24
wanita, namun pemakaian kata jihad di dalam hadis ini memberikan indikasi bahwa kata jihad memiliki makna yang luas. Dari hadis di atas dapat juga ditarik
kesimpulan bahwa jihad adalah setiap usaha sungguh-sungguh yang memerlukan pencurahan tenaga untuk melakukannya dalam rangka memperoleh ridha Allah
SWT. Allah berfirman di dalam sebuah hadis qudsi, yang artinya sebagai berikut: “Siapapun di antara hamba-hamba-Ku yang menunaikan jihad pada
jalan-Ku karena mengharap dan mencari keridhaan-Ku, Aku jamin untuk mengembalikannya, jika ia Ku kembalikan, dengan segala apa yang
didapatnya berupa pahala atau harta rampasan. Dan jika ia Kuwafatkan dalam jihad maka ia Kuampuni, Kuberi rahmat dan akan Kumasukkan ke
dalam surga
”.
30
Hadis-hadis tentang jihad secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama, hadis-hadis yang menyebutkan jihad dalam konteks perang
di jalan Allah. Hal itu ditunjukkan dengan penyebutan kematian di medan jihad serta perolehan ghanimah. Kedua, hadis-hadis yang menyebutkan jihad dalam arti
luas, yakni segala usaha yang memerlukan pencurahan tenaga dalam rangka memperoleh ridha Allah, baik berupa ibadah khusus yang bersifat individual
maupun ibadah umum yang bersifat kolektif, berupa amar ma‟ruf nahi munkar.
C. Status Hukum Jihad
Ulama fiqih membagi fiqih Islam kedalam dua bagian besar, yaitu ibadah dan muamalah. Yang dimaksud dengan ibadah adalah segala amalan yang
diwajibkan oleh Allah SWT di dalam Al-Quran dan diterangkan di dalam hadis Nabi Muhammad SAW, dipahami oleh umat Islam sebagai rukun-rukun dan
30
M. Ali Usman, et.al, Hadis Qudsi: Pola Pembinaan Akhlak Muslim, Bandung: CV Diponegoro, 1991, h. 23.
25
dasar-dasar agama Islam. Adapun yang dimaksud dengan muamalah adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan urusan kehidupan, baik berkaitan dengan
individu seperti halal dan haram, keluarga seperti nikah, talak, waris, wasiat, masyarakat dalam bentuk aktivitas sipil, perdagangan dan negara seperti
tanggung-jawab, syarat, hak, kewajiban pemimpin, umat seperti persatuan, negeri, aturan hukum syariat, serta hubungan dengan negara lain.
31
Jika demikian, dari keterangan di atas dapat dikatakan bahwa jihad dipandang dari
perspektif fiqih memasuki ranah muamalah. Jihad merupakan warisan penting di dalam ajaran Islam karena ia adalah
media efektif untuk menjaga serta menyebar-luaskan agama tauhid ke seluruh penjuru bumi. Islam bukanlah sebuah agama ekspoliatasi yang mengharus umat
manusia untuk takut dan memaksa mereka untuk memeluknya. Al-Quran sebagai sumber ajaran Islam sejak empat belas abad yang lalu sudah mengajarkan
pluralisme, reformasi, dan fleksibelitas dalam beragama. Oleh karena itu, Islam hanya datang menawarkan sebuah jalan lurus dalam menapaki kehidupan, baik
kehidupan di dunia maupun kehidupan di akhirat. Itu artinya tidak mungkin di dalam Al-Quran ada syariat yang mewajibkan umatnya untuk menyulut api
peperangan dengan tujuan teror. Orientasi jihad adalah untuk mempertahankan dan menyebarkannya agama Islam dengan menganut asas pluralisme bukan
bertujuan menghancur umat dengan jalan terorisme. Berbicara masalah hukum, ulama fiqih sepakat bahwa hukum jihad adalah
wajib fardhun, akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang kapasitas hukum
31
Yusuf Qardhawi, FIQIH JIHAD, h. 10.
26
kefardhun-annya fardhu „ain atau fardhu kifayah. Di dalam kitab Bidayatul
Mujtahid karangan Ibnu Rusyd di terangkan bahwa jumhur ulama sepakat hukum jihad adalah fardhu kifayah. Argumentasi yang menjadi pegangan terhadap
pendapat para jumhur ulama dalam menetapkan hukum jihad fardhu kifayah adalah firman Allah:
...
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci… dan Allah Maha Mengetahui dan kamu tidak
mengetahui. ”
Q.s. al-Baqarah [2]: 216. Mengenai fardhu kifayah jihad, yakni apabila sebagian atau sekelompok
orang telah melaksanakan jihad maka yang demikian itu sudah bisa mengcover dan menggugurkan kewajiban jihad bagi seluruh orang yang ada. Alasan ini
disandarkan pada firman Allah swt dalam surat al-Taubah ayat 122, sebagai berikut:
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya ke medan perang. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Q.s. al-Baqarah [2]: 122 Dan dalam firman-Nya yang lain disebutkan:
27
Tidaklah sama antara mukmin yang duduk yang tidak ikut berperang yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan
Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk
satu derajat. kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik surga dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas
orang yang duduk dengan pahala yang besar.
Q.s. al- Nisâ‟ [4]: 95
Rasulullah SAW tidak pernah keluar berperang melainkan ditinggalkannya sebagian orang. Jika ayat-ayat ini digabungkan, maka penggabungan ini
menghendaki bahwa tugas berperang itu adalah fardhu kifayah.
32
Di dalam al- Mughnî, Ibn Quddamah menjelaskan makna kifâyah di dalam jihad yaitu jika ada
suatu kaum yang mumpuni untuk melakukan peperangan, bisa berupa tentara yang telah disiapkan untuk perang atau orang yang memiliki kesiapan jiwa untuk
melakukannya secara sukarela. Dengan demikian, jika ada serangan dari musuh yang datang dari luar atau dari musuh yang berada di negara Islam dapat
dihadapi.
33
Beberapa ulama fiqih menyebutkan batasan tentang kewajiban perang dengan fardhu kifâyah, yaitu jika pemimpin merasa yakin ia memiliki kekuatan
32
Berbeda dengan ulama yang lain, syeikh Abdu „I-Lah bin Hasan menyatakan bahwa hukum jihad adalah “sukarela” tathawwu‟, selengkapnya tentang penjelasan masalah jihad ini
lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Semarang: Asy- Syifa‟, 1990, jilid II, cet. 1, h. 139-140.
33
Abdullah ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Quddamah, al-Mughnî, tahqîq oleh Abdullah Abdul Hasan al-Turki dan Dr. Muhammad Abdul Fatah al-Hulwi, Kairo: Hajar, 1410 H.1990
M., cet. 1, juz 13, h. 8.
28
yang bisa menyamai musuh. Jika tidak, mereka musuh tidak boleh diperangi karena hal tersebut bisa membahayakan orang-orang Islam. Para ulama fiqih juga
menerangkan hal lain yang sangat penting seputar fardhu kifâyah, yaitu kewajiban jihad akan gugur jika sebagian orang dari suatu negara itu sendiri yang
melakukannya.
34
Ibnu al-Qayyim berkomentar seputar hukum jihad, menurut beliau jihad adalah
fardhu „ain, baik dilakukan dengan hati, lisan harta atau tangan.
35
34
Yusuf Qardhawi, FIQIH JIHAD, h. 24.
35
Muhammad Ibn Abu Bakr ibn Ayuyub ibn Sa‟ad al-Zar‟I ibn al-Qayyim, Zâd al- Ma‟âd, tahqîq oleh Syu‟aib dan Abdul Qadir al-Arna‟uth, Beirut: Mu‟assasah Al-Risalah, 1399
H.1979 M., cet. 1, juz 3, h. 73.
29
BAB III JIHAD DALAM AL-QURAN