buku di era Pol Pot di Kamboja serta pelarangan dan pembakaran buku yang berisi adat dan paham tua di masa Revolusi Kebudayaan Cina.
Ketiga adalah penghancuran dan kebencian terhadap buku selama masa Revolusi. Salah satunya adalah sensor selama dan sesudah Revolusi Prancis
seperti contohnya karya Voltaire dan Rousseau dihujat dan diminta untuk dibakar. Keempat adalah kebencian atau penghancuran buku yang secara resmi disponsori
oleh negarapemerintah dalam situasi normal. Penghancuran dan pelarangan buku didasarkan pada argumen bahwa suatu buku memuat ide-ide “murtad” merupakan
praktek yang sering dilakukan. Hal tersebut merujuk pada apa yang disebut oleh Rebecca Knuth sebagai biblioclasm, yaitu sebuah praktik penghancuran dan
pelarangan buku yang didasarkan atas argumen atau penilaian moral dari suatu otoritas moral tertentu. Argumen dan penilaian moral ini di Indonesia mewujud
dalam sebuah kebijakan negara atau kebijakan publik yaitu produk hukum.
C. Proses PerlawananAdvokasi
1. PerlawananAdvokasi Non Litigasi
Kasus Pelarangan terhadap buku berjudul Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 karya Rhoma Dwi
Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan direspon pertama kali oleh penulisnya melalui pengubahan design sampul buku agar buku tersebut tetap dapat beredar.
Bagian sampul buku ini yang diduga oleh mereka bermasalah, sehingga berakibat toko buku mengembalikan retur kepada penerbit. Keduanya melakukan
pengubahan design sampul buku dengan menutup embos gambar palu arit pada design sampul buku sebelumnya. Berikut pernyataan Muhidin M. Dahlan:
Kita mengupayakan gimana beredar kan. Salah satunya dengan membuat cover ini. Tetapi masih dilarang, dulu kita kira masalah cover thok. Cover
itu memakai embos palu arit. Makanya kita tempel kayak gini.. Masalahnya di toko buku Gramedia ketika heboh-hebohnya itu
dikembalikan. Akhirnya karena embos itu design maka dijawab dengan kita tempel 15122013.
Gambar 4. Sampul Depan Palu Arit Ditutup
Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan menyatakan mengetahui secara jelas perihal pelarangan buku karya mereka melalui berita di
media massa. Mereka sebagai penulis buku tidak mendapatkan pemberitahuan resmi dari Kejaksaan mengenai pelarangan buku tersebut. Demikian pernyataan
Muhidin M Dahlan: Pas dikirim lagi ke toko buku mereka tidak mau menerima karena
kejaksaan melarang. Ternyata bukan cover. Bukan apa tapi surat resminya kita tidak dapat 15122013.
Selain melalui pengubahan design sampul buku, kedua penulis melakukan
beberapa tindakan untuk memperjuangkan agar buku yang mereka tulis tetap dapat beredar di masyarakat. Beberapa di antara usaha perlawanan tersebut adalah
dengan mengadakan diskusi bedah buku dan pameran buku-buku terlarang di berbagai kota besar di Indonesia. Mereka juga menggunakan jejaring sosial untuk
mengkampanyekan dan meminta dukungan masyarakat dalam menolak kebijakan pelarangan buku. Tindakan perlawanan secara kultural ini membuahkan hasil
dengan munculnya dukungan dari berbagai elemen masyarakat yang prodemokrasi. Mereka mendorong agar kasus pelarangan buku tersebut di bawa
ke tingkat nasional. Hal tersebut seperti yang diungkapkan Muhidin M. Dahlan selaku Penulis sebagai berikut:
Pertama penulisnya diem aja karena tidak punya kemampuan. Kemudian ada dorongan dari masyarakat untuk dibawa secara nasional. Barulah
muncul beragam diskusi, saya pernah hadir menjadi pembicara diskusi di Taman Ismail Marzuki, Jakarta dan diskusi bedah buku di Surabaya. Di
internet melalui facebook gencar di share berbagai informasi tentang pelarangan buku kalo Twiiter belum. Kemudian setelah berbagai diskusi
intensif memunculkan gagasan gerakan litigasi itu 15122013.
Perlawanan secara kultural di dunia maya dilakukan oleh komunitas Blogger Indonesia dengan menggalang dukungan dari masyarakat melalui jejaring
sosial, yaitu facebook. Akun yang mereka buat menurut penulis buku adalah Lawan Pelarangan Buku. Di dunia maya ada dua website yang terkenal aktif
melakukan perlawanan terhadap pelarangan buku di Indonesia yaitu, www.lawanpelaranganbuku.blogspot.com
dan www.indonesiaboekoe.com. Awalnya perlawanan terhadap kebijakan pelarangan buku ditekankan pada
upaya pembentukan opini publik melalui serangkaian acara diskusi dan seminar diberbagai kota. Diantara dokumentasi acara yang penulis ungkapkan terjadi di
Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya. Pada bulan Agustus 2007 di Jakarta, beberapa elemen masyarakat dari berbagai latar belakang profesi yang menamakan dirinya
“Masyarakat Pecinta Buku dan Demokrasi” mengeluarkan sebuah pernyataan sikap. Isi dari pernyataan sikap tersebut diantaranya, pertama menuntut
permintaan maaf dari pelaku pembakaran buku sejarah di Depok dan kota-kota lain. Kedua, menuntut pemerintah khususnya pihak Kejaksaan untuk tidak
menyikapi perbedaan pendapat dengan pembakaran buku melainkan membuka dialog demi melindungi demokrasi. Ketiga, dihentikannya pelarangan buku atas
alasan apa pun. Kemudian pada bulan Maret 2010, para perupa dan aktivis di Jakarta
membuat pameran bertema Pelarangan Buku: Menutup Jendela Dunia bertempat di Taman Ismail Marzuki. Pesan yang ingin mereka sampaikan adalah pelarangan
buku yang semena-mena oleh aparat negara merupakan sebuah kemunduran peradaban di Era Reformasi. Pada waktu itu, mereka juga merencanakan
melanjutklan acara tersebut ke Yogyakarta dan Surabaya. Selain itu, sebuah pagelaran bertema Melawan Dengan Karya: Sebuah
Pagelaran Buku-Buku Terlarang bertempat di Balai Pemuda dibuat di Surabaya. Acara tersebut berlangsung dari tanggal 19-21 Mei 2010. Muhidin M Dahlan
menjelaskan bahwa salah satu rangkaian acara tersebut menampilkan performance art dari Taufik Monyong berupa seorang pria yang tubuhnya tertutup kertas
bertuliskan ratusan judul buku yang pernah dibredel sejak era kolonial hingga reformasi. Buku-buku yang dilekatkan pada tubuh pria tersebut antara lain Lekra
Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950- 1965, dan Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Disamping itu distribusi
buku melalui jalur alternatif bawah tanah kepada masyarakat yang berminat juga terus dilakukan oleh penerbit dan penulis dalam berbagai acara.
2. PerlawananAdvokasi Litigasi
Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan selaku penulis buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat
1950-1965 selain menempuh jalur perlawan kultural juga melakukan perlawanan melalui jalur hukum. Hal ini dilakukan bersama-sama dengan penulis dan penerbit
juga elemen masyarakat yang dirugikan haknya dengan pelarangan buku tersebut. Dua penulis buku ini menggunakan jasa kuasa hukum yang berbeda untuk
mengurus permohonan uji materi terhadap UU No.4PNPS1963 dan UU Kejaksaan RI. Rhoma Dwi Aria Yuliantri dengan I Gusti Agung Ayu Ratih dari
Institut Sejarah Sosial Indonesia ISSI selaku penerbit buku Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karya John Roosa
memberikan kuasa kepada Tim Advokasi Tolak Pelarangan Buku yang berdomisili hukum di Jalan Diponegoro Nomor 74, Jakarta Pusat. Tim Advokasi
Pelarangan Buku mendaftarkan permohonan uji materi Perkara Nomor 20PUU- VIII2010 dan berkedudukan sebagai pemohon III.
Sedangkan Muhidin M Dahlan pemohon V bersama dengan Muhammad Chozin Amirullah selaku Ketua Umum Pengurus Besar HMI MPO pemohon I;
Adhel Setiawan selaku Mahasiswa dan Pengurus PB HMI MPO pemohon II; Eva Irma Muzdalifah selaku Mahasiswa dan Ketua Umum HMI MPO Cabang
Jakarta pemohon III; dan Syafrimal Akbar Dalimunthe selaku Mahasiswa dan Ketua Umum HMI MPO Cabang Bogor pemohon IV, melakukan permohonan
uji materi Perkara Nomor 13PUU-VIII2010 memberikan kuasa kepada Tim Advokasi Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat HMI-MPO TAKBIR HMI-
MPO. TAKBIR HMI-MPO berdomisili hukum di Pohan Goei Law Office, Gedung Arthaloka Lantai 16, Suite 1610, Jalan Jenderal Sudirman Kav 2, Jakarta
Pusat. TAKBIR HMI-MPO oleh Mahkamah Kostitusi sebagai kuasa para pemohon disebut berkedudukan sebagai pemohon II.
Langkah-langkah yang dia ambil bersama dengan penentang kebijakan pelarangan buku, menurut Muhidin M Dahlan merupakan perlawanan secara
formal dan non formal sebagai seorang warga negara. Pernyataan tersebut seperti yang diungkapkannya:
Ini adalah cara warga negara melawan secara formal dan non formal. Karena 6 buku yang dilarang. Masing-masing punya bekingan. Kalau
beking saya HMI MPO ada juga ISSI dan Rhoma dengan LBH Jakarta. berbagai elemen masyarakat juga media semuanya bersatu padu melawan.
LBH jakarta dan media massa yang paling kenceng dan juga lewat Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi 15122013.
Permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi itu dilakukan sejak bulan Februari 2010. Mahkamah Konstitusi menerima surat permohonan uji materi
tersebut pada bulan Maret 2010, setelah mengalami beberapa perbaikan. Para Pemohon II telah mengajukan permohonan dengan surat permohonannya
bertanggal 15 Februari 2010 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada hari Kamis tanggal 18 Februari 2010 dan diregistrasi pada hari Selasa tanggal 2 Maret
2010 dengan Nomor 13PUUVIII2010. Surat tersebut kemudian diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada hari Rabu tanggal 31 Maret 2010.
Kemudian untuk Pemohon III telah mengajukan permohonan dengan surat permohonan bertanggal 23 Februari 2010 yang diterima di Kepaniteraan
Mahkamah pada hari Kamis tanggal 25 Februari 2010 dan diregistrasi pada hari Selasa tanggal 30 Maret 2010 dengan Nomor 20PUUVIII2010. Surat tersebut
juga mengalami perbaikan dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada hari Rabu tanggal 29 April 2010.
Para pemohon mempermasalahkan pelarangan buku dengan landasan UU No.4PNPS1963 dan UU No.162004. Kedua produk hukum tersebut menurut
para pemohon mencederai hak konstitusional mereka sebagai warga negara. Oleh karena itu, para pemohon meminta mahkamah Konstitusi untuk melakukan uji
materi terhadap dua produk hukum yang memberikan kewenangan kepada Kejaksaan dalam hal pelarangan barang cetakan buku. Hal tersebut mereka
nyatakan dalam klausul kepentingan hukum legal standing bahwa hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informas dalam rangka pengembangan diri
sebagai warga negara telah dilanggar. Hal tersebut sesuai dengan legal standing pemohon yang berbunyi:
a Bahwa hak konstitusional para Pemohon berupa hak untuk berkomunikasi
dan memperoleh informasi dalam rangka pengembangan diri dan lingkungan masyarakat, mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan dan
mengolah informasi dari buku-buku atau barang cetakan lainnya jelas telah dilanggar.
b Bahwa Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV dan V adalah perorangan
dan warga negara Indonesia berstatus sebagai mahasiswamahasiswi dan penulis yang dirugikan hak konstitusionalnya karena tidak dapat
memperoleh informasi untuk mengembangkan diri dan lingkungan
masyarakatnya oleh karena adanya pelarangan dan pengawasan barang cetakan dalam UU 4PNPS1963 dan UU 162004. Padahal hak untuk
memperoleh berkomunikasi dan memperoleh informasi telah dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945. Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV dan
Pemohon V tidak dapat secara bebas mendapatkan informasi, dimana informasi melalui barang cetakan tersebut dilarang untuk beredar.
c Bahwa selain itu para Pemohon juga dirugikan oleh karena ketentuan
pelarangan dan pengawasan barang cetakan dalam UU 4PNPS1963 dan UU 162004 tidak melalui sebuah proses hukum due proccess of law
yang benar. Ketentuan konstitusional dalam Pasal 28D ayat 1 UUD 1945 telah menetapkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Oleh karena adanya pemberian hak konstitusional
diatas maka pelarangan dan pengawasan barang cetakan sebagaimana diatur dalam UU 4PNPS1963 dan UU 162004 bertentangan dengan
UUD 1945. d
Bahwa Pemohon V adalah Penulis Buku Lekra Tak Membakar Buku, Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 dan buku-
buku lainnya. Sebagai penulis, Pemohon V dirugikan dengan adanya ketentuan pelarangan dan pengawasan terhadap barang cetakan dalam UU
4PNPS1963 dan UU 162004 oleh karena pikiran dalam buku Pemohon V dianggap terlarang. Jaminan hak konstitusional Pemohon V
sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat 2 dan ayat 3 UUD 1945
terkait dengan menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya dan mengeluarkan pendapat jelas telah dirugikan.
Tim Advokasi Pelarangan Buku yang menjadi kuasa dari Rhoma Dwi Aria Yuliantri mengajukan 1 orang saksi dan 3 orang ahli untuk memperkuat
permohonan uji materinya. Hal tersebut seperti yang tertuang dalam Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20PUU-VIII2010. Pemohon III
mengajukan satu orang saksi yaitu Prof. Dr. Iur Adnan Buyung Nasution dan 3 tiga orang Ahli yaitu 1 Prof. Dr. Magnis Suseno, Atmakusumah Astraatmadja,
dan Yudi Latif, Ph.D. Mereka kemudian memberikan keterangan di bawah sumpah pada persidangan tanggal 15 Juni 2010.
Sedangkan TAKBIR HMI-MPO selaku kuasa dari Muhidin M Dahlan menghadirkan 2 orang saksi dan 1 orang ahli. Mereka mengajukan dua orang
saksi, yaitu Ahmad Muzzaki Mahasiswa, dan Syafinuddin Almandari AktivisMantan Aktivis HMI, serta satu orang Ahli yaitu Dr. Donny Gahral
Adian Dosen Filsafat Politik, yang memberikan keterangan di bawah sumpah pada persidangan tanggal 15 Juni 2010. Kehadiran saksi dan ahli ini pentinng
menurutnya untuk memperkuat tuntutan mereka di dalam beracara di Mahkamah Kostitusi.
Hasil Putusan Mahkamah Konstitusi berdasarkan berbagai pertimbangan, maka permohonan Para Pemohon Nomor 13PUU-VIII2010, dan Nomor
20PUUVIII 2010 dikabulkan untuk sebagian. Isi dari amar putusan Mahkamah Kostitusi terhadap perkara tersebut menyatakan bahwa UU No.4PNPS1963 tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat dan UU No.162004 tetap berlaku. Amar
putusan mahkamah kostitusi terhadap uji materi tersebut secara lengkap berbunyi sebagai berikut:
a Permohonan pengujian formil oleh para Pemohon tidak dapat diterima;
b Permohonan pengujian materiil oleh para Pemohon dikabulkan untuk
sebagian; c
Undang-Undang Nomor 4PNPS1963 tentang Pengamanan Barang- barang;
Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1963 Nomor 23 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2533 juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai
Undang-Undang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2900 bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai berikut:
a Undang-Undang Nomor 4PNPS1963 tentang Pengamanan Barang-
barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1963 Nomor 23 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2533 juncto Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan
Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 36, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2900 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
b Pengujian Pasal 30 ayat 3 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401 ditolak;
c Menolak permohonan para Pemohon pengujian materiil untuk selain dan
selebihnya; d
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan
Hakim Konstitusi pada hari Senin tanggal sebelas bulan Oktober tahun dua ribu
sepuluh dan di ucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada hari Rabu tanggal tiga belas bulan Oktober tahun dua ribu sepuluh, oleh delapan Hakim
Konstitusi yaitu, Moh. Mahfud MD., sebagai Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Hamdan Zoelva, Harjono, M.
Akil Mochtar, dan Ahmad Fadlil Sumadi, masing-masing sebagai anggota, dengan didampingi oleh Alfius Ngatrin sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri
oleh para Pemohonkuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili Amar Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 6-13-20PUU-VIII2010. Keputusan hasil uji materi tersebut dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi
pada tanggal 13 Oktober 2010. Waktu pengajuan uji materi sampai mendapatkan keputusan dari Mahkamah Konstitusi menurut kedua penulis memakan waktu
sampai 1 tahun. Di dalam Amar Putusan Mahkamah Kostitusi dalam perkara uji materi tersebut terdapat 1 hakim yang dissenting opinion berbeda pendapat yaitu
Hamdan Zoelva. Selaku pemohon, Muhidin M. Dahlan mengungkapkan sebagai berikut:
Judicial Review itu sekira 1 tahun, bulan Maret sudah masuk Mahkamah Konstitusi, diputuskan 13 Oktober 2010. Kami menang Bung. Ada salah
satu hakim Mahkamah Konstitusi yang disenting opinion yaitu Hakim Mahkamah Konstitusi sekarang, Hamdan Zoelva 15122013.
Dinamika perlawanan atau advokasi oleh kelompok masyarakat penentang kebijakan pelarangan buku baik secara non litigasi atau litigasi untuk menuntut
hak terhadap negara dalam pemaparan tersebut merupakan ciri dari proses demokratisasi melalui penguatan civil society. Menurut Arief Budiman, seringkali
diasumsikan bahwa format demokrasi sangat ditentukan oleh interaksi antara
negara dan civil society. Apabila civil society kuat vis a vis negara, maka kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang lebih demokratis dapat diwujudkan.
Dengan demikian proses demokratisasi pada hakekatnya dapat dipandang sebagai proses penguatan civil society Pradjarta Dirdjosantoso dan Kutut Suwondo, 1999:
51 Menurut Nico L. Kana, civil society adalah suatu corak masyarakat yang
berorientasi kepada pengutamaan terealisasinya hak-hak dan kewajiban anggotanya sebagai warga negara lebih dari kepentingan negara atau
penguasanya. Salah satu bentuk dari hak dan kewajiban warga negara dalam civil society adalah adanya kebebasan bagi warganya untuk mewujudkan hak dan
kewajibannya atas prakarsa sendiri. Dalam suatu civil society maka peranan menentukan dari negara makin surut ke belakang, sehingga yang lebih menonjol
peranan mendukung prakarsa masyarakat agar hak dan keawajibannya terealisasikan 1996: 110.
Civil society dalam pengertian yang digunakan di sini adalah suatu entitas yang keberadaannya menerobos batas-batas kelas serta memiliki kapasitas politik
yang cukup tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan pengimbang dari kecenderungan-kecenderungan intervensionis negara, dan pada saat yang sama
mampu melahirkan daya kritis reflekstif reflektif forces di dalam masyarakat untuk mencegah derajat konflik internal. Civil society yang reflekstif ini pun
menurut Muhammad A.S. Hikam 1993: 62-63 mengisyaratkan pentingnya wacana publik dan oleh sebab itu keberadaan sebuah ruang publik yang bebas a
free publik sphere. Menggunakan pandangan filosofis Hannah Arendt dan
Juergen Habermas, maka kedua elemen tersebut merupakan esensi dari civil society, karena disanalah tindakan politik yang sebenarnya dan bermakna bisa
benar-benar terwujud. Pada ruang publik yang bebaslah, secara normatif, individu-individu dalam posisinya yang setara equal dapat melakukan transaksi
wacana discursive transactions dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran. Secara teoretis, ia dapat diartikan sebagai ruang dimana naggota
masyarakat sebagai warga negara citizens mempunyai akses sepenuhnya terhadap semua kegiatan publik. Mereka berhak melakukan kegiatan-kegiatan
secara merdeka di dalamnya, termasuk menyampaikan pendapat secara lisan atau tertulis.
D. Keterbatasan Penelitian