d Penyitaan dan Pemusnahan Buku
Aparat Kejaksaan berlandaskan Surat Keputusan Kejaksaan Agung yang diikuti Instruksi kepada Kepala Kejaksaan Tinggi dan Kepala Kejaksaan
Negeri kemudian melakukan tindakan pengamanan alias penyitaan buku. Aparat kejaksaan dengan dibantu kepolisian mendatangi alamat penerbit dan
percetakan kemudian menyita buku serta mendatangi agen dan toko buku untuk memastikan buku yang dilarang tidak dijual. Buku yang sudah disita
kemudian dimusnahkan dengan dua cara yaitu dengan membuat buku-buku tersebut menjadi bubur kertas atau dengan cara pembakaran.
3. Kriteria Barang Cetakan yang Dilarang
Di dalam alur kerja pelarangan buku menurut Arif Raharjo, S.H pada tahap penelitian dan penyelidikan terhadap barang cetakan yang beredar
dimasyarakat yang dilakukan dalam forum Clearing House digunakan landasan
4. Penyitaan dan Pemusnahan Buku
Tindakan pengamananpenyitaan barang cetakan kemudian di musnahkan
3. Penerbitan SK Pelarangan oleh Jaksa Agung
Penerbitan Keputusan Jaksa Agung tentang pelarangan beredar barang cetakan tertentu
2. Rapat Clearing House
Tim Kerja antardepartemen berfungsi mengkaji barang cetakan dan menghasilkan rekomendasi kepada Jaksa Agung
1. Pengumpulan Informasi
Inisiatif Kejaksaan, Intitusi Pemerintah, atau Masyarakat
Gambar 3. Alur Pelarangan Buku
mengenai kriteria penilaian. Penelitian dilakukan atas isi atau materi yang terkandung dalam barang cetakan dengan kriteria penilaian pada beberapa hal
sebagai berikut: a
Bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. b
Bertentangan dengan Garis-Garis Besar Haluan Negara GBHN. c
Mengandung dan menyebarkan ajaranpaham MarxismeLeninisme- Komunisme yang dilarang berdasarkan TAP MPRS Nomor
XXVMPRS1966. d
Merusak kesatuan dan persatuan bangsa, dan negara kesatuan republik Indonesia.
e Merusak kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan nasional.
f Merusak akhlak dan memajukan pencabulanpornografi.
g Memberikan kesan anti Tuhan, anti agama, dan penghinaan terhadap salah
satu agama yang diakui di Indonesia sehingga merupakan penodaan serta merusak kerukunan hidup beragama.
h Merugikan dan merusak pelaksanaan program pembangunan nasional yang
tengah dilaksanakan dan hasil-hasil yang telah dicapai. i
Mempertentangkan Suku, Agama, Ras, dan Adat-istiadat SARA. j
Lain-lain yang dianggap dapat mengganggu ketertiban umum sebagaimana contoh tersebut diatas.
Menurut Arif Raharja di dalam kasus pelarangan buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965
karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, buku tersebut masuk
dalam kriteria barang cetakan yang harus dilarang peredarannya oleh kejaksaan. Arif menyatakan bahwa salah satu yang menjadi kriteria pelarangan adalah
gambar palu arit di sampul depan buku yang identik dengan organisasi terlarang di Indonesia yaitu Partai Komunis Indonesia PKI.
Hal tersebut sesuai dengan keterangan Pemerintah dan DPR RI berdasarkan hasil kajian Clearing House Kejaksaan yang terdapat di dalam Amar
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20PUU-VIII2010. Menurut kajian Clearing House, hal-hal yang perlu mendapat perhatian adalah sebagai berikut:
a Sampul buku bagian depan memuat gambar Palu Arit yang cukup besar
berwarna putih sama dengan warna sampul buku; b
Sub judul Lekra Bukan PKI halaman 59; c
Tak hanya bubar, semua anggota partai yang mengusungnya tinggi-tinggi diburu, ditangkap, dipenjarakan, dan ditombak, disembelih, dan ditembak.
halaman 101; d
Di masa gelap ini, Berita Yudha dan Angkatan Bersendjata bahu-membahu meniup terompet ke seluruh penjuru negeri untuk melakukan pengganyangan
kepada semua orang yang terdaftar sebagai PKI atau simpatisannya. halaman 101;
Dari analisa pernyataan-pernyataan di atas, buku tersebut dikategorikan meresahkan pembaca karena:
a Sampul buku bagian depannya memuat gambar Palu Arit yang cukup besar
berwama putih sama dengan warna sampul buku;
b Mencantumkan istilah G 30 S atau Gerakan 30 September atau Gerakan
30 September 1965 tanpa diikuti sebutan PKI; c
Mendiskreditkan Pemerintah, khususnya Angkatan Bersenjata dengan tuduhan telah melakukan penghukuman penjara puluhan tahun, pengejaran,
penggorokan leher, dan penembakan-penembakan sistematik, serta mengatur aksi massa yang sangat brutal terhadap para budayawan.
Berdasarkan hasil uraian perihal yang mendapatkan perhatian dan alasan dikategorikan meresahkan masyarakat oleh Clearing House terungkap fakta
bahwa buku tersebut memaparakan peristiwa yang dianggap identik dengan Partai Komunis Indonesia PKI, memaparkan sejarah yang tidak sesuai dengan versi
pemerintah dan berpotensi mendiskreditkan pemerintah dalam peristiwa G 30 S. Sehingga dikeluarkan Keputusan Jaksa Agung Nomor KEP-141AJA122009
pada tanggal 22 Desember 2009 tentang pelarangan peredaran buku tersebut. Menurut Arief Budiman bahwa dari kebijakan-kebijakan yang dihasilkan
oleh negara kita dapat melihat jenis negara tersebut, bentuk rejimnya, dan sifat dari alat birokrasinya. Kebijakan ini tentunya merupakan sebuah proses politik
yang kompleks. Negara sendiri merupakan sebuah pakta dominasi dari satu atau beberapa kelompok masyarakat untuk suatu tujuan tertentu. Dengan kata lain, ini
merupakan sebuah pakta dominasi dari orang-orang atau kelompok yang diuntungkan yang disebut sebagai rejim. Dalam pengertian polulernya, rejim
seringkali diartikan sebagai orang atau sekelompok orang yang menguasai negara, seperti misalnya, rejim Marcos, rejim Soeharto atau rejim Soekarno. Sedangkan
dalam pengertian ilmiahnya yang dirumuskan oleh Stephen D. Krashner, rejim
lebih dikaitkan dengan prinsip-prisnsip, norma-norma, aturan-aturan, dan prosedur pengambilan keputusan yang dianut oleh penguasa sebuah negara.
Sedangkan menurut teori birokrasi Max Weber dijelaskan bahwa negara memiliki dua unsur, yaitu tenaga administrasi dan politisi yang ada di pucuk pimpinan
tertinggi sebuah organisasi atau departemen. Tenaga administrasi adalah posisi teknis, sedangkan orang-orang yang berada di pucuk pimpinan tertinggi sebuah
departemen merupakan jabatan politis, karena menyangkut kebijakan. Dua unsur itu kemudian disebut sebagai pemerintah 1996: 88-89.
Dari penjelasan mengenai teori negara tersebut, maka penulis dapat mengetahui jenis negara, bentuk rejim, dan sifat dari alat birokrasinya melalui
penelusuran dan analisis produk kebijakan tentang pelarangan buku. Produk hukum pelarangan buku pertama kali dikeluarkan pada tanggal 23 April 1963 di
masa Orde Lama berupa Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya dapat Mengganggu
Ketertiban Umum. Penetapan presiden tersebut dilatarbelakangi oleh penolakan terhadap barang-barang cetakan yang berasal dari luar negeri. Ada kesepakatan
secara umum dari berbagai kekuatan politik yang dominan di Era Orde Lama bahwa buku-buku dari negara barat merupakan gangguan bagi tujuan revolusi
Indonesia Jaringan Kerja Budaya, 1999: 24. Klausul tersebut juga termaktub di dalam Penetapan Presiden No.4 Tahun 1963 yang berbunyi sebagai berikut:
Menimbang : 1.
bahwa barang-barang cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum akan membawa pengaruh
buruk terhadap usaha-usaha mencapai tujuan revolusi, karena itu perlu diadakan pengamanan terhadapnya;
2. bahwa dianggap perlu Pemerintah dapat mengendalikan
pengaruh asing yang disalurkan lewat barang-barang cetakan yang dimasukkan ke Indonesia dari luar negeri,
dalam rangka menyelamatkan jalannya Revolusi Indonesia;
Menimbang pula: bahwa pengaturan ini adalah dalam rangka pengamanan
jalannya revolusi dalam mencapai tujuannya, sehingga dilakukan dengan Penetapan Presiden;
Memutuskan : Menetapkan :
Penetapan Presiden Tentang Pengamanan Terhadap Barang- Barang Cetakan Yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban
Umum.
Ada dua konsekuensi penting mengenai wewenang kejaksaan agung dalam pelarangan buku melalui Penetapan Presiden tersebut. Menurut Jaringan Kerja
Budaya, pertama, seluruh mekanisme untuk melarang diserahkan pembentukannya kepada Kejaksaan Agung. Kedua, melalui Jaksa Agung sebagai
pihak yang berwenang, maka pelarangan buku dikendalikan langsung melalui tingkatan nasional. Kedudukan penulis, penerbit, dan percetakan lemah dihadapan
produk hukum ini karena tidak adanya mekanisme membela diri ketika sebuah buku dilarang. Jaksa Agung umumnya mengeluarkan keputusan pelarangan lebih
dahulu baru memanggil penulis atau penerbit untuk diinterogasi. Bagi penulis buku kondisinya berbeda, karena masih berlakunya Hatzaai artikelen dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana KUHP yang mencantumkan klausul mengenai penyiaran kebencian melalui tulisan sebagai tindakan pidana 1999: 26.
Klausul yang terdapat dalam Pasal 1 dan Pasal 6 Penetapan Presiden No. 4 tahun 1963 mengenai kewenangan di dalam mekanisme pelarangan barang
cetakan yang diserahkan pembentukannya kepada Kejaksaan Agung berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1 1 Menteri Jaksa Agung berwenang untuk melarang beredarnya barang
cetakan yang dianggap dapat mengganggu ketertiban umum. 2 Keputusan Menteri Jaksa Agung untuk melarang beredarnya barang
cetakan seperti tercantum dalam ayat 1 tersebut dicantumkan dalam Berita Negara.
3 Barangsiapa menyimpan, memiliki, mengumumkan, menyampaikan, menyebarkan, menempelkan, memperdagangkan, mencetak kembali
barang cetakan yang terlarang, setelah diumumkannya larangan itu dihukum dengan hukuman kurungan setinggi-tingginya 1 tahun atau denda
setinggi-tingginya lima belas ribu rupiah.
Pasal 4 Menteri Jaksa Agung berwenang untuk menunjuk barang cetakan dari luar
negeri yang tertentu untuk diperiksa terlebih dahulu sebelum diedarkan di Indonesia.
Pasal 5 1 Dengan suatu keputusan, Menteri Jaksa Agung dapat membatasi jenis-
jenis barang cetakan yang dimasukkan ke Indonesia dari luar negeri. 2 Yang dimaksudkan dengan jenis barang cetakan dalam pasal ini ialah
jenis yang didasarkan atas jenis bahasa, huruf atau asal dari barang cetakan.
Pada masa Orde Baru, Penetapan Presiden No. 4 tahun 1963 ini ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 4 tahun 1963 melalui UU No.51969. Undang-
undang tersebut oleh pemerintah Orde Baru dijadikan landasan hukum untuk menyatakan tetap berlakunya 28 Penpres dan 10 Perpres dari pemerintah
sebelumnya. Disamping Undang-Undang tentang pengamanan barang cetakan yang
beredar dimasyarakat ada pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana KUHP yang dapat menjerat warga negara yang berbeda pandangan politik dengan penguasa. Regulasi tersebut adalah pasal-pasal penyebar kebencian
haatzai artikelen dalam KUHP. Menurut Fauzan Terdapat tujuh pasal yang berkaitan dengan penyebaran kebencian, yaitu pasal 106, 107, 108, 154, 155, 207,
dan 208. Ketujuh pasal tersebut berhubungan dengan masalah pidana politik, yaitu hukum pidana yang menjadi pembenaran langkah represif negara untuk
menangkap, mengadili, dan menghukum musuh-musuh politiknya Iwan Awaludin Yusuf, 2010: 81.
Menurut jaringan Kerja Budaya, Adnan Buyung Nasution memiliki pengertian yang berbeda mengenai pasal-pasal yang menjerat para aktifis politik
yang mengkritik pmerintah. Dia menunjuk pasal 154, 155, 156, 157 KUHP. Sedangkan Divisi Pendidikan dan Kajian Strategis Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia YLBHI menunjuk pasal 106, 107, 108, 134, 154, dan 510 KUHP Fauzan, 2002 : 127.
Selain produk kebijakan yang dilanjutkan dari masa pemerintahan pendahulunya, Orde Baru juga melakukan kontrol politik melalui produk
kebijakan berupa Instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan No. 13811965 yang ditandatangani oleh Pembantu Menteri Bidang Teknis
Pendidikan, Kol. Inf Drs. M. Setiadi Kartohadikusumo yang dikeluarkan pada tanggal 30 November 1965. Di dalam bagian konsiderans disebutkan bahwa untuk
mengadakan tindak lanjut di dalam usaha menumpas gerakan yang menamakan dirinya “Gerakan 30 September” khususnya dibidang mental ideologi, dipandang
perlu melarang buku-buku pelajaran, perpustakaan, dan kebudayaan yang
dikarang oleh oknum-oknum dan anggota-anggota OrmasOrpol yang dibekukan untuk sementara waktu kegiatannya Jaringan Kerja Budaya, 1999: 27.
Hal tersebut menjadi penegas bahwa peristiwa Gerakan 30 September berpengaruh besar terhadap Pemerintahan Orde Baru. Menurut Jaringan Kerja
Budaya, setelah berhasil menyingkirkan berbagai elemen yang diduga berhaluan komunis, Angkatan Darat dan berbagai elemen pendukung Orde Baru mengambil
beberapa kebijakan politik penting mengenai pelarangan buku. Diantaranya adalah TAP MPR Nomor XXVMPRS1966 yang membubarkan PKI dan
melarang ajaran-ajaran MarxismeKomunisme-Leninisme. Produk hukum ini tidak dilengkapi dengan definisi MarxismeKomunisme-Leninisme sehingga
memungkinkan terjadinya tafsir sesuai kepentingan politik pihak yang menggunakan ketetapan tersebut sebagai senjata. Ketetapan ini juga menjadi alat
penting untuk mengontrol masyarakat secara keseluruhan Fauzan, 2010: 129. Kemudian pada tanggal 28 Desember 1978, Menteri Perdagangan dan
Koperasi Radius Prawiro mengeluarkan keputusan yang melarang impor, perdagangan dan peredaran segala barang cetakan dengan aksara Cina. Alasan
dari pemerintah adalah untuk kepentingan pembinaan dan pengembangan kebudayaan Indonesia demi kesatuan dan persatuan bangsa serta peningkatan
pembinaan kesatuan bahasa nasional, dipandang perlu mengeluarkan larangan mengimpor, memperdagangkan dan mengedarkan segala jenis barang cetakan
dalam hurufaksara Cina yang berasal dari impor Jarinngan Kerja Budaya, 1999: 29.
Buku dipandang sebagai sebuah alat yang berbahaya dan dapat memicu terjadinya gerakan yang dapat menggoncang status quo. Hal tersebut merupakan
indikator dari rezim militer, dimana memperlakukan buku bukan sebagai gagasan. Eko Prasetyo selaku pengamat perbukuan dan direktur Penerbit Resistbook
mengungkapkan sebagai berikut: Ketika buka dipandang sebagi alat taktis untuk melakukan aksi
revolusioner. Maka rezim membuat ancaman teknis kebijakan pelarangan buku. Hal itu menandakan buku diperlakukan sebagai alat yang berbahaya
bukan lagi sebagai gagasan. Mereka selalu terancam atas ide untuk menggoncang status quo. Hari ini misalnya semua penangkapan teroris
dan BOM selalu ada buku. Seolah-olah ingin menampakkan bahwa buku mempengaruhi tindakan seseorang. Rezim militer sangat percaya bahwa
buku itu mirip senjata. Ciri kedua, rezim militer juga kuatir bahwa sebuah gagasan itu selalu mempertanyakan eksistensi dia. Mereka terkadang
bukan hanya takut sama isinya tetapi tokoh yang menulisnya 712014.
Produk-produk hukum tersebut adalah kebijakan politik yang diambil rezim Orde Baru untuk melegitimasi ideologi anti komunisme dan alat kontrol
bagi warga negara. Jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998 melalui gerakan reformasi tidak serta-merta diikuti dengan menghilangnya ideologi anti
komunis. Sebaliknya, ideologi anti komunis tetap terpelihara dalam masyarakat Indonesia.
Wijaya Herlambang menyatakan bahwa terpeliharanya ideologi anti komunis tidak saja merupakan hasil dari kampanye politik berbagai kebijakan
politik pemerintahan Orde Baru, tetapi juga yang lebih penting lagi hasil dari agresi budaya untuk melawan komunisme, terutama melalui pembenaran atau
legitimasi terhadap kekerasan yang dialami oleh kaum yang dituduh sebagai anggota dan simpatisan pada 1965-1966. Pembenaran atas kekerasan yang terjadi
pada 1965-1966 yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru dan agen-agen kebudayaannya melalui produk-produk budaya, merupakan bentuk dukungan
yang sangat mendasar dalam menciptakan sudut pandang bahwa komunisme merupakan musuh negara yang paling utama 2013: v.
Ideologi anti komunisme ini kemudian digunakan sebagai alat pelanggengan sejarah versi penguasa. Direktur Pusat Sejarah dan Etika Politik,
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Baskara T Wardaya menyatakan bahwa sejak tahun 2007 pelarangn buku merupakan kombinasi pemikiran sisa kolonial,
penggunaan mantra militer bahwa negara selalu dalam keadaan bahaya dan mentalitas warisan Orde Baru terutama mereka yang masih berada di elit
kekuasaan. Disisi lain militer juga belum menerima sejarah versi lain karena sangat mungkin keterlibatan mereka dalam peristiwa tersebut terungkap. Oleh
karena itu, ketika rezim politik berubah dari otoritarianisme ke demokrasi, militer menggunakan alat lain untuk melakukan pemberangusan sejarah yang merugikan
mereka Iwan awaludin yusuf, 2010: 100-101. Di dalam membedah politik kebijakan suatu rezim tidak cukup dengan
memahami produk kebijakan yang dihasilkan. Bagaimanapun juga penulis pandang perlu memahami budaya politik yang dominan di Indonesia. Menurut
Afan Ghafar, budaya Jawa adalah budaya yang sangat mewarnai kehidupan sosial dan politik Indonesia sehingga dengan demikian ikut membentuk tatanan nilai
dan norma-norma politik di dalam kehidupan politik sehari-hari di Indonesia 1995: 4.
Budaya politik Indonesia, terutama budaya Jawa dibangun dari struktur sosial yang sangat hierarkis, dimana adanya pemilahan yang sangat tegas antara
strata satu terhadap strata lainnya. Konsekuensi dari pemilahan strata sosial yang sangat hierarkis menimbulkan suatu citra diri atau self image dari kalangan
penguasa bahwa penguasa itu benevolence dalam artian bahwa penguasa pada hakekatnya adalah baik hati, pemurah, pelindung, pengayom dari rakyatnya.
Penguasa mempunyai persepsi bahwa merekalah yang paling tahu apa yang terjadi, apa yang merupakan aspirasi, dan kebutuhan masyarakat. Sementara itu
masyarakat adalah kawula yang tidak tahu persoalan kenegaraan sehingga mereka masih perlu dididik dan ditatar. Mereka harus tunduk, patuh, dan setia pada
pemerintah, dalam artian rakyat haruslah obodience Affan Ghafar, 1995: 5 Apa yang dilakukan oleh pemerintah, misalnya dalam kebijakan
pengawasan dan pelarangan terhadap barang cetakan yang beredar dimasyarakat dan sejumlah kebijakan lainnya merupakan perwujudan dari benevolensi
pemerintah. Hal tersebut bukan karena kewajiban melindungi hak warga negara setelah pemerintah dipilih oleh rakyat dan mendapatkan imbalan gaji dari pajak
rakyat. Sebaliknya pemerintah juga tidak habis mengerti mengapa rakyat harus protes, harus kritis apalagi mengadakan tindakan yang memperlihatkan
kelemahan kalangan pemerintah. Rakyat yang seperti itu menurut Afan Ghaffar 1995: 6 adalah rakyat
yang tidak setia kepada negara, tidak setia pada Pancasila, tidak setia pada persatuan dan kesatuan. Itulah cara berfikir kalangan pemerintah kita yang masih
sangat dominan dan hal ini pula yang selalu ditanamkan kepada seluruh lapisan masyarakat, satu tatanan berfikir dominan untuk harus diikuti masyarakat.
Sehingga cara berfikir seperti itu akan mengakibatkan rendahnya budaya toleransi terhadap berbagai perbedaan cara pandang dan perbedaan sikap. Cara
berfikir yang demikian tidak mengenal apa yang disebut oposisi. Hal tersebut dianggap akan mengakibatkan konflik yang kan mengganggu stabilitas nasional
dan menghambat usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dalam rangka menuju masyarakat yang adil dan makmur, tentram dan sejahtera berdasarkan
Pancasila. Masyarakat yang melakukan usaha koreksi terhadap pemerintah adalah mereka dianggap sangat liberalistik. Oleh karena itu, mereka harus dicekal supaya
tidak menggangu dan meracuni cara berfikir yang sangat mapan tersebut Afan Ghafar, 1995: 6. Hal inilah yang terjadi pada kasus pelarangan buku, dimana isi
dari buku tersebut menurut versi pemerintah dapat menimbulkan konflik yang menggangu stabilitas nasional dan berseberangan dengan cara pandang atau
mengoreksi cara pandang pemerintah terhadap suatu peristiwa. Menurut pendapat Fernando Baez 2013: x-xi bahwa dari segi konteks,
pembakaran, penghancuran, dan pelarangan buku bisa dijumpai di zaman pergolakan seperti dalam situasi perang dan revolusi, sebagaimana juga bisa
dijumpai di zaman normal. Pertama perang, merupakan kejadian pertama yang secara brutal bisa menjadikan buku sebagai korban. Sebagaimana berlangsung
semenjak penghancuran Roma yang diikuti pembakaran buku oleh kaum vandal pada 455 SM hingga penghancuran perpustakaan Bagdad di abad ini. Kedua
pembakaran buku yang menandai gerak kemunculan rezim baru. Pembakaran
buku di era Pol Pot di Kamboja serta pelarangan dan pembakaran buku yang berisi adat dan paham tua di masa Revolusi Kebudayaan Cina.
Ketiga adalah penghancuran dan kebencian terhadap buku selama masa Revolusi. Salah satunya adalah sensor selama dan sesudah Revolusi Prancis
seperti contohnya karya Voltaire dan Rousseau dihujat dan diminta untuk dibakar. Keempat adalah kebencian atau penghancuran buku yang secara resmi disponsori
oleh negarapemerintah dalam situasi normal. Penghancuran dan pelarangan buku didasarkan pada argumen bahwa suatu buku memuat ide-ide “murtad” merupakan
praktek yang sering dilakukan. Hal tersebut merujuk pada apa yang disebut oleh Rebecca Knuth sebagai biblioclasm, yaitu sebuah praktik penghancuran dan
pelarangan buku yang didasarkan atas argumen atau penilaian moral dari suatu otoritas moral tertentu. Argumen dan penilaian moral ini di Indonesia mewujud
dalam sebuah kebijakan negara atau kebijakan publik yaitu produk hukum.
C. Proses PerlawananAdvokasi