Kartel Sebagai Perjanjian Yang Dilarang Berdasarkan Undang-Undang

13. Perjanjian Dengan Pihak Luar Negeri Dari Pasal 16 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 dapat disimpulkan bahwa perjanjian dengan pihak luar negeri yang dilarang adalah yang dibuat pelaku usaha dengan perjanjian yang memuat ketentuan-ketentuan tidak wajar atau dapat menimbulkan praktik monopoli danatau persaingan usaha tidak sehat. Maka dapat dikatakan bahwa membuat perjanjian dengan pihak luar negeri sebenarnya diperbolehkan atau sah saja, karena sesuai dengan perkembangan dan pesatnya transaksi bisnis lintas negara yang menjadi praktik bisnis. 83 Ketentuan yang dilarang adalah apabila perjanjian tersebut dapat mengakibatkan terjadinya prakrik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

C. Kartel Sebagai Perjanjian Yang Dilarang Berdasarkan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 Seringkali suatu industri hanya mempunyai beberapa pemain yang mendominasi pasar. Keadaan demikian dapat mendorong mereka untuk mengambil tindakan bersama dengan tujuan memperkuat kekuatan ekonomi mereka dan mempertinggi keuntungan. Ini akan mendorong mereka untuk untuk membatasi tingkat produksi maupun tingkat harga melalui kesepakatan bersama di antara mereka. Kesemuanya dimaksudkan untuk menghindari terjadinya persaingan yang merugikan mereka sendiri. Kalau berpegang pada teori monopoli, suatu kelompok industri yang mempunyai kedudukan oligopolis akan mendapat keuntungan yang maksimal bila mereka secara bersama berlaku sebagai 83 Ibid., hlm. 100. monopolis. Dalam praktiknya, kedudukan oligopolis ini diwujudkan melalui apa yang disebut asosiasi-asosiasi. Melalui asosiasi ini, mereka dapat mengadakan kesepakatan bersama mengenai tingkat produksi, tingkat harga, wilayah pemasaran, dan sebagainya, yang kemudian melahirkan kartel, yang dapat pula mengakibatkan terciptanya praktik monopoli danatau persaingan usaha yang tidak sehat. Kamus Hukum Ekonomi ELIPS 1997:21 mengartikan kartel cartel sebagai “persekongkolan atau persekutuan di antara beberapa produsen produk sejenis dengan maksud untuk mengontrol produksi, harga, dan penjualannya, serta untuk memperoleh posisi monopoli”. 84 Dengan demikian, kartel merupakan salah satu bentuk monopoli, di mana beberapa pelaku usaha produsen bersatu untuk mengontrol produksi, menentukan harga, danatau wilayah pemasaran atas suatu barang danatau jasa, sehingga di antara mereka tidak ada lagi persaingan. Larangan membuat perjanjian kartel ini dicantumkan dalam Pasal 11 Undang- Undang No.5 Tahun 1999 yang menetapkan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha saingannya yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi danatau pemasaran suatu barang danatau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli danatau persaingan usaha tidak sehat. Dari Pasal 11 tersebut dapat dilihat bahwa hukum negara-negara Barat tidak banyak mempengaruhi ketentuan pasal ini. Di Amerika Serikat, Australia, dan Uni Eropa, kartel dianggap sebagai per se illegal. Alasan mengapa kartel 84 Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 55. dianggap sebagai per se illegal di negara-negara Barat terletak pada kenyataan bahwa price fixing dan perbuatan-perbuatan kartel yang lain benar-benar mempunyai dampak negatif terhadap harga dan output jika dibandingkan dengan dampak pasar yang kompetitif. Sedangkan kartel jarang sekali menghasilkan efisiensi, atau efisiensi yang dihasilkan sangat kecil dibandingkan dampak negatif dari tindakan-tindakannya. Suatu kartel yang berhasil akan mengeluarkan keputusan-keputusan tentang harga dan output seperti layaknya keputusan-keputusan yang dikeluarkan sebuah perusahaan tunggal yang memonopoli. Akibatnya, pertama, kartel mendapatkan keuntungan-keuntungan monopoli dari para konsumen yang terus- menerus membeli barang atau jasa dengan harga kartel; dan kedua, terjadi penempatan sumber secara salah yang diakibatkan oleh pengurangan output karena para konsumen seharusnya membeli dengan harga yang kompetitif, selain terbuangnya sumber daya untuk mempertahankan keberadaan kartel itu sendiri. Terjadinya praktik kartel dilatarbelakangi oleh persaingan yang cukup sengit di pasar. Untuk menghindari persaingan fatal ini, anggota kartel setuju menentukan harga bersama, mengatur produksi bahkan menentukan secara bersama-sama potongan harga, promosi dan syarat-syarat penjualan. Biasanya harga yang dipasang kartel lebih tinggi dari harga yang terjadi di pasar kalau tidak ada kartel. Kartel juga bisa melindungi perusahaan yang tidak efisien, yang bisa hancur bila tidak masuk kartel, dengan kata lain kartel menjadi pelindung bagi pelaku usaha yang lemah. Pada sisi lain, kartel juga dapat memberi keuntungan. 85 Oleh karena itu, keberadaan dan tumbuh-kembangnya diperbolehkan sepanjang hal ini memberikan keuntungan bagi masyarakat banyak. Selain itu, kartel juga dapat membentuk stabilitas dan kepastian tingkat produksi, tingkat harga, dan wilayah pemasaran yang sama di antara pelaku usaha yang tergantung dalam asosiasi tertentu. Dengan sendirinya pasar menjadi tidak kompetitif lagi dan karenanya akan merugikan konsumen. Kartel menjadi menarik karena hal-hal yang menguntungkan dalam meraup keuntungan, yaitu: bila dalam jangka waktu panjang terdapat masalah untuk mendapatkan modal, sehingga pesaing baru akan sulit membentu usaha masuk ke pasar tersebut, teknologi yang dimiliki anggota kartel sulit untuk didapatkan, kesulitan untuk mendapatkan bahan mentah atau sumberdaya, lamanya pesaing untuk mengetahui cara masuk ke pasar. 86 Kalau kita perhatikan bunyi ketentuan Pasal 11 Undang-Undang No.5 Tahun 1999, perjanjian kartel yang dilarang adalah perjanjian tingkat produksi, tingkat harga, danatau wilayah pemasaran atas suatu barang, jasa, atau barang dan jasa, yang dapat berdampak pada terciptanya monopolisasi danatau persaingan usaha tidak sehat dengan pelaku usaha saingannya. Larangan terhadap Pasal 11 tersebut tidak mengkategorikan kartel sebagai per se illegal, sebab kartel masih dimungkinkan sepanjang tidak menimbulkan praktik monopolisasi danatau persaingan usaha tidak sehat, yang merugikan masyarakat dan konsumen. 85 Ibid., hlm. 57. 86 Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia, UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2010, hlm. 62. Pengertian kartel yang definitif tidak diatur dalam ketentuan umum maupun penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, tetapi pengaturan mengenai larangan melakukan perjanjian kartel diatur dalam Pasal 11 yang menyebutkan : “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produsi dan atau pemasaran suatu barang atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.” Dari pengaturan tersebut, jelas sekali bahwa perjanjian yang disebut kartel itu adalah perjanjian yang bertujuan untuk mempengaruhi harga. Selanjutnya pasal ini memberi pula batasan tentang cara mempengaruhi harga yang dimaksud, yaitu: 1. Dengan mengatur produksi atas suatu barang dan jasa. 2. Dengan mengatur pemasaran atas suatu barang dan jasa. Kedua hal di atas dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain: 87 1. Pembagian volume pasar di antara para pesaing usaha. Dalam hal ini para anggota kartel dalam perjanjiannya menentukan volume produksi atau penjualan, selain itu dapat pula dengan menentukan batas maksimal untuk batas produksi dan atau penjualan yang diperbolehkan. 2. Saling menginformasikan mengenai data pasar, dimana para pihak saling menukar data mengenai hal-hal yang berkaitan dengan persaingan usaha. Biasanya diciptakan fasilitas melapor dan menerima data dari masing-masing pelaku usaha, mengolah dan meneruskan data tersebut kepada pelaku usaha 87 Knud Hansen, dkk., Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Jakarta: Katalis, 2002, hlm. 208-209. lainnya. Pada hakekatnya pertukaran informasi bertujuan untuk saling menginformasikan tentang parameter persaingan usaha sehingga semua pihak yang terlibat dapat secara langsung menyesuaikan perilakunya dengan perilaku pesaing. Dengan demikian, pada gilirannya hal ini akan meniadakan persaingan usaha dengan tujuan untuk menaikkan harga atau mencapai kesamaan pada tingkat harga yang tinggi. 3. Terdapat alokasi pelanggan apabila pelaku usaha yang sedang atau akan melakukan kegiatan pada pasar bersangkutan yang sama mengalokasi pelanggan di antara mereka menurut kriteria yang lain daripada kriteria geografis dan produk. Pelaku usaha tersebut biasanya saling mewajibkan untuk tidak memasok produk terhadap pelanggan yang dialokasi kepada mitranya. Alokasi pelanggan yang demikian menghambat persaingan penjualan karena para pembeli tidak lagi dapat memilih di antara produk- produk para anggota kartel. Dengan demikian para anggota kartel akan lebih mudah melakukan kenaikan harga. 4. Hambatan masuk pasar terjadi apabila dua pelaku usaha yang melakukan kegiatan di pasar yang sama menyepakati bahwa salah satu diantara mereka akan mengundurkan diri dari pasar dan tidak akan melakukan kegiatan lagi dalam pasar tersebut. Hambatan masuk pasar karena kesepakatan seperti ini akan meniadakan persaingan usaha diantara para anggota kartel, dalam hal ini juga akan dengan mudah setiap pelaku usaha anggota kartel menaikkan harga karena tidak ada saingan. Selain beberapa hal mengenai pengaturan produksi dan pemasaran di atas, perjanjian kartel dalam realisasinya dapat berbentuk penetapan harga, pembagian wilayah dan group boikot. 88 Sementara ketiga hal ini diatur dalam pasal tersendiri yang berbeda dengan pasal pengaturan tentang kartel, yaitu : Pasal 5 ayat 1 tentang penetapan harga, Pasal 9 mengenai pembagian wilayah dan Pasal 10 mengenai pemboikotan. Larangan yang diatur dalam Pasal 5 disebut juga kartel harga dan istilah ini sudah cukup lama dikenal. Selain realisasi kartel dengan mengadakan perjanjian penetapan harga, maka demi mengatur pemasaran atas produk yang dihasilkan pelaku usaha juga dapat melakukan pembagian wilayah. Hal ini dapat dipahami karena, mereka yang sepakat melakukan kartel maka harus pula membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar untuk produk yang mereka hasilkan. Kesemuanya itu adalah bertujuan untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar dengan mengeliminir persaingan. Apabila para pihak telah sepakat untuk mengatur produksi dan pemasaran untuk mempengaruhi harga, maka salah satu cara yang dilakukan dapat berupa pembagian wilayah. Bagi para pelaku kartel hal ini menjadi penting untuk mengeliminir persaingan diantara mereka pada pasar yang sama. Kondisi ini pada gilirannya akan membawa dampak yang merugikan bagi konsumen karena dengan demikian konsumen tidak mempunyai kebebasan memilih produk yang akan dibeli berdasarkan kualitas dan harga yang diinginkan. Kondisi seperti ini tentu akan mempermudah pelaku kartel untuk menaikkan harga. 88 Ningrum Natasya Sirait, Asosiasi Persaingan Usaha Tidak Sehat, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003, hlm. 46. Pembagian wilayah sebagai realisasi dari kartel pada dasarnya meliputi pembagian wilayah pasar dan pembagian pembeli. Tetapi Pasal 9 ini secara khusus mengatur tentang pembagian wilayah pasar, tidak termasuk pembagian pembeli. Sedangkan pembagian pembeli sudah termasuk dalam Pasal 11 sebagai bentuk pengaturan penjualan yang bertujuan untuk mempengaruhi harga. 89 Perjanjian pembagian wilayah terjadi ketika para pelaku usaha yang sedang atau akan melakukan kegiatan di pasar yang bersangkutan sepakat untuk tidak memasok barang atau jasa yang sama di wilayah geografis tertentu yang telah dialokasikan kepada mitranya dalam pasar bersangkutan yang sama. Perjanjian pembagian wilayah juga terdapat dalam bentuk yang sudah termodifikasi, seperti misalnya kewajiban untuk memasok hanya kuantitas atau kualitas tertentu dari produk mereka ke suatu wilayah. 90 Dalam kondisi lain, dapat pula para pihak pelaku kartel menghalangi pelaku usaha lainnya untuk melakukan usaha yang sama pada suatu pasar. Hal ini dilakukan agar mereka tidak berhadapan dengan pelaku usaha lain yang melakukan usaha yang sama sebagai saingannya. Pemboikotan dianggap sebagai hambatan persaingan usaha yang serius, karena menghalangi pesaing atau pihak ketiga untuk membeli atau menjual produk. Boikot secara kolektif menghalangi kebebasan masuk pasar, yang merupakan salah satu prasyarat penting untuk tercitanya persaingan usaha yang sehat. Dalam hal pesaing mengalami hambatan secara kolektif, kebebasan pihak di luar kartel untuk melakukan kegiatan ekonomi serta kebebasan masuk pasar untuk pendatang baru menjadi terancam. Selanjutnya 89 Knud Hansen, dkk., Op.Cit., hlm 208-209. 90 Ibid., hlm. 189. hal ini akan mengancam kebebasan pembeli untuk memiliki banyak pilihan produk yang akan dibelinya. 91 Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian kartel mempunyai hubungan dengan beberapa perjanjian lain yang dilarang dalam hukum persaingan usaha, yaitu: 1. Realisasi dari kartel pada umumnya adalah berbentuk penetapan harga, wilayah dan pemboikotan. 2. Para pelaku usaha yang melakukan perjanjian yang bersifat oligopoli sangat berpotensi untuk melakukan kartel, karena perjanjian oligopoli sendiri bermaksud untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa, 92 sementara kartel bertujuan memperoleh keuntungan maksimum dengan cara mengatur produksi dan pemasaran. Oligopoli dan kartel pada akhirnya akan bertujuan untuk menetapkan harga. 93 3. Karena perjanjian kartel dalam Pasal 11 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 juga dimaksudkan untuk mengatur pemasaran, maka para pihak yang melakukan kartel dapat saja melakukan perjanjian diskriminasi harga, yaitu menetapkan harga yang berbeda untuk wilayah pasar yang berbeda terhadap suatu produk yang sama. Karena pada prakteknya perjanjian diskriminasi harga ini terutama diskriminasi harga yang sempurna pada akhirnya 91 Ibid., hlm. 199. 92 Ibid., hlm. 123-125. 93 Ningrum Natasya Sirait, Asosiasi Persaingan Usaha Tidak Sehat, Op.Cit., hlm.33. bertujuan untuk mendapatkan keuntungan maksimum, melalui harga maksimum yang mampu dibayar konsumen pada suatu produk. 94 4. Sebagaimana pelaku usaha yang melakukan perjanjian yang bersifat oligopoli, cenderung dapat membentuk asosiasi kartel, maka asosiasi kartel juga sangat potensial melakukan perjanjian yang bersifat oligopsoni. Yaitu menguasai pasar permintaan melalui kartel. Hal ini dapat dilakukan sehubungan dengan realisasi tujuan kartel untuk menetapkan harga dan memperoleh keuntungan maksimum. Dengan melakukan oligopsoni ini maka pelaku kartel dapat menekan biaya produksi karena bahan baku yang digunakan untuk produksi dapat dibelinya dengan harga murah. Di sisi lain mereka menjual dengan harga yang bukan harga pasar, jadi keuntungan yang diperoleh maksimum. Kesuksesan kartel ditentukan oleh kerjasama diantara para pelaku usaha yang membentuk kartel tersebut, semakin besar jumlah pesaing yang ikut dalam perjanjian kartel itu, semakin sulit pula untuk mengotrol dipatuhinya kesepakatan. 95 Oleh karena itu, secara teoritis dalam jangka panjang setiap kartel akan menghadapi masalah karena selalu ada anggota yang terdorong untuk membuat curang. Selain itu, tingginya harga dan tingkat keuntungan akan mendorong pengusaha lain untuk ikut masuk ke dalam pasar atau menciptakan teknologibarang pengganti yang dapat menggantikan fungsi barang tersebut dengan harga yang relatif murah. Akan tetapi dari segi konsumen kartel akan 94 Elyta Ras Ginting, Hukum Anti Monopoli Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 37-40. 95 Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia, UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004, hlm. 59-61. selalu dapat merugikan. Karena dalam jangka pendek, kartel akan mengambil sebagian dari keuntungan konsumen menjadi keuntungan kartel. Sukarnya mengkoordinir kartel, adalah karena: 96 1. Anggota kartel harus menyetujui ketentuan-ketentuan dalam kolaborasinya. Hal ini tidak mudah dilakukan karena para pihak harus menentukan produk apa yang akan dibuat, dibalik kekhawatiran bahwa para anggota menggunakan kualitas produk dan dalam bentuk penyajian yang berbeda untuk membedakan diri dari anggota lainnya. 2. Para anggota kartel juga harus menentukan dengan harga berapa mereka akan menjualnya. Dalam keadaan ini perusahaan yang telah mapan mungkin akan khawatir apabila merekan menaikkan keuntungan segera, produsen akan berminat untuk memasuki industri tersebut. 3. Bila kartel menetapkan harga tinggi untuk produknya, maka hal ini dapat membuat pesaing baru untuk masuk pasar dan menawarkan produknya dengan harga yang lebih murah, akibatnya tujuan untuk menetapkan harga tinggi tidak akan tercapai. Selain itu anggota kartel umumnya tergoda untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar sehingga berupaya menurunkan harga tanpa peduli terhadap harga yang telah disepakati. 4. Untuk memelihara kartel mungkin diperlukan hambatan untuk memasuki pasar yang bersangkutan bagi pendatang baru barrier to entry atau bekerja sama dengan menerima mereka sebagai anggota kartel. Pengambilan pilihan kedua ini membawa konsekuensi bahwa anggota kartel harus rela 96 Ayudha D Prayoga,dkk., Op.Cit., hlm. 69. mendapatkan pangsa pasar yang lebih kecil karena jumlahnya yang semakin banyak, atau output akan naik dan ini akan menurunkan harga. 5. Setelah keseluruhan produksi dan harga ditentukan, kartel harus memberikan kuota kepada tiap anggotanya. Disini tiap anggota kartel mungkin mempunyai biaya dan pangsa pasar yang tidak sama dengan anggota lainnya. Perusahaan yang sedang meningkat berharap akan mendapatkan peningkatan pangsa pasar pada waktu yang akan dating, sedangkan perusahaan yang sedang mengalami penurunan akan berusaha memasukkan dalam perjanjiannya agar pangsa pasarnya dipertahankan. Hal ini kadang kala menimbulkan kesulitan untuk mencapai konsensus. 6. Meskipun jika hal-hal diatas dapat dicapai, persoalan selanjutnya segera menghadang, yakni para anggota kartel harus menjungjung tinggi rencana bersama dalam menghadapi insentif dari masing-masing anggota untuk melanggar ketentuan-ketentuan yang telah disepakatinya. Sekali para anggota menyetujui untuk menetapkan harga yang baik diatas biaya marginal, pada saat itu masing-masing anggota akan cenderung untuk berbuat curang. Masalah pencapaian persetujuan dengan masalah kecurangan anggota ini seringkali berinteraksi. Anggota yang terutama kurang puas dengan persetujuan semula cenderung untuk mencari kesempatan untuk melanggarnya dan umumnya anggota kartel tergoda untuk mendapatkan keuntungan lebih besar, sehingga berupaya menurunkan harga dibawah harga yang ditetapkan dengan tujuan mendapatkan pangsa pasar lebih besar. 97 Hal ini dapat menyebabkan terjadinya disintegrasi kartel, yang akan menjadi hambatan untuk terbentuknya kartel yang langgeng. Secara teori, ada beberapa faktor yang dapat mendorong atau memfasilitasi terjadinya kartel baik faktor struktural maupun perilaku. Sebagian atau seluruh faktor tersebut dapat digunakan sebagai indikator dalam melakukan identifikasi eksistensi sebuah kartel pada sektor bisnis tertentu. Beberapa diantara faktor-faktor tersebut akan diuraikan di bawah ini: 98 1. Faktor struktural, yaitu: a. Tingkat konsentrasi dan jumlah perusahaan Secara prinsip, kartel akan lebih mudah jika jumlah perusahaan tidak banyak. Dalam hal ini indikator tingkat konsentrasi pasar seperti misalnya CR4 jumlah pangsa pasar empat perusahaan terbesar merupakan indikator yang baik untuk melihat apakah secara struktur, pasar tertentu mendorong eksistensi kartel. b. Ukuran perusahaan Kartel akan lebih mudah terbentuk jika pendiri atau pelopornya adalah beberapa perusahaan yang mempunyai ukuran setara. Dengan demikian pembagian kuota produksi atau tingkat harga yang disepakati dapat dicapai dengan lebih mudah dikarenakan kapasitas produksi dan tingkat biaya produksi semua perusahaan tersebut tidak berbeda jauh. 97 Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia, UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2010, hlm. 60. 98 Putusan KPPU Nomor 24KPPU-I2009 tentang Kartel Minyak Goreng, hlm. 30-33. c. Homogenitas produk Produk yang homogen, baik berupa barang atau jasa, menyebabkan preferensi konsumen terhadap seluruh produk tidak berbeda jauh. Hal ini menjadikan persaingan harga sebagai satu-satunya variabel persaingan yang efektif. Dengan demikian dorongan para pengusaha untuk bersepakat membentuk kartel akan semakin kuat untuk menghindari perang harga yang menghancurkan tingkat laba mereka. KPPU dapat melakukan survey kepada pelanggan produk tertentu untuk mengetahui tingkat preferensi pelanggan dan menyimpulkan tingkat homogenitas produk tersebut. d. Persediaan dan kapasitas produksi Persediaan yang berlebihan di pasar menunjukkan telah terjadi kelebihan penawaran overstock. Begitu pula kapasitas terpasang yang berada di atas permintaan menunjukkan kemampuan pasokan berada di atas tingkat permintaan saat ini. Untuk mencegah persaingan harga yang merugikan pengusaha, pada kondisi ini para pelaku usaha akan mudah terperangkap dalam perilaku kartel harga, yaitu menyepakati harga tertentu atau harga minimum. Selain itu, kelebihan pasokan ini mencegah anggota kartel untuk menyimpang mengingat pasokan yang tersedi a cukup banyak untuk “menghukum” mereka yang menyimpang dengan membanjiri pasar sehingga harga akan jatuh dan pengusaha akan kesulitan memasarkan produknya. Data akan persediaan dan kapasitas produksi dapat dijadikan indikator awal untuk mengindentifikasi kartel. e. Keterkaitan kepemilikan Keterkaitan kepemilikan baik minoritas terlebih lagi mayoritas mendorong pengusaha untuk mengoptimalkan laba melalui keselarasan perilaku di antara perusahaan yang mereka kendalikan. Pemegang saham dua atau lebih perusahaan yang semestinya bersaing cenderung memanfaatkan kepemilikan silang ini untuk memperkuat kartel dalam rangka mengoptimalkan keuntungan. Berbagai pengaturan kartel akan berlangsung lebih mudah dengan adanya kepemilikan silang ini. 6. Kemudahan masuk pasar Tingginya entry barrier sebagai hambatan bagi perusahaan baru untuk masuk pasar akan memperkuat keberadaan suatu kartel. Peluang pendatang baru untuk mengisi kekosongan pasar akibat harga kartel yang tinggi agak tertutup. Dengan demikian kartel akan dapat bertahan dari persaingan pendatang baru. 7. Karakter permintaan: keteraturan, elastisitas dan perubahan Permintaan yang teratur dan inelastis dengan pertumbuhan yang stabil akan memfasilitasi berdirinya kartel. Hal ini terjadi karena adanya kemudahan bagi para peserta kartel untuk memprediksi dan menghitung tingkat produksi serta tingkat harga yang dapat mengoptimalkan keuntungan mereka. Sebaliknya jika permintaan sangat fluktuatif, elastis dan tidak teratur akan menyulitkan terbentuknya kartel. Para peserta akan berebut order pada saat permintaan tinggi dan terpaksa bersaing menurunkan harga mengingat sifat permintaan yang elastis. KPPU dapat mengukur karakter permintaan ini baik melalui survey dan penelitian pasar maupun informasi dari para produsen. 2. Faktor Perilaku, yaitu: a. Transparansi dan pertukaran informasi Kartel akan mudah terbentuk jika para pelaku usaha terbiasa dengan pertukaran informasi dan transparansi diantara mereka. Peran asosiasi yang kuat seringkali terlihat sebagai media pertukaran ini. Data produksi dan harga jual yang dikirimkan ke asosiasi secara periodik dapat digunakan sebagai sarana pengendalian kepatuhan terhadap kesepakatan kartel. Terlebih lagi jika ditemukan terjadinya pertukaran informasi harga dan data produksi tanpa melalui asosiasi, yang mana akan terlihat janggal jika sesama pelaku usaha saling memberikan harga dan data produksi diantara mereka tanpa tujuan tertentu sehingga kecurigaan akan eksistensi kartel akan menguat. b. Peraturan harga dan kontrak. Beberapa perilaku pengaturan harga dan kontrak dapat memperkuat dugaan adanya kartel di suatu industri. Misalnya kebijakan one price policy dimana kesamaan harga di berbagai daerah akan menjadi alat monitoring yang efektif antar anggota kartel terhadap kesepakatan harga kartel. Oleh karena itu, walaupun bukan merupakan syarat perlu maupun cukup dalam mengidentifikasi kartel, perilaku pengaturan harga dan kontrak patut dicermati oleh KPPU sebagai bagian upaya identifikasi eksistensi kartel. Suatu kartel pada umumnya mempunyai beberapa karakteristik, yaitu: 99 1. Terdapat konspirasi diantara beberapa pelaku usaha. 99 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 04 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 Undang-Undang No.5 Tahun 1999, hlm. 9. 2. Melibatkan para senior eksekutif dari perusahaan yang terlibat. Para senior eksekutif inilah biasanya yang menghadiri pertemuan-pertemuan dan membuat keputusan. 3. Biasanya dengan menggunakan asosiasi untuk menutupi kegiatan mereka. 4. Melakukan price fixing atau penetapan harga. Agar penetapan harga berjalan efektif, maka diikuti dengan alokasi konsumen atau pembagian wilayah atau alokasi produksi. Biasanya kartel akan menetapkan pengurangan produksi. 5. Adanya ancaman atau sanksi bagi anggota yang melanggar perjanjian. Apabila tidak ada sanksi bagi pelanggar, maka suatu kartel rentan terhadap penyelewengan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar daripada anggota kartel lainnya. 6. Adanya distribusi informasi kepada seluruh anggota kartel. Bahkan jika memungkinkan dapat menyelenggarakan audit dengan menggunakan data laporan produksi dan penjualan pada periode tertentu. Auditor akan membuat laporan produksi dan penjualan setiap anggota kartel dan kemudian membagikan hasil audit tersebut kepada seluruh anggota kartel 7. Adanya mekanisme kompensasi dari anggota kartel yang produksinya lebih besar atau melebihi kuota terhadap mereka yang produksinya kecil atau mereka yang diminta untuk menghentikan kegiatan usahanya. Sistem kompensasi ini tentu saja akan berhasil apabila para pelaku usaha akan mendapatkan keuntungan lebih besar dibandingkan dengan apabila mereka melakukan persaingan. Hal ini akan membuat kepatuhan anggota kepada keputusan-keputusan kartel akan lebih terjamin. Terhadap pelanggaran Pasal 11 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 dapat dikenakan sanksi administratif oleh KPPU berupa pembatalan perjanjian mengenai sistem harga, sistem kuota produksi, sistem alokasi pangsa pasar, ganti rugi kepada pihak yang dirugikan, sampai kepada denda antara Rp 1 satu miliar dan Rp 25 dua puluh lima miliar. Selain itu, pengadilan dapat mengenakan pidana tambahan, diantaranya pencabutan izin usaha, penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain. 100

D. Bentuk Perjanjian Kartel Yang Dilakukan Perusahaan Industri Minyak

Dokumen yang terkait

ANALISIS PERJANJIAN WARALABA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

1 3 13

ANALISIS EFEKTIVITAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT TERHADAP PEMBATASAN PRAKTEK KARTEL DI INDONESIA.

0 3 10

STUDI KASUS PUTUSAN KPPU PERKARA NOMOR 12/KPPU-L/2010 MENGENAI DUGAAN PELANGGARAN TERHADAP UNDANG-UNDANG No. 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DALAM PENGA.

0 0 2

ANALISIS MENGENAI PEMENUHAN UNSUR PERJANJIAN PENETAPAN HARGA DALAM PRAKTEK KARTEL TERHADAP PUTUSAN KPPU NO.25/KPPU-I/2009 DIKAITKAN UNDANG-UNDANG NO.5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DA.

0 1 1

KARTEL DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 (STUDI KASUSPUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 24/KPPU-I/2009 TENTANG INDUSTRI MINYAK GORENG SAWIT DI INDONESIA).

0 1 12

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

0 0 19

PASAR PERSAINGAN TIDAK SEMPURNA MONOPOLI

0 2 21

PERANAN KPPU DALAM MENEGAKKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

0 0 8

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM KARTEL DALAM UNDANG - UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT - Raden Intan Repository

0 0 98

PENEGAKAN HUKUM PERSEKONGKOLAN TENDER DALAM PERSAINGAN USAHA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT (Studi Putusan Perkara Nomor 01/KPPU-L/2016 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 22 Undang

0 0 15