Pengertian dan Hakikat Keadilan

BAB III TINJAUAN UMUM KEADILAN SOSIAL

A. Pengertian dan Hakikat Keadilan

Banyak definisi tentang keadilan yang telah dikemukakan oleh para pemikir dalam kajian filsafat moral. Bahkan diskursu mutakhir filsafat politik bermuara pada masalah ini sesuai dengan kecenderungan dasar pemikir bersangkutan. Namun setiap definisi tentang keadilan selalu terjebak pada persoalan yang sama, yaitu pembatasan atau penyempitan keadilan itu sendiri. Sementara keadilan merupakan wilayah yang sangat luas bahkan tersembunyi – karena berkenaan dengan nilai —sehingga nyaris tak dapat didefinisikan. Pada posisi ini, menentukan atau menunjukkan ketidakadilan relatif lebih mudah daripada mendefinisikan keadilan. Oleh sebab itu, kebanyakan para pemikir lebih berkonsentrasi pada prinsip-prinsip yang menentukan terwujudnya keadilan ketimbang mendefinisikannya. Dalam al- Qur‘an, misalnya, tidak ada definisi yang komprehensif mengenai keadilan kecuali hanya disebutkan kata adil adl saja. Hal ini menuntut penelusuran lebih jauh untuk mengetahui keadilan dan penerapannya dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Menurut Muhammad Baqir al-Shadr, intuisi dan pikiran dapat mengetahui nilai-nilai umum yang akan memerintah setiap tindakan seseorang. Melalui itu, perilaku benar dan salah, baik dan buruk dapat ditemukan, demikan pula keadilan. Ia menyatakan: Ini nilai-nilai umum yang diperoleh dari intuisi dan pikiran adalah nilai- nilai yang menegaskan adalah kebenaran dan kebaikan, dan perbuatan salah ketidakadilan adalah batil dan jahat. Kami juga percaya bahwa barang siapa yang berurusan secara adil dengan orang lain layak dihormati dan dipuji dan barang siapa yang berbuat kesalahan dan pengkhianatan layak mendapat sebalik. 1 Lebih lanjut, dalam literatur filsafat politik, keadilan sosial secara umum seringkali didefinisikan sebagai keadilan yang berkaitan dengan pembagian nikmat dan beban dari kerja sama sosial, khususnya yang termanifestasi dalam lembaga yang disebut negara. Keadilan sosial adalah pokok persoalan filsafat politik, yakni bagian dari filsafat praktis yang mengkaji dimensi moral yang mengendalikan tindakan-tindakan politik. Konsep keadilan sosial berkenaan dengan prinsip-prinsip yang mengatur pembagian nikmat dan beban. Dan teori keadilan merupakan teori yang berusaha merumuskan prinsip-prinsip keadilan sosial atau lebih khusus lagi, prinsip-prinsip bagi pembagian yang adil, dalam konteks keadilan distributif. 2 Adapun hakikat keadilan itu sendiri memilliki memiliki tradisi yang panjang. Keadilan adalah salah satu keutamaan yang menjadi tujuan manusia. Keadilan, bisa dikatakan, merupakan keutamaan terpenting yang mendasari seluruh dimensi kehidupan sosial dan politik. Keadilan adalah salah satu topik yang sejak lama hampir selalu mengiringi sejarah peradaban manusia. Salah satu peradaban tua yang menjunjung tinggi keadilan adalah Imperium Romawi Kuno. Di mana Justicia, Sang Dewi Keadilan yang kita kenal dewasa ini sebagai lambang keadilan merupakan warisan dari peradaban kuno tersebut. 1 Muhammad Baqir al-Shadr, The Revieveler, the Messanger, the Message, terj. Mahmoed M Ayoub. Tehran: Word Organization for Islamic Service, 1986, h. 75 2 Bur Rasuanto, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas.Dua Teori Filsafat Politik Modern, Jakarta: Gra media, 2004, h. 8 Suatu definisi keadilan sederhana sudah diberikan sejak di zaman Romawi Kuno dan malah mempunyai akar-akar lebih tua lagi. ―Definisi‖ keadilan digambarkan dengan singkat sekali sebagai ―tribuere cuique suum‖. Atau kalimat Latin itu juga dalam bahasa Inggris bisa diartikan sebagai : ―to give everybody his own ‖, atau dalam bahasa Indonesia: ―memberikan kepada setiap orang yang menjadi miliknya ‖. 3 Definisi keadilan kuno itu bisa diterjemahkan juga sebagai memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Sebagai terjemahan, kalimat terakhir ini sebenarnya tertalu bebas dan mengandung semacam anakronisme, karena ‗hak‘ merupakan suatu pengertian modern yang belum dikenal dalam teks- teks kuno. Istilah ‗hak‘ mengalami suatu perkembangan yang berbelit-belit dan baru diterima dalam arti seperti kita kenal sekarang pada akhir abad ke-18. tetapi apa yang belum bisa dikatakan oleh ahli hukum Roma itu karena belum mempunyai pengertiannya, sebetulnya sudah dmaksudkan olehnya. Dalam hal ini, titik tolak refleksi tentang keadilan memang sebaiknya menjadi demikian: keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. 4 Lebih lanjut, perdebatan mengenai hakikat keadilan secara rasional telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah manusia, khususnya sejak sekitar abad ke-5 SM. Hakikat keadilan diperdebatkan oleh para filsuf pada zaman Yunani. Karena itu, sering disebut bahwa keadilan sebagai kajian filsafat boleh dikatakan sudah sejak awal sejarah filsafat itu sendiri. Karya terkenal Plato Republic bahkan biasa diberi anak judul Tentang Keadilan. Di sana Plato, 3 Morris Ginsberg, Keadilan dalam Masyarak at, Yogyakarta: Pondok Edukasi, 2001, h. 6 4 Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, Jakarta: Gramedi, 1987, h.54 misalnya menampilkan perdebatan mengenai hakikat keadilan antara Socrates dengan para tokoh antara lain seperti Thrasymachos dan Glaucon. 5 Thrasymachos, tokoh Sofis radikal, mengatakan keadilan adalah apa yang menguntungkan yang lebih kuat. Lihatlah undang-undang dan peraturan, semua dibuat sesuai dengan keperluan dan kepentingan yang lebih kuat. Socrates dengan gayanya yang khas bereaksi kalau seorang atilit memerlukan banyak makan daging agar tetap kuat, apakah itu artinya keadilan? Glaucon, adik Plato, tampil dengan pendapat keadilan adalah kompromi. Dalam masyarakat ada yang mampu berbuat tak adil lolos tanpa hukuman, dan ada pula mereka yang menderita perlakuan tak adil tanpa dapat membela diri; keadilan letaknya di tengah antara kedua eksterm itu. Pendapat hampir sejalan dikemukan oleh Chepalus, seorang hartawan terkemuka Athena, bahwa adil tak lain dari apabila orang bersikap fair dan jujur dalam membuat kesepakatan. Hasil kompromi ditaati bukan sebagai yang secara moral bernilai baik atau buruk, melainkan sebagai keharusan menaati kesepakatan namun menguntungkan, karena alternatifnya adalah, ‗perang semua melawan semua‘, sebagai kata Thomas Hobbes. 6 Pemikiran ini merupakan benih teori kontrak sejak Thomas Hobbes. Plato menolak konsep keadilan amoral atau non moral itu. Bagi Plato, keadilan bukanlah konvensi melainkan konsep yang dapat diperoleh dan dirumuskan oleh rasio yang tercerahkan. Plato berkeyakinan bahwa negara ideal apabila didasarkan atas keadilan, dan keadilan baginya adalah keseimbangan atau harmoni. Harmoni di sini artinya bahwa warga hidup sejalan dan serasi dengan 5 Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral. 6 Bur Rasuanto, Keadilan Sosial, h. 7-8 tujuan negara polis, di mana masing-masing warga menjalani hidup secara baik sesuai kodrat dan posisi sosialnya. Raja memerintah dengan bijaksana, tentara hanya memusatkan perhatian selalu siap untuk perang, budak mengabdi sebaik- baiknya sebagai buda. Negara akan jadi kacau kalau misalnya tentara ingin, apalagi sudah, merangkap jadi pedagang, atau budak berusaha jadi tuan. Wawasan mengenai perubahan sosial tidak dikenal di sini. Paham keadilan Yunani klasik masih dalam kerangka etika keutamaan atau kebijaksanaan. 7

B. Tiga Ciri Umum Keadilan