B. Asas Kesetaraan Dalam Perjanjian Kredit
Sebagaimana dimaknai dalam bahasa sehari-sehari, kata seimbang evenwicht menunjuk pada pengertian suatu keadaan pembagian beban di
kedua sisi berada dalam keadaan seimbang.
33
a. Tujuan pertama dari suatu kontrak ialah memaksakan suatu janji dan
melindungi harapan wajar yang muncul darinya. Kontrak memiliki tiga tujuan dasar, sebagaimana digambarkan dibawah ini
secara singkat:
b. Tujuan kedua dari suatu kontrak ialah mencegah pengayaan upaya
memperkaya diri yang dilakukan secara tidak adil atau tidak benar. c.
Tujuan ketiga ialah to prevent certain kinds of harm. d.
Tujuan keempat dari kontrak ialah mencapai keseimbangan antara kepentingan sendiri dan kepentingan terkait dari pihak lawan.
34
Bahwa perjanjian adalah suatu proses yang bermula dari suatu janji menuju kesepakatan bebas dari para pihak dan berakhir dengan
pencapaian tujuan yaitu perjanjian yang tercapai dalam semangat atau jiwa keseimbangan. Dalam lingkup suasana hukum Indonesia tujuan dari
kontrak yakni tercapainya kepatutan sosial sociale gezindheid dan suatu keseimbangan selaras kemungkinan eksistensi materil immateriele
zijnsmogelijkheid. Perjanjian yang dari sudut substansi atau maksud dan tujuannya ternyata bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum
33
Herlien Budiono, Azas keseimbangan bagi hukum Perjanjian Indonesia, Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2006, Hal. 304
34
Herlien Budiono, Ibid, Hal. 309-310
Universitas Sumatera Utara
batal demi hukum nietig dan pada prinsipnya hal serupa akan berlaku berkenaan dengan perjanjian yang bertentangan dengan undang-undang.
Asas keseimbangan dilandaskan pada upaya mencapai suatu keadaan seimbang yang sebagai akibat darinya harus munculkan
pengalihan kekayaan secara absah. Tidak terpenuhinya keseimbangan, dalam konteks asas kesimbangan, bukan semata menegaskan fakta dan
keadaan, melainkan lebih dari itu berpengaruh terhadap kekuatan yuridikal perjanjian dimaksud. Dalam tercipta atau terbentuknya perjanjian,
ketidakseimbangan bisa muncul sebagai akibat perilaku para pihak sendiri atupun sebagi konsekwensi dari substansi muatan isi perjanjian atau
pelaksanaan perjanjian. Posisi tawar yang setara mengakibatkan para pihak berada dalam
situasi yang kurang lebih seimbang. Bila keadaannya seimbang, tidak ada seorang pun akan merasa dirugikan. Namun demikian, tentu bisa terjadi
situasi abnormal dan muncul ketidakseimbangan. Hal ini dapat terjadi bila salah satu pihak yang lebih kuat mengambil keuntungan dari situasi yang
lebih menguntungkannya. Akan tetapi situasi ini akan dapat diterima sepanjang tidak menguntungkan salah satu pihak, yang oleh pihak lawan,
karena posisi tawar yang rendah, terpaksa diterima. Situasi demikian merupakan konsekwensi kebebasan yang dapat memuaskan semua pihak
sepanjang pihak lawan tidak mengabaikan hak-hak dan peluang- peluangnya sendiri.
Menurut Ridwan Khairandy: Kebebasan berkontrak dan asas pacta sunt servanda dalam kenyataannya
dapat menimbulkan ketidakadilan. Kebebasan berkontrak didasarkan pada 30
Universitas Sumatera Utara
asumsi bahwa para pihak dalam kontrak memiliki posisi tawar bargaining position yang seimbang, tetapi dalam kenyataannya para pihak tidak
selalu memiliki posisi tawar yang seimbang. Akibatnya, pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih kuat cenderung menguasai pihak yang
yang memiliki posisi tawar yang lebih lemah.
35
Kemudian pada abad dua puluh timbul berbagai kritik dan keberatan terhadap kebebasan berkontrak baik yang berkaitan dngan
akibat negatif yang ditimbulkannya maupun kesalahan berpikir yang melekat didalamnya. Paradigma kebebasan berkontrak pada akhirnya
bergeser kearah paradigma kepatutan. Dengan demikian, walaupun kebebasan berkontrak masih menjadi asas penting dalam hukum kontrak
baik dalam civil law maupun common law, tetapi ia tidak lagi muncul seperti kebebasan berkontrak yang berkembang pada abad sembilan belas.
Sekarang kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan kebebasan tanpa batas. Negara telah melakukan sejumlah pembatasan kebebasan
berkontrak melalui peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.
Pembatasan kebebasan berkontrak tersebut setidak-tidaknya dipengaruhi oleh dua faktor, yakni:
1. Makin berpengaruhnya ajaran itikad baik di mana iktikad baik tidak
hanya ada pada pelaksanaan kontrak, tetapi juga harus ada pada saat dibuatnya kontrak.
2. Makin berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaan misbruik van
omstandigheden atau undue inflence.
35
Ridwan Khairandy,Op.cit, Hal. 1-2
31
Universitas Sumatera Utara
Kebebasan berkontrak hanya dapat mencapai keadilan jika para pihak memilki bargaining power yang seimbang. Jika bargaining power
tidak seimbang maka suatu kontrak dapat menjurus atau menjadi unconscionable.
36
Bargaining power yang tidak seimbang terjadi bila pihak yang kuat dapat
memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah, hingga pihak tang lemah mengikuti saja syarat-syarat kontrak yang diajukan kepadanya.
Syarat lain adalah kekuasaan tersebut digunakan untuk memaksakan kehendak sehingga membawa keuntungan kepadanya. Akibatnya, kontrak
tersebut menjadi tidak masuk akal dan bertentangan dengan aturan-aturan yang adil.
Di samping itu meskipun keseimbangan dan kesesuaian kedudukan para pihak itu ada, namun dalam pelaksanaan yang tercapai suatu hasil
yang tidak seimbang dan tidak sesuai tidak patut dan adil, ongelijkwaardigheid van resultaat.
Dasar bagi keseimbangan dan keserasian dalam perjanjian tersurat di dalam Pasal 1320 KUH Perdata, hanya dalam keadaan in concreto ada
keseimbangan dan keserasian maka tercapailah kesepakatankonsensus yang sah antara para pihak. Kalau syarat ini tidak dipenuhi, maka Pasal
1338 KUH Perdata tidak berlaku mutlak kebebasan untuk mengambil putusan tidak ada bagi salah satu pihak.
Selanjutnya Sutan Remy Sjahdeini menjelaskan:
37
Mengenai bagaimana seharusnya mengukur ada atau tidaknya bargaining power yang seimbang diantara para pihak dalam suatu
perjanjian, contoh kasus yang lemah terjadi dalam pengadilan Indonesia adalah antara lain saran Z. Asikin Kusumah Atmadja yang telah
36
Ibid, Hal. 185
37
Ibid, Hal. 185
32
Universitas Sumatera Utara
menyarankan acuan sebagaimana dikemukakan dalam catatan yang diberikan olehnya mengenai putusan Mahkamah Agung tanggal 14 Maret
1987 No. 3431 KPdt1985 yang telah disebutkan di muka. Menurut Sutan Remy Sjahdeini:
Dari pengalaman saya hampir 30 tahun bekerja sebagai pejabat bank, yang sebagian besar dari waktunya itu berkaitan dengan pemberian,
pengamanan dan penagihan kredit bank, serta dari pendengaran terhadap kejadian-kejadian dan pendapat-pendapat di dalam masyarakat, ada kesan
bahwa dalam hubungan antara bank dan nasabah debitur, bank selalu berada di posisi yang lebih kuat. Dari pengalaman saya sebagai pejabat
bank yang banyak menangani urusan perkreditan bank itu dan dari hasil pembicaraandiskusi, banyak pejabat-pejabat senior bank-bank Indonesia,
bahwa kesan ini sangat keliru. Sering sekali bahwa bank justru berada di posisi lemah bila berhadapan dengan debitur. Posisi bank dapat berbeda
pada saat kredit akan diberikan pada saat para pihak melakukan negosiasi untuk memasuki perjanjian kredit dibandingkan dengan saat kredit telah
digunakan oleh nasabah debitur. Posisi bank juga tergantung kepada golongan nasabah debitur yang menikmati kredit.
38
Dari putusan-putusan pengadilan, yaitu mengenai klausul-klausul dalam perjanjian kredit yang memberatkan nasabah debitur, dapat
diketahui bahwa bank sering dikalahkan oleh pengadilan hanya oleh karena pengadilan ingin melindungi pihak nasabah debitur yang dianggap
konsumen lemah. Sikap pengadilan tersebut bukan keliru bila hanya dilihat dari kacamata kepentingan nasabah debitur saja, tetapi tidak
demikian halnya bila pengadilan memperhatikan pula kewajibannya untuk melindungi kepentingan pihak lainnya didalam perjanjian kredit, yaitu
bank yang terutama bekerja dengan uang simpanan masyarakat, yang pada umumnya juga merupakan konsumen-konsumen lemah yang perlu
dilindungi. Apabila banyak kredit bank tidak dibayar kembali karena
38
Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit, Hal. 187
Universitas Sumatera Utara
sarana hukum tidak cukup untuk dapat melindungi kepentingan bank terhadap nasabah-nasabah debitur yang beritikad baik, maka tidak
mustahil bank-bank akan menjadi tidak likuid, yang pada gilirannya pasti merugikan nasabah-nasabah penyimpan dana yang perlu dilindungai
kepentingannya. Di samping itu pengadilan berkewajiban pula memperhatikan penerapan asas yang menetukan bahwa “orang yang
berhutang harus mengembalikan utangnya”. Sering pengadilan tidak memberikan pemecahan mengenai pengembalian kredit bank yang telah
digunakan oleh nasabah debitur dan macet, yang sering kemacetan itu justru sebagai akibat penyalahgunaan kredit oleh nasabah debitur.
Menurut KUH Perdata, perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, sedangkan itikad baik itu tidak saja bekerja setelah perjanjian
dibuat tetapi juga telah mulai bekerja sewaktu pihak-pihak akan memasuki atau menghadapi untuk memasuki perjanjian, maka pembuatan
perjanjian harus dilandasi asas kemitraan. Asas kemitraan mengharuskan adanya sikap dari para pihak bahwa yang berhadapan dalam membuat dan
melaksanakan perjanjian itu adalah antara dua mitra janji dan bukan dua lawan janji. Terutama pada pembuatan perjanjian kredit bank, asas
kemitraan itu sangat diperlukan. Landasan asas pada pembuatan perjanjian kredit bukan saja karena bekerjanya asas itikad baik, tetapi juga karena
bagi bank nasabah debitur adalah sesungguhnya mitra usaha bank. Oleh karena itu bank dan nasabah debitur harus saling menjadi mitra, maka
dalam perjanjian di antara mereka tidak boleh ada yang lebih kuat kedudukannya.
34
Universitas Sumatera Utara
C. Akta Perjanjian Kredit