Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pelarangan buku adalah antitesa bagi kemerdekaan hak politik warga negara yang telah dirasakan bangsa Indonesia sejak era kolonial hingga era reformasi. Kebijakan pelarangan ini merupakan bentuk kesewenang- wenangan untuk membatasi kebebasan berpikir dan berpendapat di era reformasi. Pembredelan buku menandakan ketakutan rezim penguasa terhadap kritik kondisi masyarakat terkini. Hasil pemikiran manusia berbentuk buku yang pada dasarnya berperan sebagai media penyampai informasi dan pengetahuan bagi masyarakat ditafsir musuh negara. Hal tersebut mengakibatkan tertutupnya saluran informasi dan pengetahuan. Masyarakat dipaksa untuk mengkonsumsi pemaknaan tunggal terhadap pengetahuan yang sejatinya mempunyai beragam sudut pandang. Buku yang juga merupakan manifestasi tujuan nasional dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa yang tertuang dalam amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan represif diberangus oleh rezim penguasa melalui aparat-aparat negara. Selain itu, buku merupakan simbol hak politik warga negara yang dilindungi dan diamanatkan kostitusi. Hal tersebut didasarkan atas Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 yang berbunyi “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya di tetapkan dengan undang-undang”. Oleh karena 1 itu maka jaminan terhadap freedom of expression, freedom of speech, dan fredom of the press warga negara telah diatur dan dijamin oleh negara. Kemerdekaan berekspresi juga dipertegas di dalam UU Pers No. 44 tahun 1999 yang berisi: 1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; 2. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak-hak asasi manusia, menghormati kebhinekaan; 3. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar; 4. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal- hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; 5. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran Iwan Awaludin Yusuf, 2010: 3. Pelarangan buku yang terjadi di Indonesia sebenarnya bukan hal yang baru. Menurut Iwan Awaludin Yusuf 2010: 4, sejarah mencatat, pada awal terbentuknya Orde Baru, pelarangan sejumlah buku pernah dilakukan secara membabi buta, terutama setelah peristiwa G-30 S. Tiga bulan setelah peristiwa kelabu tersebut, yaitu pada 30 November 1965, Pembantu Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Bidang Teknis Pendidikan, Kol. Inf Drs K. Setiadi Kartohadikusumo, melarang 70 judul buku. Pelarangan ini kemudian disusul dengan pelarangan terhadap semua karya 87 penulis yang dituduh beraliran Kiri. Jadi, saat itu dan bahkan hingga kini, pelarangan buku bukan sekedar karena isinya, melainkan karena “alasan politis”yang ditujukan kepada penulis, penerbit, dan bahkan editornya. Praktik kebijakan pelarangan buku di dalam era Orde Baru tersebut melalui Instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan No. 13811965 yang ditandatangani oleh Pembantu Menteri Bidang Teknis Pendidikan, Kol. Inf Drs. M. Setiadi Kartohadikusumo. Di dalam bagian konsiderans disebutkan bahwa untuk mengadakan tindak lanjut di dalam usaha menumpas gerakan yang menamakan dirinya “Gerakan 30 September” khususnya dibidang mental ideologi, dipandang perlu melarang buku-buku pelajaran, perpustakaan, dan kebudayaan yang dikarang oleh oknum-oknum dan anggota-anggota OrmasOrpol yang dibekukan untuk sementara waktu kegiatannya Jaringan Kerja Budaya, 1999: 27. Berkat Instruksi ini menurut Jaringan Kerja Budaya dalam waktu yang singkat angka buku yang dilarang terus bertambah, sehingga diperkirakan mencapai 2000 judul. Ini adalah pelarangan buku massal yang pernah terjadi dalam sejarah Indonesia. Di tahun 1998 akhirnya rezim Orde Baru tumbang oleh gerakan massa. Era ini kemudian disebut sebagi era reformasi dimana diharapkan adanya iklim yang lebih demokratis dalam berbagai bidang di Indonesia. Reformasi juga mendorong adanya perubahan konstitusional yang memperkuat supremasi hukum terhadap jaminan hak asasi manusia. Hal ini diperkuat dengan adanya ratifikasi dua kovenan internasional utama hak asasi manusia, yakni kovenan hak sipil dan politik dan kovenan internasional hak ekonomi sosial dan budaya pada tahun 2005 melalui UU No. 11 dan 12 tahun 2005 Iwan Awaludin Yusuf, 2010: 53. Namun, keberlangsungan praktik pelarangan buku oleh intitusi negara tidak pernah hilang bahkan di era reformasi. Pemerintah dengan berbagai dalih melakukan tindak pelarangan buku yang dianggap menggangu ketertiban. Tercatat, di penghujung tahun 2009, terjadi pelarangan lima buku di tanah air. Kelima buku yang dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung Kejagung, itu adalah Iwan Awaludin Yusuf, 2010: 1 1 Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karya John Rosa; 2 Suara Gereja bagi Umat Tertindas: Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karya Socratez Sofyan Yoman; 3 Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan; 4 Enam Jalan Menuju Tuhan karya Darmawan; 5 Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karya Syahrudin Ahmad. Salah satu buku yang di larang sepihak di era reformasi adalah buku berjudul Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan. Penulis buku tersebut tidak mendapatkan surat pemberitahuan dan alasan yang jelas dari Kejagung mengapa bukunya dilarang untuk beredar di masyarakat. Padahal buku ini mengetengahkan situasi nasional Indonesia di era Demokrasi Terpimpin 1959-1965 melalui sudut pandang Harian Rakyat. Salah satu alasan pelarangan buku oleh pemerintah di era reformasi seperti yang diberitakan oleh laman Tempointeraktif.com berikut ini: Kasus pelarangan yang berujung pembakaran buku tersebut berawal dari pengaduan Yusuf Hasyim, Taufik Ismail dan Fadli Zon ke Dewan Perwakilan Rakyat, bahwa di Jawa Timur ditemukan buku pelajaran sejarah untuk siswa SMP dan SMA yang tidak mencantumkan keterlibatan Partai Komunis Indonesia dalam peristiwa Madiun 1948 dan pembunuhan petinggi TNI AD tahun 1965. Dari laporan tersebut DPR kemudian memanggil Mendiknas Bambang Sudibyo dan melakukan rapat koordinasi. Selepas rapat, Mendiknas meminta Badan Standar Nasional Pendidikan BSNP untuk membentuk tim khusus. Tim yang terbentuk terdiri dari Professor Djoko Suryo SejarawanGuru Besar UGM, Hamid Hasan Pakar Pendidikan UPI Bandung, Professor Susanto Zuhdi SejarawanGuru Besar FIB UI, Wasino Sejarawan Universitas Negeri Semarang dan W. Soetomo Semarang. Rekomendasi yang dihasilkan oleh tim ini adalah perlunya dicantumkan kata “PKI” setelah “Peristiwa G30S 1965” dan “Peristiwa Madiun 1948”. Dalam uji publik kurikulum yang diselengarakan 1 Desember 2005, Asvi Marwan Adam mengatakan bahwa mereka yang terlibat pada peritiwa 1965 menyebut dirinya sebagai “Gerakan 30 September”, sehingga semestinya istilah yang lebih obyektif ini digunakan, karena memang ada berbagai versi tentang dalang peristiwa itu Analisis Mingguan, No.212007. Menurut Iwan Awaludin Yusuf 2010: vi pelarangan buku terjadi dengan alasan demi menjaga stabilitas nasional, ketertiban umum, atau untuk meluruskan tafsir sejarah yang keliru lembaga-lembaga tertentu bisa sewenang-wenang melarang kebebasan berpendapat. Bentuk-bentuk pelarangan dan pembatasan semacam ini merupakan perwujudan ideologi politik khas kolonial dan otoritarian yang terus dilanggengkan. Pelarangan buku juga mencerminkan ketakutan penguasa dengan mengekang hak politik warga negaranya, tidak mengakui adanya keanekaragaman perspektif dan sudut pandang. Pertanyaannya yang kemudian muncul, kepentingan apa yang berada dibalik kebijakan pelarangan buku tersebut? Pertanyaan ini berusaha keluar dan mendedah lebih dalam penjelasan yuridis dalam produk hukum kebijakan pelarangan buku. Dimana kebijakan tersebut menyatakan bahwa pelarangan buku dibentuk untuk melindungi kepentingan umum atau demi menjaga stabilitas nasional. Dengan adanya permasalahan seperti di atas, penulis tertarik mengadakan penelitian tentang Politik Kebijakan Pelarangan Buku Era Reformasi di Indonesia dengan mengambil studi kasus atas pelarangan buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950- 1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan. Hal tersebut dengan harapan agar dapat ditangkap konteks atas perlindungan hak politik warga negara pascatumbangnya rezim Orde Baru.

B. Identifikasi Masalah