Hubungan Tokoh dengan Objek Sekitar

reruntuhan. Hukum yang ada sekarang adalah hukum rimba, siapa yang kuat dialah yang akan tetap hidup. Banyak yang rela membunuh untuk bertahan hidup dan merampok untuk mendapatkan uang. Rumah-rumah yang tersisa dipertahankan dengan senjata dari gerombolan penjarahan. Setiap sebentar terlihat anak-anak kecil berlari dengan barang curian. Bencana Persembahan Kuda, meski hanya berlangsung setahun, telah memorak-porandakan tata kehidupan di seluruh anak benua untuk waktu yang tidak bisa ditentukan, ibarat sebuah luka yang dalam, menciptakan berjuta-juta gelandangan tak berumah dan tak bernegara yang hidup hanya dengan mengandalkan doa. Hanya orang-orang tabah, orang-orang bersemangat tinggi, orang-orang berakal cerdik, dan para pedagang yang berhasil mengeliat dalam kehidupan yang berat. Peradaban telah hancur dan segalanya harus di mulai dari awal. Untuk membangun kembali peradaban, setiap pengetahuan dituliskan kembali, dengan menggali sisa-sisa ingatan. Orang-orang yang memiliki pengetahuan mulai menulis kembali, sedangkan mereka yang sudah tidak mampu menulis diminta berbicara saja, semntara para juru tulis mencatatnya. Kadangkala ditemukan naskah-naskah tua yang belum dikembalikan ke perpustakaan ketika serbuan terjadi, dan inilah naskah- naskah tersisa yang digandakan dengan cara menyalinnya kembali. Satya termasuk di antara para juru salin ini. Setiap naskah harus disalinya dua kali, dan nanti orang lain akan menyalinnya masing-masing dua kali juga, dan seterusnya, sehingga setidaknya setiap perpustakaan di setiap distrik di negeri itu memilikinya Ajidarma, 2004:159-160. Dalam kondisi seperti ini perlahan perdagangan mulai berjalan kembali. Pengetahuan yang hilang mulai digali kembali. Para guru dikelilingi orang-orang yang ingin menggali kembali pengetahuan. Setiap ilmu pengetahuan coba dituliskan kembali. Kitab-kitab yang masih tersisa disalin dan disebarkan kembali. Setelah berbagai pekerjaan Satya mencoba menjadi anggota tim penyalin naskah di bekas perpustakaan negara. Situasi politik dalam novel Kitab Omong Kosong menggambarkan situasi yang sedang kacau balau. Banyak negara yang hancur karena pusat-pusat pemerintahan mereka telah hilang akibat upacara Persembahan Kuda. Meski orang-orang sedang memulai kembali membangun peradaban. Banyak bermunculan gerombolan-gerombolan yang memperebutkan wilayah kekuasaan. Merampas hasil pertanian dari penduduk desa yang mencoba membangun kembali desa mereka. “Bapak, adakah kedai di desa ini?” Maneka bertanya. Orang-orang itu menggeleng saja, tidak bersuara, membuat Maneka malas bertanya lagi. Tetapi ketika pedati berjalan kembali, anak- anak kecil mengikuti di belakangnya. “Apa mau mereka, Satya?” “Lihat saja matanya, mereka kelaparan.” “Heran, semua tanaman bisa tumbuh di sini, bagaimana mungkin kelaparan?” “Pasti mereka dikuasai gerombolan, yang merampas semua hasil pekerjaan.” “Tidak ada yang melawan?” “Siapa yang harus melawan? Semua laki-laki sudah mati.” Ajidarma, 2004:188 Banyak dari berbagai suku di anak benua menjadi suku Paria, tidak bernegara dan mengembara di sepanjang anak benua. Menjadi bandit-bandit gurun Thar. Kota-kota bisa dibagun kembali, tetapi penjarahan balatentara Ayodya yang menghanguskan perpustakaan, pusat kebudayaan dan pusat ilmu pengetahuan jelas telah tampak akibat-akibatnya. Takhayul marak dan bangkit. Penalaran digantikan oleh naluri liar yang banal. Bahkan Maneka sempat akan dijadikan korban persembahan akibat rajah di punggungnya, namun Hanoman menyelamatkannya dan membinasakan 300 manusia yang ingin mengorbankan Maneka. “Laknat Nyahlah kalian” Hanoman menjejakkan kakinya ke bumi dan melesakkan tanah tempat berpijak orang-orang itu dan amblaslah orang-orang biadab itu ditelan bumi. Lolongannya terdengar jauh dan tidak menerbitkan rasa iba. Tiga ratus manusia, termasuk perempuan dan kanak-kanak yang berkemungkinan besar menjadi iblis pengacau dunia terkubur seketika. Lubang yang direncanakan untuk mengubur Maneka masih terbuka. Hanoman mengangkat tangannya dan tertanamlah sebuah totem di lubang itu, tinggi menjulang di puncak bukit, berkisah tentang 300 manusia jahat yang terhukum Ajidarma, 2004: 315. Kepercayaan kepada agama-agama besar telah runtuh setelah Persembahan Kuda, sehingga tumbuh ratusan sekte yang mengembangkan ritualnya sendiri dengan pengikut masing-masing. Memisahkan diri dari masyarakat, mengangap diri mereka lebih baik dan berbeda dari kebanyakan orang. Bahkan ada di antara mereka menjual Tuhan untuk menipu orang-orang atau kepentingan mereka sendiri. Nabi-nabi palsu banyak bermunculan di seluruh anak benua. “Oh, zaman memang sudah sangat kacau. Banyak suku kembali kepada kehidupan awalnya yang bodoh, memuja batu-batu, mempersembahkan darah manusia, dan mengubur anak gadis hidup- hidup.” “Munguburnya hidup-hidup?” “Ya, Persembahan Kuda memberi pelajaran betapa dewa-dewa tak patut disembah.” “Jadi siapa yang patut?” “Mereka binggung. Kadang-kadang pohon pun disembah pula. Heran.” “Mungkin maksudnya menyembah Tuhan,” Satya meladeni. “Kalau maksudnya Tuhan tidak apa-apa, ini menyembah pohon sebagai pohon. Semenjak buku-buku dibakar dan guru-guru dibunuh, banyak orang berlagak jadi nabi padahal hanya mau mencari makan dengan membual. Ada saja orang bodoh percaya, dan bencana itu membuat kita semua tambah bodoh, hanya hidup dengan naluri bertahan. Di dunia ini bertebaran para penipu, mereka menjual Tuhan-Tuhan baru hanya untuk kepentingan diri sendiri, ada yang sampai istrinya dua puluh lima orang.” Satya memahami soal sekte-sekte pembohong itu. Pengikutnya orang-orang yang jiwanya kosong, yang hanya merasa hidup jika mempercayai sesuatu secara radikal dan habis-habisan, tanpa mempertanyakannya lagi Ajidarma, 2004: 325-326. Pencarian bagian-bagian kitab oleh Satya dan Maneka merupakan bentuk dari problematika tokoh dengan objek di sekitarnya. Kitab tersebut dapat dipercaya mampu memulihkan peradaban dalam waktu yang singkat tanpa harus mengulang 300 tahun membangun peradaban. Hanoman membagi keberadaan kitab tersebut dalam lima tempat. Tak jarang Satya dan Maneka menghadapi masalah dalam perjalanan, bahkan Maneka sempat hampir dijadikan persembahan oleh bandit Gurun Thar. Melalui pembacaan Satya dan Maneka mengenai kelima bagian ‘Kitab Omong Kosong’ memperoleh pemahaman tentang dunia, kenyataan, keindahan, dan kebenaran. Berbagai cara tentang melihat sebuah realitas diperdebatkan dalam bagian-bagian kitab ini. Kepedulian Satya dalam pencarian “Kitab Omong Kosong” menunjukkan usaha tokoh dalam menyesuaikan dirinya dengan objek di sekitarnya.

2. Kondisi Sosial Saat Novel Kitab Omong Kosong Terbit

Kondisi sosial yang mengiringi kemunculan novel Kitab Omong Kosong dapat dikategorikan berdasarkan latar belakang sosiobudaya yang menjadi acuan novel ini, serta hubungan pengarang dengan latar belakang kehidupannya. Seno Gumira Adjidarma merupakan salah satu penulis produktif dari generasi baru kesusastraan Indonesia, lahir di Boston, Amerika Serikat, 19 Juni 1958. Ayahnya merupakan guru besar di Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada dikenal sebagai ahli energi alternatif di bidang Fisika. Pernah melakukan studi S1 di Jurusan Film, Institut Kesenian Jakarta, serta studi S2 memperoleh Magister Ilmu Filsafat Universitas Indonesia. Seno meraih gelar doktor dengan desertasinya mengenai komik Panji Tengkorak di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Pusat Data dan Analisis Tempo melalui duniasukab.com. Ceritanya yang pertama berjudul Sketsa dalam Satu Hari dimuat harian Berita Nasional Bernas pada tahun 1976. Setahun kemudian ia mulai bekerja sebagai wartawan, berpindah-pindah satu media ke media lain, sambil tetap menulis cerita. Ia pernah menjadi pemimpin redaksi Sinema Indonesia 1980, redaktur Zaman 1983-1984, dan sejak 1985 bekerja di majalah Jakarta-Jakarta hingga pada awal 1992 ia dilepaskan dari tugasnya sebagai redaktur pelaksana Jakarta-Jakarta, karena pemberitaan mengenai insiden Dili, Timor-Timur di majalah itu. Rampan dalam bukunya yang berjudul Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia memasukkannya dalam kelompok Angkatan 2000, dan menyebut Seno sebagai tokoh pembaru dalam khasanah kesusastraan Indonesia. Rampan menyebutkan 2000:xlvii bahwa Seno membangun pola dongeng sebagai kisah modern yang memperlihatkan pola ucap dan wawasan estetik yang baru. Kebaruan karya Seno tampak pada pilihannya terhadap model sastra lisan yang mengembalikan realitas fiktif kepada realitas dongeng. Melalui karya-karyanya Seno juga meraih beberapa penghargaan, seperti kumpulan cerpennya Saksi Mata 1994 yang mendapat hadiah dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departermen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Seno juga meraih buku terbaik dari Yayasan Buku Utama melalui Sebuah Pertanyaan untuk Cinta 1997 dan karyanya Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi mendapat SEA Writer Award dari Kerajaan Thailand. Pada tahun 2004 Seno memperoleh Khatulistiwa Literaty Award dari karyanya Negeri Senja dalam kategori fiksi. Pada tahun berikutnya 2005 Seno berhasil memenangkan Khatulistiwa Literaty Award sebagai karya prosa terbaik melalui karyanya Kitab Omong Kosong. Nurhadi 2010 menyebutkan bahwa secara garis besar karya Seno terbagi dalam dua kategori. Pertama, cenderung dominan akan pemanfaat fungsi referensialnya atau peristiwa historis, seperti dalam antologi Penembak Misterius, Saksi Mata, Iblis Tidak Pernah Mati, dan Dunia Sukab memilki kecenderungan memanfaatkan acuan peristiwa-peristiwa realitas sebagai dasar penceritaannya, demikian dengan roman Jazz, Parfum Insiden Nurhadi, 2010. Kedua, berupa karya yang tidak perlu dihubungkan dengan acuan realitasnya atau terbebani oleh fungsi referensialnya. Masih dalam penelitian tersebut, Nurhadi 2010 menuturkan bahwa kedua novel pemenang KLA Negeri Senja dan Kitab Omong Kosong merupakan represetamen terhadap pemerintah Indonesia pada saat itu. Meskipun Kitab Omong Kosong tidak secara langsung dibanding dengan novel Negeri Senja. Pada novel Negeri Senja secara simbolis mengambarkan terhadap pemerintahan Indonesia dari dua masa pemerintahan Soekarno dan Soeharto, namun lebih menonjol pada masa Orde Baru. Pada sebuah artikel yang berjudul “Pengalaman Menulis Cerita Panjang” Seno menuturkan tentang prosesnya dalam menuliskan sebuah prosa, termasuk di dalamnya novel Kitab Omong Kosong. Novel Kitab Omong Kosong pada mulanya terbit dalam bentuk cerita bersambung di Koran Tempo, semula berjudul Rama-Sinta: Pertempuran Cinta mulai dimuat sejak Senin 2 April sampai Rabu 10 Oktober 2001. Baru diterbitkan menjadi sebuah novel utuh pada 2004. Pada masa sekitar novel Kitab Omong Kosong diciptakan kondisi sosial masyarakat Indonesia sedang dalam masa transisi dari keruntuhan Orde Baru ke era Reformasi. Selama kurang lebih 30 tahun Orde Baru berkuasa, terjadi pelarangan ketat atas kritik kepada tokoh-tokoh politik maupun kondisi sosial pada masa itu. Pemerintah melalui Kementrian Penerangan memiliki kekuasaan untuk memberedel atau mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers SIUPP apabila melenceng dari garis ketentuan yang telah ditentukan oleh pemerintah. Seperti yang dijelaskan oleh Harmoko mengenai penerbitan pers Schwarz via Fuller, 2011. “Penerbitan yang tidak mencerminkan nilai-nilai pancasila dan UUD 1945, dan malah mengemukakan pandangan berbeda, termasuk liberalisme, radikalisme, dan komunisme dilarang. Dalam praktiknya, itu berarti SIUPP mereka akan dibatalkan, satu langkah yang diizinkan oleh hukum.” Dengan adanya hal semacam itu maka tidak dapat melakukan kritik secara terbuka dan bebas terhadap pemerintah karena takut disensor dan diberedel. Fuller 2011 mengatakan bahwa karya sastra dianggap memiliki kekuatan untuk menyebabkan kekacauan umum dan penyesatan sejarah, serta banyak buku-buku dilarang beredar karena takut karya tersebut disalahtafsirkan. Seperti yang pernah dialami oleh Seno saat menjadi wartawan di majalah Jakarta-Jakarta. Hal ini menandakan bahwa keinginan pemerintah untuk hanya mengesahkan satu kebenaran dan satu cara pandang terhadap kenyataan. Pada masa Orde Baru berkuasa, keseragaman sebagai bentuk pembenaran tunggal yang dibuat oleh penguasa terlihat dominan. Tidak ada ruang berpendapat secara bebas. Pola-pola otoriter yang dilakukan militer sebagai alat kekuasaan