Jenis-Jenis Dari Perjanjian Yang Dilarang

menguntungkan. Pengertian perjanjian sepihak menurut Undang-Undang No.5 Tahun 1999 dianggap mempunyai kelemahan. Kelemahan pengertian perjanjian menurut Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tidak bisa dianggap tidak penting, karena ia akan memungkinkan lebih mudahnya orang terkena pidana di dalam perjanjian-perjanjian yang per se illegal. Kalau perjanjian sepihak tidak dilarang, keadaan ini akan disalahgunakan, sehingga akan terjadi perjanjian sepihak yang ditaati oleh pihak-pihak yang sebenarnya tidak terikat yang akhirnya merusak persaingan. Hal ini bisa diatasi dengan menambah suatu ketentuan lain, seperti persekongkolan. Dengan ini, walaupun pasal perjanjian tidak bisa diberlakukan, mereka akan terkena ketentuan persekongkolan tersebut. Sebagai akhir dari pengertian perjanjian yang dilarang ini, maka perlu lagi diketahui bahwa pengertian yang defenitif mengenai perjanjian yang dilarang tidak diberikan dan tidak diatur dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999. Dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999 hanya diberikan dan ditekankan saja mengenai pengertian perjanjian semata, namun tidak ada ditekankan mengenai pengertian perjanjian yang dilarang.

B. Jenis-Jenis Dari Perjanjian Yang Dilarang

Dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999 terdapat 11 sebelas macam perjanjian yang dilarang untuk dibuat oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16. Dilarangnya jenis- jenis perjanjian itu disebabkan karena dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Adapun jenis-jenis perjanjian tersebut adalah sebagai berikut: 1. Perjanjian Oligopoli Pasal 4 Dari perumusan Pasal 4 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 dapat dilihat bahwa suatu perjanjian yang menimbulkan oligopoli dilarang jika terpenuhinya unsur-unsur sebagai berikut: 1. Adanya suatu perjanjian. 2. Perjanjian tersebut dibuat antarpelaku usaha. 3. Tujuan dibuatnya perjanjian tersebut adalah untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaan barang atau jasa. 4. Perjanjian tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan curang. 5. Praktek monopoli atau persaingan curang patut diduga telah terjadi jika dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75 tujuh puluh lima persen pangsa pasar dari satu jenis barang atau jasa. 57 Dalam Pasal 4 ini tidak menjelaskan apakah penguasaan pangsa pasar sebesar 75 tujuh puluh lima persen itu ditentukan jangka waktunya, misalnya tidak boleh terjadi dalam waktu satu bulan, satu tahun dan sebagainya. Begitu juga tidak dijelaskan cakupan pasar yang dimaksud. Misalnya apakah pangsa pasar yang dikuasai itu berskala nasional, provinsi, kabupaten dan sebagainya. 58 Berdasarkan Pasal 4 ini, perjanjian oligopoli dilarang apabila dapat merugikan 57 Munir Fuady, Op.Cit., hlm. 53-54. 58 Insan Budi Maulana, Catatan Singkat UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007, hlm. 18-19. persaingan, jadi bersifat rule of reason bukan per se illegal. Hal ini karena larangan oligopoli hanya dimasukkan dalam kategori perjanjian yang dilarang, yang dapat mempersempit cakupan larangan tersebut mengingat keterbatasan arti perjanjian. 59 Dalam penerapannya, harus diteliti dengan seksama apakah suatu perjanjian oligopoli itu merupakan tindakan yang dilarang atau tidak, karena tidak semua oligopoli merupakan pelanggaran. Untuk itu harus diperhatikan unsur- unsur: 1. Apakah tindakan tersebut terjadi pada suatu pasar yang tertentu baik pasar produk maupun pasar geografis; 2. Selidiki pula apakah pelaku atau para pelaku usaha tersebut memiliki kekuatan untuk menguasai pasar tersebut; 3. Kemudian harus diperhatikan apakah pelaku atau para pelaku usaha tersebut dalam melakukan praktek monopoli tersebut mempunyai niat atau kesengajaan untuk melakukan praktek monopoli. Bila ketiga unsur ini dipenuhi barulah pelaku atau para pelaku usaha tersebut dapat dikenakan pasal ini. 60 2. Perjanjian Penetapan Harga Pasal 5 Yaitu dimana pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas mutu suatu barang atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama. Sebenarnya, adanya penetapan harga ini merupakan ancaman bagi para pendatang 59 Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 43. 60 Asril Sitompul, Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; Tinjauan Terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999, hlm. 45. baru dalam suatu bisnis, karena hal tersebut dapat mematikan persaingan, karena dengan penetapan harga ini kemungkinan pendatang baru tidak dapat untuk mengikutinya. Persetujuan untuk menetapkan harga ini merupakan pelanggaran, baik yang dilakukan dengan penetapan harga tertinggi, maupun penetapan harga terendah, karena pada hakikatnya tujuan larangan ini adalah untuk menciptakan harga yang kompetitif, bukan semata-mata harga yang paling murah. Dengan adanya larangan ini para pelaku usaha diharuskan untuk berhati-hati, karena dalam praktek hal ini banyak sekali terjadi. 61 Akan tetapi undang-undang memberikan pengecualian terhadap larangan membuat perjanjian tentang pelaku usaha ini, yaitu jika perjanjian penetapan harga tersebut dibuat dalam hal suatu usaha patungan atau didasarkan pada Undang-Undang yang berlaku Pasal 5 ayat 2. 62 3. Diskriminasi Harga Pasal 6 Pada pasar tertentu, produsen dapat menetapkan harga yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk suatu produk. 63 Hal ini dilakukan karena mungkin produsen dapat menghasilkan laba jauh lebih tinggi dibandingkan jika produsen hanya menetapkan satu harga untuk semua konsumen. 64 61 Asril Sitompul, Op.Cit., hlm. 47-48. 62 Munir Fuady, Op.Cit., hlm. 56. 63 Knud Hansen, dkk., Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Jakarta: Katalis, 2002, hlm. 157. 64 Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 48-49. Ada tiga jenis dan tingkatan diskriminasi harga, yaitu: 65 1. Diskriminasi harga sempurna, dimana produsen menetapkan harga yang berbeda untuk semua konsumen. Dalam hal ini setiap konsumen akan dikenakan harga yang tertinggi menurut kesanggupannya untuk membayar. 2. Pada situasi dimana produsen tidak dapat mengindentifikasi berapa harga maksimum yang dibayar oleh konsumen, maka produsen dapat menerapkan diskriminasi harga tingkat kedua, yaitu menerapkan harga yang berbeda untuk setiap pembeli berdasarkan jumlah barang yang dibeli. Makin sedikit kuantitas barang yang dibeli oleh konsumen maka harga semakin tinggi. 3. Diskriminasi harga yang diterapkan berdasarkan pembedaan karakteristik kelompok konsumen yang akan membeli juga berdasarkan perbedaan demografis kelompok konsumen tersebut. Misalnya suatu swalayan yang memberikan potongan harga untuk siswa sekolah, atau hotel yang memberikan potongan harga bagi penginap yang lanjut usia. 66 4. Perjanjian Penetapan Harga di Bawah Harga Pasar Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang No.5 Tahun 1999, perjanjian penetapan harga di bawah biaya marjinal yang dilarang adalah perjanjian yang dibuat pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya dengan tujuan menetapkan harga di bawah pasar, yang membawa akibat timbulnya persaingan usaha tidak sehat dan terjadinya praktek monopoli. Sebenarnya apabila produsen menetapkan 65 Ibid., hlm. 49-50. 66 Ayudha D. Prayoga, dkk., Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di Indonesia, Jakarta: Partnership for Business Competition, 2001, hlm. 76-77. harga yang rendah bahkan sampai dibawah harga pasar, hal tersebut tidak langsung menyebabkan implikasi negatif. Karena pada awalnya justru memberi keuntungan pada konsumen dalam jangka pendek, tetapi di pihak lain akan sangat merugikan pesaing produsen lain. Akan tetapi, hal ini dapat mengakibatkan produsen lain tidak mampu bersaing dan terpaksa keluar dari pasar. Demikian pula produsen lainnya yang akan masuk ke dalam pasar akan mengurungkan niatnya karena hanya akan berdampak kerugian baginya. Jika kondisi ini terjadi maka para produsen yang mengadakan perjanjian menetapkan harga di bawah harga pasar itu akhirnya tidak mempunyai pesaaing lagi. Sehingga pada gilirannya mereka akan leluasa menaikkan harga setinggi-tingginya demi meraih kompensasi dari kerugiannya selama ini dan akhirnya untuk mencapai keuntungan yang maksimum. 67 5. Perjanjian Penetapan Harga Jual Kembali Dalam Pasal 8 Undang-Undang No.5 Tahun 1999, pelaku usaha supplier dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha distributor untuk menetapkan harga vertikal resale price maintenance, dimana penerima barang dan atau jasa selaku distributornya tidak boleh menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang telah diterimanya dari supplier tersebut dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sebelumnya antara supplier dan distributor, sebab hal ini akan dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. 68 Penetapan harga jual kembali apakah dalam harga yang maksimum atau minimum 67 Knud Hansen, dkk., Op.Cit., hlm. 161-162. 68 Ayudha D. Prayoga, dkk., Op.Cit., hal. 51. dapat di samping mengandung argumentasi efisiensi juga dapat berakibat pada persaingan usaha yang tidak sehat. 6. Perjanjian Pembagian Wilayah Pasal 9 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk mengadakan perjanjian pembagian wilayah market allocation, baik yang bersifat vertikal atau horizontal. Perjanjian ini dilarang karena pelaku usaha meniadakan atau mengurangi persaingan dengan cara membagi wilayah pasar atau alokasi pasar. 69 Wilayah pemasaran disini dapat berarti wilayah negara Republik Indonesia atau bagian wilayah negara Republik Indonesia. Membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar itu berarti membagi wilayah untuk memperoleh atau memasok barang, jasa atau barang, dan jasa tertentu. Sebenarnya larangan pembagian wilayah yang dilarang oleh Pasal 9 dari Undang-Undang No.5 Tahun 1999, hanya sebagian saja dari pelarangan pembagian pasar seperti biasanya dilarang oleh hukum anti monopoli. Dalam ilmu hukum antimonopoli, dikenal berbagai macam pembagian pasar secara horizontal yang secara yuridis tidak dibenarkan, yaitu: 70 1. Pembagian Pasar Teritoreal Dalam hal ini yang dibagi adalah teritoreal dari pasar, misalnya seorang pelaku usaha mendapat hak untuk beroperasi di pasar Jakarta Utara dan Jakarta Pusat, sementara pelaku kompetitornya mendapat hak untuk beroperasi di Jakarta Timur, Jakarta Barat, dan Jakarta Selatan. 69 Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 53. 70 Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm. 92. 2. Pembagian Pasar Konsumen Yang dimaksud pembagian pasar konsumen ini adalah dilakukan pembagian dimana konsumen tertentu menjadi pelanggan seorang pelaku pasar, konsumen yang lain menjadi pelanggan dari pihak pelaku pasar pesaingnya. 3. Pembagian Pasar Fungsional Yang dimaksud dengan pembagian pasar fungsional adalah bahwa pasar dibagi berdasarkan fungsinya. Misalnya pasar distribusi barang tertentu diberikan kepada kelompok pelaku pasar yang satu, sementara untuk pelaku pasar retail barang yang sama diberikan kepada kelompok pelaku pasar lainnya. 4. Pembagian Pasar Produk Dalam pembagian pasar produk ini, agar satu pelaku usaha dengan yang lainnya tidak saling berkompetisi, maka dibagikan pasar menurut jenis produk dari suatu garis produksi yang sama. Misalnya untuk penjualan sparepart mobil merek tertentu, seorang pelaku usaha memasok suku cadang yang kecil-kecil, sementara pelaku usaha pesaingnya memasok suku cadang yang besar-besar. 7. Perjanjian Pemboikotan Pelaku usaha juga dilarang untuk membuat perjanjian untuk melakukan pemboikotan boycott. Pasal 10 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 menyatakan pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. Atau pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut akan merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain; atau membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan. Pemboikotan pada umumnya dilakukan secara bersama-sama grup boikot. 71 Pemboikotan secara kolektif atau kelompok dianggap sebagai hambatan persaingan yang serius, karena menghalangi pesaing atau pihak ketiga untuk menjual barangatau jasa pada pasar yang bersangkutan. Pemboikotan ini merupakan perjanjian horizontal antara pelaku usaha pesaing untuk menolak mengadakan hubungan dagang dengan pelaku usaha lain. Pemboikotan ini dapat menutup akses kepada input yang diperlukan oleh pesaing-pesaing lain. 72 8. Perjanjian Kartel Dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999, perjanjian dalam bentuk kartel itu dilarang, umumnya yang dimaksud dengan kartel adalah suatu bentuk kerjasama dari beberapa produsen dari produk-produk tertentu. Tujuan dari perjanjian kartel ini biasanya untuk mengawasi produksi, penjualan, dan harga dari suatu produk barang danatau jasa tertentu. Di samping itu kartel dapat pula diartikan sebagai bentuk himpunan di dalam perusahaan-perusahaan dimana mereka mempunyai kepentingan yang sama, dan dituangkan dalam bentuk 71 Asril Sitompul, Op.Cit., hlm. 53. 72 Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 51. kontrak dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kompetisi, pengalokasian, serta untuk mempromosikan pertukaran hasil dari riset atau produk tertentu. 73 Dalam praktik, anggota kartel biasanya dapat menetapkan suatu harga ataupun suatu persyaratan tertentu atas suatu produk dengan tujuan menghambat persaingan, sehingga dengan cara demikian diharapkan dapat memberikan keuntungan dengan para anggota perhimpunan. Sifat destruktif dari kualifikasi perjanjian kartel ini bertujuan untuk menghambat aktivitas bisnis seluas-luasnya terhadap masuknya pesaing baru dalam pasar. 74 9. Perjanjian Trust Salah satu bentuk perjanjian yang dilarang dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999 adalah perjanjian trust yang terdapat dalam Pasal 12. Pengertian trust itu sendiri dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999 dapat diartikan sebagai suatu kerjasama dalam membentuk gabungan perusahaan atau perseroan, untuk membentuk sebuah kongsi bisnis dalam bentuk perusahaan secara lebih besar dari perusahaan sebelumnya. Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 12 Undang- Undang No.5 Tahun 1999, maka trust dikualifikasikan sebagai perjanjian yang dilarang apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 75 1. Adanya suatu perjanjian; 2. Perjanjian tersebut dibuat dengan pelaku usaha lain; 3. Melalui perjanjian tersebut telah nyata-nyata dibuat suatu bentuk kerja sama melalui pembentukan usaha yang lebih besar; 4. Perusahaan-perusahaan yang merupakan anggota trust masih tetap eksis; 73 Suyud Margono, Op.Cit., hlm. 93. 74 Ibid ., hlm. 94. 75 Ibid., hlm. 95. 5. Tindakan perjanjian tersebut bertujuan untuk mengontrol produksi danatau pemasaran atas barang atau jasa dan dapat diduga menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. 10. Oligopsoni Pasal 13 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Edisi Kedua yang disusun oleh Christopher Pass dan Bryan Lowes, olygopsony atau oligopsoni diartikan sebagai suatu bentuk dari pemusatan pembeli buyer concentration yaitu suatu situasi pasar market di mana beberapa pembeli besar berhadapan dengan banyak pembeli-pembeli yang kecil. 76 Pembeli-pembeli yang kuat biasanya mampu mendapatkan keuntungan dari para pemasok atau penjual dalam bentuk potongan harga dari pembelian dalam jumlah besar bulk buying, dan dalam bentuk kredit yang diperpanjang. 77 Dengan demikian, menurut Undang-Undang No.5 Tahun 1999, perjanjian yang mengakibatkan oligopsoni dilarang jika atau setidaknya telah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 78 1. Adanya suatu perjanjian. 2. Perjanjian tersebut dibuat dengan pelaku usaha lain. 3. Perjanjian tersebut dibuat oleh 2 dua atau 3 tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha untuk menguasai pembelian ataupun penerimaan barang pasokan danatau jasa tertentu. 76 Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, hlm. 34. 77 Ibid. 78 Suyud Margono, Op.Cit., hlm. 96-97. 4. Penguasaan pasar tersebut ditentukan lebih dari 75 tujuh puluh lima persen. 5. Tujuan perjanjian agar harga di pasar dapat dikendalikan. 6. Dibuatnya perjanjian tersebut mengakibatkan praktik monopoli danatau persaingan usaha tidak sehat. 11. Integrasi Vertikal Yang dimaksud dengan integrasi vertikal adalah suatu penguasaan dengan serangkaian cara atau proses produksi atas barang tertentu dilakukan mulai dari hulu sampai hilir proses yang berlanjut pada layanan jasa tertentu. 79 Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Edisi Kedua yang disusun oleh Christopher Pass dan Bryan Lowes, integrasi vertikal diartikan sebagai suatu elemen dari strutur pasar market structure di mana sebuah perusahaan melakukan sejumlah tahap yang berurutan dalam penawaran sebuah produk, sebagai kebalikan pelaksanaan yang hanya pada satu tahap saja integrasi horizontal. 80 Apabila suatu perusahaan telah menguasai satu atau lebih tahapan vertikal, maka integrasi vertikal dapat membawa dampak anti persaingan. 81 Integrasi ke depan dapat menjamin suatu pasar tetapi juga menutup pasar tersebut terhadap para pesaing, dengan hal yang sama, integrasi ke belakang dapat menjamin sumber-sumber penawaran, tetapi juga dapat digunakan untuk mencegah pesaing-pesaing untuk memperoleh jalan masuk ke sumber-sumber tersebut. 79 Ibid., hlm. 97. 80 Hermansyah, Op.Cit., hlm. 35. 81 Ibid., hlm. 36. 12. Perjanjian Tertutup Perjanjian dalam Pasal 15 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 disebut juga dengan perjanjian tertutup tying dan pelaku usaha biasanya memiliki kekuatan pasar pada salah satu produknya sehingga dapat memaksakan kehendak kepada pelanggannya untuk membeli produk yang lain yang belum tentu dibutuhkan atau menjadi pilihannya. Bentuk perjanjian tertutup yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 82 1. Penerima produk hanya memasok kembali produk tersebut kepada pihak yang ditentukan saja. 2. Penerima produk tidak akan memasok kembali produk tersebut kepada pihak yang ditentukan. 3. Penerima produk hanya akan memasok kembali produk tersebut pada tempat yang ditentukan saja. 4. Penerima produk tidak akan memasok kembali produk tersebut pada tempat yang ditentukan. 5. Penerima produk harus bersedia membeli produk lain dari pemasok tersebut tie-in contract. 6. Penerima produk diberikan potongan harga harga murahdi bawah rata-rata jika bersedia membeli produk lain dari pelaku pemasok yang ditentukan. 82 Suyud Margono, Op.Cit., hlm. 99. 13. Perjanjian Dengan Pihak Luar Negeri Dari Pasal 16 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 dapat disimpulkan bahwa perjanjian dengan pihak luar negeri yang dilarang adalah yang dibuat pelaku usaha dengan perjanjian yang memuat ketentuan-ketentuan tidak wajar atau dapat menimbulkan praktik monopoli danatau persaingan usaha tidak sehat. Maka dapat dikatakan bahwa membuat perjanjian dengan pihak luar negeri sebenarnya diperbolehkan atau sah saja, karena sesuai dengan perkembangan dan pesatnya transaksi bisnis lintas negara yang menjadi praktik bisnis. 83 Ketentuan yang dilarang adalah apabila perjanjian tersebut dapat mengakibatkan terjadinya prakrik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

C. Kartel Sebagai Perjanjian Yang Dilarang Berdasarkan Undang-Undang

Dokumen yang terkait

ANALISIS PERJANJIAN WARALABA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

1 3 13

ANALISIS EFEKTIVITAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT TERHADAP PEMBATASAN PRAKTEK KARTEL DI INDONESIA.

0 3 10

STUDI KASUS PUTUSAN KPPU PERKARA NOMOR 12/KPPU-L/2010 MENGENAI DUGAAN PELANGGARAN TERHADAP UNDANG-UNDANG No. 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DALAM PENGA.

0 0 2

ANALISIS MENGENAI PEMENUHAN UNSUR PERJANJIAN PENETAPAN HARGA DALAM PRAKTEK KARTEL TERHADAP PUTUSAN KPPU NO.25/KPPU-I/2009 DIKAITKAN UNDANG-UNDANG NO.5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DA.

0 1 1

KARTEL DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 (STUDI KASUSPUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 24/KPPU-I/2009 TENTANG INDUSTRI MINYAK GORENG SAWIT DI INDONESIA).

0 1 12

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

0 0 19

PASAR PERSAINGAN TIDAK SEMPURNA MONOPOLI

0 2 21

PERANAN KPPU DALAM MENEGAKKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

0 0 8

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM KARTEL DALAM UNDANG - UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT - Raden Intan Repository

0 0 98

PENEGAKAN HUKUM PERSEKONGKOLAN TENDER DALAM PERSAINGAN USAHA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT (Studi Putusan Perkara Nomor 01/KPPU-L/2016 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 22 Undang

0 0 15