1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah SWT menganugrahkan alam semesta serta menundukkannya bagi manusia sebagai fasilitas penunjang yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan.
Dia tidak membebani hamba-Nya dengan sesuatu yang tidak mampu dicerna oleh akal, berbicara sesuatu yang tidak diketahui, dan berjalan tanpa petunjuk,
melainkan Allah menurunkan risalah-Nya yang bisa menuntun manusia kepada tujuan hidup. Serta memberikan petunjuk bagi manusia bagaimana menata
rincian-rincian kehidupan dan interaksi sosial di antara mereka. Demikianlah Allah menjamin bagi manusia tiang-tiang pokok eksistensi yang bersifat materil.
Allah juga menjamin eksistensi manusia secara rohani dan sosial yang tergambar dalam petunjuk dan aturan yang diturunkan kepada mereka.
Risalah Allah selalu turun bagi manusia berturut-turut melalui perantara seorang nabi dan rasul yang diutus kepada setiap kaum secara khusus dan
temporer, sebagaimana firman-Nya “Dan Sesungguhnya kami Telah mengutus
sebelum kamu beberapa orang rasul kepada kaumnya …”.
2
Kemudian Allah menyempurnakan agama-Nya dengan mengutus Muhammad SAW sebagai rasul
terakhir bagi seluruh umat manusia dan dengannya Allah menghapus setiap risalah yang pernah datang sebelumnya. Keterangan ini senada dengan firman-
Nya yang berbunyi:
2
Depertemen Agama RI, AL-QURQN DAN TERJEMAHANNYA, Bandung: CV Diponegoro, 1995, h. 344.
2
“Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi
peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada Mengetahui. ”
Q.s. Saba‟ [34]: 28
Allah SWT menurunkan kepada Muhammad SAW kitab-Nya yang kekal
yaitu Al-Quran. Di dalamnya terangkum seluruh risalah secara sempurna yang meliputi tanda-tanda kenabian dan petunjuk bagi kebahagian manusia di dunia
dan akhirat. Risalah yang sempurna ini kemudian diberi nama “Islam” dan
menjadi satu-satunya agama yang mendapat pengakuan serta keridhaan di sisi Allah
, sebagaimana firmannya “Sesungguhnya agama yang diridhai disisi Allah hanyalah Islam
…”.
3
Selanjutnya Allah menjadikan umat Islam sebagai umat panutan yang memimpin seluruh umat kepada agama yang benar serta
mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya kemenangan, dan untuk terwujudnya hal tersebut diperlukan sebuah perjuangan.
Istilah Al-Quran untuk menunjukkan perjuangan adalah kata “jihâd”, suatu
keharusan bagi umat yang telah Allah pilih untuk peran ini dan telah dipercayakan tugas penting agar menjadi umat yang berjuang. Karena itu datang perintah Allah
kepada umat Islam untuk berjihad sebagai konsekuensi pengemban tanggung jawab menyiarkan Islam keseluruh penjuru dunia. Jihad di dalam Islam
merupakan unsur fundamental dan pokok karena merupakan sarana efektif untuk
3
Depertemen Agama RI, AL-QURQN DAN TERJEMAHANNYA, h. 80.
3
mencegah kejahatan, baik yang terang-terangan maupun tersembunyi dan mencegah kejahatan yang tumbuh dari dalam jiwa atau datang dari yang lain.
Islam datang membawa nilai-nilai kebaikan dan menganjurkan manusia agar
menghiasi diri
dengannya serta
memerintahkan manusia
agar memperjuangkan Islam hingga mengalahkan kebatilan.
4
Menurut Sayyid Qutb inti agama Islam itu adalah suatu gerakan pembebasan, mulai dari hati nurani setiap
individu dan berakhir di samudera kelompok manusia. Islam tidak pernah menghidupkan sebuah hati lalu
dipasrahkan menyerah tunduk kepada suatu
kekuasaan di atas permukaan bumi selain dari keuasaan Tuhan Yang Satu dan Maha Perkasa. Islam tidak pernah membangkitkan sebuah hati kemudian
melepaskannya terbelenggu oleh keaniayaan dalam segala macam bentuk.
5
Islam mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa berjuang melalui jihad untuk
menegakkan kebebasan menganut serta menjalankan agama. Jihad yang merupakan bagian integral wacana Islam sejak masa-masa awal
kedatangannya hingga sekarang telah melahirkan pendapat dan pandangan yang bervariasi
. Ketika mengkaji tentang jihad akan muncul berbagai pandangan dari para ulama dan cendikiawan Islam, baik yang bersifat keras mereka yang selalu
mengidentikkan antara jihad dan perang serta yang besifat lunak mereka yang ingin mendistorsi makna jihad sehingga Islam tenggelam dalam kelemahan.
4
M. Quraish Shihab, Wawasan Al- Qur‟an, Tafsir Maudhu‟I Atas Pelbagai Persoalan
Ummat, Bandung: Mizan, 1996, Cet. ke-3, h. 501.
5
Sayyid Qutb, Dirasah Islamiyah, terjemah Dr. A. Rahman Zainuddin, MA. Jakarta: Media Da‟wah, t.th, h. 29.
4
Di sisi lain, secara sosiologis ada kegelisahan di kalangan umat Islam terhadap adanya kesenjangan realitas dengan ajaran ideal Islam. Satu sisi, Islam
diyakini sebagai agama yang cinta perdamaian, kasih sayang, toleran, dan menghargai terhadap setiap perbedaan termasuk perbedaan agama dan keyakinan.
Bentuk-bentuk pemaksaan dan kekerasan bertentangan dengan ajaran Islam. Tetapi pada sisi lain, sulit dibantah bahwa dalam Islam ada ajaran
“jihad” yang bisa dipahami dan diartikan dengan perang dalam pengertian khusus.
6
Hal ini kemudian mendorong banyak aksi-aksi kekerasan akibat dari pengkajian yang
tidak menyeluruh terhadap ajaran Islam. Bermula dari hancurnya sebuah pusat perbelanjaan yang terdapat di
Amerika berjuluk World Trade Center WTC, sebuah tragedi dahsyat yang mengantarkan tudingan miring terhadap eksistensi agama dan umat Islam di
seluruh dunia. Sejak saat itu berbergai dunia Islam, khususnya di Indonesia stigmatisasi baru muncul, konsep jihad yang ada di dalam ajaran Islam
diidentikkan dengan kekerasan, radikalisme dan terorisme. Sehingga di Barat konsep
“jihad Islam” diartikan dengan peperangan yang bermotifkan agama perang suci. Seolah-olah mereka menganggap bahwa perang merupakan
kewajiban bagi umat Islam dalam mengukuhkan eksistensi agama, sedangkan pedang dianggap sebagai instrumen yang beperan penting untuk menumpas
musuh-musuh Tuhan.
6
Penjelasan tentang masalah ini dapat dilihat pada bab berikutnya, namun untuk memberikan sebuah contoh penulis mengemukakan pendapat Murtadha Mutthaharhi yang menitik
beratkan jihad dalam arti perang. Bahwa perang yang sifatnya defensif itu sah bagi individu, selengkapnya baca; Murtadha Mutthaharhi, Jihad, terj. M. Hasem Bandar Lampung: Yapi, 1987,
h. 27.
5
Secara literatur istilah perang suci the holy war sebenarnya tidak dikenal dalam perbendaharaan Islam. Menurut Drs. Muhammad Chirzin istilah the holy
war berasal dari sejarah Eropa dan dimengerti sebagai perang karena alasan- alasan keagamaan. Pandangan Barat tersebut memberi corak kepada Islam sebagai
agama yang meyakini cara-cara kekerasan.
7
Meskipun sebagian pelaku terorisme mengklaim dan diklaim sebagai aktivis Islam, namun menjastis agama Islam sebagai pemicu yang bertanggung
jawab dibalik serangkaian aktivitas terorisme adalah sebuah tidakan yang sangat terburu-buru dan terlalu dini. Sebab seluruh tindakan yang pada prinsifnya
mengandung kekerasan dilarang dan bertolak belakang dengan ajaran Islam. Di dalam Islam haram hukumnya menghilangkan nyawa dan darah seseorang tanpa
alasan syar‟i, hal ini dapat dirujuk di dalam Al-Quran:
“Dan ingatlah, ketika Kami mengambil janji dari kamu yaitu: kamu tidak akan menumpahkan darahmu membunuh orang, dan kamu tidak
akan mengusir dirimu saudaramu sebangsa dari kampung halamanmu, kemudian kamu berikrar akan memenuhinya sedang kamu
mempersaksikannya. ”
Q.s. al-Baqarah [2]: 84 Dibutuhkan klarifikasi terhadap persoalan ini untuk menemukan
kebenaran tentang signifikansi spiritual jihad agar tidak ada kesalahan terhadap aplikasi dalam menjalankannya. Serta terhindar dari spekulasi negatif khususnya
7
Muhammad Chirzin, Jihad di Dalam Al- Qur‟an; Telaah Normatif, Historis, dan
Prospektif, Yogyakarta: MITRA PUSTAKA, 1997, cet. 1, h. 4.
6
dari kalangan umat Islam itu sendiri. Menjadi amat penting bagi setiap muslim untuk memperolah jawaban tuntas atas pertanyaan mendasar tentang jihad dan
batasan-batasannya. Kenyataaan di atas mendorong penulis mengadakan penelitian seputar perkembangan yang terjadi terhadap konsep jihad, yang
tertuang kedalam sebuah skripsi yang berjudul PENELUSURAN MAKNA DAN PENAFSIRAN JIHAD DARI MASA KE MASA.
Perbedaan pendapat dikalangan ulama dan cendikiawan Islam dalam mengkaji seputar konsep jihad seyogianya menjadi sebuah batu-loncatan dalam
menemukan solusi terhadap problematika kehidupan umat Islam dengan cara mencari titik temu. Kita seharusnya menghormati setiap perbedaan pandangan
yang terjadi di kalangan ulama agar perbedaan tersebut menjadi sebuah rahmat yang dapat mempersatukan umat Islam bukan sebaliknya, perbedaan tersebut
menjadi bencana yang mengantarkan kepada pertikaian di antara sesama muslim.
B. Pembatasan dan Perumasan Masalah