penggropyokan tidak dihadirkan. Kepastian kebenaran peristiwa hanya diperoleh hakim dari keterangan yang diberikan oleh para pihak di
persidangan yakni dari pihak yang mengajukan permohonan, sehingga kebenaran dari peristiwa maupun alasan yang diajukan oleh pemohon
dalam pemeriksaan di persidangan seringkali tidak diperkuat dengan bukti-bukti yang relevan.
2. Pertimbangan tentang Hukumnya
Pertimbangan tentang hukumnya adalah apa yang menjadi urusan hakim yakni mengenai hukumnya. Para pihak mengemukakan peristiwa
dan hakim menentukan tentang hukumnya. Pertimbangan tentang
hukumnya dalam perkara permohonan dispensasi di bawah umur adalah sebagai berikut:
a. Undang -Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 mengatur adanya dispensasi perkawinan yang dapat dimintakan kepada pejabat
yang berwenang dalam hal ini Pengadilan Agama yakni pada Pasal 7 Ayat 2.
Dalam Pasal 7 ayat 2 disebutkan bahwa penyimpangan terhadap ketentuan ayat 1 mengenai batas usia minimal untuk
menikah, dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak laki- laki maupun pihak
perempuan . Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
menjadi dasar hakim dalam mengadili perkara dispensasi perkawinan di bawah umur yang menyebutkan bahwa dispensasi perawinan dapat
dimintakan pada Pengadilan dalam hal ini Pengadilan Agama untuk masyarakat muslim.
Beberapa contoh
dalam penetapan
perkara yang
mencantumkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 7 Ayat 2 adalah sebagai berikut:
1 Perkara nomor 0022Pdt.P2012PA.Wt., “Menimbang, bahwa permohonan Pemohon tersebut
sesuai dengan ketentuan Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sehingga dapat diterima untuk
diperiksa lebih lanjut dan diberikan penetapannya.”
2 Perkara nomor 0021Pdt.P2013PA.Wt., “
Menimbang bahwa alat bukti P.1, menurut Majelis, dapat diterima dan dipertimbangkan sebagai alat bukti, yang
membuktikan bahwa Pemohon berdomisili di Desa Ngargosari, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon
Progo, oleh karena itu berdasarkan ketentuan pasal 7 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan,
sesuai kewenangan
relatif, Pengadilan
Agama Wates berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara ini”
“Menimbang, bahwa bukti P.3, adalah alat bukti autentik yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna sesuai
ketentuan pasal 165 HIR, oleh karena itu harus dinyatakan terbukti bahwa anak Pemohon tersebut masih berumur 14
tahun 10 bulan, sekaligus membuktikan bahwa benar Pemohon adalah Ibu kandung dari anak bernama Diah
Ayu Puspitasari, sehingga menurut pendapat Majelis, Pemohon memiliki kedudukan hukum legal standing
dalam perkara permohonan ini, sesuai ketentuan pasal 47 Undang-Undang
Nomor 1
Tahun 1974
tentang Perkawinan jo pasal 98 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia”
3 Perkara nomor 0046Pdt.P2012PA.Wt. “Menimbang, bahwa permohonan Pemohon tersebut
sesuai dengan ketentuan pasal 7 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sehingga dapat diterima untuk
diperiksa lebih lanjut dan diberikan penetapannya;
Dari beberapa contoh perkara di atas dapat kita lihat bahwa selain mencantumkan Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, adapula yang mencantumkan tentang ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam. Menurut M.Yahya Harahap
2008 :810, “segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-
alasan dan dasar-dasar putusan, harus juga memuat pasal- pasal tertentu dan peraturan perundangan yang menjadi
landasan putusan, atau juga menyebut dengan jelas sumber hukum tak tertulis yang menjadi dasar pertimbangan dan
putusan.”
Namun yang terlihat disini adalah bahwa tidak semua hakim mencantumkan tentang Pasal yang terdapat dalam Kompilasi Hukum
Islam. Sedangkan sebagian ada yang mencantumkannya mengingat ini adalah perkara yang sama, tetapi menggunakan pertimbangan hukum
yang berbeda-beda. M. Yahya Harahap 2008: 810 selanjutnya menjelaskan bahwa,
“meskipun Undang-Undang memerintahkan pencantuman pasal-pasal yang diterapkan dalam putusan, namun hal itu
tidak diindahkan. Pada masa belakangan ini, putusan pengadilan mulai dari tingkat pertama sampai kasasi,
sangat mandul tentang hal ini. Jarang dijumpai putusan yang lengkap mencantumkannya. Terkadang putusan itu
membingungkan, karena tidak jelas pasal peraturan perundangan mana yang dijadikan rujukan dan landasan
pertimbangan. Selain daripada itu, putusan yang lalai
mencantumkannya, dianggap bukan merupakan cacat yang serius, oleh karena itu selalu ditolerir.”
Berdasarkan pendapat tersebut dapat kita lihat bahwa secara tertulis beberapa hakim mencantumkan pertimbangan hukum dalam
keputusannya secara tidak lengkap. Hal ini terlihat pada contoh yang menunjukkan bahwa ada isi penetapan yang pertimbangan hukumnya
hanya mencantumkan Pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan saja, dan ada pula yang mencantumkan secara
lengkap dengan menambahkan Pasal dalam Kompilasi Hukum Islam.
b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 dan sekarang Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua tentang Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Dasar hukum yang digunakan hakim dalam mempertimbangkan putusan terhadap perkara dispensasi perkawinan selain dari Undang-
Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 juga merujuk pada Undang- Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama terutama pada
Pasal 49 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan sekarang Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua tentang Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam Pasal tersebut dijelaskan bahwa
salah satu yang menjadi wewenang Pengadilan Agama adalah perkara dispensasi perkawinan. Hal ini secara tidak langsung menjadi
legitimasi hakim untuk memutus perkara dispensasi sekaligus menjadi dasar pertimbangan dari keputusan hakim.
Contoh dalam
perkara nomor
0090Pdt.P2012PA.Wt. misalnya,
“Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P.1. ternyata Pemohon bertempat tinggal di wilayah hukum Pengadilan
Agama Wates maka berdasarkan Pasal 49 ayat 1 dan Pasal 73 ayat 1 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989
yang telah diubah dan ditambah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 50 Tahun 2009, perkara ini menjadi
wewenang Pengadilan Agama Wates”
Berdasarkan contoh perkara di atas, pertimbangan yang digunakan hakim berkaitan dengan wewenang relatif Pengadilan. Dimana hakim
mengadili berdasarkan wilayah hukum Pengadilan Agama Wates berdasarkan bukti Kartu Tanda Penduduk yakni P1.
Contoh perkara lain yakni perkara nomor 0033Pdt.P2013PA.Wt., dalam perkara ini, pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim
adalah, “Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P.1. ternyata
Pemohon bertempat tinggal di wilayah hukum Pengadilan Agama Wates maka berdasarkan Pasal 49 ayat 1 dan
Pasal 73 ayat 1 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 50 Tahun 2009, perkara ini menjadi wewenang Pengadilan Agama Wates;”
Sama halnya dengan contoh sebelumnya, pertimbangan hukum yang digunakan hakim adalah berkaitan dengan kewenangan mengadili
Pengadilan Agama Wates. Selain mengenai kewenangan mengadili, hakim Pengadilan Agama
Wates juga menerapkan Pasal dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang- undang Nomor 3 Tahun 2006 dan sekarang diubang dengan Undang-
Undang Nomor 50 Tahun 2009 yakni Pasal 89 Ayat 1 mengenai tanggungan biaya perkara yang dibebankan kepada pemohon. Berikut
dalam Perkara nomor 0021Pdt.P2013, “menimbang, bahwa perkara ini termasuk dalam bidang
perkawinan, maka sesuai dengan Pasal 89 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Perubahan Keuda dengan
Undang-Udang
Nomor 50
Tahun 2009,
biaya ini
dibebankan kepada pemohon.” Hakim pengadilan Agama Wates dalam wawancaranya pada tanggal 7
Oktober 2013, menyebutkan bahwa dalam setiap menangani perkara, pencantuman
Pasal-Pasal dalam
penetapan tidak
selalu dalam
sistematika yang sama. Hakim selalu melakukan pembaharuan agar putusannya dapat diterima masyarakat.
c. Qaidah Fiqhiyyah