Latar Belakang Tinjauan Yuridis Asas Kesetaraan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perjanjian atau Verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan Hukum Kekayaanharta benda antara dua atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk memberi prestasi. 1 Suatu perjanjian adalah semata-mata untuk suatu persetujuan yang diakui oleh hukum. Persetujuan ini merupakan kepentingan yang pokok didalam dunia usaha dan menjadi dasar bagi kebanyakan transaksi dagang, seperti jual beli barang, tanah, pemberian kredit, asuransi, pengangkutan barang, pembentukan organisasi usaha dan sebegitu jauhnya menyangkut tenaga kerja. Dari pengertian singkat tersebut ada beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain: hubungan hukum rechsbetrekking yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang persoon atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi. 2 PerjanjianVerbintenis adalah hubungan hukumrechsbetrekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian mengandung hubungan hukum antara peroranganperson adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum. Perjanjian atau perikatan diatur dalam buku ke III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 1 M.Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1996, Hal 6 2 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian, , Bandung : Alumni, 1986, Hal 93 1 Universitas Sumatera Utara Suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu parjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya. 3 Kebebasan berkontrak adalah kebebasan para pihak yang terlibat dalam suatu kontrak untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian, kebebasan untuk menentukan dengan siapa mengadakan perjanjian, kebebasan untuk menentukan isi perjanjian, dan kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian. 4 Dengan demikian perjanjian kredit selain dikuasai oleh asas-asas umum hukum perjanjian, juga dikuasai oleh apa yang secara khusus disepakati oleh kedua belah pihak. Sesuai dengan asas yang utama dari suatu perikatan atau perjanjian yaitu asas kebebasan berkontrak seperti tersirat dalam Pasal 1338 KUH Perdata, maka pihak - pihak yang akan mengikat diri dalam perjanjian kredit tersebut dapat mendasarkan pada ketentuan-ketentuan yang akan ada pada KUH Perdata, tetapi dapat pula mendasarkan pada kesepakatan bersama. Artinya dalam hal-hal ketentuan yang memaksa, harus sesuai dengan ketentuan KUH Perdata; sedangkan dalam hal ketentuan tidak memaksa, diserahkan kepada para pihak. 5 Kasmir menyatakan bahwa Kredit disebut “credere” yang artinya percaya. Maksudnya sipemberi kredit percaya kepada penerima kredit, bahwa kredit yang 3 Suharnoko, Hukum Perjanjian,Teori dan Analisa Kasus, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2007, Hal. 1 4 Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebasan Berkontrak, Jakarta : PPS Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, Hal 38 5 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, , Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2006, Hal. 502-503 Universitas Sumatera Utara disalurkan pasti akan dikembalikan sesuai perjanjian. Sedangkan bagi sipenerima kredit berarti menerima kepercayaan, sehingga mempunyai kewajiban untuk membayar kembali pinjaman tersebut sesuai dengan jangka waktunya. Oleh karena itu, untuk meyakinkan Bank bahwa si nasabah benar-benar dapat dipercaya, maka sebelum kredit diberikan terlebih dulu Bank mengadakan analisis kredit. Analisis kredit mencakup latar belakang nasabah atau perusahaan, prospek usahanya, jaminan yang diberikan serta faktor-faktor lainnya. Tujuan analisis adalah agar Bank yakin bahwa kredit yang diberikan benar-benar aman. 6 Menurut Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, Kredit adalah: “Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. Penulis membatasi hanya mengadakan penelitian terhadap Perjanjian kredit Bank khusus untuk Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara Konvensional dalam kredit perorangan saja, tidak berdasarkan prinsip Syariah. Dalam kata kredit mengandung berbagai maksud. Atau dengan kata lain dalam kata kredit terkandung unsur-unsur yang direkatkan menjadi satu. Sehingga jika kita bicara kredit maka termaksud membicarakan unsur-unsur yang terkandung didalamnya. Setiap kredit yang disetujui dan disepakati antara pihak kreditur dan debitur maka wajib dituangkan dalam perjanjian kredit akad kredit secara tertulis. 7 6 Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002, Hal. 101 7 Muhammad Djumhana, Op.cit, Hal. 501 Universitas Sumatera Utara Perjanjian kredit ini perlu memperoleh perhatian yang khusus baik oleh Bank sebagai kreditur maupun oleh nasabah sebagai debitur, karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian, pengelolaan, dan penatalaksanaan kredit tersebut. Menurut CH. Gatot Wardoyo, dalam tulisannya mengenai sekitar Klausul-Klausul Perjanjian Kredit Bank, perjanjian kredit mempunyai fungsi-fungsi diantaranya: Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok. Artinya, perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidaknya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban di antara kreditur dan debitur. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit. 8 Dalam praktek perbankan bentuk dan format dari perjanjian kredit diserahkan sepenuhnya kepada Bank yang bersangkutan. Namun ada hal-hal yang tetap harus dipedomani, yaitu bahwa perjanjian tersebut rumusannya tidak boleh kabur atau tidak jelas, selain itu juga perjanjian tersebut sekurang-kurangnya harus memerhatikan keabsahan dan persyaratan secara hukum, sekaligus juga harus memuat secara jelas mengenai jumlah besarnya kredit, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali kredit, serta persyaratan lainnya yang lazim dalam perjanjian kredit. Hal-hal yang menjadi perhatian tersebut perlu guna mencegah adanya kebatalan dari perjanjian yang dibuat invalidity sehingga pada saat Selanjutnya, dalam mengisi materi perjanjian kredit tersebut para pihak akan mengadakan suatu perundingan yang menyangkut klausul-klausul yang perlu dicantumkan dalam perjanjian tersebut. 8 CH. Gatot Wardoyo, Sekitar Klausul-Klausul Perjanjian Kredit Bank, Bank dan Manajemen, Nopember-Desember, 1992, Hal 64-69 4 Universitas Sumatera Utara dilakukannya perbuatan hukum perjanjian tersebut jangan sampai melanggar suatu ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian pejabat bank harus dapat memastikan bahwa seluruh aspek yuridis yang berkaitan dengan perjanjian kredit telah selesai dan telah memberikan perlindungan yang memadai bagi bank. Dalam perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik yang telah dimulai sewaktu para pihak akan memasuki perjanjian tersebut, dengan demikian maka pembuatan perjanjian harus dilandasi asas kemitraan. Asas kemitraan mengharuskan adanya sikap dari para pihak, bahwa yang berhadapan dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian tersebut merupakan dua mitra yang berjanji. Terlebih lagi dalam pembuatan perjanjian kredit bank, asas kemitraan itu sangat diperlukan. 9 Latar belakang tumbuhnya perjanjian baku karena keadaan sosial ekonomi. Perusahaan besar, dan perusahaan pemerintah mengadakan kerjasama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingan mereka, ditentukan syarat-syarat secara sepihak. Pihak lawannya wederpartij pada umumnya mempunyai kedudukan ekonomi lemah baik karena posisinya, maupun karena ketidaktahuannya, hanya menerima Dalam prakteknya perjanjian kredit perbankan sering memakai perjanjian baku standard contract atau klasula baku menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Kosumen. 9 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, , Jakarta : PT. SUN, 2001, Hal. 275 5 Universitas Sumatera Utara apa yang disodorkan. Dengan penggunaan perjanjian baku ini, maka pengusaha akan memperoleh efisiensi dalam pengeluaran biaya, tenaga dan waktu. 10 Menurut Mariam Darus Badrulzaman klausula baku terjadi atas kehendak satu pihak yang dituangkan dalam perjanjian secara individual atau secara massal. Yang dimaksud massal di sini adalah bahwa telah dipersiapkan terlebih dahulu dan diperbanyak dalam bentuk formulir, yang dinamakan perjanjian baku. 11 Bentuk perjanjian yang baku tersebut tidaklah menjadi suatu pengingkaran atas asas kebebasan berkontrak sepanjang tetap ditegakkannya asas-asas umum perjanjian, seperti syarat-syarat yang wajar dengan menunjang keadilan dan adanya keseimbangan para pihak dengan menghilangkan suatu penekanan kepada pihak lainnya karena kekuatan yang dimiliki oleh salah satu pihak. Dengan demikian, rumusan perjanjian baku tersebut harus terhindar dari kandungan unsur- unsur yang akan mengakibatkan kecurangan yang sangat berlebihan dan terjadinya suatu pemaksaan karena adanya ketidakseimbangan kekuatan para pihak, juga harus dihindarkan pula syarat perjanjian yang hanya menguntungkan sepihak, atau risiko yang hanya dibebankan kepada sepihak pula, serta pembatasan dalam menggunakan upaya hukum. 12 10 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung : Penerbit Alumni, 1994, Hal 46. 11 Mariam Darus Badrulzaman, “Asas Kebebasan Berkontrak dan Kaitannya dengan perjanjian baku Standard” dalam Media Notariat No.28-29 Tahun VIII, Juli-Oktober, 1993, Hal. 45. 12 Muhammad Djumhana, Op.Cit. Hal 503-504 Perjanjian baku ini dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri meniadakan dan membatasi kewajiban salah satu pihak kreditur untuk membayar ganti rugi kepada debitur sebagai berikut: 6 Universitas Sumatera Utara 1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif kuat dari debitur; 2. Debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian itu; 3. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu; 4. Bentuknya tertulis; 5. Dipersiapkan dulu secara massal atau individual. 13 Melihat lemahnya posisi nasabah bank dalam pemberian fasilitas kredit, perlindungan hukum bagi nasabah menjadi sangat penting. Namun kenyataan sulit untuk menemukan aturan yang tegas tentang perlindungan hukum bagi nasabah bank, terutama tentang penggunaan kontrak baku dalam bisnis bank. Akibatnya pihak bank memanfaatkan situasi itu dengan menuangkan klausul eksonerasi yang berupa pembatasan tanggung jawab kreditur yang sebenarnya menurut hukum menjadi tanggungngannya yaitu pembatasan dari tanggung jawab memikul risiko yang mungkin timbul dari perjanjian tersebut. Dari uraian mengenai perjanjian baku tersebut dapat terlihat bahwa perjanjian baku itu tidak memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian, yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan asas kebebasan berkontrak yang tersirat dalam Pasal 1338 KUH Perdata. Undang-undang mengakui hak otonomi seseorang untuk secara bebas membuat perjanjian dengan siapapun serta dengan bebas pula menentukan isi perjanjian tersebut yang dikenal dengan asas kebebasan berkontrak, Selain asas tersebut, asas kekuatan mengikat menyatakan bahwa semua perjanjian yang 13 Mariam Darus Badrulzaman, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Medan, 1980, hal. 50 7 Universitas Sumatera Utara dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata. Asas fundamental lainnya dari hukum kontrak adalah konsensualisme. Ketiga asas dasar tersebut perlu ditambah satu asas lagi, yakni asas keseimbangan, agar dapat mengoper seluruh asas hukum kontrak pada khususnya ataupun instrumen hukum yang ada di dalam KUH Perdata dengan mendasarkan nilai dan norma hukum kita sendiri. 14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan nuansa baru karena undang-undang ini mengatur agar pelaku usaha tidak semena-mena mencantumkan klausula baku dalam menawarkan barang danatau jasa. Di dalam undang-undang tersebut tidak secara tegas dan jelas bidang usaha dari pelaku usaha, tetapi dapatlah dikatakan secara umum bahwa setiap penjual barangjasa termasuk tidak terbatas pihak perbankan yang merupakan lembaga penjual jasa pula. Di dunia perbankan, konsumen yang mengkonsumsi jasa dalam transaksi dengan bank dinamakan nasabah. Berdasarkan definisi konsumen menurut doktrin tersebut di atas dan mengingat bahwa “kredit” adalah benda bergerak tak bertubuh, dihubungkan dengan pengertian “tidak diperdagangkan” menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa nasabah yang tergolong konsumen adalah mereka yang memperoleh kreditutang konsumtif, seperti kredit pemilikan rumah atau tanah atau mobil dan bukan nasabah yang memperoleh fasilitas kredit lainnya dari bank. 14 Herlian Budiono, Het Evenwichtsbeginsel voor, het Indonisisch Contractenrecht, Contratenrecht op Indonesische Beginselen Geschoeid, disertasi. Leiden, 2001 8 Universitas Sumatera Utara Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memuat tentang larangan membuat dan atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan atau perjanjian bagi Pelaku usaha dalam menawarkan barang danatau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan. Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Khusus menyangkut larangan dalam pasal 18 ayat 1 huruf g yang berbunyi: “Pelaku usaha dalam menawarkan barang danatau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat danatau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan atau perjanjian apabila menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan danatau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya” Larangan ini dapat dimengerti karena ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen, akan tetapi dengan ketentuan tersebut banyak pelaku usaha merasa dirugikan, terutama pihak perbankan. Sesuai asas keseimbangan perlindungan konsumen yang dimaksud dalam undang-undang ini tidak harus berpihak hanya pada kepentingan konsumen tetapi merugikan kepentingan pelaku usaha. Seharusnya kepentingan semua pihak harus dilindungi, termasuk kepentingan pemerintah dalam pembangunan nasional dan harus mendapat porsi seimbang. 15 Notaris selaku pejabat umum pembuat akta perjanjian kredit baik perjanjianpengikatan kredit di bawah tangan atau akta di bawah tangan maupun 15 Ahmadi Miru Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : Penerbit PT.Rajagrafindo Persada, 2004 Universitas Sumatera Utara perjanjianpengikatan kredit yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris Notariil atau akta otentik seharusnya dapat berperan agar dapat mewujudkan keseimbangan antara kepentingan kreditur dan debitur dalam perjanjian kredit perbankan. Ada satu hal yang harus menjadi catatan bahwa Notaris sebagai pejabat umum tetap juga seorang manusia biasa sehingga di dalam mengadakan perjanjian kreditpengakuan hutang oleh atau dihadapan Notaris, tetap dituntut berperan aktif guna memeriksa segala aspek hukum dan kelengkapan yang diperlukan. Kemungkinan terjadi kesalahan atas suatu perjanjian kreditpengakuan hutang yang dibuat secara notariil tetaplah ada. Dengan demikian Account Officer tidak boleh secara mutlak bergantung kepada Notaris, melainkan Notaris harus dianggap sebagai mitra atau rekanan dalam pelaksanaan suatu perjanjian kreditpengakuan hutang. Dalam hubungan itu bank akan meminta Notaris yang bersangkutan untuk berpedoman kepada model perjanjian kredit yang telah ditetapkan oleh bank. Disamping itu Account Officer tetap mengharapkan legal opinion dari Notaris setiap akan mengadakan pelepasan kredit, sehingga Notaris dalam hal ini dapat berperan sebagai salah satu unsur filterisasi daripada legal asset suatu pelepasan kredit. Melihat sangat pentingnya atas adanya keseimbangan antara kreditur dan debitur dalam parjanjian kredit bank, maka penulis mencoba menganalisa dengan memilih judul: “TINJAUAN YURIDIS ASAS KESETARAAN DALAM PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN.” Universitas Sumatera Utara

B. Perumusan Masalah