Latar Belakang Tradisi Pemikiran

34 kontek hubungan internasional. Hal ini merupakan perluasan dan kelanjutan dari gagasannya sebelumnya mengenai prinsip-prinsip keadilan bagi struktur dasar masyarakat.

C. Latar Belakang Tradisi Pemikiran

Lingkup pemikiran ataupun teori seorang filsuf tidak lahir begitu saja dari ruang hampa. Seringkali teori ataupun pemikiran lahir sebagai kritik, pengembangan, perluasan dan sebagainya, atas teori ataupun tradisi pemikiran yang telah ada sebelumnya. Begitu juga halnya dengan pemikiran John Rawls. Di sini, penulis hanya menulis secara singkat tradisi-tradisi pemikiran yang berkaitan dengan teori keadilannya. Antara lain, tradisi politik liberalisme egalitarian, tradisi kontrak sosial semisal John Locke, JJ. Rousseau, dan pandangan utilitarianisme. Pertama, tradisi politik liberalisme. Liberalisme adalah doktrin moralitas politik normatif, atau filsafat politik normatif, yakni seperangkat argumen moral mengenai justifikasi tindakan politik dan institusi-institusi. Rawls sendiri memahami liberalisme sebagai produk zaman Reformasi abad ke-16 di Eropa yang melahirkan pluralitas agama, berkembangnya negara modern dengan administrasi pusat yang menggeser kekuasaan raja, dan berkembangnya sains modern pada abad ke-17. 21 Liberalisme menuntut masyarakat ditata secara netral dan adil, tanpa acuan pada nilai dan kepercayaan masing-masing kelompok. Masyarakat yang tertata dengan baik ialah masyarakat yang diatur dengan adil. Dalam arti, masyarakat tertata baik atau gambaran mengenai masyarakat ideal ialah apabila ia didasarkan 21 John Rawls, Political Liberalism, New York: Columbia University Press, 1993, h. xxii-xxiii 35 pada prinsip moral dasar. Dan keadilan adalah prinsip moral dasar. Para filsuf yang berada dalam tradisi ini antara lain Jurgen Habermas, John Rawls, Karl Otto Apel, dan sebagainya. Dalam tradisi Immanuel Kant, mereka mencari prinsip- prinsip moral dasar kehidupan masyarakat. Dan karena prinsip moral dasar adalah keadilan, maka mereka mencari pendasaran suatu prinsip universal. 22 Karena itu, filsuf ini juga sering disebut filsuf Neo-Kantian. Dengan demikian, teori keadilan Rawls yang dikembannyak berasal dalam tradisi liberalisme. Konsekuensinya, teorinya hanya cocok diterapkan dalam masyarakat yang tradisi politiknya adalah demokrasi liberal, atau demokrasi konstitusional. Tetapi perlu dilihat bahwa liberalisme Rawls berbeda dengan liberalisme klasik yang justru dikritik olehnya. Bahkan bisa dikatakan liberalisme Rawls melampaui titik perjuangan liberalisme itu sendiri dan juga sosialisme. Karena teorinya berhasil menyatukan dua nilai dasar, kebebasan dan kesamaan, yang selama ini sulit disatukan, bahkan seolah mustahil. Dalam prinsip keadilannya, Rawls menempatkan persamaan dalam kerangka persamaan hak-hak dan kebebasan fundamental. Oleh karena itu, liberalisme Rawls harus dililhat ―liberalisme egalitarian‖, bukan dalam kerangka liberalisme klasik. Karena masyarakat yang diatur menurut prinsip kebebasan saja, justru yang terjadi adalah ketidakbebasan, sementara jika didasarkan pada prinsip kesamaan saja, yang terjadi justru ketidaksamaan. Kedua, tradisi kontrak sosial. Tujuan Rawls menggunakan teori kontrak sosial karena, menurutnya, masyarakat tertata dengan baik well-ordered society 22 Franz Magnis Suseno, Pijar-Pijar Filsafat: dari Gatholoco k e Filsafat Perempuan, dari Adam Muller k e Postmodernisme, Yogyakarta, Kanisius, 2005 h.198 36 apabila ada kesepakatan bersama dari semua orang mengenai apa yang adil dan tidak adil dalam masyarakat. Secara tradisional, teori kontrak sosial dilihat sebagai alat konseptual untuk menjelaskan munculnya masyarakat, atau untuk melegitimasi kekuasaan negara. Tapi bagi Rawls, kontrak sosial digunakan Rawls untuk melegitimasi prinsip-prinsip keadilan sosial yang akan mengatur struktur dasar masyarakat. Agar pengaturan bisa efektif maka prinsip-prinsip itu harus diterima semua orang. Oleh karena itu, ia menggunakan pendekatan kontrak sosial untuk menjustifikasi prinsip-prinsip keadilannya. Prinsip-prinsip keadilan Rawls didasarkan pada dua argumen dasar, intuitif dan teoritik atau rasional. Nah, teori kontrak sosial itu digunakan sebagai argumen rasional Rawls dalam membenarkan argumen intutif. Kontrak sosial yang telah dimodifikasi oleh Rawls dalam teorinya dikenal dengan nama ―original position‖, atau kira-kira sama ―state of nature ‖ pada kontrak tradisional. Tetapi ada perbedaan antara kontrak sosial Rawls dengan kontrak tradisional. Rawls bersifat hipotetis, lainnya bersifat historis; kontraktor Rawls adalah setara, bebas, dan rasional, lainnya justru kontraktornya tidak dalam keadaan sama, semisal pada Hobbes yang kesepakatan agar tidak terjadi ―perang semua lawan semua‖. Orang-orang dalam kontrak Rawls adalah ‗mahluk moral‘, yakni tahu mana yang baik bagi dirinya, dan tahu apa yang adil sehingga kesepakatan mengenai apa yang adil sebagai dasar kerja sama sosial masyarakat mereka menjadi mungkin. 37 Ketiga, Utilitarianisme dan Intusionisme. Secara khusus, Rawls melihat teorinya sebagai suatu kritik terhadap teori-teori keadilan sebelumnya yang menurutnya gagal memberikan suatu konsep keadilan sosial yang tepat bagi kita. Kegagalan teori-teori terdahulu itu, disebabkan oleh substansinya yang sangat dipengaruhi oleh utiltarianisme atau oleh intusionisme. Utilitarianisme sebagai dicatat pada kata pengantar A Theory of Justice, 23 telah menjadi pandangan moral yang sangat dominan pada seluruh periode filsafat moral modern. Secara umum, utilitarianisme mengajarkan bahwa benar salahnya peraturan atau tindakan manusia tergantung pada konsekuensi langsung dari peraturan atau tindakan tertentu yang dilakukan. Dengan demikian, baik buruknya tindakan manusia secara moral sangat tergantung pada baik buruknya konsekuensi tindakan tersebut bagi manusia. Tegasnya, apabila akibatnya baik, maka sebuah peraturan atau tindakan dengan sendirinya akan menjadi baik. Demikian pula sebaliknya. Utilitarianisme ditolak karena dianggap gagal untuk menjamin keadilan sosial. Karena kegagalan ini, maka utiltiarianisme tidak tepat bila dijadikan basis untuk membangun konsep keadilan sosial. 24 Rawls juga mengkritik intusionisme karena tidak memberi tempat memadai pada asas rasionalitas. Intusionisme dalam proses pengambilan keputusan moral lebih mengandalkan kemampuan intuisi manusia. Oleh karena itu, pandangan ini juga tidak memadai apabila dijadikan pegangan dalam mengambil keputusan, terutama ketika terjadi konflik di antara norma-norma moral. Di sini, prioritas nilai akan menjadi problem yang sulit ditemukan 23 John Rawls, Teori Keadilan: Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudk a n Kesejahteraan dalam Negara, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, h. v 24 Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demok rasi, h. 21 38 pemecahannya apabila setiap orang cenderung menggunakan intuisi daripada akal sehat dalam melakukan pertimbangan dan mengambil keputusan. Dalam perspektif itu juga, pelbagai generalisasi etis dapat disebut benar meskipun tidak didukung oleh argumen yang sungguh-sunguh dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, pertimbangan-pertimbangan dan keputusan moral akan menjadi subjektif atau kehilangan objektivitas. 25 Dari latar belakang tradisi pemikiran singkat sebagaimana penulis jelaskan di atas, maka penulis menyimpulkan sebagai berikut. Belajar dari teori-teori keadilan sebelumnya, maka Rawls berusaha membangun teori keadilan yang mampu menegakkan dan menjamin keadilan sosial kritik atas utilitarianisme dan sekaligus dapat dipertanggungjawabkan secara objektif kritik atas intusionisme. Tegasnya, Rawls hendak membangun sebuah konsep keadilan sosial dalam perspektif demoraksi tradisi politik liberalisme. Oleh karena itu, teori keadilan yang memadai harus dibentuk dengan pendekatan kontrak tradisi kontrak sosial, di mana prinsip-prinsip keadilan sosial yang dipilih sebagai pegangan bersama sungguh-sungguh merupakan hasil kesepakatan bersama dari semua person yang bebas, sederajat, dan rasional Demikian ini pembahasan dalam bab kedua yang membahas mengenai riwayat hidup dan pendidikan, karya-karya dan pengaruhnya serta latar tradisi pemikiranya yang memengaruhi pemikirannya, khususnya teori keadilannya. Sebagaiman hal itu akan kita lihat pada bab ketiga yang hendak memberikan gambaran umum atas teorinya. 25 Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demok rasi;

BAB III TINJAUAN UMUM KEADILAN SOSIAL