Bank Dan Perjanjian Kredit.

ketentuan-ketentuan dari lembaga hukum apa yang harus diterapkan untuk menyelesaikan sengketa itu. Dalam hal ini penulis membatasi hanya membicarakan hubungan hukum antara nasabah debitur dengan bank yang dituangkan dalam perjanjian kredit bank yang dalam praktek pada umumnya memakai perjanjian standar Standard contract atau perjanjian baku.

C. Bank Dan Perjanjian Kredit.

Berkaitan dengan perjanjian kredit bank, dijumpai juga adanya permasalahan-permasalahan hukum yang bila dilihat dari kacamata kepentingan bank sangat merugikan bank. Beberapa permasalahan yang penting yang pada dewasa ini dihadapi oleh bank dalam kaitannya dengan perjanjian kredit, permasalahan- permasalahan itu adalah : 1. Tidak Dicantumkannya Klausul-Klausul Lingkungan Hidup Dapat Membahayakan Bank Terhadap Gugatan Ganti Kerugian Dan Tuntutan Pidana Karena Pencemaran Lingkungan Ada 3 alasan mengapa bank harus menempuh kebijakan perkreditan yang berwawasan lingkungan, alasan yang pertama adalah yang berkaitan dengan ketentuan Pasal 6 ayat 1 UULH. Menurut Pasal 6 ayat 1 UULH tersebut bahwa setiap orang bukan saja mempunyai hak tetapi juga mempunyai kewajiban untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. Berdasarkan penjelasan Pasal 5 ayat 1 undang-undang tersebut bahwa yang dimaksudkan dengan “setiap orang” pada Pasal 6 ayat 48 Universitas Sumatera Utara 1 itu seperti juga dimaksudkan pada paal 5 dan pasal-pasal lainnya adalah “orang seorang”, “kelompok orang”, atau “badan hukum”. Maka bank sebagai badan hukum 52 2. Grosse Akta Perjanjian Kredit Notariele Schuldbrief Ex Pasal 224 HIR mempunyai kewajiban pula berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. Pada akhir-akhir ini penuangan perjanjian kredit dalam bentuk akta notaris telah pula menghadapi masalah hukum, yang oleh dunia perbankan dirasakan sebagai pukulan berat. Adalah lazim bagi bank untuk membuat perjanjian kredit dalam bentuk notaris, terutama untuk kredit-kredit yang menurut pertimbangan masing-masin bank yang bersangkutan dinilai sebagai kredit-kredit besar. Tujuan bank untuk membuat perjanjian kreditnya dalam bentuk akta notaris adalah untuk dapat memanfaatkan ketentuan Pasal 224 HIR, selama ini kalangan notaris dan perbankan berpendapat bahwa grosse akta perjanjian kredit adalah notarielle schuldbrief yang memenuhi ketentuan ex Pasal 224 HIR. Kalangan perbankan berpendapat bahwa dengan adanya klausul pengakuan hutang tersebut, maka grosse akta perjanjian kredit telah identik dengan grosse surat hutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 HIR, sehingga dengan demikian apabila debitur tidak melunasi hutangnya wanprestasi, bank berdasarkan grosse akta yang bertitel eksekutorial “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, dapat langsung memohon eksekusi kepada pengadilan untuk memaksa debitur membayar hutangnya kepada bank, tanpa harus melakukan 52 Sesuai dengan bentuk hukum suatu bank umum menurut Pasal 21 Undang-undang perbankan 1992 Universitas Sumatera Utara gugatan perdata. Dengan cara yang demikian dalam praktek sangat membantu penyelesaian kredit macet dan dapat berjalan lancar karena pengadilan Negeri selalu mengabulkan permohonan eksekusi grosse akta berdasarkan Pasal 224 HIR walaupun akadnya berupa grosse akta perjanjian kredit. 3. Klausul Arbitrase Dalam Perjanjian Kredit Sebagai Alternatif Untuk Menyelesaikan Kredit Macet Adalah Shidarta P. Soerjadi, yang untuk pertama kalinya menganjurkan kepada umum untuk memanfaatkan Badan Arbitrase Nasional Indonesia BANI untuk menyelesaikan sengketa antara bank dan nasabah debitur dengan mencantumkan klausul arbitrase pada setiap perjanjian kredit. “Kepada masyarakat perlu diberi penerangan”, demikian disarankannya, “mengenai manfaat penyelesaian sengketa dibidang perkreditan jpada arbitrase dan diharapakan kepada para pengusaha mulai membiasakan diri mencantumkan klausula arbitrase pada setiap pembuatan perjanjiannya, sehingga bila timbul sengketa dapat diminta putusan dari BANI. 53 Saran shidarta ini dikemukakan dalam simposium aspek-aspek masalah perkreditan yang diadakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional tahun 1981 yang lalu. Sayang sekali sampai sekarang saran yang sangat baik ini tidak mendapat sambutan dari perbankan dan pengusaha. Dalam perjanjian-perjanjian kredit yang baku yang dikeluarkan oleh bank-bank di 53 Sidharta P. Soerjadi, Op.Cit, Hal. 31-32 50 Universitas Sumatera Utara Indonesia sampai sekarang belum ada yang memuat klausul arbitrase didalamnya. 4. Pelunasan Kredit Oleh Nasabah Debitur Sebelum Jangka Waktu Kredit Dapat Merugikan Bank Adalah sudah menjadi pengertian yang lazim dalam praktik perbankan di Indonesia bahwa kecuali bila terjadi hal-hal yang diisyaratkan didalam perjanjian kredit, misalnya nasabah debitur melakukan pelanggaran atas syarat-syarat kredit yang dapat diklasifikasikan sebagai even of default, maka bank sebelum berakhirnya jangka waktu kredit tidak berhak untuk menarik kembali kredit itu, seingga selama jangka waktu itu bank tidak berhak melarang nasabah debitur untuk menggunakan kelonggaran tarik kreditnya. Dilihat dari kepentingan nasabah debitur ini merupakan tujuan dari perlunya ditetapkan jangka waktu kredit. Apabila bank tidak berhak menarik kembali kredit itu selama jangka waktu kredit masih berjalan. Maka bagaimanakah dengan hak nasabah debitur untuk melunasi kredit sebelum jangka waktu kredit berakhir. Kebiasaan dalam praktek perbankan yang berlaku di Indonesia ialah bahwa sepanjang tidak diperjanjikan sebaliknya, nasabah debitur dapat sewaktu-waktu membayar angsuran-angsuran kredit sebelum waktu yang ditentukan didalam jadwal angsuran atau untuk melunasi seluruh baki debet pinjaman sebelum jatuh tempo perjanjian kredit. 5. Tidak Lengkap Dan Jelasnya Rincian Klausul-Klausul Representations And Warranties Dapat Melemahkan Kedudukan Bank Universitas Sumatera Utara Hanya baru beberapa tahun ini kita jumpai klausul Representations and warranties didalam perjanjian-perjanjian kredit yang dibuat oleh bank-bank pemerintah dan bank-bank swasta nasional di Indonesia. Pada perjanjian-perjanjian kredit yang dibuat oleh bank-bank asing, terutama bank-bank asing yang berasal dari negara-negara yang menganut sistem common law. Klausul ini selalu dapat dijumpai. Pencantuman klausul ini di dalam perjanjian kredit bank-bank asing di Indonesia atau pengaruh dari perjanjian-perjanjian syndicated loan antara bank-bank pemerintah dan swasta nasional tersebut dengan bank-bank luar negeri dan bahkan pengaruh dari mempelajari perjanjian-perjanjian kredit bank-bank di luar negeri.

D. Asas Kesetaraan di Dalam Perjanjian Kredit Bank