Keadilan sosial menurut John Rawls

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S.1)

Oleh: Mawardi

NIM: 1030333127753

44 4

Universitas Islam Negeri

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “KEADILAN SOSIAL MENURUT JOHN RAWLS” ini telah diujikan dalam sidang munaqasah di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada hari Kamis tanggal 16 September 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada Jurusan Aqidah Filsafat Faktultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 16 September 2010

Sidang Munaqasah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Drs. Agus Darmaji, M. Fils Dra. Tien Rohmatin, MA. NIP. 19610827 199303 1 002 NIP. 19680803 199403 2 002

Penguji I Penguji II

Drs. Agus Darmaji, M. Fils Dr. Sri Mulyati, MA NIP. 19610827 199303 1 002 NIP.19560417 198603 2 001

Pembimbing

Drs. Fakhruddin, MA. NIP. 19580714 198703 1 002


(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua Sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarihi Hiadayatullah Jakarta

3. Jika di Kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Depok, 25 Agustus, 2010


(4)

KATA PENGANTAR

Dalam segala keterbatasan dan ke-dhaif-an penulis, tuntasnya skripsi ini merupakan nikmat dan karunia terbesar dari Allah subhanahu wa ta’ala. Tanpa kasih dan sayang, dan tanpa inayah dari-Nya, mustahil penulis mampu menulis, berpikir, dan menyelesaikan skripsi ini di titik nadir masa studi. Maka, sudah seharusnya pertama-tama penulis ucapkan rasa puji dan syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala beserta Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam.

Kemudian, tuntasnya skripsi pun merupakan totalitas harmoni kehidupan sosial. Tanpa bantuan, dorongan, dan motivasi dari orang-orang di sekitar penulis, mustahil skripsi ini dapat eksis dan tuntas. Kekuatan dan semangat untuk dapat menuntaskan tugas akhir ini digerakkan oleh berbagai elemen dari hidup penulis. Utamanya kedua orang tua, keluarga, teman, para dosen dan civitas akademika fakultas dan UIN , sahabat, dan lain-lain. Maka sebagai rasa hormat dari lubuk hati terdalam, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Drs. Fakruddin, MA., selaku pembimbing skripsi, yang telah berkenan dan sabar membimbing, menasehati, dan mengarahkan penulis. Dan juga terima kasih setinggi-tingginya atas kesediaannya menjadi pembimbing penulis dalam mengerjakan tugas akhir ini.

2. Bapak Dr. Zainun Kamal, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Bapak Drs. Agus Darmadji, M.Fils, selaku Ketua Jurusan, dan Ibu Dra. Tien Rahmatin, selaku Sekretaris Jurusan Aqidah Filsafat.


(5)

Beserta seluruh staf pengajar di Jurusan Aqidah Filsafat, Fak. Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarih Hidayatullah Jakarta.

3. Kepada Bapak Penguji, Bapak Drs. Agus Darmadji, M. Fils., dan Ibu Dr. Sri Mulyati, yang telah berkenan dan bersedia untuk meluangkan waktunya menghadiri sidang ujian skripsi penulis. Utamanya, kepada Ibu Sri Mulyati ditengah kondisi suaminya yang kurang sehat bersedia untuk menjadi penguji. Dan juga penulis haturkan terima kasih setinggi-tingginya atas keikhlasan bapak dan ibu yang telah meluangkan waktunya untuk membaca, mengkoreksi, mengkritik, dan memberi komentar yang sangat berharga bagi perbaikan skripsi ini.

4. Kepada Ummi dan Abah, orang tua penulis. Keduanya adalah tiang utama dan pokok dari eksistensi skripsi ini. Tanpa keduanya, skripsi ini tidak pernah akan ada. Melalui keduanya, skripsi menjadi tidak sekedar

‗potensi’ melainkan bisa mewujud berkat kasih dan sayang dari keduanya

yang ‗tanpa syarat’ apa pun. Skripsi ini tidak akan pernah ada tanpa jasa Ummi dan Abah. Semoga Allah selalu melindungi dan memberi kebaikan kepada keduanya dengan kebaikan yang berlipat dan lebih besar.

5. Kepada Abang penulis: Irfan Fahmi beserta Ka’ Ita, dan juga Kakak penulis: Hanna Maria beserta Bang Fadli, dan juga kepada adik penulis Darul Qutni, yang telah memberi dorongan dan semangatnya dengan caranya masing- masing.


(6)

6. Kepada teman-teman forum kajian Piramida Circle Bung Alawi, Maman, Hafidz, Ali, Ujang, Mbah Liem, Syauqi, Jenal, Rouf, Mukhlisin, Nafi, Faiq, Romo, Uci, Bdul, dan lain- lain.

7. Wabil khusus, kepada Fakruddin Mukhtar yang telah berkenan meminjamkan hardisk komputernya untuk penulis pakai. Tanpa bantuannya, skripsi ini mungkin masih tetap dalam lembaran-lembaran virtual dan tidak akan sampai ke meja munaqasah. Wabil khusus juga, kepada Agus Santoso, yang telah mau memberi ruangan tinggalnya untuk penulis berkontemplasi, mau berhujan-hujan ria menemani penulis ke Karawaci dan Serpong, dan bersibuk ria membeli hidangan untuk pada waktu ujian. Dan juga kepada Bung Hafiz yang telah meminjam dua bukunya yang amat berharga. Dengan dua buku itu, rimba belukar pemikiran Rawls menjadi lebih mudah ditelusuri dan dijejak. Terima kasih atas bantuan yang tulus dan ikhlas, semoga Allah memberi kebaikan yang berlimpah kepadamu.

8. Kepada teman-teman Aqidah Filsafat 2003: Fakhrul, Ujang, Syamsudin, Kusna, Tatang, Syamsul, Muni, Yanti, Nadia, Tri, Latifah, Ely, Syafei, Dedi, Zakaria, Mohalli, Setiawan, dan lain- lain.

9. Juga kepada semua orang-orang yang telah mendorong dan memberi semangat yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Depok, 16 September 2010 Mawardy


(7)

i

LEMBAR PERNYATAAN ………..……… iv

DAFTAR ISI ………..……… v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ……….……… 1

B. Tinjauan Pustaka ………...……… 14

C. Batasan dan Rumusan Masalah ………..…….. 17

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……….……… 17

E . Metodelogi Penelitian ……….. 18

F . Sistematika Penulisan ………19

BAB II BIOGRAFI JOHN RAWLS ………...…… 21

A. Riwayat Hidup dan Pendidikan ………...… 21

B. Karya-Karya Ilmiah dan Pengaruhnya ……….. 29

C. Latar Belakang Tradisi Pemikiran ………...…… 34

BAB III TINJAUAN UMUM KEADILAN SOSIAL ………... 39

A. Pengertian dan Hakikat Keadilan Sosial ………... 39

B. Tiga Ciri Umum Keadilan ………...……… 43

C. Pembagian Keadilan ………... 46


(8)

ii

1. Timbulnya Masalah Keadilan Sosial ………...…… 55

2. Subjek Utama Keadilan Sosial ……… 58

B. Dua Prinsip Keadilan Sosial ……… 60

1. Konsepsi Umum ………. 60

2. Konsepsi Khusus ………. 64

a. Prinsip Pertama ……….……… 64

b. Prinsip Kedua ……… 67

c. Hubungan antara Dua Prinsip Keadilan ..…… 70

C. Posisi Asali (Original Position) ……….. 71

1. Legitimasi Prinsip Moral ……… 72

2. Tabir Ketidaktahuan (a Veil of Ignorance) ……… 73

3. Rasionalitas dan Strategi Maximin ………..…… 75

BAB V PENUTUP ……… 81


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pokok pembahasan utama yang hendak penulis ungkapkan dalam skripsi ini adalah tentang keadilan sosial berdasarkan teori keadilan yang dikembangkan oleh John Rawls (1921-2002). Pada awalnya, ide awal penulis untuk mengangkat pembahasan skripsi mengenai John Rawls bermula ketika pada pertengahan tahun 2009 penulis melihat video acara Justice with Michael Sandel di internet. Acara ini merupakan kuliah umum yang banyak diminati dan diikuti oleh ribuan mahasiswa Universitas Harvard setiap tahunnya. Materi-materi yang dibahas ialah berkaitan dengan masalah-masalah keadilan dalam perspektif para filsuf dalam bidang filsafat politik dan moral, dan kebetulan yang penulis lihat saat itu adalah tentang pembahasan mengenai keadilan John Rawls.

Penulis sangat terkesan dengan kuliah umum tentang filsafat yang berlangsung di sebuah auditorium besar Universitas Harvard dengan setting tata cahaya dan lampu bak layaknya sebuah acara program talk show di televisi yang penuh gemerlap. Penulis terkesan karena jarang sekali ada sebuah acara yang membahas tentang filsafat dengan begitu mengasyikkan dan menghibur dan menarik minat begitu banyak mahasiswa. Program yang dipandu langsung oleh Michael Sandel, seorang profesor filsafat di Harvard, yang terkenal sebagai tokoh Neo-Aristotelian Komunitarian, berlangsung interaktif dengan audiens, dialogis, seru, dan menghibur. Ia membahas berbagai pemikiran para filsuf tentang


(10)

keadilan, di antaranya John Rawls. Dari sinilah kemudian penulis terdorong dan tertarik untuk memahami lebih lanjut tentang John Rawls.

Secara khusus, alasan pokok penulis pembahasan mengenai pemikiran Rawls didasarkan pada arti penting pemikirannya bagi perkembangan kajian filsafat politik normatif abad ke-20. Rawls, bisa dikatakan, merupakan salah satu dari pemikir-pemikir penting dalam bidang filsafat politik yang terkemuka sepanjang pertengahan abad ke-20 hingga sekarang.

Gagasan John Rawls mengenai keadilan tertuang dalam karya utamanya,

A Theory of Justice, yang diterbitkan kali pertama pada tahun 1971. Buku ini oleh banyak kalangan dianggap sebagai karya terpenting dalam bidang filsafat politik selama seratus tahun terakhir. Sebelum terbitnya A Theory, kajian filsafat politik tengah mengalami masa redup dan kelesuan serta tidak menunjukkan suatu progres yang signifikan. Hal demikian dikarenakan tidak adanya lagi karya-karya besar berpengaruh yang lahir dan muncul pasca karya John Stuart Mill pada pertengahan abad ke-19. Akan tetapi, kondisi itu sontak berubah dengan kehadiran A Theory yang mendorong dan membawa gairah serta semangat baru dalam perkembangan kajian filsafat politik.

Pasca A Theory, berbagai diskusi, kajian, artikel-artikel dan mimbar-mimbar ilmiah hingga karya-karya besar semisal Anarchy, State and Utopia karya Robert Nozick; Liberal Theory of Justice karya Brian Barry, dan sebagainya, bermunculan sebagai reaksi terhadap karya Rawls. Karya Rawls juga telah melahirkan berbagai perdebatan filosofis di berbagai universitas, buku-buku maupun jurnal-jurnal filsafat terkemuka. Di antara debat filosofis antara Rawls


(11)

dengan para kritikusnya yang paling terkemuka dan riak-riaknya masih

bergelombang hingga kini ialah debat yang dikenal dengan ―Debat Liberal

-Komunitarian‖. Debat ini melibatkan para filsuf dalam tradisi liberal yang

mewarisi filsafat Immanuel Kant (Neo-Kantian) dengan kelompok filsuf yang dikenal dengan sebutan ―Komunitarian‖ yang sangat dipengaruhi oleh filsafatnya Aristoteles, karena itu mereka juga disebut Neo Aristotelian, dengan tokoh-tokohnya seperti Michael Sandel, Charles Taylor dan lain- lain.

Pengaruh A Theory begitu luas. Selang sepuluh tahun sejak diterbitkannya, karya Rawls ini telah diterjemahkan ke dalam dua puluh tujuh (27) bahasa di dunia (termasuk bahasa Indonesia), dan juga ada sekitar 2500 artikel yang membahas tentang karya Rawls tersebut. Samuel Freeman, seorang profesor filsafat Universitas Pennsylvania, mengatakan bahwa berbagai komentar atas A Theory yang berlimpah ini menunjukkan betapa kuat dan luasnya pengaruh ide dan gagasan Rawls yang merangsang berbagai kontroversi intelektual dan filosofis.1

Secara umum, signifikansi pemikiran John Rawls dalam konteks filsafat dapat disimpulkan ke dalam sebuah catatan sebagaimana diutarakan oleh Will Kymlicka berikut ini:

―Rawls memiliki arti penting historis tertentu [pertama] dalam mendobrak kebuntutan intusionisme dan utilitarianisme. Tetapi teorinya penting karena alasan yang lain. [Kedua] Teori Rawls mendominasi filsafat politik, bukan dalam arti disepakati secara luas, sebab hanya sedikit orang yang setuju dengan seluruh teorinya, tetapi dalam arti bahwa para ahli teori yang muncul belakangan telah mempertegas dirinya berlawanan dengan Rawls. Mereka menjelaskan apa teori mereka dengan

1

Samuel Freeman (ed), The Cambridge Companion to Rawls, (New York: Cambridge University Press, 2003), h. 1


(12)

membandingkannya dengan teori Rawls. Kita tidak akan memahami karya tentang keadilan yang muncul belakangan ini jika kita tidak memahami

Rawls.‖2

Dari deskripsi mengenai arti penting teorinya keadilannya dalam kajian filsafat politik sebagaiman penjelasan penulis di atas, maka hal tersebut mendorong minat dan ketertarikan penulis untuk mengangkat dan membahas teori keadilan Rawls. Hal demikian menjadi alasan mengapa penulis mengangkat pembahasan keadilan sosial berdasarkan teori keadilan yang dikembangkan oleh Rawls. Wacana keadilan sosial yang berkembang dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh teori keadilan Rawls, sebagaimana dijelaskan Kymlicka di atas. Maka penelitian mengenai pemikiran Rawls tentang keadilan menjadi sebuah usaha dan upaya yang penting dan signifikan dalam rangka memahami lebih lanjut karya-karya tentang keadilan dewasa ini.

Dalam rangka teori keadilan, ―keadilan sosial‖ sering disebut juga sebagai

―keadilan distributif‖, di mana keduanya seringkali digunakan secara bergantian.

Keadilan distributif berkenaan dengan pembagian nikmat dan beban dalam kehidupan sosial. Jenis keadilan satu ini memiliki tradisi pemikiran panjang yang ditemukan dalam teori keadilan Aristoteles. Keadilan distributif ini berhubungan dengan masalah membagi yang adil. Keputusan dalam membagi yang adil haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara intuitif maupun rasional. Artinya, prinsip dalam membagi sesuai dengan kesadaran intuitif seseorang tentang apa yang adil (sense of justice), sekaligus sejalan dengan pertimbangan akal sehat (rasional).

2

Will Kymlicka, Pengantar Filsafat Politik Kontemporer: Kajian Khusus atas Teori-Teori Keadilan, terj. Agus Wahyudi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 70. Tanda kurung dalam kutipan di atas berasal dari penulis.


(13)

Keadilan sosial dipahami sebagai keadilan yang berkaitan dengan bagaimana seharusnya hal-hal yang enak untuk didapatkan dan yang menuntut pengorbanan, keuntungan (benefits) dan beban (burdens) dalam kehidupan sosial dibagi dengan adil kepada semua anggota masyarakat. Dengan pengertian sederhana ini, suatu kondisi sosial atau pun kebijakan sosial tertentu dinilai sebagai adil dan tidak adil ketika seseorang, atau golongan/sekelompok orang tertentu hanya mendapatkan keuntungan yang sedikit dari apa yang seharusnya mereka peroleh, atau beban yang begitu besar dari apa yang seharusnya mereka pikul.3

Dalam hal ini, pengertian ―distribusi‖ tidak boleh dipahami secara literal,

yakni seolah-olah diandaikan adanya ‗agen‘ yang bertugas membagikan atau mendistribusikan barang-barang. Melainkan ―distribusi‖, pengertiannya lebih

ditujukan pada ―cara‖ bagaimana lembaga-lembaga sosial utama menentukan hak dan kewajiban, dan mengatur pembagian nikmat dan beban dengan layak.4

Pertautan makna keadilan sosial dengan keadilan distributif menjadi semacam cara praktis untuk membedakan batas lingkup kajian keadilan sosial dengan keadilan hukum, atau keadilan retributif. Aristoteles membagi tiga macam keadilan: keadilan umum, keadilan distributif, dan keadilan retributif. Secara umum, tiga macam keadilan itu bisa disederhanakan menjadi dua saja

3

David Miller, Principles of Social Justice, (London: Harvard University Press, 1999), h. 1

4


(14)

ditinjau dari segi pokok persoalannya, yaitu: keadilan distributif dan keadilan retributif.5

Keadilan retributif berkenaan dengan ―hukuman‖ (punishment). Masalah pokoknya ialah bagaimana orang yang melakukan kesalahan dihukum dengan adil. Keadilan retributif berkenaan dengan kontrol bagi pelaksanaan keadilan distributif, lebih berhubungan dengan keadilan legal atau hukum.6 Adapun

keadilan distributif berkenaan dengan ―pembagian‖ (distribution). Masalah pokoknya berkaitan dengan bagaimana membagi dengan adil. Kendati hakikatnya berbeda, terdapat titik temu antara keduanya, yaitu setiap putusan untuk menghukum maupun membagi haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral maupun akal sehat.

Dari keduanya, keadilan distributif termasuk jenis keadilan paling penting karena terbilang banyak menimbulkan kesulitan. Soalnya, bagaimana seharusnya membagi dengan adil kepada setiap orang, karena setiap orang ingin bagian yang lebih banyak daripada bagian yang sedikit, sementara itu tidak tersedia barang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang. Semakin terbatas dan langka suatu barang atau nikmat maka ia semakin bernilai dan berharga. Barang-barang sosial yang berharga itu tidak sekedar yang bersifat immaterial semisal kekayaan dan pendapatan, tapi juga immaterial seperti kekuasaan, kebebebasan, kesempatan dan kehormatan, serta lain sebagainya. Barang-barang sosial itu harus dibagi dengan adil kepada semua orang. Dalam arti, pokok persoalan keadilan

5

John Christman, Social and Political Philosophy: A Contemporary Introduction,

(London: Routledge, 2002), h. 60

6

Bur Rasuanto, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Ra wls dan Habermas. Dua Teori Filsafat Politik Modern, (Jakarta: Gramedia, 2004), h. 6


(15)

sosial itu mencakup pembagian dalam tiga bidang, yang disebut juga sebagai masalah standar dalam keadilan sosial: politik (kuasa), ekonomi (uang), dan sosial

(status). Tiga bidang ini dalam skripsi ini kelak akan disebut dengan ―nilai-nilai

primer sosial‖.

Secara garis besar, prinsip keadilan sosial dibagi menjadi dua macam. Dua macam prinsip: prinsip formal dan prinsip substantif atau material. Kedua prinsip ini juga bisa disebut dengan keadilan formal dan keadilan substantif.7

Prinsip keadilan formal itu hanya ada satu saja, yakni prinsip persamaan.8 Prinsip ini memiliki tradisi pemikiran panjang, di mana Aristoles yang

merumuskannya. Prinsip formal berbunyi: ―equals ought to be created equally and unequals may be treated unequally‖. Prinsip ini bisa dipahami sebagai

―orang-orang yang sama‖ atau ―hal-hal yang sama‖ harus diperlakukan secara sama, sedang orang atau hal yang tidak sama boleh diperlakukan tidak sama. Akan tetapi, prinsip formal ini hanya menyajikan ―bentuk‖ dan tidak mempunyai

―isi‖.9

Memang disebutkan bahwa pada orang-orang atau hal-hal yang sama harus diperlakukan dengan cara yang sama, tetapi prinsip ini tidak menjelaskan apa yang harus dimengerti dengan ‗orang-orang yang sama‘, dan ‗hal-hal yang sama‘. Prinsip ini tidak menerangkan pada segi apa manusia atau hal-hal dan kasus-kasus tertentu harus dianggap sama atau tidak sama.

7

Morris Ginsberg, Keadilan dalam Masyarak at, (Yogyakarta: Pondok Edukasi, 2003), h. vii.

8

Dalam etika sering dikatakan, ada tiga hal umum yang selalu berkaitan dengan keadilan. (1) Keadilan selalu tertuju kepada orang lain, (2) Keadilan menuntut untuk ditegakkan (kewajiban), dan (3) Keadilan menuntut persamaan.

99


(16)

Oleh karena itu, prinsip formal sulit dijadikan pegangan untuk membagi dengan adil, maka perlu ada prinsip-prinsip substantif yang melengkapi prinsip formal. Prinsip-prinsip substantif merujuk pada salah satu aspek yang relevan yang bisa dijadikan untuk membagi hal-hal yang dicari oleh pelbagai orang. Jika prinsip formal (bentuk) hanya ada satu, ―prinsip persamaan‖, maka prinsip substantif selalu masih dalam perdebatan dan proses. Kendati begitu, ada pandangan yang dominan dan menjadi pandangan umum yang melandasi berbagai teori-teori keadilan kontemporer ini ialah ―egalitarianiasme‖. Egalitarianisme adalah nilai dasar bagi wacana keadilan sosial. Dalam hal ini kita patut mencermati apa yang dikatakan oleh Will Kymlicka mengenai teori egalitarianisme berikut ini:

―…Setiap teori memiliki nilai utama yang sama, yaitu persamaan (equalitiy). Semuanya merupakan teori-teori ‗egalitarian‘. Pernyataan semacam ini jelas tidak benar, jika yang kita maksudkan adalah dengan

‗teori egalitarian‘ adalah teori yang mendukung distribusi pendapatan yang

merata. Namun ada gagasan lain, yang lebih abstrak dan fundamental, tentang persamaan dalam teori politik, yaitu gagasan mengenai

memperlakukan orang ‗secara sama‘. Ada banyak cara untuk meng -ungkapkan gagasan tentang persamaan yang lebih mendasar ini. Sebuah teori adalah egalitarian menurut pengertian ini jika teori tersebut menerima bahwa kepentingan tiap-tiap anggota masyarakat itu penting dan sama-sama penting. Dengan kata lain, teori egalitarian mensyaratkan bahwa pemerintah memperlakukan warga negara dengan pertimbangan yang sama…Jadi, gagasan tentang persamaan yang bersifat abstrak dapat ditafsirkan dengan berbagai cara, tanpa harus mendukung persamaan dalam bidang khusus tertentu, apakah itu pendapatan, kekayaan, kesempatan, atau kebebasan. Mana bentuk khusus persamaannya yang diminta oleh gagasan memperlakukan orang secara sama yang lebih abstrak, itu merupakan masalah yang menjadi perdebatan berbagai

teori...‖10

10


(17)

Dengan demikian, prinsip persamaan adalah nilai dasariah dari keadilan sosial.11 Gagasan persamaan tidak dipahami sebagai persamaan dalam distribusi atau pembagian, tetapi persamaan dalam memperlakukan manusia dengan sama. Manusia itu pada hakikatnya sama, dalam arti martabatnya.

Pandangan egalitarianisme ini mendapat simpati luas. Semua manusia pada hakikatnya memang sama dari segi martabat. Tidak ada martabat manusia satu lebih tinggi daripada manusia lainnya. Pemikiran ini merupakan keyakinan umum sejak zaman modern, artinya sejak Revolusi Perancis menumbangkan monarki absolut dan feodalisme. Dalam artikel pertama dari ―Deklarasi Hak

Manusia dan Warga Negara‖ (1789) yang dikeluarkan pada waktu Revolusi Perancis dapat dibaca: ―manusia dilahirkan bebas serta sama haknya, dan mereka tetap tinggal begitu‖.

Dalam konteks filsafat, pandangan ini umumnya didasarkan pada paham deontologis dalam etika Immanuel Kant. Kant beranggapan bahwa manusia itu menduduki wilayah ciptaan yang istimewa. Menurut pandangannya, manusia

mempunyai ―nilai instrinsik‖, yakni martabat, yang membuatnya bernilai

―mengatasi segala harga‖. Manusia adalah tujuan pada dirinya sendiri, tidak boleh

diperlakukan sebagai alat.12 Dalam konteks keadilan sosial, pandangan deontologis tidak mengijinkan martabat manusia dikorbankannya demi kepentingan atau pun manfaat ekonomi, politik dan lainnya. Hal inilah yang membuat prinsip utilitarianisme ditolak sebagai landasan bagi konsep keadilan

11 Agus Wahyudi, ―Filsafat Politik Barat dan Masalah Keadilan: Catatan Kritis atas

Pemikiran Will Kymlicka‖ dalam Jurnal Filsafat, April 2004, Jilid 36, Nomor 1

12 Onora Oneil, ―Catatan Sederhana Tentang Etika Kant‖, dalam

Etik a Terapan I, ed. Lary May, dkk, terj. Sinta Carolina, dkk, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), 51-54


(18)

sosial, karena menempatkan mengorbankan hak dan martabat manusia demi kepentingan umum.

Lebih lanjut, kesepakatan bersama mengenai apa yang tidak adil, ketidakadilan sosial, lebih sering tercapai ketimbang sebaliknya. Masyarakat umumnya memiliki perasaan keadilan (sense of justice) yang cukup peka untuk menilai suatu hubungan-hubungan sosial atau kondisi sosial tertentu sebagai tidak adil. Tapi berbeda halnya untuk menentukan kondisi atau hubungan sosial sebagai adil. Karena kesadaran keadilan masyarakat bukan sesuatu yang sudah jadi melainkan terus berproses dalam kerangka dialogis.

Dalam arti, keadilan sosial, secara negatif, relatif mudah ditentukan, namun penentuan positif mengenai kondisi sosial dan hubungan-hubungan sosial mana yang dapat disebut adil seringkali sulit dicapai kesepakatan. Untuk itu, kesadaran intuitif masyarakat mengenai apa yang adil dan tidak adil saja tidak cukup dalam membangun konsep keadilan sosial, maka kita perlu teori untuk memperjelas kesadaran moral atau sentimen moral mengenai apa yang adil tersebut dalam bentuk yang lebih jelas. Inilah tugas teori keadilan.

Sebagaimana penulis jelaskan bahwa putusan moral mengenai pembagian yang adil itu haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara intuitif maupun rasional. Inilah peran teori keadilan untuk menyelaraskan apa yang secara intuitif disebut adil, kemudian mempertanggungjawabkan, membenarkan atau menjustifikasinya di hadapan argumen rasional. Dalam teori keadilan Rawls, hal ini disebut dengan reflective equilibrium, keseimbangan antara argumen intuitif dengan argumen rasional.


(19)

Itulah poin-poin penting yang penulis anggap patut dicermati dalam analisis keadilan sosial di dalam skripsi ini.

Bagi Rawls, kesepakatan bersama mengenai keadilan sosial, atau apa yang adil dan tidak adil, dalam kehidupan sosial masyarakat modern yang pluralistik adalah sesuatu hal yang menjamin integritas sosial, stabilitas, dan keberlanjutan sebuah masyarakat. Prinsip keadilan sosial dibutuhkan untuk mengatur cara bagaimana lembaga-lembaga sosial utama mendistribusikan hak dan kewajiban, nikmat dan beban hasil kerja sama sosial masyarakat itu dengan adil kepada semua anggota masyarakat. Prinsip-prinsip keadilan sosial itu hanya dapat secara efektif mengatur masyarakat hanya apabila ia dapat diterima oleh semua orang. Akseptabiltias publik atau penerimaan semua orang terhadap prinsip keadilan sosial yang akan mengatur mereka apabila prinsip-prinsip itu mampu menjamin dan mengakomodasi kepentingan semua orang, khususnya orang-orang yang lemah secara ekonomi dan sosial.

Bagi Rawls, prinsip keadilan sosial bagi Rawls tidak sekedar mendistribusikan nilai-nilai sosial primer dengan adil, melainkan juga bagaimana prinsip distributif itu bisa diterima oleh semua orang. Lebih jauh, prinsip-prinsip keadilan sosial Rawls diposisikan landasan dasar bagi sebuah kerja sama sosial sebuah masyarakat yang tertata dengan baik (well-ordered society). Masyarakat tertata dengan baik dalam studi filsafat politik merupakan sebuah konsepsi ideal mengenai bagaimana seharusnya masyarakat diatur dengan baik. Sebagaimana diketahui, filsafat politik menuntut agar segala klaim atas hak untuk


(20)

mengatur masyarakat dipertanggungjawabkan pada prinsip-prinsip moral dasar. Dalam hal ini, keadilan adalah prinsip moral dasar.

Rawls adalah seorang pendukung egalitarianisme. Dalam arti, ia setuju bahwa nilai dasariah keadilan sosial adalah prinsip persamaan. Kendati begitu, Rawls bukan seorang egalitarian radikal dalam arti ia juga menerima prinsip ketidaksamaan. Prinsip persamaan baginya bukan persamaan dalam distribusi atau pembagian, melainkan persamaan manusia dari segi martabatnya. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip keadilan sosialnya menempatkan manusia sebagai tujuan utama, bukan sekedar alat. Hal ini dapat dipahami karena ia merupakan seorang Neo-Kantian. Dengan ini, utilitarianisme ditolak olehnya sebagai basis bagi keadilan sosial, karena sifatnya yang teleologis –yang-manfaat (the good)

prioritas yang-hak (the right)— konsekuensinya utilitarianisme meletakkan manusia sebagai alat dan sarana belaka untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagian. Karena itulah keadilan sosial tidak dapat dijamin oleh utilitarianisme. Sementara itu, basis keadilan sosial Rawls sendiri didasarkan pada landasan deontologis, yakni yang-hak prioritas atas yang manfaat. Manusia adalah tujuan pada dirinya sendiri. Martabat manusia itu harus dihormati, tapi martabat manusia itu ditandai dari segi apa? Tegasnya Rawls berusaha mereflesikan inti persamaan itu dalam kehidupan sosial. Karena itu, prinsip keadilan sosial adalah prinsip substantif, bukan prinsip formal.

Dengan demikian, Rawls mengakomodasi prinsip persamaan sebagai nilai dasariah bagi keadilan sosial, tapi juga sekaligus menerima prinsip ketidaksamaan. Tegasnya konsep keadilan sosialnya menyusur pada dua tepi:


(21)

kesamaan dan ketidaksamaan. Akan tetapi, apa yang harus dibagi secara sama, dan juga apa yang boleh dibagi dengan tidak sama. Yang paling penting ialah sebatas mana ketidaksamaan itu diperbolehkan. Lalu, hal-hal apa saja yang harus dibagi dengan adil kepada semua orang. Apakah terbatas pada nikmat-nikmat sosial, atau juga mencakup nikmat alamiah semisal, kecerdasan, kepintaran dan sebagainya. Kemudian, juga penting ialah bagaimana ia menemukan prinsip-prinsip keadilan sosial itu? Karena sebagaimana diketahui, prinsip-prinsip keadilan sosial adalah prinsip moral. Dalam arti, prinsip keadilan adalah perkara moral, jadi tidak dideduksi dari prinsip yang terbukti benar begitu saja, sebagaimana prinsip

Cartesian.

Tegasnya, prinsip moral itu harus sesuai dengan kesadaran moral intuitif (subjektif), tapi bagaimana prinsip keadilan sosialnya dapat dipertanggung-jawabkan secara rasional (objektif) tanpa harus bertentangan dengan intuisi. Ini tak lepas dari tujuannya bahwa integritas sosial dan stabiltas masyarakat hanya tercapai apabila prinsip keadilan sosial itu adalah manifestasi kehendak umum, hasil kesepakatan bersama. Ini mengungkapkan gagasan utamanya teorinya yang disebut dengan justice as fairnees. Maksudnya, prinsip-prinsip keadilan sosial merupakan hasil kesepakatan orang-orang yang rasional, bebas, dan setara dalam situasi awal persamaan yang fair.

Alhasil, dengan berbagai latar belakang masalah dan pertimbangan yang

ada, maka skripsi ini penulis beri judul: ―Konsep Keadilan Sosial Menurut John

Rawls”. Pijakan sederhananya, keadilan sosial adalah keadilan yang berkaitan dengan pembagian nikmat dan beban dalam masyarakat sebagai sebuah bentuk


(22)

kerja sama sosial, di mana manifestasi kerja sama sosial itu termanifestasi dalam lembaga yang disebut negara. Konsep keadilan sosial berkaitan dengan prinsip-prinsip yang mengatur pembagian tersebut. Dengan demikian, teori keadilan berusaha merumuskan prinsip-prinsip dasar bagi terwujudnya masyarakat yang adil, di mana nilai-nilai sosial primer bisa terbagi dengan adil kepada semua anggota masyarakat. Bagi Rawls, hal demikian sama dengan mempertanyakan apa prinsip-prinsip dasar bagi terwujudnya masyarakat yang adil.

B. TINJAUAN PUSTAKA

Pemikiran John Rawls memiliki pengaruh besar dan arti penting dalam memengaruhi perkembangan wacana filsafat abad ke-20. Maka tak heran apabila ada banyak karya atau buku-buku yang juga mengupas dan menjelaskan pemikiran Rawls. Di antara penulis Indonesia yang telah mengupas pemikirannya antara lain: (1) Bur Rasuanto dengan bukunya yang berjudul Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas (2004); dan (2) Andre Ata Ujan dengan bukunya, Keadilan dan Demokrasi: Telaah Filsafat Politiik John Rawls

(2001).

Buku pertama, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas, merupakan disertasi Bur Rasuanto yang diterbitkan oleh penerbit Gramedia. Pokok kajian dalam buku ini kajian komparatif antara teori keadilan kontrak John Rawls dan teori diskurus Jurgen Habermas. Rasuanto menggunakan

istilah ―keadilan sosial‖ sebagai judul bukunya, namun ia menerangkan bahwa istilah ―keadilan sosial digunakan sebagai istilah umum‖. Lebih lanjut, buku ini


(23)

membangun persetujuan konsensus bersama tentang prinsip-prinsip dasar bagi masyarakat modern. Titik tekan buku ini ialah mengelaborasi titik persamaan dan perbedaan serta posisi antara teori diskursus Habermas dalam hubungannya dengan teori keadilan kontrak Rawls. Dalam hasil penelitiannya itu, Rasuanto menjelaskan bahwa teori keadilan kontrak Rawls merupakan justifikasi bagi teori diskursus Habermas.

Dalam menerangkan teori keadilan Rawls, Rasuanto berpegang dan bertolak dari pertanyaan yang diajukan Rawls dalam bukunya, Political Liberalism (1993). Rasuanto menulis rumusan masalah bukunya, ―bagaimanakah suatu masyarakat stabil dan adil yang warganya bebas dan sederajat namun secara mendalam terpecah dalam doktrin-doktrin moral, filsafat, dan agama yang saling berkonflik bahkan tidak dapat didamaikan itu mungkin‖.13 Pertanyaan ini adalah pertanyaan dasar yang diajukan Rawls dalam Political Liberalism (1993).

Buku Rawls ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari ide-ide dan gagasan yang dikemukakannya dalam A Theory of Justice (1971), di mana ia melihat toleransi merupakan salah satu ciri atau nilai yang harus ada dalam masyarakat modern. Jadi, Rasuanto membicarakan teori keadilan Rawls berikut pergeseran pemikirannya dari dalam A Theory of Justice ke konsepsi keadilan politik dalam

Political Liberalism.

Sementara buku kedua, Keadilan dan Demokrasi: Telaah Filsafat Politik John Rawls, merupakan karya tesis Andre Ata Ujan yang diterbitkan oleh penerbit Kanisus tahun 2001. Di buku ini, Ata Ujan mengelaborasi teori keadilan Rawls

13


(24)

dalam hubungannya dengan masalah demokrasi, dan juga bagaimana implikasi teori tersebut dalam penataan politik dan ekonomi. Kajian buku ini berusaha mencari dan menemukan elemen-elemen fundamental dari teori keadilan Rawls yang dapat diterapkan pada masalah- masalah dalam masyarakat demokrasi.

Dalam kaitannya dengan skripsi ini, pembahasan skripsi ini tidak mengelaborasi masalah-masalah yang diungkapkan Rawls dalam bukunya

Political Liberalism, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasuanto. Kemudian, penulis juga tidak membahas bagaimana implikasi dan penerapan teori Rawls dalam penataan ekonomi dan politik dalam masyarakat demokrasi. Penulis dalam dalam hal ini, membatasi pembahasan skripsi ini lebih kepada teorinya yang dikembangkan oleh Rawls dalam A Theory of Justice (1971), dan juga tidak berusaha membahas mengenai pergeseran pemikirannya dalam Political Liberalism. Hal ini dikarenakan masalah yang berusaha penulis kaji di sini fokus pada bagaimana Rawls merefleksikan substansi keadilan sosial. Penulis juga lebih condong menggunakan logika pembahasan yang digunakan Rawls sendiri dalam menerangkan teorinya dalam A Theory of Justice, di mana ia membagi teori keadilan-nya menjadi dua bagian, isi (content) dan metode (method). Menurut Paul Graham, teori keadilan Rawls membagi teorinya menjadi dua bagian. Bagian pertama membahas mengenai metode (method) Rawls menemukan

prinsip-prinsip keadilan sosial. Bagian kedua membahas mengenai ―isi‖ atau ―substansi‖ dari prinsip-prinsip keadilan sosial. Dua bagian ini bukan dua hal yang terpisah,


(25)

melainkan satu kesatuan yang membentuk konsepsinya tentang keadilan sosial ideal. 14

C. BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH

Dari uraian dalam latar belakang masalah dan tinjauan pustaka di atas, maka agar pembahasan mengenai keadilan sosial di sini tidak terlalu melebar, penulis akan membatasi pembahasan ini pada konsepsi keadilan sosial yang ditawarkan John Rawls dengan mengurai teorinya dan perspektif yang diajukannya.

Dengan pembatasan masalah seperti ini, maka permasalahan yang akan menjadi objek dan fokus penulisan ini adalah bagaimana konsepsi keadilan sosial menurut John Rawls.

D. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami secara lebih jelas konsepsi ideal yang ditawarkan oleh John Rawls mengenai keadilan sosial. Serta melakukan analisis kritis terhadapnya. Sementara kegunaan penelitian ini adalah untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut:

1. Mengetahui bagaimana timbulnya masalah keadilan sosial, sumber ketidakadilan sosial, dan apa saja yang harus dibagi dengan adil kepada semua anggota masyarakat?

2. Mengetahui prinsip-prinsip dasar bagi terwujudnya sebuah masyarakat yang adil

14


(26)

3. Mengetahui metode dalam membangun sebuah konsensus rasional dalam merumuskan prinsip-prinsip keadilan substantif.

4. Mengetahui konsepsi ideal mengenai keadilan sosial bagi terciptanya sebuah masyarakat yang tertata dengan baik, atau mengetahui bagaimana seharusnya masyarakat diatur dengan baik dan benar?

E. METODOLOGI PENELITIAN DAN TEKNIK PENULISAN

Dalam menyusun skripsi ini, penulis menggunakan satu metodelogi penelitian, yaitu studi kepustakaan. Studi kepustakaan bertujuan untuk memperoleh data melalui sumber bacaan meliputi buku-buku dan artikel yang ditulis oleh John Rawls, khususnya buku A Theory of Justice15 yang memuat secara lengkap teorinya. Selain itu studi kepustakaan ini akan diperkaya dengan sejumlah data yang ditulis oleh penulis lain mengenai Rawls atau mengenai teorinya, atau juga mengenai keadilan sosial secara umum dan lain sebagainya yang berkenaan dengan pembahasan skripsi.

Sementara teknik penulisan dalam karya tulis ini, analisis data yang digunakan bersifat kualitatitf dengan teknik pembahasan deskriptif analitis yang bertujuan menggambarkan konsep keadilan sosial ideal menurut John Rawls.

Tentu saja, pengumpulan data, pembahasan masalah, dan penulisan dalam skripsi ini disesuaikan dengan Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, Dan Disertasi) yang diterbitkan Center for Quality Development and Assurance

(CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

15

Dalam skripsi ini penulis menggunakan A Theory of Justice edisi terjemahan bahasa Indonesia, dengan judul Teori Keadilan: Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudk an Kesejahteraan Sosial dalam Negara, terj. Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)


(27)

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Setelah penulis memaparkan latar belakang masalah, pokok-pokok masalah, tujuan, metode, serta sistematika penulisan, pada bab BAB II penulis mencoba memaparkan dengan jelas riwayat hidup, latar belakang pendidikan, karya-karya tulis ilmilahnya, dan latar belakanng tradisi pemikirannya.

Pada BAB III, penulis akan menyajikan tinjauan umum atas teori keadilannya. Penjelasan pada ini bertujuan memberikan pemahaman umum mengenai teorinya sebelum memasuki konsepsinya mengenai keadilan sosial. Di BAB III ini, penulis sudah mulai memasuki bagian teorinya. Kendati demikian, poin-poin yang dijelaskan lebih pada pokok-pokok atau gambaran besar dari teorinya. Dengan demikian, tidak ada terjadi tumpang tindih dengan bab setelahnya, dan justru menjadi batu pijakan awal yang lebih mudah dalam memahami pembahasan bab selanjutnya. Pokok-pokok teorinya yang akan dibahas adalah tujuan dan latar belakang teorinya, gagasan utama teorinya,

Justice as Fairness‖, dan metode yang digunakan dalam teori keadilannya. Uraian dalam BAB IV dibagi menjadi tiga bagian. Pada bagian pertama

penulis menguraikan lebih dahulu mengenai lingkup masalah keadilan sosial. Pembahasan ini mencakup timbulnya masalah keadilan sosial, subjek utama keadilan sosial, dan nilai-nilai sosial primer, yakni hal-hal yang harus dibagi dengan adil kepada semua orang.

Lalu bagian kedua menguraikan mengenai isi dari prinsip-prinsip keadilan sosial yang dikemukan secara intuitif oleh Rawls, yakni dua prinsip keadilan sosial. Uraian di sini meliputi prinsip pertama, prinsip kedua, dan hubungan atau


(28)

aturan prioritas antara kedua prinsip tersebut. Dan bagian ketiga, uraiannya mengenai syarat prinsip keadilan sosial yang harus disepakati oleh semua orang. Dalam hal ini penulis menjelaskan posisi asali, yakni metode yang digunakan dalam menjustifikasi prinsip keadilan sosialnya.


(29)

BAB II

BIOGRAFI JOHN RAWLS

A. Riwayat Hidup Dan Pendidikan John Rawls

John (Jack) Bordley Rawls lahir pada 21 Februari 1921 di Balltimore, Maryland, Amerika Serikat. Dia anak kedua dari pasangan William Lee dan Anna Abell Stump. William Lee dan Anna Rawls memiliki lima orang putra: William Stowe (Bill), John Bordley (Jack), Robert Lee (Bobby), Thomas Hamilton (Tommy), dan Richard Howland (Dick). Kedua orang tuanya berasal dari keluarga yang mapan. Kakek-nenek Rawls dari garis ibunya adalah keluarga kaya yang tinggal di Greenspring Valley, sebuah daerah elit pinggiran kota Balltimore. Kekayaan yang begitu banyak itu berasal harta warisan, seperti tambang minyak dan batubara di Pennsylvania. Mereka dikaruniai empat orang putri: Lucy, Anna (ibu Rawls), May, dan Marnie.1

Keluarga Rawls berasal dari Utara, dimana nama ‗Rawls‘ masih cukup lazim digunakan. Kakek dari garis ayahnya, William Stowe Rawls, adalah seorang bankir di sebuah kota kecil dekat Greenville, Carolina Utara. Karena menderita penyakit TBC (tuberculosis), William Stowe pindah bersama istri beserta ketiga anaknya ke Balltimore pada tahun 1895 agar lebih dekat dengan Rumah Sakit Universitas Johns Hopkins. Pasca pindah ke Balltimore, Ayah Rawls, William Lee menderita TBC selama beberapa tahun, dan kesehatannya yang tidak baik itu terus berlanjut hingga masa mudanya. Karena tidak cukup

1

Thomas Pogge, John Rawls: His Life and Theory of Justice, transl. Michlle Kosch, (New York: Oxford University Press, 2007), h. 4


(30)

biaya, William Lee terpaksa putus sekolah. Di usia 14 tahun, ia telah bekerja sebagai pembantu di sebuah kantor hukum. Pekerjaannya itu pun membuka jalan kesempatan bagi William Lee muda untuk membaca buku-buku hukum yang ada di situ pada malam harinya. Ia mendidik dirinya sendiri dengan cukup baik sehingga berhasil lulus ujian pengacara tanpa pendidikan formal apa pun. Dan ia pun akhirnya menjadi seorang pengacara kondang, memiliki kantor hukum sendiri dan terpilih menjadi ketua asosasi pengacara di Balltimore pada tahun 1919.2

Kedua orang tua Rawls memiliki minat yang kuat terhadap politik. Ayahnya merupakan pendukung Liga Nasional, dan kawan akrab sekaligus penasehat pribadi Albert Ritchie, seorang Gubernur Maryland dari Partai Demokrat (1924-1936). Ia juga pernah menjadi penaseha t hukum Franklin D. Roosevelt. Adapun ibu Rawls adalah perempuan pendukung0020gerakan feminisme. Ia pernah menjabat sebagai presiden dari League of Women Voters di daerah kediamannya. Karena latar belakang kedua orang tuanya itu, Rawls

disebut memiliki ―darah biru‖ oleh sebagian sahabatnya. Hal itu membuat Rawls

memiliki sense of noblese oblige.3

Pengalaman tragis di masa kecil Rawls yang sangat menggoncang keadaan jiwanya adalah ketika ia harus kehilangan dua orang adiknya, Bobby dan Tommy , akibat tertular penyakit yang diderita oleh Rawls. Bobby –usianya lebih muda 21 bulan- meninggal pada tahun 1928 setelah tertular penyakit diphteria dari Rawls yang saat itu justru kondisinya justru semakin berangsur pulih. Sementara itu, Tommy meninggal pada tahun berikut, tepatnya di bulan Febuari 1929, juga

2

Thomas Pogge, John Rawls, h. 4-5

3


(31)

setelah tertular penyakit pheunomia yang diderita oleh John Rawls. Sebagaimana yang terjadi pada Bobby, Tommy juga meninggal ketika Rawls tengah berangsur pulih dari penyakitnya. Menurut penuturan ibunya, kejadian tragis itu telah mengoyak batin Rawls dan ‗memicu‘ bicara Rawls menjadi tidak lancar (gagap), dan hal itu semakin bertambah parah di masa tuanya.4 Demikian riwayat masa kecilnya.

Di samping itu, ada beberapa pengalaman masa kecil Rawls yang memengaruhi kesadarannya akan keadilan. Kepekaan Rawls terhadap masalah keadilan dan sesamanya tidak terlepas dari berbagai pengalaman masa kecilnya. Pengaruh itu antara lain berasal dari ibunya yang merupakan seorang pejuang hak-hak kaum perempuan. Selain itu, semasa kecil ia mengalami secara langsung berbagai bentuk diskriminasi ras dan kelas sosial, di kota tempat ia tinggal. Hampir 40 persen kota Balltimore itu penduduknya adalah orang-orang berkulit hitam.

Rawls melihat langsung perlakuan yang membeda-bedakan manusia dari warna kulitnya. Perlakuan berbeda atas para warga kulit hitam tampak jelas baginya. Anak-anak berkulit hitam belajar di sekolah yang berbeda dan terpisah dari anak-anak berkulit putih. Bahkan ibunya sendiri pun melarang dirinya bergaul dengan anak-anak kulit hitam. Ibunya sempat marah besar kepadanya ketika ia bermain ke rumah temannya yang berkuli hitam di daerah perkumuhan. Hal itu karena Rawls sering bermain ke rumah anak itu yang berada di daerah

4


(32)

perumahan kumuh dan sempit yang menjadi ciri khas tempat tinggal orang-orang berkulit hitam.5

Di samping itu, masih ada lagi peristiwa yang membuka kesadarannya akan keadilan, yakni ketika ia melihat langsung kehidupan kaum miskin kulit putih di desa Brooklin, tidak jauh dari rumah singgahnya selama musim panas. Hampir kebanyakan masyarakat desa tersebut berprofesi sebagai nelayan dan penjaga dari rumah-rumah musim panas yang banyak di daerah itu.

Pergaulannya yang luas dengan anak-anak miskin setempat membuka kesadarannya bahwa kemiskinan yang dialami sebagian besar mereka telah mempersempit peluang mendapat pendidikan dan masa depan yang lebih baik. Kondisi yang amat berbeda dengan kota di mana ia tinggal.6 Pengalaman masa kecilnya tersebut meninggalkan kesan yang begitu kuat sehingga telah menggoreskan dan membangkitkan serta menumbuhkan sense of justice dalam dirinya.

Lebih lanjut, mengenai pendidikan Rawls. Pendidikan dasar Rawls dimulai di sekolah umum di kota Balltimore, tempat tinggalnya. Selesai di sekolah itu, ia pun melanjutkan sekolah menengahnya di Kent, sebuah lembaga pendidikan swasta di Connecticut, yang terkenal dengan mutu dan disiplinnya yang tinggi. Di Connecticut ini pula Rawls memasuki suatu fase religius dalam pengalaman hidupnya. Meski fase ini tidak berlangsung lama dan juga tidak mendorong Rawls untuk menjadi seorang religius dalam arti konvensionalnya. Kendati begitu, fase ini telah membawa pengaruh yang besar di dalam hidupnya.

5

Thomas Pogge, John Rawls, h. 6-7

6


(33)

Nilai-nilai religius bahkan cukup kuat tertanam di dalam dirinya. Oleh karena itu, Rawls dikenal memiliki kepekaan religius yang relatif lebih tinggi dibanding dengan rekan-rekannyanya sesama liberal.7

Pada tahun 1939, Rawls melanjutkan pendidikan tingginya di Universitas Princeton. Disini ia bertemu dan berkenalan dengan Norman Malcolm salah seorang sahabat dan pengikut Wittgenstein. Perkenalannya dengan tokoh inilah yang menimbulkan minat Rawls terhadap filsafat. Rawls menyelesaikan studinya di Universitas Princeton dalam waktu singkat.

Selepas itu, ia masuk wajib militer dan ikut terlibat pertempuran pertama kali dalam Perang Pasifik. Rawls juga sempat ditempatkan di Papua Nugini, Filipina, dan Jepang. Selama masa tugas milter ini Rawls mengalami pengalaman paling buruk sepanjang hidupnya. Tujuh belas temannya satu angkatan di Universitas Princeton mati terbunuh, dan dua puluh tiga orang lainnya dari angkatan di bawahnya juga meninggal karena keganasan perang.

Inilah mungkin, menurut kesaksian teman-temannya, alasan kenapa Rawls tidak pernah mau bercerita mengenai pengalamannya sebagai tentara. Masa perang, khususnya peristiwa pengeboman kota Hiroshima pada bulan Agustus 1945, telah menggoreskan pengalaman yang mengerikan bagi Rawls. Ketika pesawat-pesawat tempur Amerika Serikat menjatuhkan bom untuk mengakhiri perlawanan Jepang, Rawls tengah bertugas di Pasifik.8

Selama kariernya, Rawls hampir tidak pernah menulis tentang pengalamannya pada masa perang dunia tersebut. Setelah lima puluh tahun

7

Andre Ata Ujan,: Keadilan dan Demok rasi: Telaah Filsafat Politik John Rawls,

(Yogyakarta: Kanisius, 2001), h.14


(34)

kemudian, Rawls menulis artikel dalam jurnal politik Amerika, Dissent, terkait pengalaman buruknya semasa perang. Dalam artikel tersebut, Rawls mengecam keras penguasa Amerika Serikat atas keputusannya mem-bom atom Jepang. Ini adalah satu-satunya artikel yang pernah ditulis Rawls sebagai tanggapannya atas situasi politik konkret.9

Menurutnya, keputusan yang pada akhirnya membawa akibat jatuhnya banyak korban dari warga sipil itu adalah suatu kesalahan terbesar yang tidak pernah bisa diterima. Pada waktu itu, sesungguhnya tidak ada krisis sedemikian gawat yang dapat dijadikan dasar. Meski demikian, bom atas kota Nagasaki dan Hiroshima sesungguhnya membawa nasib baik juga bagi Rawls. Seandainya keputusan membom atom kota tersebut tersebut tidak diambil, Rawls bersama-sama temannya besar kemungkinan juga akan segera dikirim untuk berperang di Jepang. Dan Rawls sendiri pun mungkin akan menjadi salah satu korban keganasan perang.10

Pengalaman perang bagi Rawls sedemikian buruknya hingga ia lebih memilih mundur ketika pangkatnya akan dinaikkan menjadi perwira. Ia bahkan menjadi sangat benci pada perang. Pada tahun 1946, Rawls keluar dari dinas militer dan memilih menjadi orang sipil. Rawls pun kemudian ikut bergabung dengan kelompok Harvard yang menentang perang Vietnam, dan menolak pengiriman mahasiswa untuk ikut wajib militer.

Kemudian, Rawls akhirnya menjalani hidupnya dengan kembali ke dunia kampus untuk belajar kembali di almamater sebelumnya. Ia menulis disertasi

9

Joe Mandle, Rawls’s ‘A Theory of Justicean Introduction, (New York: Cambridge University Press, 2009) , h. 6-7

10


(35)

untuk menjadi doktor dalam bidang filsafat moral. Pada tahun 1945-1950, tahun terakhir kuliahnya, Rawls sempat mengambil mata kuliah teori politik. Pengetahuannya dalam bidang inilah yang kemudian mendorongnya lebih jauh untuk menulis sebuah risalah mengenai keadilan. Oleh karena itu, apabila dihitung dari tahun pertama munculnya ide untuk menulis risalah tersebut, maka boleh dikatakan bahwa Rawls memerlukan 20 tahun untuk mempersiapkan lahirnya A Theory of Justice.11

Pasca studi doktoralnya, ia mengajukan diri untuk menjadi pengajar. Meski Rawls adalah seorang yang brilian, tetapi Princeton rupanya tidak terarik untuk meliriknya. Karena itu, Rawls akhirnya menerima tawaran untuk memberi

kuliah di Oxford. Di universitas inilah Rawls mulai merumuskan konsep ―the original position‖, meskipun konsep tersebut secara matang baru muncul ketika ia

memperbaiki gagasannya mengenai "the veil of ignorance‖. Di Universitas

Oxford, Rawls setahun memberi perkuliahan. Pada tahun 1953, Rawls menulis

artikel ―Justice as Fairness‖ yang merupakan gagasan inti teori keadilannya.

Ketika itu, Rawls berusia 30-an tahun dan artikel tersebut merupakan artikelnya yang ketiga. Pada tahun 1960, draft A Theory of Justice

diperkenalkannya di dalam sebuah seminar. Draft awal teori keadilan ini terus digumulinya secara tekun sampai pada akhirnya siap diterbitkan sebagai bukunya pada tahun 1971. Pada awal tahun 1960-an, Rawls mendapat sebuah kedudukan penting di Massachussets Institute of Technology (MIT). Akan tetapi, dua tahun kemudian ia pindah ke universitas Harvard dan menjadi guru besar di universitas

11


(36)

tersebut hingga akhir hidupnya. Setelah terbit A Theory of Justice, Rawls masih terus rajin menulis berbagai artikel. Dalam arti tertentu, artikel-artikel ini menjelaskan lebih lanjut bahkan mengoreksi sebagian gagasannya di dalam A Theory of Justice, sebuah master piece yang telah menghantarnya menjadi filsuf terkemuka di dalam bidang filsafat moral dan politik. Pelbagai karangan itulah yang kemudian di-edit dan diterbitkan dalam bukunya Politcal Liberalism, 1993.12

Rawls menikah dengan Margaret Fox, seorang pelukis yang baru lulus dari bangku Universitas Brown, pada tahun 1949. Rawls sendiri juga dikenal sebagai seorang pengamat dan kritikus seni, khususnya seni Amerika. Pandangannya mengenai seni ini juga banyak membantu karya seni istrinya. Sebaliknya, istrinya pun sangat mendukung kariernya. Pada saat menghabiskan bulan madunya, mereka bersama-sama menyusun indeks sebuah buku mengenai Nietzsche yang ditulis oleh Walter Kauffman.

Hingga menjelang masa pensiunnya, Rawls masih mengajar di Universitas Harvard. Aktivitas itu akhirnya berhenti setelah ia terkena serangkaian stroke yang membuat diri makin lemah hingga tidak lagi mampu mengajar. Dan pada tahun 2002, Rawls meninggal dunia akibat gagal jantung di rumahnya di Lexington, Mass. Dia meninggalkan istrinya, Margaret Warfield Fox Rawls, empat anak - Anne Warfield, Robert Lee, Alexander Emory, dan Elizabeth Fox - dan empat cucu.13

***

12

Joe Mandle, Rawls’s ‘A Theory of Justice‘.

13Ken Gewertz, ―John Rawls, Influental Political Philosopher Dead at 81‖, artike

l diakses pada 1 Maret 2009 dari http://www.news.harvard.edu/gazette/2002/11. 21/99- rawls.html


(37)

B. Karya-Karya Ilmiah Dan Pengaruhnya

Rawls adalah seorang pemikir yang produktif dalam menuangkan gagasannya ke dalam tulisan. Gagasan Rawls tersebar dalam bentuk artikel ilmiah maupun buku. Artikel-artikel tersebar di berbagai jurnal filsafat terkemuka seperti

Philosophical Review,dan Journal Philosophy, maupun di dalam buku-buku yang membahas tema-tema tertentu. Oleh karena itu, karya-karya Rawls disini dibagi dalam dua bagian: buku dan artikel. Karya-karya Rawls yang berupa artikel antara lain:

1. ―Review of An Examination of The Place of Reason in Ethics‖, artikel dalam jurnal Philosophical Review, 1951

2. ―Justice as Fairness‖, 1954. Artikel Rawls dalam jurnal Philosophical

Review yang merupakan gambaran dan ide dasar awal tentang gagasan utama tentang keadilan yang kemudian secara komprehensif dijelaskan dalam bukunya A Theory of Justice.14

3. ―Replay to Lyon and Teitleman‖, artikel dalam Journal of Philosophy,

1972

4. ―Fairness to Goodness‖. Artikel dalam jurnal Philosophical Review,

1975.15

5. ―Kantian Constructivism in Moral Theory‖. Artikel Rawls dalam Journal of Philosophy, 1980.

6. ―Basic Liberties and Their Priority. Artikel Rawls dalam buku Liberty, Equality and Law, 1987.

14

Bur Rasuanto, Keadilan Sosial,Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas: (Jakarta, Gramedia, 2004), h. 25

15


(38)

7. ―Themes in Kant‘s Moral Philosophy‖, artikel Rawls dalam buku Kant’s

Trancendental Deductions: The Three Critiques and Opus Postumum,

1989.16

8. ―Roderick Firth, His Life and Work‖, artikel Rawls dalam buku

Philosophy and Phenomenological Research, 1991.

9. ―Reconciliaton through The Public Use of Reason‖ (Reply to Jurgen Habermas), artikel Rawls dalam Journal Philosophy, 1992.17

Sedangkan karya-karya Rawls yang berbentuk buku antara lain:

1. A Study in the Ground of Ethical Knowledge, Considered with Reference to Judgement on the Moral Worth of Character. Ini merupakan disertasi Rawls untuk meraih gelar Phd.

2. A Theory of Justice, 1971 3. Political Liberalism, 1993

4. The Law of Peoples, with”The Idea of Public Reason Revisen‖, 1999 5. Collected Papers, buku ini merupakan kumpulan 27 artikel yang ditulis

oleh Rawls dari tahun 1951 hingga 1998.

6. Lectures on History of Moral Philosophy, buku ini merupakan kumpulan perkuliahan Rawls yang dikumpulkan oleh Barbara Herman, 2001.

7. Justice as Fairness: A Restatement, 2001.

16

Thomas Pogge, John Rawls, h. 199-200

17


(39)

8. Lectures on Political Philosophy, buku ini juga merupakan kumpulan perkuliahan Rawls ketika ia menjadi dosen yang dikumpulkan oleh Samuel Freeman.18

Di antara sekian karya-karya John Rawls tersebut, A Theory of Justice -terbit pertama kali pada tahun 1971- adalah master piece yang membuat Rawls dikenal sebagai pemikir terkemuka dalam bidang filsafat politik pada abad ke-20. Buku ini merupakan salah satu buku paling berpengaruh dalam filsafat moral dan filsafat politik sepanjang seratus tahun terakhir. Buku ini tidak hanya dibaca oleh para pengkaji dan peminat filsafat, tetapi juga oleh orang-orang yang bekerja di berbagai bidang, semisal ilmu politik, hukum, dan kebijakan sosial.19 Tidak mengherankan apabila A Theory of Justice yang tebalnya mencapai 600 halaman hingga saat ini telah diterjemahkan ke 23 bahasa dari berbagai macam bahasa di dunia.

Buku ini dianggap telah membangkitkan dan mensemarakkan kembali gairah kajian filsafat politik yang sebelumnya sempat meredup. Sampai lebih separuh pertama abad ke-20, filsafat politik tidak mengalami perkembangan istimewa karena tidak ada lagi karya-karya besar yang lahir sejak karya John Stuart Mill. Keadaan itu berubah setelah terbit A Theory of Justice, 1971. A Theory segera mendapat sambutan luas, dan dibicarakan di berbagai jurnal filsafat dan mimbar akademi, khususnya di wilayah berbahasa Inggris. Buku ini telah melahirkan sejumlah tanggapan, sambutan dan perdebatan di berbagai jurnal

18

Untuk semua sumber informasi pada bagian karya berbentuk buku yang ditulis Rawls, penulis merujuk seluruhnya pada buku Thomas Pogge sebagai telah disebut diatas. Thomas Pogge, John Rawls, h.200

19


(40)

maupun mimbar akademik. Setelah A Theory terbit, wacana filsafat politik mengalami perkembangan dan orientasi baru, bahkan bergerak meluas dari tema sentral keadilan sosial ke masalah hak, kebebasan, human subject, komunitas, dan teori moral sendiri, memperkaya tema-tema tradisional seperti masalah legitimasi, kekuasaan, hakikat hukum dan lainnya.

Arti penting A Theory of Justice dalam kajian filsafat setidaknya mencakup dua hal, sebagaimana diutarakan Will Kymlicka. Kymlicka mengatakan A Theory memiliki dua arti penting. Pertama, Rawls memiliki arti penting historis tertentu dalam mendobrak intusionisme dan utilitarianisme. Sebagaimana diketahui, utilitarianisme adalah pandangan moral yang mendominasi seluruh periode filsafat modern, sekaligus menjadi doktrin moralitas politik paling dominan. Berbagai kritik ditujukan kepada utiltarianisme karena dianggap tidak mampu menjamin keadilan sosial, dan menempatkan manusia sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan.

Sejumlah pandangan dan teori muncul dari berbagai pemikir untuk mengatasi pandangan utilitarianisme. Satu di antaranya adalah John Rawls. Teori keadilannya salah satu tujuannya adalah mengatasi dan membersihkan utilitarianisme dari teori-teori keadilan. Kedua, teori Rawls mendominasi filsafat politik, bukan dalam arti disepakati secara luas, tetapi dalam arti bahwa para ahli teori yang muncul belakangan harus mempertegas dirinya sebagai dirinya berlawanan dengan Rawls atau tidak. Mereka menjelaskan apa teori mereka


(41)

memahami karya tentang keadilan yang muncul belakang ini jika kita tidak

memahami Rawls‖, kata Kymlicka.20

Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Will Kymlicka, polemik sekitar buku Rawls membawa dampak positif dalam merangsang dilakukannya penelitian-penelitian luas dan mendalam dalam filsafat praktis, baik dari sisi filsafat politik maupun dari sisi filsafat moral. Hal itu juga diikuti suburnya karya-karya baru baik berupa artikel di jurnal-jurnal dan rangkaian publikasi besar yang langsung maupun tidak langsung membahas tema-tema di atas. Publikasi-publikasi filsafat praktis setelah terbitnya A Theory of Justice umumnya bertolak dari, mengacu kepada, dirangsang oleh, atau bahkan mengarahkan sasaran terhadap tesis Rawls.

Karya Rawls lainnya yang juga penting adalah Political Liberalism, terbit pertama kali pada tahun 1993. Isi buku ini di samping mengoreksi beberapa aspek teori yang sudah dikemukakannya, juga memperjelas pikiran-pikiran pokok yang mendasari status teorinya justice as fairness sebagai konstruktivisme politik. Di buku ini, Rawls mengemukakan bahwa teori keadilannya berada dari latar tradisi politik tertentu, yakni tradisi politik liberalisme. Hal ini menegaskan bahwa prinsip keadilannya didasarkan pada landasan politik bukan landasan metafisis dari nilai atau kepercayaan tertentu dalam kelompok masyarakat.

Lalu ada Law of Peoples yang terbit pada tahun 1996. Buku ini membahas mengenai pandangan Rawls tentang masalah keadilan dalam konteks hubungan internasional. Di sini Rawls membahas mengenai prinsip-prinsip keadilan dalam

20

Will Kymlicka, Pengantar Filsafat Politik Kontemporer: Kajian Khusus Teori -Teori Keadilan, terj. Agus Wahyudi, cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 70


(42)

kontek hubungan internasional. Hal ini merupakan perluasan dan kelanjutan dari gagasannya sebelumnya mengenai prinsip-prinsip keadilan bagi struktur dasar masyarakat.

C. Latar Belakang Tradisi Pemikiran

Lingkup pemikiran ataupun teori seorang filsuf tidak lahir begitu saja dari ruang hampa. Seringkali teori ataupun pemikiran lahir sebagai kritik, pengembangan, perluasan dan sebagainya, atas teori ataupun tradisi pemikiran yang telah ada sebelumnya. Begitu juga halnya dengan pemikiran John Rawls. Di sini, penulis hanya menulis secara singkat tradisi-tradisi pemikiran yang berkaitan dengan teori keadilannya. Antara lain, tradisi politik liberalisme egalitarian, tradisi kontrak sosial semisal John Locke, JJ. Rousseau, dan pandangan utilitarianisme.

Pertama, tradisi politik liberalisme. Liberalisme adalah doktrin moralitas politik normatif, atau filsafat politik normatif, yakni seperangkat argumen moral mengenai justifikasi tindakan politik dan institusi-institusi. Rawls sendiri memahami liberalisme sebagai produk zaman Reformasi abad ke-16 di Eropa yang melahirkan pluralitas agama, berkembangnya negara modern dengan administrasi pusat yang menggeser kekuasaan raja, dan berkembangnya sains modern pada abad ke-17.21

Liberalisme menuntut masyarakat ditata secara netral dan adil, tanpa acuan pada nilai dan kepercayaan masing-masing kelompok. Masyarakat yang tertata dengan baik ialah masyarakat yang diatur dengan adil. Dalam arti, masyarakat tertata baik atau gambaran mengenai masyarakat ideal ialah apabila ia didasarkan

21

John Rawls, Political Liberalism, (New York: Columbia University Press, 1993), h. xxii-xxiii


(43)

pada prinsip moral dasar. Dan keadilan adalah prinsip moral dasar. Para filsuf yang berada dalam tradisi ini antara lain Jurgen Habermas, John Rawls, Karl Otto Apel, dan sebagainya. Dalam tradisi Immanuel Kant, mereka mencari prinsip-prinsip moral dasar kehidupan masyarakat. Dan karena prinsip-prinsip moral dasar adalah keadilan, maka mereka mencari pendasaran suatu prinsip universal. 22 Karena itu, filsuf ini juga sering disebut filsuf Neo-Kantian.

Dengan demikian, teori keadilan Rawls yang dikembannyak berasal dalam tradisi liberalisme. Konsekuensinya, teorinya hanya cocok diterapkan dalam masyarakat yang tradisi politiknya adalah demokrasi liberal, atau demokrasi konstitusional. Tetapi perlu dilihat bahwa liberalisme Rawls berbeda dengan liberalisme klasik yang justru dikritik olehnya. Bahkan bisa dikatakan liberalisme Rawls melampaui titik perjuangan liberalisme itu sendiri dan juga sosialisme.

Karena teorinya berhasil menyatukan dua nilai dasar, kebebasan dan kesamaan, yang selama ini sulit disatukan, bahkan seolah mustahil. Dalam prinsip keadilannya, Rawls menempatkan persamaan dalam kerangka persamaan hak-hak dan kebebasan fundamental. Oleh karena itu, liberalisme Rawls harus dililhat

―liberalisme egalitarian‖, bukan dalam kerangka liberalisme klasik. Karena

masyarakat yang diatur menurut prinsip kebebasan saja, justru yang terjadi adalah ketidakbebasan, sementara jika didasarkan pada prinsip kesamaan saja, yang terjadi justru ketidaksamaan.

Kedua, tradisi kontrak sosial. Tujuan Rawls menggunakan teori kontrak sosial karena, menurutnya, masyarakat tertata dengan baik (well-ordered society)

22

Franz Magnis Suseno, Pijar-Pijar Filsafat: dari Gatholoco k e Filsafat Perempuan, dari Adam Muller k e Postmodernisme, (Yogyakarta, Kanisius, 2005) h.198


(44)

apabila ada kesepakatan bersama dari semua orang mengenai apa yang adil dan tidak adil dalam masyarakat. Secara tradisional, teori kontrak sosial dilihat sebagai alat konseptual untuk menjelaskan munculnya masyarakat, atau untuk melegitimasi kekuasaan negara. Tapi bagi Rawls, kontrak sosial digunakan Rawls untuk melegitimasi prinsip-prinsip keadilan sosial yang akan mengatur struktur dasar masyarakat. Agar pengaturan bisa efektif maka prinsip-prinsip itu harus diterima semua orang.

Oleh karena itu, ia menggunakan pendekatan kontrak sosial untuk menjustifikasi prinsip-prinsip keadilannya. Prinsip-prinsip keadilan Rawls didasarkan pada dua argumen dasar, intuitif dan teoritik atau rasional. Nah, teori kontrak sosial itu digunakan sebagai argumen rasional Rawls dalam membenarkan argumen intutif. Kontrak sosial yang telah dimodifikasi oleh Rawls dalam

teorinya dikenal dengan nama ―original position‖, atau kira-kira sama ―state of nature‖ pada kontrak tradisional.

Tetapi ada perbedaan antara kontrak sosial Rawls dengan kontrak tradisional. Rawls bersifat hipotetis, lainnya bersifat historis; kontraktor Rawls adalah setara, bebas, dan rasional, lainnya justru kontraktornya tidak dalam keadaan sama, semisal pada Hobbes yang kesepakatan agar tidak terjadi ―perang

semua lawan semua‖. Orang-orang dalam kontrak Rawls adalah ‗mahluk moral‘, yakni tahu mana yang baik bagi dirinya, dan tahu apa yang adil sehingga kesepakatan mengenai apa yang adil sebagai dasar kerja sama sosial masyarakat mereka menjadi mungkin.


(45)

Ketiga, Utilitarianisme dan Intusionisme. Secara khusus, Rawls melihat teorinya sebagai suatu kritik terhadap teori-teori keadilan sebelumnya yang menurutnya gagal memberikan suatu konsep keadilan sosial yang tepat bagi kita. Kegagalan teori-teori terdahulu itu, disebabkan oleh substansinya yang sangat dipengaruhi oleh utiltarianisme atau oleh intusionisme. Utilitarianisme sebagai dicatat pada kata pengantar A Theory of Justice,23 telah menjadi pandangan moral yang sangat dominan pada seluruh periode filsafat moral modern.

Secara umum, utilitarianisme mengajarkan bahwa benar salahnya peraturan atau tindakan manusia tergantung pada konsekuensi langsung dari peraturan atau tindakan tertentu yang dilakukan. Dengan demikian, baik buruknya tindakan manusia secara moral sangat tergantung pada baik buruknya konsekuensi tindakan tersebut bagi manusia. Tegasnya, apabila akibatnya baik, maka sebuah peraturan atau tindakan dengan sendirinya akan menjadi baik. Demikian pula sebaliknya. Utilitarianisme ditolak karena dianggap gagal untuk menjamin keadilan sosial. Karena kegagalan ini, maka utiltiarianisme tidak tepat bila dijadikan basis untuk membangun konsep keadilan sosial.24

Rawls juga mengkritik intusionisme karena tidak memberi tempat memadai pada asas rasionalitas. Intusionisme dalam proses pengambilan keputusan (moral) lebih mengandalkan kemampuan intuisi manusia. Oleh karena itu, pandangan ini juga tidak memadai apabila dijadikan pegangan dalam mengambil keputusan, terutama ketika terjadi konflik di antara norma-norma moral. Di sini, prioritas nilai akan menjadi problem yang sulit ditemukan

23

John Rawls, Teori Keadilan: Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudk a n Kesejahteraan dalam Negara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. v

24


(46)

pemecahannya apabila setiap orang cenderung menggunakan intuisi daripada akal sehat dalam melakukan pertimbangan dan mengambil keputusan. Dalam perspektif itu juga, pelbagai generalisasi etis dapat disebut benar meskipun tidak didukung oleh argumen yang sungguh-sunguh dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, pertimbangan-pertimbangan dan keputusan moral akan menjadi subjektif atau kehilangan objektivitas.25

Dari latar belakang tradisi pemikiran singkat sebagaimana penulis jelaskan di atas, maka penulis menyimpulkan sebagai berikut. Belajar dari teori-teori keadilan sebelumnya, maka Rawls berusaha membangun teori keadilan yang mampu menegakkan dan menjamin keadilan sosial (kritik atas utilitarianisme) dan sekaligus dapat dipertanggungjawabkan secara objektif (kritik atas intusionisme). Tegasnya, Rawls hendak membangun sebuah konsep keadilan sosial dalam perspektif demoraksi (tradisi politik liberalisme). Oleh karena itu, teori keadilan yang memadai harus dibentuk dengan pendekatan kontrak (tradisi kontrak sosial), di mana prinsip-prinsip keadilan sosial yang dipilih sebagai pegangan bersama sungguh-sungguh merupakan hasil kesepakatan bersama dari semua person yang bebas, sederajat, dan rasional

Demikian ini pembahasan dalam bab kedua yang membahas mengenai riwayat hidup dan pendidikan, karya-karya dan pengaruhnya serta latar tradisi pemikiranya yang memengaruhi pemikirannya, khususnya teori keadilannya. Sebagaiman hal itu akan kita lihat pada bab ketiga yang hendak memberikan gambaran umum atas teorinya.

25


(47)

BAB III

TINJAUAN UMUM KEADILAN SOSIAL

A. Pengertian dan Hakikat Keadilan

Banyak definisi tentang keadilan yang telah dikemukakan oleh para pemikir dalam kajian filsafat moral. Bahkan diskursu mutakhir filsafat politik bermuara pada masalah ini sesuai dengan kecenderungan dasar pemikir bersangkutan. Namun setiap definisi tentang keadilan selalu terjebak pada persoalan yang sama, yaitu pembatasan atau penyempitan keadilan itu sendiri. Sementara keadilan merupakan wilayah yang sangat luas bahkan tersembunyi – karena berkenaan dengan nilai—sehingga nyaris tak dapat didefinisikan. Pada posisi ini, menentukan atau menunjukkan ketidakadilan relatif lebih mudah daripada mendefinisikan keadilan. Oleh sebab itu, kebanyakan para pemikir lebih berkonsentrasi pada prinsip-prinsip yang menentukan terwujudnya keadilan ketimbang mendefinisikannya.

Dalam al-Qur‘an, misalnya, tidak ada definisi yang komprehensif mengenai keadilan kecuali hanya disebutkan kata adil (adl) saja. Hal ini menuntut penelusuran lebih jauh untuk mengetahui keadilan dan penerapannya dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Menurut Muhammad Baqir al-Shadr, intuisi dan pikiran dapat mengetahui nilai-nilai umum yang akan memerintah setiap tindakan seseorang. Melalui itu, perilaku benar dan salah, baik dan buruk dapat ditemukan, demikan pula keadilan. Ia menyatakan:

Ini (nilai umum yang diperoleh dari intuisi dan pikiran) adalah nilai-nilai yang menegaskan adalah kebenaran dan kebaikan, dan perbuatan


(48)

salah (ketidakadilan) adalah batil dan jahat. Kami juga percaya bahwa barang siapa yang berurusan secara adil dengan orang lain layak dihormati dan dipuji dan barang siapa yang berbuat kesalahan dan pengkhianatan layak mendapat sebalik.1

Lebih lanjut, dalam literatur filsafat politik, keadilan sosial secara umum seringkali didefinisikan sebagai keadilan yang berkaitan dengan pembagian nikmat dan beban dari kerja sama sosial, khususnya yang termanifestasi dalam lembaga yang disebut negara. Keadilan sosial adalah pokok persoalan filsafat politik, yakni bagian dari filsafat praktis yang mengkaji dimensi moral yang mengendalikan tindakan-tindakan politik. Konsep keadilan sosial berkenaan dengan prinsip-prinsip yang mengatur pembagian nikmat dan beban. Dan teori keadilan merupakan teori yang berusaha merumuskan prinsip-prinsip keadilan sosial atau lebih khusus lagi, prinsip-prinsip bagi pembagian yang adil, dalam konteks keadilan distributif.2

Adapun hakikat keadilan itu sendiri memilliki memiliki tradisi yang panjang. Keadilan adalah salah satu keutamaan yang menjadi tujuan manusia. Keadilan, bisa dikatakan, merupakan keutamaan terpenting yang mendasari seluruh dimensi kehidupan sosial dan politik. Keadilan adalah salah satu topik yang sejak lama hampir selalu mengiringi sejarah peradaban manusia. Salah satu peradaban tua yang menjunjung tinggi keadilan adalah Imperium Romawi Kuno. Di mana Justicia, Sang Dewi Keadilan yang kita kenal dewasa ini sebagai lambang keadilan merupakan warisan dari peradaban kuno tersebut.

1

Muhammad Baqir al-Shadr, The Revieveler, the Messanger, the Message, terj. Mahmoed M Ayoub. (Tehran: Word Organization for Islamic Service, 1986), h. 75

2

Bur Rasuanto, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas.Dua Teori Filsafat Politik Modern, (Jakarta: Gra media, 2004), h. 8


(1)

81

Setelah melakukan penjelajahan secara singkat padat terhadap pemikiran John Rawls di bab-bab terdahulu, pada momen ini sudah saat untuk menarik kesimpulan dari berbagai gagasan Rawls menyangkut konsepsinya tentang keadilan sosial.

Konsepsi keadilan sosialnya bertolak dari masyarakat sebagai sebuah sistem kerja sama sosial saling menguntungkan antar manusia. Di mana masalah keadilan lahir akibat adanya konflik kepentingan dikarenakan masing-masing orang tidak sependapat mengenai bagiamana hasil kerja sama sosial dibagi secara adil kepada para warga masyarakat. Dalam situasi demikian, sebuah konsepsi keadilan sosial bersama dinilai oleh Rawls merupakan tuntutan dasar dalam memecahkan konflik dalam masyarakat. Kesepakatan bersama mengenai mengenai apa yang adil dan tidak adil menjadi batasan sejauh mana setiap orang dapat mengajukan klaimnya masing-masing.

Konsepsi keadilan sosial Rawls didasarkan pada dua prinsip keadilan sosial yang diyakininya akan dipilih dalam original position. Dua prinsip ini tidak hanya sesuai dan selaran dengan rasa keadilan, namun juga dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Karena itu, konsepsi keadilan sosial Rawls dianggap memiliki keunggulan dan kekuatan dibandingkan konsepsi keadilan sosial lainnya.


(2)

82

Konsepsi keadilan sosial menampilkan pandangannya yang egalitarian, tapi bukan seorang egalitarian radikal. Prinsip keadilan sosial mengusung prinsip persamaan sebagai prinsip pokoknya. Ada sejumlah prinsip persamaan dalam keadilan sosial, semisal persamaan distribusi, persamaan pendapatan, persamaan nilai-nilai sosial primer, tapi Rawls mengusung prinsip persamaan kebebasan. Dalam konsepsinya, kebebasan-kebebasan dasar atau fundamental mendapat prioritas tertinggi dan tidak boleh dikorban oleh kepentingan ekonomi dan sosial maupun politis.

Di samping, prinsip persamaan konsepsinya khususnya juga mengangkat prinsip ketidaksamaan. Dalam bagian ini ketidaksamaan hanyalah diperbolehkan dalam bidang sosial dan ekonomi, tapi dengan batasan bahwa ketidaksamaan sosial dan ekonomi haruslah di bawah persamaan kesempatan yang fair bagi semua orang tanpa terkecuali, sekaligus ketidaksamaan haruslah menguntungkan orang yang paling lemah atau paling kurang beruntung.

Dalam hal ini, Rawls melalui prinsip difference menampilkan sebuah terobosan baru dalam keadilan distributif yang selama ini hanya didasarkan pada prinsip kesamaan kesempatan fair saja sehingga abai terhadap faktor-faktor keberuntungan yang bersifat genetisi atau alamiah. Di perspektif kesamaan demokratis, prinsip persamaan kesempatan fair yang selama ini menjadi justifikasi bagi segala ketimpangan dan kesenjangan sosial ekonomi dikawinkan dengan prinsip difference. Dengan demikian, Rawls benar-benar menjaga peluang dan kesempatan bagi setiap untuk mencapai kesejahteraan bagi orang yang paling kurang beruntung dari segi alamiah atau genetis.


(3)

Konsepsi keadilan Rawls harus dilihat lebih jauh tentang pandangannya bahwa keadilan merupakan kebajikan utama dalam masyarakat. Sebuah masyarakat yang diatur oleh sebuah konsepsi bersama tentang keadilan digambarkan oleh Rawls sebagai suatu gambaran mengenai masyarakat yang tertata baik, well-ordered society. Hal tersebut merupakan visi Rawls tentang masyarakat ideal, di mana keadilan merupakan landasan fundamental kehidupan bersama sebagai sebuah masyarakat untuk dapat berkelanjutan, stabil, dan bersatu.

Konsepsi keadilan sosial John Rawls yang didasarkan nilai-nilai persamaan, kebebasan dan solidaritas sesungguhnya merupakan suatu hal yang tidak lagi asing dalam wacana filsafat politik Islam. Banyak di antara pemikir-pemikir Muslim yang bahkan jauh lebih dulu berbicara tentang keutamaan keadilan sebagai nilai prinsipil bagi kehidupan bersama sebagai sebuah masyarakat dengan karakteristik pemikirannya. Di antaranya adalah Ibnu Khaldun (1332), seorang filsuf Muslim yang dikenal dengan karyanya Muqaddimah. Ibnu Khaldun menempatkan keadilan sebagai tolak punggung suatu negara.1 Di samping itu, ada juga Baqir al-Shadr yang menjelaskan bagaimana peran tauhid dalam menciptakan sistem sosial ideal. Al-Shadr bahkan menegaskan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi persamaan. Islam tidak mengenal adanya diskriminasi dalam memandang dan memerlakukan umatnya. Hal ini merupakan konsekuensi logis pandangan tauhid di mana di hadapan Allah semuanya adalah sama, yaitu sebagai hamba Allah. Tidak ada individu, kelompok, atau bangsa yang lebih tinggi derajat dan kelasnya sehingga dapat mengeksploitasi, menjajah,

1 Hanik Yuni Alfiyah, “Ibnu Khaldun dan Tafsir Sosial” dalam Jurnal Para media, vol.


(4)

84

dan menundukkan yang lain. Bahkan Islam mengutuk tindakan tersebur serta menegaskan bahwa kepatuhan terhadap perbuatanitu adalah syirk. Dan masih banyak lainnya.

Terlepas dari semua itu, masing-masing memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri dalam menjelaskan bagaimana suatu bentuk tata sosial dan tata politik yang ideal sesuai dengan konteks zamannya. Dalam hal ini, teori John Rawls memang lebih relevan dalam konteks masyarakat zaman sekarang yang hampir sebagian besar bersandar pada prinsip-prinsip demokrasi. Dan konsepsi keadilan sosial Rawls sebagaimana ditegaskannya hanya dapat diterapkan dalam kultur masyarakat demokrasi konstitusional, bukan lainnya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Alfiyah, Hanik Yuni, “Ibnu Khaldun dan Tafsir Sosial” dalam Jurnal Paramedia, vol. ke-7, No. 2, April 2006, h. 6

Christman, John. Social and Political Philosophy: A Contemporary Introduction, London: Routledge, 2002.

Daniels, Norman (ed). Reading Rawls: Critical Studies on Rawls A Theory of Justice, New York: Basic Books, 1980.

Graham, Paul. Rawls. Oxford: Oneworld, 2007.

Gewertz, Ken. “John Rawls, Influental Political Philosopher Dead at 81”, artikel

diakses pada 1 Maret 2009 dari

http://www.news.harvard.edu/gazette/2002/11. 21/99- rawls.html

Ginsberg, Morris. Keadilan dalam Masyarakat. Yogyakarta: Pondok Edukasi, 2003.

Kaelan. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Yogyakarta: Paradigma, 2005.

Kymlica, Will. Pengantar Filsafat Politik Kontemporer: Kajian Khusus atas Teori-Teori Keadilan. terj. Agus Wahyudi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Mandle, Joe. Rawls’s ‘A Theory of Justicean Introduction. New York: Cambridge University Press, 2009.

Miller, David. Principles of Social Justice. London: Harvard University Press, 1999.

Oneil, Onora. “Catatan Sederhana Tentang Etika Kant”, dalam Etika Terapan I, ed. Lary May, dkk, terj. Sinta Carolina, dkk, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001.

Pogge, Thomas. John Rawls: His Life and Theory of Justice, trans. Michelle Kosch, New York: Oxford University Press, 2007.

Rawls, John, Teori keadilan: Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara. terj. Uzair Hamzah dan Heru Prasetyo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.


(6)

86

---, Political Liberalism. New York: Columbia University Press, 1993

---, Justice as Fairness: A Restatement, Erin Kelly (ed). Cambridge: Harvard University Press, 2001.

Rasuanto, Bur. Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas, Dua Teori Filsafat Politik Modern, Jakarta: Gramedia, 2005

Russel, Bertrand. Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno Hingga Sekarang, cet. Ke-2, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Suseno, Franz Magnis. Kuasa dan Moral, cet.ke-2, Jakarta: Gramedia, 1988. ---, Pijar-Pijar Filsafat dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam

Muller ke Posmodernisme. cet.ke-5, Yogyakarta: Kanisius, 2009.

---, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia, 1987.

---, Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius, 1987

Ujan, Andre Uta. Keadilan dan Demokrasi: Telaah Filsafat Politik John Rawls, cet.ke-5, Yogyakarta: Kanisius, 2005.

Veger, K.J. Realitas Sosial. Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta: Gramedia, 1986.

Wahyudi Agus, “Filsafat Politik Barat dan Masalah Keadilan: Catatan Kritis atas

Pemikiran Will Kymlicka” dalam Jurnal Filsafat, April 2004, Jilid 36,