegangan untuk membagi dengan adil, maka perlu ada prinsip-prinsip substantif yang melengkapi prinsip formal. Prinsip-prinsip substantif merujuk pada salah satu aspek yang relevan yang bisa dijadikan untuk membagi hal-hal yang dicari oleh pelbagai orang. Jika prinsi p formal bentuk hanya ada satu, ―prinsip persamaan‖, maka prinsip substantif selalu masih dalam perdebatan dan proses. Kendati begitu, ada pandangan yang dominan dan menjadi pandangan umum yang melandasi berbagai teori-teori keadilan kontemporer ini ial ah ―egalitarianiasme‖. Egalitarianisme adalah nilai dasar bagi wacana keadilan sosial. Dalam hal ini kita patut mencermati apa yang dikatakan oleh Will Kymlicka mengenai teori egalitarianisme berikut ini: ―…Setiap teori memiliki nilai utama yang sama, yaitu persamaan equalitiy. Semuanya merupakan teori- teori ‗egalitarian‘. Pernyataan semacam ini jelas tidak benar, jika yang kita maksudkan adalah dengan ‗teori egalitarian‘ adalah teori yang mendukung distribusi pendapatan yang merata. Namun ada gagasan lain, yang lebih abstrak dan fundamental, tentang persamaan dalam teori politik, yaitu gagasan mengenai memperlakukan orang ‗secara sama‘. Ada banyak cara untuk meng- ungkapkan gagasan tentang persamaan yang lebih mendasar ini. Sebuah teori adalah egalitarian menurut pengertian ini jika teori tersebut menerima bahwa kepentingan tiap-tiap anggota masyarakat itu penting dan sama- sama penting. Dengan kata lain, teori egalitarian mensyaratkan bahwa pemerintah memperlakukan warga negara dengan pertimbangan yang sama …Jadi, gagasan tentang persamaan yang bersifat abstrak dapat ditafsirkan dengan berbagai cara, tanpa harus mendukung persamaan dalam bidang khusus tertentu, apakah itu pendapatan, kekayaan, kesempatan, atau kebebasan. Mana bentuk khusus persamaannya yang diminta oleh gagasan memperlakukan orang secara sama yang lebih abstrak, itu merupakan masalah yang menjadi perdebatan berbagai teori...‖ 10 10 Will Kymlicka, Pengantar Filsfat Politik Kontemporer, h. 5-6 Dengan demikian, prinsip persamaan adalah nilai dasariah dari keadilan sosial. 11 Gagasan persamaan tidak dipahami sebagai persamaan dalam distribusi atau pembagian, tetapi persamaan dalam memperlakukan manusia dengan sama. Manusia itu pada hakikatnya sama, dalam arti martabatnya. Pandangan egalitarianisme ini mendapat simpati luas. Semua manusia pada hakikatnya memang sama dari segi martabat. Tidak ada martabat manusia satu lebih tinggi daripada manusia lainnya. Pemikiran ini merupakan keyakinan umum sejak zaman modern, artinya sejak Revolusi Perancis menumbangkan monarki absolut dan feodalisme. Dal am artikel pertama dari ―Deklarasi Hak Manusia dan Warga Negara‖ 1789 yang dikeluarkan pada waktu Revolusi Perancis dapat dibaca: ―manusia dilahirkan bebas serta sama haknya, dan mereka tetap tinggal begitu‖. Dalam konteks filsafat, pandangan ini umumnya didasarkan pada paham deontologis dalam etika Immanuel Kant. Kant beranggapan bahwa manusia itu menduduki wilayah ciptaan yang istimewa. Menurut pandangannya, manusia mempunyai ―nilai instrinsik‖, yakni martabat, yang membuatnya bernilai ―mengatasi segala harga‖. Manusia adalah tujuan pada dirinya sendiri, tidak boleh diperlakukan sebagai alat. 12 Dalam konteks keadilan sosial, pandangan deontologis tidak mengijinkan martabat manusia dikorbankannya demi kepentingan atau pun manfaat ekonomi, politik dan lainnya. Hal inilah yang membuat prinsip utilitarianisme ditolak sebagai landasan bagi konsep keadilan 11 Agus Wahyudi, ―Filsafat Politik Barat dan Masalah Keadilan: Catatan Kritis atas Pemikiran Will Kymlicka‖ dalam Jurnal Filsafat, April 2004, Jilid 36, Nomor 1 12 Onora Oneil, ―Catatan Sederhana Tentang Etika Kant‖, dalam Etika Terapan I, ed. Lary May, dkk, terj. Sinta Carolina, dkk, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001, 51-54 sosial, karena menempatkan mengorbankan hak dan martabat manusia demi kepentingan umum. Lebih lanjut, kesepakatan bersama mengenai apa yang tidak adil, ketidakadilan sosial, lebih sering tercapai ketimbang sebaliknya. Masyarakat umumnya memiliki perasaan keadilan sense of justice yang cukup peka untuk menilai suatu hubungan-hubungan sosial atau kondisi sosial tertentu sebagai tidak adil. Tapi berbeda halnya untuk menentukan kondisi atau hubungan sosial sebagai adil. Karena kesadaran keadilan masyarakat bukan sesuatu yang sudah jadi melainkan terus berproses dalam kerangka dialogis. Dalam arti, keadilan sosial, secara negatif, relatif mudah ditentukan, namun penentuan positif mengenai kondisi sosial dan hubungan-hubungan sosial mana yang dapat disebut adil seringkali sulit dicapai kesepakatan. Untuk itu, kesadaran intuitif masyarakat mengenai apa yang adil dan tidak adil saja tidak cukup dalam membangun konsep keadilan sosial, maka kita perlu teori untuk memperjelas kesadaran moral atau sentimen moral mengenai apa yang adil tersebut dalam bentuk yang lebih jelas. Inilah tugas teori keadilan. Sebagaimana penulis jelaskan bahwa putusan moral mengenai pembagian yang adil itu haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara intuitif maupun rasional. Inilah peran teori keadilan untuk menyelaraskan apa yang secara intuitif disebut adil, kemudian mempertanggungjawabkan, membenarkan atau menjustifikasinya di hadapan argumen rasional. Dalam teori keadilan Rawls, hal ini disebut dengan reflective equilibrium, keseimbangan antara argumen intuitif dengan argumen rasional. Itulah poin-poin penting yang penulis anggap patut dicermati dalam analisis keadilan sosial di dalam skripsi ini. Bagi Rawls, kesepakatan bersama mengenai keadilan sosial, atau apa yang adil dan tidak adil, dalam kehidupan sosial masyarakat modern yang pluralistik adalah sesuatu hal yang menjamin integritas sosial, stabilitas, dan keberlanjutan sebuah masyarakat. Prinsip keadilan sosial dibutuhkan untuk mengatur cara bagaimana lembaga-lembaga sosial utama mendistribusikan hak dan kewajiban, nikmat dan beban hasil kerja sama sosial masyarakat itu dengan adil kepada semua anggota masyarakat. Prinsip-prinsip keadilan sosial itu hanya dapat secara efektif mengatur masyarakat hanya apabila ia dapat diterima oleh semua orang. Akseptabiltias publik atau penerimaan semua orang terhadap prinsip keadilan sosial yang akan mengatur mereka apabila prinsip-prinsip itu mampu menjamin dan mengakomodasi kepentingan semua orang, khususnya orang-orang yang lemah secara ekonomi dan sosial. Bagi Rawls, prinsip keadilan sosial bagi Rawls tidak sekedar mendistribusikan nilai-nilai sosial primer dengan adil, melainkan juga bagaimana prinsip-prinsip distributif itu bisa diterima oleh semua orang. Lebih jauh, prinsip- prinsip keadilan sosial Rawls diposisikan landasan dasar bagi sebuah kerja sama sosial sebuah masyarakat yang tertata dengan baik well-ordered society. Masyarakat tertata dengan baik dalam studi filsafat politik merupakan sebuah konsepsi ideal mengenai bagaimana seharusnya masyarakat diatur dengan baik. Sebagaimana diketahui, filsafat politik menuntut agar segala klaim atas hak untuk mengatur masyarakat dipertanggungjawabkan pada prinsip-prinsip moral dasar. Dalam hal ini, keadilan adalah prinsip moral dasar. Rawls adalah seorang pendukung egalitarianisme. Dalam arti, ia setuju bahwa nilai dasariah keadilan sosial adalah prinsip persamaan. Kendati begitu, Rawls bukan seorang egalitarian radikal dalam arti ia juga menerima prinsip ketidaksamaan. Prinsip persamaan baginya bukan persamaan dalam distribusi atau pembagian, melainkan persamaan manusia dari segi martabatnya. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip keadilan sosialnya menempatkan manusia sebagai tujuan utama, bukan sekedar alat. Hal ini dapat dipahami karena ia merupakan seorang Neo-Kantian. Dengan ini, utilitarianisme ditolak olehnya sebagai basis bagi keadilan sosial, karena sifatnya yang teleologis –yang-manfaat the good prioritas yang-hak the right — konsekuensinya utilitarianisme meletakkan manusia sebagai alat dan sarana belaka untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagian. Karena itulah keadilan sosial tidak dapat dijamin oleh utilitarianisme. Sementara itu, basis keadilan sosial Rawls sendiri didasarkan pada landasan deontologis, yakni yang-hak prioritas atas yang manfaat. Manusia adalah tujuan pada dirinya sendiri. Martabat manusia itu harus dihormati, tapi martabat manusia itu ditandai dari segi apa? Tegasnya Rawls berusaha mereflesikan inti persamaan itu dalam kehidupan sosial. Karena itu, prinsip keadilan sosial adalah prinsip substantif, bukan prinsip formal. Dengan demikian, Rawls mengakomodasi prinsip persamaan sebagai nilai dasariah bagi keadilan sosial, tapi juga sekaligus menerima prinsip ketidaksamaan. Tegasnya konsep keadilan sosialnya menyusur pada dua tepi: kesamaan dan ketidaksamaan. Akan tetapi, apa yang harus dibagi secara sama, dan juga apa yang boleh dibagi dengan tidak sama. Yang paling penting ialah sebatas mana ketidaksamaan itu diperbolehkan. Lalu, hal-hal apa saja yang harus dibagi dengan adil kepada semua orang. Apakah terbatas pada nikmat-nikmat sosial, atau juga mencakup nikmat alamiah semisal, kecerdasan, kepintaran dan sebagainya. Kemudian, juga penting ialah bagaimana ia menemukan prinsip- prinsip keadilan sosial itu? Karena sebagaimana diketahui, prinsip keadilan sosial adalah prinsip moral. Dalam arti, prinsip keadilan adalah perkara moral, jadi tidak dideduksi dari prinsip yang terbukti benar begitu saja, sebagaimana prinsip Cartesian. Tegasnya, prinsip moral itu harus sesuai dengan kesadaran moral intuitif subjektif, tapi bagaimana prinsip keadilan sosialnya dapat dipertanggung- jawabkan secara rasional objektif tanpa harus bertentangan dengan intuisi. Ini tak lepas dari tujuannya bahwa integritas sosial dan stabiltas masyarakat hanya tercapai apabila prinsip keadilan sosial itu adalah manifestasi kehendak umum, hasil kesepakatan bersama. Ini mengungkapkan gagasan utamanya teorinya yang disebut dengan justice as fairnees. Maksudnya, prinsip-prinsip keadilan sosial merupakan hasil kesepakatan orang-orang yang rasional, bebas, dan setara dalam situasi awal persamaan yang fair. Alhasil, dengan berbagai latar belakang masalah dan pertimbangan yang ada, maka skripsi ini penulis beri judul: ―Konsep Keadilan Sosial Menurut John Rawls”. Pijakan sederhananya, keadilan sosial adalah keadilan yang berkaitan dengan pembagian nikmat dan beban dalam masyarakat sebagai sebuah bentuk kerja sama sosial, di mana manifestasi kerja sama sosial itu termanifestasi dalam lembaga yang disebut negara. Konsep keadilan sosial berkaitan dengan prinsip- prinsip yang mengatur pembagian tersebut. Dengan demikian, teori keadilan berusaha merumuskan prinsip-prinsip dasar bagi terwujudnya masyarakat yang adil, di mana nilai-nilai sosial primer bisa terbagi dengan adil kepada semua anggota masyarakat. Bagi Rawls, hal demikian sama dengan mempertanyakan apa prinsip-prinsip dasar bagi terwujudnya masyarakat yang adil.

B. TINJAUAN PUSTAKA