BAB III KARTEL SEBAGAI PERJANJIAN YANG DILARANG BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999
A. Pengertian Perjanjian Yang Dilarang
Perikatan dan perjanjian menunjuk pada dua hal yang berbeda.
47
Perikatan berasal dari bahasa Belanda verbitennis atau bahasa Inggrisnya binding, dan
dalam bahasa Indonesia selain diterjemahkan sebagai perikatan juga ada yang menerjemahkan sebagai “perutangan”.
48
Perikatan adalah suatu istilah atau pernyataan yang bersifat abstrak, yang menunjuk pada hubungan hukum dalam
lapangan harta kekayaan antara dua atau lebih orang atau pihak, dimana hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban pada salah satu pihak yang terlibat dalam
hubungan hukum tersebut. Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang terjadi baik karena perjanjian maupun karena hukum.
Meskipun bukan paling dominan, namun pada umumnya perikatan yang lahir dari perjanjian merupakan yang paling banyak terjadi dalam kehidupan
manusia sehari-hari. Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat kita temui landasannya pada ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian baik karena Undang-Undang.
49
Ketentuan tersebut dipertegas lagi dengan rumusan ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa suatu perjanjian
47
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 1.
48
Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993, hlm. 26.
49
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Loc.Cit.
adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
50
Kata perjanjian secara umum dapat mempunyai arti luas dan sempit. Dalam arti luas, suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan
akibat hukum sebagai yang dikehendaki atau dianggap dikehendaki oleh para pihak, termasuk di dalamnya perkawinan, perjanjian kawin dan lain-lain. Dalam
arti sempit, perjanjian hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja.
51
Pada umumnya perjanjian tidak terikat pada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan dan andaikata dibuat secara tertulis maka ini bersifat sebagai
alat bukti apabila terjadi perselisihan. Untuk beberapa perjanjian tertentu, Undang-Undang menentukan suatu bentuk tertentu, sehingga apabila bentuk itu
tidak dituruti maka perjanjian itu tidak sah.
52
Dengan demikian suatu perjanjian itu tidak mutlak disyaratkan harus dalam bentuk tertulis, hanya dalam hal tertentu,
bentuk perjanjian yang tertulis itu akan menjadi syarat adanya suatu perjanjian tersebut.
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 menyebutkan defenisi perjanjian yaitu suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan
diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.
53
Berdasarkan perumusan pengertian tersebut, dapat
50
Ibid., hlm. 2.
51
J. Satrio, Hukum Perikatan ; Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Buku 1, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995, hlm. 28.
52
Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 65.
53
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Pasal 1 angka 7.
disimpulkan unsur-unsur perjanjian menurut konsepsi Undang-Undang No.5 Tahun 1999 meliputi:
1. Perjanjian terjadi karena suatu perbuatan;
2. Perbuatan tersebut dilakukan oleh pelaku usaha sebagai para pihak dalam
perjanjian; 3.
Perjanjian dapat dibuat secara tertulis atau tidak tertulis; 4.
Tidak menyebut tujuan perjanjian.
54
Dengan demikian, sungguhpun mungkin sulit dibuktikan, perjanjian lisan secara hukum sudah dapat dianggap perjanjian yang sah dan sempurna. Unsur
adanya perjanjian tetap disyaratkan, dimana perjanjian lisan dianggap sudah cukup memadai untuk menyeret si pelaku untuk bertanggung jawab secara
hukum.
55
Para ahli menganggap rumusan perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata selain kurang lengkap juga terlalu luas. Perjanjian lahir karena ada
persetujuan atau kesepakatan di antara para pihak, bukan persetujuan sepihak saja. Pengertian perbuatan di sini juga tidak terbatas, mencakup perbuatan secara
sukarela dan perbuatan yang bersifat melawan hukum. Dengan demikian, baik KUHPerdata maupun Undang-Undang No.5 Tahun 1999 sama-sama merumuskan
pengertian perjanjian dalam pengertian yang luas. Menurut Undang-Undang No.5 Tahun 1999, subjek hukum di dalam
perjanjian tersebut adalah “pelaku usaha”. Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No.5
54
Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004, hlm. 37.
55
Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli ; Menyongsong Era Persaingan Sehat, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003, hlm. 51.
Tahun 1999 menyatakan, yang dimaksudkan dengan “pelaku usaha” adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau
bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-
sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
56
Dengan demikian, berdasarkan perumusan yang diberikan Pasal 1 angka 5 tersebut, subjek hukum di dalam perjanjian bisa berupa
perseorangan atau badan usaha yang berbadan hukum atau bukan badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara.
Badan usaha dimaksud adalah badan usaha yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan usaha dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia. Dengan kata lain, badan usaha asing tidak dapat dijerat dengan Undang-Undang No.5 Tahun 1999. Pasalnya, hanya badan usaha yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan usaha dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia yang dapat dijerat dengan Undang-Undang No.5
Tahun 1999. Demikian pula, baik batang tubuh maupun penjelasan Undang- Undang No.5 Tahun 1999 tidak menjelaskan lebih lanjut apakah orang
perseorangan di sini juga harus berkedudukan atau melakukan kegiatan usaha bisnis di dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia atau tidak.
Perjanjian yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 7 tersebut adalah perjanjian sepihak. Namun, tidak berarti hanya perjanjian sepihak yang terkena
Undang-Undang No.5
Tahun 1999.
Jangkauan berlakunya
sangat
56
Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999, Pasal 1 angka 5.
menguntungkan. Pengertian perjanjian sepihak menurut Undang-Undang No.5 Tahun 1999 dianggap mempunyai kelemahan. Kelemahan pengertian perjanjian
menurut Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tidak bisa dianggap tidak penting, karena ia akan memungkinkan lebih mudahnya orang terkena pidana di dalam
perjanjian-perjanjian yang per se illegal. Kalau perjanjian sepihak tidak dilarang, keadaan ini akan disalahgunakan, sehingga akan terjadi perjanjian sepihak yang
ditaati oleh pihak-pihak yang sebenarnya tidak terikat yang akhirnya merusak persaingan. Hal ini bisa diatasi dengan menambah suatu ketentuan lain, seperti
persekongkolan. Dengan ini, walaupun pasal perjanjian tidak bisa diberlakukan, mereka akan terkena ketentuan persekongkolan tersebut.
Sebagai akhir dari pengertian perjanjian yang dilarang ini, maka perlu lagi diketahui bahwa pengertian yang defenitif mengenai perjanjian yang dilarang
tidak diberikan dan tidak diatur dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999. Dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999 hanya diberikan dan ditekankan saja mengenai
pengertian perjanjian semata, namun tidak ada ditekankan mengenai pengertian perjanjian yang dilarang.
B. Jenis-Jenis Dari Perjanjian Yang Dilarang