Pembagian Keadilan TINJAUAN UMUM KEADILAN SOSIAL

demikian, keadilan harus dilaksanakan terhadap semua orang, tanpa melihat orangnya siapa.

C. Pembagian Keadilan

Setelah membahas mengenai hakikat keadilan, maka penulis akan membahas mengenai jenis-jenis keadilan. Dalam hal ini, penulis mengungkapkan pembagian umum keadilan dilihat dari segi pokok persoalannyan, dan pengungkapan macam-macamnya lebih pada kebutuhan yang berkaitan dengan kajian skripsi ini saja. Menurut John Christman, teori-teori keadilan, mengikuti pembagian keadilan klasik Aristoteles, pada umumnya dapat dibagi menjadi tiga macam. Antara lain sebagai berikut teori keadilan retributif, korektif, dan distributif. 11 Kendati demikian, secara umum dapat disederhanakan menjadi dua macam keadilan saja, karena keadilan korektif bisa dimasukkan dalam kategori keadilan retributif. Adapun penjelasannya sebagai berikut ini: 1. Keadilan Retributif dan Distributif Keadilan retributif adalah keadilan yang berkaitan dengan terjadinya kesalahan. Hukuman atau denda yang diberikan kepada orang yang bersalah haruslah bersifat adil. Dasar etis untuk menghukum sudah lama dibicarakan dalam filsafat dan menimbulkan diskusi-diskusi yang rumit. Pada keadilan ini terdapat persoalan penting yang bersifat mendasar. Disini terdapat ketidaksepakatan mengenai justifikasi atau pembenaran atas hukuman itu sendiri. Misalnya, dalam persoalan hukuman mati, terjadi perbedaan pandangan yang sengit dalam etika 11 John Christman, Social and Political Philosophy, h. 60-61 mengenai apa dasar moral menghukum mati seseorang yang melakukan kesalahan. Terlepas dari soal justifikasi hukuman itu, ada kesepakatan luas yang berkembang mengenai syarat-syarat kriteria hukuman yang adil. Antara lain, pertama, kesengajaan dan kebebasan. Yakni orang yang dihukum harus tahu apa yang dilakukannya dan harus dilakukannya dengan bebas tanpa paksaan. Dan lain sebagainya. Keadilan distributif adalah keadilan yang berkaitan dengan pembagian nikmat benefits dan beban 12 burdens, hal-hal yang enak untuk didapat maupun hal-hal yang menuntut pengorbanan. Di antara hal yang termasuk dalam kategori pertama benefits:perlindungan hukum, pelayanan kesehatan, pendidikan yang layak, dan sebagainya. Sementara kategori kedua misalnya, besar kecilnya pajak, wajib militer, dan lain-lain. Dalam keadilan distributif, terdapat ketidaksepakatan berkenaan dengan isi content dari prinsip-prinsip keadilan yang mengatur pembagian hak dan kewajiban, beban dan nikmat dalam masyarakat. 13 Kemudian keadilan dapat dibagi juga menurut subjeknya atau dari segi pelaksanaannya. 2. Keadilan Sosial dan Keadilan Individual Pembagian keadilan kepada individual dan sosial lebih berkenaan dengan subjek atau segi pelaksanaannya. Keadilan individual adalah keadilan yang pelaksanaannya tergantung pada kehendak atau keinginan individu atau beberapai individu saja. Subjek keadilan di sini adalah tindakan atau perbuatan individu 12 ‗Beban‘ di sini pengertian ialah beban di luar pengertian hukuman, punishment. Misalnya, wajib militer, pembayaran pajak , dan lain-lain. 13 David Miller, Principles of Social Justice, London: Harvard University Press, 1999, h. 1 dalam hubungannnya dengan individu lainnya. Sementara itu, keadilan yang pelaksanaanya bergantung pada struktur-struktur sosial masyarakat, seperti lembaga-lembaga ekonomi, sosial, politik dan budaya lainnya. Subjek keadilan sosial ialah praktik-praktik sosial dan hubungan-hubungan sosial. Jika domain etika keadilan adalah penilaian moral atas tindakan. Sementara domain keadilan sosial ialah berkenaan dengan masyarakat institusi sosial, atau tepatnya struktur sosial. 14 Keadilan sosial sebagai kajian teoritik pengertiannya seringkali ditautkan dengan keadilan distributif. 15 Dengan pertautan ini, maka keadilan sosial perlu dibedakan dari keadilan hukum yang hakikatnya adalah keadilan retributif. Dilihat dari segi prinsip-prinsipnya, keadilan sosial dibagi menjadi dua macam. Pertama keadilan formal, yakni keadilan yang didasarkan prinsip formal. Dan kedua, keadilan substantif, yakni keadilan yang didasarkan pada prinsip material atau substantif. Prinsip formal hanya ada satu. Prinsip formal ini mempunyai tradisi yang lama sekali, karena sudah ditemukan pada Aristoteles. Prinsip ini berbunyi: ―equals ought to be treated equally and unequals may be treated unequally‖. Equals bisa dimengerti sebagai ‗orang-orang yang sama‘, ‗kasus-kasus yang sama‘ harus diperlakukan dengan cara yang sama, sedangkan ‗hal-hal ataupun kasus- kasus yang tidak sama‘ boleh saja diperlakukan tidak sama. Walaupun bunyinya bagus, dalam praktek prinsip ini tidak begitu banyak membantu. Prinsip ini disebut formal , karena hanya menyajikan ―bentuk‖ form dan tidak 14 Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, h. 56 15 David Miller, Principles of Social Justice, h. 2 mempunyai ―isi‖ content. Memang dinyatakan bahwa kasus-kasus yang sama harus diperlakukan dengan cara yang sama, tetapi tidak dijelaskan apa yang harus dimengerti dengan ‗kasus-kasus yang sama‘. Prinsip ini tidak menunjukkan menurut aspek apa kasus-kasus harus dianggap sama atau tidak sama. Karena itu, prinsip formal saja tidak tidak cukup sebagai pegangan untuk membagi dengan adil. 16 Prinsip-prinsip keadilan material atau substantif melengkapi prinsip formal. Prinsip-prinsip material menunjuk pada salah satu aspek relevan yang bisa menjadi dasar untuk membagi dengan adil hal-hal yang dicari oleh pelbagai orang. Kalau pada prinsip formal cenderung disepakati secara luas, tapi lain halnya dengan prinsip material atau substantif, di mana tidak ada kesepakatan tentangnya. Dalam arti ada banyak teori yang mengemukan pandangannya yang berbeda-beda. Setidaknya ada satu teori keadilan yang mengemukakan pandangannya mengenai prinsip material ini, teori itu adalah teori egalitarianisme. D . Sekilas Tiga Teori Keadilan Sosial 1. Teori Egalitarianisme Teori egalitarianisme didasarkan pada prinsip persamaan distribusi. Teori ini berpandangan bahwa kita baru membagi dengan adil, bila semua orang mendapat bagian yang sama equal. Membagi dengan adil berarti membagi secara sama. Jika karena alasan apa saja tidak semua orang mendapat bagian yang sama, menurut egalitarianisme pembagian itu tidak adil betul. Egalitarianisme mendapat banyak simpati luas. Semua manusia memang sama. Pemikiran ini 16 Morris Ginsberg, Keadilan dalam Masyarak at, h. 24 merupakan keyakinan umum sejak zaman modern, artinya sejak Revolusi Perancis menumbangkan monarki absolut dan feodalisme. Dalam artikel pertama dari ―Deklarasi hak manusia dan warga negara‖ 1789 yang dikeluarkan waktu Revolusi Perancis dapat dibaca: ―Manusia dilahirkan bebas serta sama haknya, dan mereka tetap tinggal begitu.‖ 17 Maksud bahwa semua manusia sama, yang terutama dimaksudkan adalah martabatnya. Kenyataan ini mempunyai konsekuensi besar di beberapa bidang, misalnya, hukum. Supaya adil di hadapan hukum semua anggota masyarakat harus diperlakukan dengan cara yang sama: orang kaya atau miskin, pejabat tinggi atau orang biasa, kaum ningrat atau rakyat jelata. Mengapa begitu? Karena hukum hanya memandang warga negara sebagai manusia dan martabat manusia selalu sama, terlepas dari ciri-ciri yang tidak relevan, seperti kedudukan sosial, ras, jenis, kelamin, agama, dan lain-lain. Di sini pembagian egalitarian memang satu- satunya cara yang adil. contoh lain adalah pemilihan umum. Di semua warga negara modern, pemilihan umum diatur dengan cara yang sungguh egalitarian, atas dasar prinsip “one person one vote‖. Dalam hal ini profesor dalam ilmu politik dan warga negara yang buta huruf diperlakukan dengan cara yang sama, sekalipun tahanp pengertian tentang politik pada dua orang itu sangat berbeda. Namun demikian, walaupun martabat manusia selalu sama, dalam banyak hal manusia tidak sama. Intelegensi dan ketrampilannya, misalnya, sering tidak sama. Kemampuannya untuk menghasilkan nilai ekonomis acap kali berbeda. 17 Morris Ginsberg, Keadilan dalam Masyarak at, h. 24. Teori-teori keadilan sosial yang berkembang dewasa ini hampir sebagian besar bertolak dan titik awalnya adalah egalitarianisme. Will Kymlicka dalam bukunya tentang teori-teori keadilan bahwa nilai utama atau fundamental dari teori-teori keadilan yang dikajianya adalah egalitarian. Dalam arti, teori-teori itu titik tolaknya adalah persamaan, tapi masing-masing berbeda-beda dalam menafsirkan substansi persamaan. Terkait teori egalitarianisme, kutipan Will Kymlicka berikut patut untuk kita simak: ―Setiap teori memiliki nilai utama yang sama, yaitu persamaan equalitiy. Semuanya merupakan teori- teori ‗egalitarian‘. Pernyataan semacam ini jelas tidak benar, jika yang kita maksudkan adalah dengan ‗teori egalitarian‘ adalah teori yang mendukung distribusi pendapatan yang merata. Namun ada gagasan lain, yang lebih abstrak dan fundamental, tentang persamaan dalam teori politik, yaitu gagasan mengenai memperlakukan orang ‗secara sama‘. Ada banyak cara untuk meng- ungkapkan gagasan tentang persamaan yang lebih mendasar ini. Sebuah teori adalah egalitarian menurut pengertian ini jika teori tersebut menerima bahwa kepentingan tiap-tiap anggota masyarakat itu penting dan sama- sama penting. Dengan kata lain, teori egalitarian mensyaratkan bahwa pemerintah memperlakukan warga negara dengan pertimbangan yang sama…Jadi, gagasan tentang persamaan yang bersifat abstrak dapat ditafsirkan dengan berbagai cara, tanpa harus mendukung persamaan dalam bidang khusus tertentu, apakah itu pendapatan, kekayaan, kesempatan, atau kebebasan. Mana bentuk khusus persamaannya yang diminta oleh gagasan memperlakukan orang secara sama yang lebih abstrak, itu merupakan masalah yang menjadi perdebatan berbagai teori...‖ 18 2. Teori Sosialisme Teori sosialistis tentang keadilan distributif memilih prinsip kebutuhan sebagai dasarnya. Menurut mereka masyarakat diatur dengan adil, jika kebutuhan semua warganya terpenuhi, seperti kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan. 18 Will Kymlicka, Pengantar Filsfat Politik Kontemporer: Kajian Khusus atas Teori- Teori Keadilan, terj. Agus Wahyudi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, h. 5-6 Secara konkret, sosialisme terutama memikirkan masalah-masalah pekerjaan bagi kaum buruh dalam konteks industrialisasi. Dalam teori sosialisme tentang keadilan, terkenal adalah prinsip yang oleh Karl Marx 1818-1883 diambil alih dari sosialis Prancis, Louis Blanc 1811- 1882: ―from each according to his ability, to each according to his needs ‖. Bagian pertama dari prinsip ini berbicara tentang bagaimana burdens harus dibagi: hal-hal yang menuntut pengorbanan. Sedangkan bagian kedua menjelaskan bagaimana benefits harus dibagi: hal-hal yang enak untuk didapat. Hal-hal yang berat harus dibagi sesuai dengan kemampuan. Tidak adil bila orang cacat, umpamanya diharuskan bekerja sama berat seperti orang yang utuh anggota badannya. Kepada orang yang menyandang cacat badan harus diberi pekerjaan yang cocok dengan kemampuannya. Hal-hal yang enak untuk diperoleh harus diberikan sesuai dengan kebutuhan. Misalnya pelayanan medis adalah adil bila diberikan sesuai dengan kebutuhan orang sakit. Adil tidaknya gaji atau upah juga harus diukur dengan kebutuhan. Perlu diakui, kebutuhan dan kemampuan memang tidak boleh diabaikan dalam melaksanakan keadilan distributif. Tetapi timbul kesulitan juga, bila prinsip ini dipakai sebagai pegangan satu-satunya untuk mewujudkan keadilan distributif. Terutama dua macam kritik dapat dikemukakan. Pertama, jika kebutuuhan menjadi satu-satunya kriteria untuk melaksanakan keadilan di bidang pendapatan, para pekerja tidak akan merasa termotivasi untuk bekerja keras. Gaji atau upah yang diperoleh sudah dipastikan seelum orang mulai bekerja, karena kebutuhannya sudah jelas. Bekerja keras atau malas-malas tidak akan mengubah pendapatannya. Sistem imbalan kerja yang berpedoman pada kebutuhan saja akan mengakibatkan produktivitas kerja rendah dan ekonomi mandek. Seperti diketahui, di negara-negara komunistis dulu memang demikian. Kritik kedua, menyangkut kemampuan sebagai satu-satunya alasan untuk membagi pekerjaan. Terutama dalam sosialisme komunistis yang totaliter, prinsip ini mengakibatkan orang yang berkemampuan harus menerima saja, bila negara membagi pekerjaan padanya. Jika orang mempunyai kemampuan untuk menjnadi pilot dan negara sedang membutuhkan profesional-profesional ini, ia harus menerima pekerjaan ini sebagai profesinya. Tetapi belum tentu profesi pilot menjadi pilihannya juga. Cara mempraktikkan keadilan sosial atau distributif ini mengabaikan hak seseorang untuk memilih pekerjaannya sendiri. 3. Teori Liberalisme Liberalisme justru menolak pembagian atas dasar kebutuhan seabgai tidak adil. Karena manusia adalah mahluk bebas, kita harus membagi menurut usaha- usaha bebas dari individu-individu bersangkutan. Yang tidak berusaha tidak mempunyai hak pula untuk memperoleh sesuatu. Liberalisme menolak sebagai sangat tidak etis sikap free rider: benalu yang menumpang pada usaha orang lain tanpa mengeluarkan air keringat sendiri. orang seperti itu tidak mengakui hak sesamanya untuk menikmati hasil jerih payahnya. Dalam teori liberalistis tentang keadilan sosial atau distributif digarisbawahi pentingnya prinsip hak, usaha, tapi secara khusus prinsip jasaprestasi. Terutama prestasi mereka lihat sebagai perwujudan pilihan bebas seseorang. Salah satu kesulitan pokok dengan teori keadilan distributif ini adalah bagaimana orang yang tidak bisa berprestasi karena cacat mental atau fisik, orang yang menganggur di luar kemauannya sendiri, dan sebagainya? Mereka sebenarnya ingin berprestasi juga, tapi tidak bisa. Karena itu mereka tidak mendapat apa-apa? Apakah cara pengaturan masyarakat seperti itu bisa dianggap adil.

BAB IV PANDANGAN JOHN RAWLS TENTANG KONSEP KEADILAN SOSIAL