BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Sekilas Isi Buku yang Terlarang sebagai Objek Peneletian
Dalam pembahasan BAB IV penulis akan memaparkan beberapa poin terkait dengan rumusan masalah penelitian ini. Namun demikian penulis perlu
terlebih dahulu mengemukakan unsur-unsur penyusun buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 diantaranya
waktu penerbitan, nama penerbit, penulis, desainer sampul, jumlah halaman, jenis buku, nomor ISBN, dan isi buku. Hal tersebut akan penting untuk memberikan
gambaran isi buku terlarang yang menjadi objek penelitian. Buku tersebut dicetak pertama kali pada bulan September 2008 dan
diterbitkan oleh Penerbit Merakesumba Lukamu Sakitku yang beralamatkan di Pugeran, Maguwoharjo, Yogyakarta. Buku ini disusun oleh dua orang penulis,
yaitu Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan. Pada bagian desain sampul buku dibuat oleh Eddy Susanto dan desain isi oleh Kalam Jauhari. Buku
yang bergenre esai dengan tebal 584 halaman ini berukuran 15 x 24 cm dan didaftarkan dengan nomor ISBN, yaitu 978-979-18475-0-6.
Sedangkan untuk isi, buku dibagi menjadi sepuluh bagian dengan tambahan tulisan tentang catatan penulis, singkatan dan akronim, lampiran,
indeks, dan tentang penulis. Pada bagian satu sebagai pembuka diberi judul bab Mukaddimah. Bagian Mukaddimah berisi tujuh tulisan yang masing-masing
sebagai berikut:
54
1 Politik Panglima Kebudayaan di halaman 15; 2 Lekra: Kelahiran dan Peran di halaman 21;
3 Asas, Metode, dan Kombinasi 1-5-1 di halaman 25; 4 Lekra: Organisasi dan Keanggotaan di halaman 33;
5 Dari Konfernasi ke Konferensi, dari Pleno ke Pleno di halaman 41; 6 Zaman Baru: Bulanan Seni-Sastra Lekra di halaman 47; 7 KSSR: Jalan
Sungsang “Pemerahan Total” Lekra di halaman 52. Bagian satu yang berisi Mukaddimah yang dimulai dari halaman 15-52
menjelaskan diantaranya bahwa Kongres I Lembaga Kebudayaan Rakyat Lekra mengesahkan Mukaddimah dan Peraturan Dasar pada 27 Januari 1959 pukul
20.00 WIB di Solo. Di sini arah dan sikap lembaga dirumuskan, distrukturisasikan dan kemudian diturunkan menjadi aksi-aksi nyata di lapangan kebudayaan di
seluruh indonesia. Garis umum sikap kebudayaan diabdikan ditentukan, yaitu
Gambar 1. Sampul Belakang
“seni untuk rakyat” dan “politik adalah panglima” di seluruh bidang kehidupan bangsa.
Selain itu dijelaskan juga bahwa Lekra dibentuk atas inisiatif antara lain D.N. Aidit, M.S. Ashar, A.S. Dharta, dan Njoto pada 17 agustus 1950. Anggota-
anggota awal adalah pengurusnya itu sendiri terdiri atas A.S. Dharta, M.S. Ashar, Njoto, Henk Ngantung, Sudharnoto, Herman Arjuno, dan Joebaar Ajoeb. Lekra
muncul untuk mencegah kemerosotan garis revolusi. Tugas ini mereka yakini tidak hanya dibebankan kepada politisi tetapi juga tugas pekerja-pekerja
kebudayaan. Lekra didirikan untuk menghimpun kekuatan yang taat dan teguh mendukung revolusi dan kebudayaan nasional.
Di Bab satu buku ini juga dijelaskan mengenai gerakan 1-5-1. Ini adalah gerakan yang menempatkan politik sebagai panglima sebagai asas dan basis dari
lima kombinasi kerja. Kombinasi itu adalah, 1 Meluas dan meninggi; 2 Tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik atau 2 tinggi; 3 Tradisi baik dan kekinian
revolusioner; 4 Kreativitas individual dan kearifan massa; 5 Realisme sosial dan romantik revolusioner. Di dalam melakukan kelima hal itu metode yang
dilakukan adalah turun ke bawah atau turba. Selanjutnya pada bagian dua diberi judul bab Riwayat Harian Rakyat. Bab
ini dibagi menjadi empat buah tulisan, yaitu 1 14 Tahun Mengawal Kebudayaan Rakyat di halaman 73; 2 Ideologi dan Jurnalisme Harian Rakyat; 3 Lekra dan
Harian Rakjat di halaman 95; 4 Berkali-kali Dibreidel Akhirnya Mati juga di halaman 98. Di dalam bab ini dijelaskan mengenai sejarah Harian Rakjat.
Pertama kali terbit pada tanggal 31 januari 1951 harian ini bernama Suara Rakjat.
Jargon yang diusung adalah Untuk Rakjat hanja Ada Satu Harian “Harian Rakjat”. Harian ini beralamatkan di Pintu Besar Selatan No. 93 dengan Dewan Redaksi
oleh Njoto dan DireksiPenangung JawabRedaksi oleh Mula Naibaho. Dijelaskan juga garis politik redaksi Harian Rakyat adalah konfrontasi,
sehingga terjadi polemik dengan redaksi Harian Merdeka milik B.M. Diah. Hal yang diperdebatkan adalah persoalan politik dalam negeri, partai tunggal, watak-
watak pendukung Sukarnoisme, politik agraria dan Manipol Usdek. Akibat polemik yang terus terjadi, Jaksa Agung meminta kedua surat kabar tersebut
untuk berhenti karena dapat membahayakan persatuan tenaga revolusioner dan mengganggu keamanan politik.
Pada bagian tiga diberi judul bab Sastra yang terdiri dari sepuluh tulisan. Tulisan-tulisan dalam bab Sastra ini diantaranya, yaitu 1 Realisme Sosialis dan
Politik Manipol di halaman 107; 2 Sejarah Sastra Indonesia: Patriotik dan Revolusioner di halaman 109; 3 Pengajaran Sastra dan Politik Neokolonialisme
di halaman 126; 4 Memecah Kolonialisme Bahasa di halaman 136; 5 Konferensi Sastrawan Asia Afrika: Merawat Semangat Perlawanan Bersama di
halaman 139 6 Lekra dan Warga Sastra Dunia di halaman 149; 7 Lumpuhkan Bibit Tenaga Reaksioner dalam Negeri di halaman 151; 8 Sastra Daerah: Titik
Bakar untuk Penciptaan di halaman 157; 9 Puisi dan Prosa: Diantara Keindahan dan Keadilan di halaman 174; 10 Sastra Anak: Minggir Nyingkir Pimpinan yang
Curang di halaman 192. Bab ini khusus menjelaskan pandangan Lekra mengenai sastra daerah dan sastra nasional serta bagaimana metode untuk
mengembangkannya.
Kemudian dilanjutkan pada bagian empat yang diberi judul bab Film. Di bagian ini menjelaskan pandangan Lekra mengenai perfilman di Indonesia.
bagaimana film nasional dapat melawan gempuran dari film-film asing. Hal tersebut tercermin dari beberapa tulisan yang terdapat dalam bab ini. pandangan
mengenai perfilman ini dimulai dengan tulisan 1 Jalan Ideologi Film Indonesia di halaman 201; kemudian dilanjutkan berturut-turut oleh tulisan 2 Dewan Film:
Pandangan Pemerintah di halaman 206; 3 Panitia Sensor dan Film Antiagama di halaman 209; 4 LFI dan Film Indonesia: Pandangan Lekra di halaman 214; 5
Film Berbasis Sosialis, Soal Apa? di halaman 225; 6 Menjadi Tamu Di Rumah Sendiri di halaman 237 7 Festival Film Asia Afrika: Komunike Kesetiakawanan
di halaman 241; 8 Ampai, Kaum Dagang, dan Imperialisme Budaya di halaman 248; 9 Boikot, Boikot, Boikot di halaman 254; 10 Ayo, Keroyok Ampai dan
Agen-Agenen Film Asing sampai Mampus di halaman 261; 11 Robohnya Gedung Ampai di halaman 271.
Bagian lima mengenai bab Senirupa, dalam bab ini dipaparkan mengenai jalan Lekra dibidang senirupa yang dijelaskan dalam lima tulisan. Hal ini tentang
ketegasan dibidang politik senirupa dan pembentukan galeri-galeri pameran. Beberapa tulisan tersebut, yaitu 1 Politik Senirupa Lekra di halaman 283; 2
Taman Seni Lekra: dari Galeri ke Galeri di halaman 298; 3 Turba dan Organisasi Senirupa Indonesia di halaman 312; 4 Garis Seni Lesrupa di halaman
319; 5 Lesrupa dan Merahnya Merah di halaman 322. Masuk di bagian enam mengenai bab Seni Pertunjukan yang di mulai
dengan tulisan pertama yang berjudul Kebangkitan Kesenian Rakyat di halaman
283. Kemudian dilanjutkan tulisan berikutnya, yaitu 2 Ketoprak: Politik, Drama, Rakyat di halaman 339; 3 Wayang: dari Feodalisme ke Politik
Revolusioner di halaman 354; 4 Drama: Produksi dan Pementasan di halaman 365; 5 Reog: Di Jalanan Meritul Musuh Rakyat di halaman 371; 6 Ludruk:
Lelucon Satire Merebut Hati Rakyat di halaman 373; 7 Mari-Mari Nonton Pertunjukan di halaman 377; 8 Dari Pangung ke Panggung di halaman 380.
Bagian ini memaparkan jalan kebudayaan Lekra dalam seni pertunjukan. Bagaimana metode agar politik sebagai panglima dapat diterjemahkan melalui
seni ketoprak, wayang, reog, dan ludruk untuk mendidik rakyat. Bagian tujuh mengenai bab Seni Tari yang berisi enam buah tulisan. Bab
ini dimulai dengan tulisan berjudul Melestarikan Tarian Rakyat di halaman 391. Kemudian dilanjutkan dengan 2 Lestari, Tani, dan Tari Nasional di halaman
398; 3 Tari Revolusioner untuk Anak di halaman 401; 4 Tari Lenso, Tari Pergaulan di halaman 403; 5 Dari Panggung Tari Mari Kibarkan Bendera
Revolusi di halaman 404. Dari keseluruhan bagian tujuh menjelaskan mengenai usaha Lekra untuk melestarikan dan membangun seni tari nasional agar mampu
mendorong revolusi melalui lapangan kebudayaan. Hal tersebut dimulai dengan melestarikan tari daerah dan menciptakan tari yang mempunyai semangat revolusi
untuk anak-anak. Bab Musik, bidang ini masuk ke dalam bagian delapan yang dijelaskan
dalam lima buah tulisan. Tulisan dalam bab Musik ini, yaitu 1 Bersama Rakyat Lekra Menyanyi di halaman 413; 2 “Kambing ke Belet Kawin” dan Ngak Ngik
Ngok di halaman 416; 3 Jalan Musik Manipolis Indonesia di halaman 422; 4
Laporan dari Ruang Sidang LMI di halaman 430; 5 Musik Daerah dan Hak Cipta di halaman 434. Di dalam bab Musik, Lekra menyoroti permasalahan
maraknya musik luar asing yang isinya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang mereka sebut dengan musik ngak ngik ngok. Selain itu, Lekra juga
memandang bahwa musik daerah bukan saja identitas bangsa, tetapi labelnya harus jelas bahwa musik tersebut merupakan hasil kerja keras dan kreaktivitas
lokal. Oleh karena itu, Lekra menekankan bahawa hak cipta itu harus diberi garis tegas agar musik daerah tidak dirampok oleh negara-negara imperialis.
Persoalan mengenai perbukuan masuk ke dalam bagian sembilan. Bab yang diberi judul Buku ini menjelaskan mengenai politik perbukuan nasional. Hal
tersebut mencakup politik buku pelajaran dan penerbitan. Di dalam bab ini juga terdapat tulisan mengenai pembelan Lekra bahwa mereka tidak ikut melakukan
pembakaran buku yang notabene menjadi judul buku ini. Pembakaran buku ini dilakukan oleh Front Pemuda terhadap buku asing terbitan USIS dengan tujuan
sebagai dukungan pemuda terhadap aksi anti anti pangkalan militer asing bersamaan dengan seruan Soekarno untuk keluar dari kenggotaan PBB pada
tanggal 7 Januari 1965. Tulisan dalam bab buku ini diantaranya, yaitu 1 Lekra Tak Membakar Buku di halaman 441; 2 Politik sebagai Panglima Buku di
halamn 448; 3 Politik Buku Pelajaran di halaman 457; 4 Penerbit Jajasan Pembaruan: Sayap Kiri Politik Perbukuan di halaman 464; 5 Lekra juga Punya
Penerbitan di halaman 470; 6 Lekra Tak Membakar Buku di halaman 472. Pada bab penutup yaitu bagian sepuluh diberi judul bab Khotimah. Bagian
ini berisi sebuah tulisan yang berjudul Selamat Jalan Lekra di halaman 485.
Tulisan penutup buku tersebut menjelaskan mengenai sepak terjang Lekra selama 15 tahun di dalam melestarikan, memajukan, dan menghalau kekuatan
kebudayaan asing yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Di penutup buku juga disinggung mengenai peristiwa G 30 S yang berperan di dalam mengubur
Lekra sebagai organisasi dan memacetkan tumbuhnya cendekiawan-cendekiawan revolusioner di Indonesia.
Buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 ditulis oleh dua orang peneliti yaitu Rhoma Dwi Aria
Yuliantri dan Muhidin M Dahlan. Rhoma Dwi Aria Yulianti adalah perempuan kelahiran di Kulon Progo, D.I Yogyakarta pada tahun 1982. Dia merupakan
lulusan dua program studi, yaitu Ilmu Sejarah pada tahun 2004 dan Pendidikan Sejarah pada tahun 2007 di Universitas Negeri Yogyakarta. Di dalam kegiatan
penelitian bergabung dengan I: BOEKOE sebagi peneliti utama Seabad Pers Kebangsaan 1907-2007, Seabad Pers Perempuan 1908-2008, dan Kronik
Seabad Kebangkitan Indonesia 1908-2008. Sedangkan Muhidin M. Dahlan lahir di Palu Sulawesi Tengah pada tahun
1978. Dia sempat menempuh pendidikan di prodi Teknik Sipil Universitas Negeri Yogyakarta dan Sejarah Peradaban Islam Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta, keduanya tidak selesai. Dia juga pernah menjadi aktivis organisasi Pelajar Islam Indonesia PII, Himpunan Mahasiswa Islam HMI-
MPO, dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia PMII. Dia terlibat sebagai tim editor buku-buku Pramodya Ananta Toer di penerbit Lentera Dipantara sejak
tahun 2003. Saat ini menjadi kerani menengah di indonesia Boekoe I: BOEKOE
dan bertugas sebagai koordinator dalam penulisan riset, seperti Seabad Pers Kebangsaan 1907-2007, Kronik Seabad Kebangkitan Indonesia 1908-2008,
dan 1001 Saksi Mata Sejarah Republik. Buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar kebudayaan
Harian Rakyat 1950-1965 tersebut merupakan proyek pribadi kedua penulis ketika mendapatkan data yang melimpah saat menjadi peneliti pada Komunitas
Indonesia Boekoe I:BOEKOE mengenai Seabad Pers Kebangsaan dan Kronik Seabad Kebangkitan Indonesia. Buku ini terbit secara mandiri dengan dana yang
mereka keluarkan pribadi terlepas dari proyek Indonesia Boekoe tersebut. Muhidin M. Dahlan selaku penulis buku menyatakan:
“Awalnya itu kronik dan seabad pers pergerakan adalah proyek Indonesia Boekoe I: Boekoe. Kemudian karena melimpah-ruah datanya diserahkan
kepada penulisnya. Karena data melimpah, masing-masing penulis mempunyai hak sendiri untuk membuat proyek pribadi. Itu dibiayai sendiri
secara pribadi. Tidak ada yang mensponsori bung 15122013”. Buku ini ada dua jenis terbitan yaitu, bersampul depan putih dengan
gambar embos palu arit dan bersampul depan putih dengan embos palu arit yang ditutup seolah-olah ditempel penutup. Menurut kedua penulis, designer sampul
buku membuat embos palu arit tersebut terispirasi karena isi buku menerangkan bahwa Lekra sebagai sebuah lembaga yang seolah-olah sebagai organisasi taktis
PKI dibidang kebudayaan mempunyai posisi yang tidak begitu jelas. Seperti yang dinyatakan oleh Rhoma Dwi Aria Yuliantri selaku penulis buku, yaitu:
“Itu sesuai dengan isinya, karena embos itukan bayang-bayang. Karena sesuai tafsir perupa. Lekra itu dibilang underbow enggak tapi keluarga iya.
Kalau diraba aja baru terasa palu aritnya desainer sampulnya temen saya, anak ISI Eddy Susanto 27122013”.
Gambar 2. Sampul Depan Palu Arit
Buku yang dilarang dengan Keputusan Jaksa Agung Nomor KEP- 141AJA122009 tanggal 22 Desember 2009 dikerjakan selama 1,5 tahun. Data
buku ini didapatkan dari sebuah kamar di perpustakaan yang berada di Yogyakarta yaitu Library center, jalan Malioboro. Saat itu ruangan tersebut
digembok dan terdapat tulisan bacaan terlarang. Ketika mereka memilah data untuk riset tersebut kemudian menemukan koran Harian Rakjat yang mengulas
tentang Lekra dan PKI . Hal itu memunculkan ide untuk membuat buku tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Rhoma Dwi Aria Yuliantri, yaitu:
“Pada saat itu saya sedang riset Seabad Pers Kebangsaan. Kebetulan saya dapat banyak surat kabar yang berhaluan kiri dalam artian komunis. Saya
kan orang sejarah, saya sempat terkejut kok ada bagian sejarah yang saya tidak tahu. Selama belajar sejarah tidak ada yang menyinggung mengenai
hal itu. Padahal itu bagian dari sejarah Indonesia. Saya jadi tertarik dan kayaknya menarik untuk ditulis terus mengajak Muhidin itu. Tempatnya di
Library Center, Malioboro. Sekarang isinya sudah tidak ada tetapi kerangkengnya masih ada 27122013”.
Buku yang di tulis dengan jenis tulisan esai oleh dua orang ini mereka akui tidak ada pembagian yang rigid di dalam penyusunan tulisan. Ide untuk judul pun
mereka ambil dari tulisan di bab sembilan tentang buku yang berjudul Lekra tak Membakar Buku halaman 441. Menurut Mudidin M. Dahlan, buku ini juga
menjadi tandingan dari sebuah buku yang berjudul Prahara Budaya karya Taufik Ismail. Muhidin M. Dahlan mengatakan sebagai berikut:
“Tulisan pertama yang jadi dari buku itu bab 9 yang judulnya lekra tak membakar buku kemudian jadi judul. Buku itu juga mengkonter buku
Taufik Ismail berjudul Prahara Budaya. Di dalam pembagian penulisan buku tidak terlalu rigid, yang saya tulis dibaca satunya demikian
sebaliknya 15122013”. Berdasarkan latar belakang penulisan buku, penulis buku tidak
mempunyai kepentingan secara langsung untuk menyebarkan ajaran komunisme. Penulis buku sebagai peneliti menyajikan data seperti yang mereka temukan
dengan memberikan alur didalam penyusunan data yang diperolehnya dari koran Harian Rakjat tersebut. Akan tetapi isi buku tersebut yang menerangkan tentang
Gambar 5. Kerangkeng Buku TerlarangLibrary Center, Malioboro
dasar pembentukan organisasi, program kerja dan para tokoh-tokohnya sangat dekat dengan PKI. Hal tersebut tidak bisa dihindari karena anggota Lekra
sebagian adalah anggota PKI. Disamping itu adanya sampul buku yang bergambar palu arit memberikan kesan bahwa buku tersebut identik dengan organisasi
terlarang yaitu PKI. Dengan demikian buku ini akhirnya diduga mengandung motif ideologi politik yang melanggar ketentuan dalam TAP MPRS Nomor
XXVMPRS1966 mengenai pelarangan penyebaran ajaranpaham
MarxismeLeninisme-Komunisme.
B. Praktik Kebijakan Pelarangan Buku