PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA WATES DALAM MEMUTUSKAN PERMOHONAN DISPENSASI PERKAWINAN DIBAWAH UMUR.

(1)

i SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan gunaMemperolehGelarSarjanaPendidikan

Oleh

DIAH PUTRI KURNIAWATI NIM 09401241020

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN JURUSAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN HUKUM

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2013


(2)

ii

PERNYATAAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B. IdentifikasiMasalah ... 10

C. PembatasanMasalah ... 11

D. RumusanMasalah ... 11

E. TujuanPenelitian ... 11

F. Manfaat Penelitian ... 12

G. Batasan Istilah ... 13

BAB II. KAJIAN TEORI ... 16

A.Tinjauan tentang Perkawinan ... 16

1. Pengertian Perkawinan ... 16

2. Pengaturan Perkawinan ... 17

3.Syarat-Syarat Perkawinan... 19

4. Pencatatan Perkawinan...23

B. Tinjauan tentang Perkawinan di Bawah Umur ... 28

1. Pengertian Perkawinan di Bawah Umur ... 28

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkawinan di Bawah Umur .. 28

3. Akibat Perkawinan di Bawah Umur ... 30


(3)

iii

2. Bentuk-Bentuk Putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata... 39

3. Susunan dan Isi Putusan Hakim... 43

E. Tinjauan tentang Pengadilan Agama... 48

1. Pengertian Pengadilan Agama... 48

2. Asas Umum Peradilan Agama... 49

3. Wewenang Pengadilan Agama... 54

4. Proses Beracara di Pengadilan Agama... 62

BAB III. METODE PENELITIAN ... 68

A.Tempat dan Waktu Penelitian ... 68

B. Jenis dan Pendekatan Penelitian ... 68

C. PenentuanSubjekPenelitian ... 69

D. TeknikPengumpulan Data ... 71

E. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ... 72

F. TeknikAnalisis Data... 73

BAB IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 76

A.Gambaran Umum Pengadilan Agama Wates ... 76

1. Visi dan Misi Pengadilan Agama Wates ... 78

2. Tugas, Fungsi dan Wewenang Pengadilan Agama Wates ... 79

3. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Wates ... 81

4. Wilayah Yurisdiksi Pengadilan Agama Wates ... 99

5. Perkara yang Ditangani oleh Pengadilan Agama Wates ... 100

6. Prosedur Berperkara di Pengadilan Agama Wates ... 102

B. Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan Permohonan Dispensasi Perkawinan di Bawah Umur ... 105

1. Pertimbangan tentang Duduk Perkaranya ... 107

2. Pertimbangan tentang Hukumnya ... 133


(4)

(5)

(6)

i Oleh:

Diah Putri Kurniawati

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertimbangan hakim Pengadilan Agama Wates dalam mengabulkan permohonan dispensasi perkawinan di bawah umur.

Penelitian dilaksanakan di Pengadilan Agama Wates Kabupaten Kulon Progo pada bulan Agustus 2013 sampai dengan bulan November 2013. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Subjek penelitian ditentukan dengan teknik purposive, dengan kriteria pihak di Pengadilan Agama Wates yang paham tentang penyelesaian perkara permohonan dispensasi perkawinan di bawah umur dan pihak di Pengadilan Agama Wates yang berpengalaman, pernah menangani dan memutus perkara dispensasi perkawinan di bawah umur. Terpilih sebagai subjek penelitian: Empat orang Hakim. Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui teknik dokumentasi dan wawancara. Untuk pemeriksaan dan keabsahan data digunakan cross check data dari dokumentasi dengan wawancara serta wawancara antar subjek. Analisis data dilakukan secara induktif melalui tahap:reduksi data, kategorisasi data, display data, dan pengambilan kesimpulan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertimbangan hakim Pengadilan Agama Wates dalam mengabulkan permohonan dispensasi perkawinan di bawah umur terdiri atas dua pertimbangan yakni: a) Pertimbangan tentang duduk perkaranya meliputi alasan pengajuan permohonan, keterangan para pihak, dan alat bukti;b) Pertimbangan tentang hukumnya meliputi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan sekarang dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan sumber hukum tidak tertulis yakni QaidahFiqhiyyah.

Kata Kunci:pertimbangan, putusan hakim Pengadilan Agama Wates, dispensasi perkawinan


(7)

1 A. Latar Belakang Masalah

Manusia dalam setiap perjalanan hidupnya, sudah pasti memiliki ketidakmampuan untuk bertahan hidup sendiri. Hal ini membuat manusia belajar untuk hidup berkelompok dan mengadakan interaksi dengan sesama manusia lainnya. Membentuk perkumpulan, membentuk keluarga dan lain sebagainya. Perkawinan merupakan salah satu bentuk usaha manusia untuk menciptakan suatu ikatan berkelompok yang dinamakan keluarga. Perkawinan yang melahirkan sebuah keluarga juga merupakan salah satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang diatur oleh aturan hukum.

Hukum negara yang mengatur tentang perkawinan di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 1 disebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan adalah perjanjian yang suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan (Sayuti Thalib, 1986 :47).

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 1, perkawinan dan tujuannya adalah sebagai berikut: “Ikatan lahir


(8)

batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Untuk dapat melaksanakan perkawinan, syarat yang harus dipenuhi adalah kedua belah pihak harus sudah matang jiwa dan raganya untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan apabila nanti telah berkeluarga. Syarat-syarat perkawinan baik formal maupun material diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Syarat material berkenaan dengan syarat yang melekat pada diri pihak-pihak mempelai sedangkan syarat formal adalah tata cara maupun prosedur untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan Undang-Undang. Dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 6 di antaranya syarat-syarat perkawinan yakni adanya persetujuan dari kedua calon mempelai, calon mempelai sudah berumur 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita dengan izin kedua orang tua, kehendak menikah dapat diwakilkan oleh wali jika orang tua sudah meninggal, dan tidak terikat tali perkawinan kecuali laki-laki yang berpoligami.

Syarat perkawinan ini juga ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1) yang dikatakan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun”. Dari adanya batasan usia ini dapat ditafsirkan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak menghendaki adanya pelaksanaan perkawinan di


(9)

bawah umur yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Perkawinan pada dasarnya bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Untuk dapat mewujudkan tujuan tersebut, kedua belah pihak baik pihak pria maupun wanita tentunya harus memiliki kematangan fisik maupun jiwa agar tujuan yang diharapkan tidak menyimpang. Terlebih-lebih ketika terjadi perkawinan dibawah umur yang tidak difikirkan secara matang konsekuensi kedepannya, serta akibat baik dan buruknya, tentu saja akan membuyarkan tujuan dari perkawinan itu sendiri.

Adanya pembatasan umur minimal oleh negara dalam pelaksanaan perkawinan adalah dimaksudkan agar orang yang akan melangsungkan perkawinan sudah benar-benar memiliki kematangan berpikir, kematangan jiwa, dan memiliki kekuatan fisik yang benar-benar sudah memadai. Kemungkinan untuk terhindar dari perceraian dalam keluarga juga semakin kecil karena kedua pihak sudah memiliki ketenangan berfikir dan membuat keputusan. Pembatasan umur ini juga dimaksudkan untuk menunjang keberhasilan program nasional dalam bidang keluarga berencana.

Di Indonesia, perkawinan di bawah umur bukanlah menjadi sesuatu yang dianggap tabu. Bahkan sejak jaman dulu, misalnya dalam peraturan adat tidak ada larangan untuk menikah di bawah umur. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar karena dengan perkawinan di bawah umur yang dilakukan sejak masa kanak-kanak menjadi perlambang bersatunya dua


(10)

buah keluarga menjadi kerabat dekat. Dengan menikah semakin cepat, kehidupan ekonomi menjadi lebih baik dan jauh dari prasangka orang lain tentang anaknya yang jauh dari jodoh. Persepsi semacam itu memang lazim berkembang dalam masyarakat Indonesia yang sebagian besar terdiri dari bermacam-macam suku dan peraturan adat yang berbeda-beda. Apalagi latar belakang masa lalu dan sejarah bangsa Indonesia yang pernah dijajah membuat pengetahuan tentang akibat dari perkawinan di bawah umur tidak dapat diketahui secara mendalam oleh masyarakat, terutama jika mengingat faktor pendidikan masyarakat kita yang masih sangat rendah. Inilah yang menyebabkan sebagian perkawinan di bawah umur dilakukan karena adanya permasalahan yang melatarbelakanginya.

Perkawinan di bawah umur yang dilakukan karena adanya masalah yang melatarbelakanginya bukan berarti tanpa resiko. Akibat dari terjadinya perkawinan di bawah umur ini adalah antara lain terjadinya perceraian (Sri Esti Wuryani D., 2008: 214). Sedangkan berdasarkan temuan Plan Indonesia yakni lembaga kemanusiaan internasional dan organisasi pengembangan masyarakat yang berpusat pada anak, perkawinan di bawah umur dapat berakibat munculnya kekerasan dalam rumah tangga, resiko meninggal tinggi berhubungan dengan masalah reproduksi, serta terputusnya akses pendidikan (Kompas.com, 2011).

Sementara, data yang ada menunjukkan bahwa perkawinan di bawah umur di Indonesia masih sangat tinggi. Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama mencatat bahwa pada tahun 2010 hingga 2012


(11)

terjadinya perkawinan di bawah umur di Kabupaten Indramayu sebanyak 825 perkawinan, Kabupaten Malang 474 perkawinan dan Nusa Tenggara Barat (NTB) sebanyak 44 perkawinan. Sementara penyebab terjadinya pernikahan di bawah umur, Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama menyebutkan bahwa perkawinan di bawah umur terjadi akibat rendahnya pendidikan, belum cukup umur sudah bekerja, dan mengurangi beban keluarga ( Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama, 2012).

Namun dalam kenyataannya, masih banyak masyarakat yang tidak begitu mengerti akan maksud dan tujuan adanya pencegahan perkawinan di bawah umur dan akibat-akibat yang akan terjadi apabila melaksanakan perkawinan di bawah umur. Dilihat dari sudut pandang yang telah ditentukan oleh undang-undang, bahwa dari aspek hukum, perkawinan di bawah umur merupakan perbuatan melanggar undang-undang, terutama terkait dengan adanya ketentuan batas umur untuk melaksanakan perkawinan. Perkawinan di bawah umur merupakan masalah yang sensitif. Di samping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Batas umur yang lebih rendah bagi wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Oleh karena itulah Undang-Undang menentukan batas umur untuk perkawinan bagi pria adalah 19 tahun dan bagi wanita berusia 16 tahun. Adanya penetapan umur 16 tahun bagi wanita untuk diizinkan melangsungkan perkawinan berarti dipandang sebagai ketentuan dewasa bagi seorang wanita.


(12)

Meskipun telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, realitanya masih banyak terjadi penyimpangan. Salah satu penyimpangan adalah kasus yang pernah begitu marak diperbincangkan antara Syekh Pujiono dengan Lutviana Ulfa yang masih berumur 12 tahun. "Jadi harus bisa dibedakan mengenai soal nikah siri dengan kasus Syekh Pujiono. Nikah siri itu pernikahan yang sah selama tidak melanggar UU Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur batas minimal usia pernikahan perempuan yakni 16 tahun," kata Ketua Majelis Ulama Indonesia Jawa Tengah, KH Achmad Darodjie (Kompas, 2009). Padahal, dalam pasal 7 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria telah mencapai umur 19 tahun dan wanita telah mencapai umur 16 tahun. Sementara dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 26 Ayat (1) disebutkan bahwa orang tua bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Namun pada kenyataannya, tidak sedikit orang tua yang tidak menjalankan peran tersebut. Hal itu terjadi karena memang belum ada sanksi tegas terhadap pihak-pihak yang terlibat hingga terjadi pernikahan di bawah umur.

Tujuan terpenting dari adanya pembatasan umur itu untuk mencapai suatu kebahagiaan apabila ada pihak yang belum memenuhi batas umur yang telah ditentukan oleh undang-undang yaitu 19 tahun laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan, maka diperlukan suatu dispensasi dari Pengadilan/pejabat lain yang ditunjuk oleh pihak orang tua kedua mempelai.


(13)

Oleh karena itu, Pengadilan sebagai salah satu pihak yang berperanan penting dalam pemberian dispensasi perkawinan di bawah umur, di mana hakim sebagai pembuat keputusan haruslah bertindak lebih bijaksana dan berhati-hati, sehingga tidak mudah memberikan dispensasi tersebut. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yakni dalam Pasal 7 Ayat(2) dinyatakan bahwa dalam hal penyimpangan ayat (1) dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pihak lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau wanita. Dalam Ayat (3) dijelaskan bahwa dalam hal ketentuan-ketentuan pelaksanaan dispensasi juga tidak lepas dari ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 6 Ayat (6).

Dispensasi perkawinan memang tidak dilarang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini, tetapi dengan tetap memperhatikan apa yang dinyatakan dalam Pasal 6 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Sebab tanpa adanya alasan yang kuat dalam mengajukan permohonan dispensasi dari pihak yang bersangkutan, sedapat mungkin pihak Pengadilan untuk menolaknya atau tidak menerimanya. Peran Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama menjadi sangat penting dalam hal ini. Salah satunya adalah yang terjadi di Kabupaten Kulon Progo.

Kabupaten Kulon Progo merupakan sebuah kota kecil dengan sebagian wilayahnya merupakan pegunungan dan berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Kondisi ini menyebabkan tingkat pendidikan dan mata pencaharian masyarakat Kulon Progo tidak berkembang secara pesat.


(14)

Pendidikan bukan menjadi masalah serius bagi sebagian masyarakat dengan daya ekonomi rendah yang kebanyakan hanya berprofesi sebagai petani. Faktor inilah yang menyebabkan terjadinya perkawinan di bawah umur di Kabupaten Kulon Progo semakin menjamur. Berdasarkan data dari kantor Kementerian Agama Kulon Progo menyebutkan jumlah pernikahan dini pada 2006 baru berjumlah 19 kasus, pada 2007 berjumlah 41 kasus, 69 kasus pada 2008, 84 kasus pada 2009 (Krisman Purwoko, 2010). Pernikahan usia dini di Kulon Progo ada 2010 terjadi 52 kasus dan baru satu semester pertama 2011 sudah mencapai 43 kasus (Antara, 2011).

Kasus pernikahan di bawah umur di Kulon Progo terutama data yang masuk di Pengadilan Agama Wates terbilang cukup banyak setiap tahunnya. Sementara di Pengadilan Negeri Wates, jumlah permohonan dispensasi perkawinan di bawah umur yang diajukan sangat sedikit setiap tahunnya, karena selain mayoritas penduduk kabupaten Kulon Progo adalah muslim juga memang karena jarang sekali ada permohonan dispensasi perkawinan di bawah umur yang masuk di Pengadilan Negeri. Informasi yang peneliti himpun berdasarkan Laporan Tahunan dan informasi perkara Pengadilan Agama Wates diperoleh data statistik perkara permohonan dispensasi perkawinan selama tahun2010 sampai2012 sebagai berikut:


(15)

Tabel 1. Perkara Permohonan Dispensasi Perkawinan di Bawah Umur di Pengadilan Agama Wates dalam Kurun Waktu Tahun 2010-2012

No. TAHUN

JUMLAH PERKARA PERMOHONAN

DIKABULKAN DITOLAK SISA PERKARA

AKHIR TAHUN

1. 2010 52 51 - 1

2. 2011 68 58 1 9

3. 2012 62 60 - 2

Sumber: dokumen perkara Pengadilan Agama Wates

Data yang menunjukkan tingginya angka permohonan dispensasi perkawinan di Pengadilan Agama Wates ini tentunya cukup menjadi perhatian yang serius mengingat para pihak yang diwakilkan adalah remaja yang usianya masih di bawah umur. Dari tabel di atas diperoleh data bahwa pada tahun 2010 terdapat 52 perkara permohonan dispensasi perkawinan di bawah umur dan 51 perkara permohonan dikabulkan sementara pada akhir tahun sisa 1 perkara , pada tahun 2011 terdapat 68 perkara permohonan dan 58 perkara permohonan dikabulkan, hanya 1 permohonan yang ditolak dengan sisa perkara permohonan pada akhir tahun adalah 9. Tahun 2012 terdapat 62 perkara permohonan dan 60 perkara permohonan dikabulkan dengan 2 sisa perkara di akhir tahun. Data tersebut menunjukkan bahwa cukup banyak permohonan dispensasi perkawinan yang dikabulkan oleh hakim setiap tahunnya dan sedikit sekali permohonan yang ditolak. Hal ini tentunya memunculkan opini bahwa ternyata begitu mudah mendapatkan ijin menikah dalam usia muda. Perbandingannya memang tidak sepadan jika dikaji kembali.


(16)

Usia dan kedewasaan menjadi hal yang harus diperhatikan dalam pernikahan bagi pria dan wanita yang ingin melangsungkan pernikahan. Tetapi pada realitanya masyarakat masih banyak yang meminta dispensasi perkawinan dengan berbagai alasan. Untuk itu berdasarkan data dan uraian tersebut peneliti sangat tertarik dan akan melakukan penelitian mengenai PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA WATES DALAM MENGABULKAN PERMOHONAN DISPENSASI PERKAWINAN DI BAWAH UMUR. Peneliti akan mengkaji pertimbangan yang digunakan oleh Hakim Pengadilan Agama Wates dalam memutuskan perkara permohonan dispensasi nikah untuk perkawinan di bawah umur di Kabupaten Kulon Progo.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat diidentifikasikan masalah-masalah sebagai berikut:

1. perkawinan di bawah umur terjadi akibat rendahnya pendidikan, belum cukup umur sudah bekerja, dan mengurangi beban keluarga. 2. Jumlah kasus perkawinan di bawah umur di Kabupaten Kulon

Progo meningkat dari tahun ke tahun

3. Tingkat pengajuan permohonan dispensasi perkawinan di bawah umur di Pengadilan Agama Wates cukup banyak.


(17)

4. Kecenderungan hakim mengabulkan permohonan dispensasi perkawinan di bawah umur yang masuk di Pengadilan Agama Wates

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, terlihat bahwa permasalahan yang muncul sangat kompleks. Maka peneliti membatasi masalah pada jumlah kasus perkawinan di bawah umur di kabupaten Kulon Progo meningkat dari tahun ke tahun dan kecenderungan hakim Pengadilan Agama Wates dalam mengabulkan permohonan dispensasi perkawinan di bawah umur.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah pertimbangan hakim Pengadilan Agama Wates dalam mengabulkan permohonan dispensasi perkawinan di bawah umur?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memgabulkan permohonan dispensasi perkawinan di bawah umur di Pengadilan Agama Wates


(18)

F. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini meliputi : 1. Manfaat teoretis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dan wawasan di bidang hukum khususnya hukum perdata dan hukum Islam yang termasuk salah satu dari rumpun hukum yang menjadi bagian dari Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan. b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi/ rujukan bagi

penelitian-penelitian sejenis berikutnya. 2. Manfaat Praktis

a. Manfaat bagi peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk mengembangkan wawasan, ilmu, serta penerapannya di bidang pendidikan Kewarganegaraan.

b. Manfaat bagi masyarakat

Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan, informasi dan pemahaman masyarakat sehingga dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk aktif dan menjalankan aturan hukum sebagaimana yang berlaku.


(19)

G. Batasan Istilah

1. Pertimbangan Hakim

Dalam praktik peradilan pertimbangan hukum disebut considerans, yang mana considerans merupakan dasar dari suatu putusan hakim. Pertimbangan dalam putusan perdata dibagi menjadi dua, yaitu pertimbangan tentang duduk perkaranya atau peristiwanya dan pertimbangan tentang hukumnya (Sudikno Mertokusumo, 2002: 213). Pertimbangan hakim yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pertimbangan tentang duduk perkara dan tentang hukum yang merupakan dasar putusan hakim Pengadilan Agama Wates.

2. Hakim

Menurut Undang Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan pertama atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama serta Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undnag Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 11 ayat (1), hakim pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman. Hakim yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hakim pada Pengadilan Agama, yakni hakim yang bertugas di Pengadilan Agama Wates Kabupaten Kulon Progo.

3. Permohonan

Permohonan merupakan tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa yang mana dalam permohonan hak umumnya permasalahannya belum terjadi karena permohonannya dimaksudkan untuk mendapatkan


(20)

keabsahan tentang haknya (Sarwono, 2011: 6). Yang dimaksud permohonan dalam penelitian ini adalah tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa yang diajukan kepada Pengadilan Agama Wates.

4. Dispensasi

Dispensasi adalah penyimpangan atau pengecualian dari suatu peraturan (R. Subekti dan R. Tjitrosoedibio, 1996 : 36). Dispensasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengecualian dari ketentuan menurut Undang-Undang untuk melangsungkan perkawinan.

5. Perkawinan di Bawah Umur

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 15 Ayat (1) dijelaskan bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 (sembilan belas) tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 (enam belas) tahun.

Perkawinan di bawah umur yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perkawinan yang dilaksanakan atau dilangsungkan oleh laki-laki atau calon suami yang berusia kurang dari atau belum berusia 19 (sembilan belas) tahun dan atau perempuan atau calon istri yang berusia kurang dari atau belum berusia 16 (enam belas) tahun.

Dari batasan pengertian di atas, penelitian ini akan membahas mengenai pertimbangan tentang duduk perkara dan tentang hukum yang menjadi dasar putusan hakim Pengadilan Agama Wates dalam mengabulkan


(21)

permintaan pengecualian berupa penetapan untuk laki-laki atau calon suami yang belum mencapai umur 19 tahun dan atau perempuan atau calon istri yang belum mencapai umur 16 tahun untuk melangsungkan perkawinan.


(22)

16 A. Tinjauan tentang Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengertian perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 2, perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau

miitsaqan ghaliizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Nikah adalah melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dengan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara yang diridhoi oleh Allah (Soemiyati, 2000: 8). Menurut Hukum Islam, pernikahan atau perkawinan ialah: “suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan untuk keturunan, yang dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan Hukum Syari’at Islam” (Zahri Hamid, 1976: 1). Jadi,


(23)

perkawinan adalah ikatan lahir batin atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal serta untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Pengaturan Perkawinan

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, maka segala sesuatu yang memuat tentang perkawinan dalam garis besar secara pokok adalah bersumber pada Undang-Undang ini. Ini berarti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan akan berfungsi sebagai sumber pokok bagi pengaturan hukum perkawinan, perceraian, dan rujuk yang berlaku bagi semua warga negara di Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bermaksud mengadakan unifikasi dalam bidang hukum perkawinan tanpa menghilangkan kebhinekaan yang masih harus dipertahankan. Dengan sendirinya Undang-Undang ini mengadakan perbedaan kebutuhan hukum perkawinan yang berlaku secara khusus bagi golongan penduduk warga negara Indonesia tertentu dan itu didasarkan kepada hukum masing-masing agamanya atau kepercayaan agamanya itu (Rachmadi Usman, 2006: 245-246). Bagi warga negara yang beragama Islam, segala hal yang menyangkut tentang urusan perkawinan bukan hanya diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan saja melainkan mengacu juga pada peraturan pada Kompilasi Hukum Islam.


(24)

Secara umum, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dalam bidang hukum perkawinan pada pokoknya merupakan penegasan tentang hal-hal yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Akan tetapi dalam penegasannya juga dilanjutkan dengan penjabaran atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Penjabaran tersebut dimaksudkan adalah untuk membawa ketentuan-ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 kedalam ruang lingkup syari’at Islam. Ketentuan pokok dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang bersifat umum dijabarkan dan dirumuskan menjadi ketentuan yang bersifat khusus sebagai aturan hukum Islam yang diberlakukan khusus untuk warga negara yang beragama Islam (M. Yahya Harahap, 2009: 38).

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini menunjukkan bahwa perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal. Dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam dipertegas dan diperluas kembali ke arah nilai-nilai Islami yakni bertujuan untuk mewujudkan kehidupan berumah tangga yang sakinah, mawaddah,

dan rahmah. Berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa ini kemudian dijabarkan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 yakni perkawinan adalah


(25)

pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghaliizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah (M. Yahya Harahap, 2009: 37-39). Jadi, baik dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai ketentuan-ketentuan pokok, diatur pula perkawinan menurut hukum Islam yang diatur dalam ketentuan-ketentuan Kompilasi Hukum Islam sebagai ketentuan-ketentuan khususnya dengan tetap mengacu pada ketentuan pokok. Kompilasi Hukum Islam dalam pengaturan tentang perkawinan berfungsi untuk menjabarkan dan memperluas apa yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan lebih mengarah pada nilai-nilai Islami.

3. Syarat- Syarat Perkawinan

Perkawinan merupakan salah satu ibadah dan memiliki syarat-syarat sebagaimana ibadah lainnya. Syarat dimaksud, terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 6 hingga Pasal 11, yakni merupakan syarat sahnya perkawinan, antara lain adalah sebagai berikut:

a. Adanya persetujuan antara kedua calon mempelai, artinya tidak ada paksaan dalam perkawinan

b. Calon mempelai yang belum berumur 19 tahun harus mendapat izin kedua orang tua

c. Apabila salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya


(26)

d. Apabila kedua orang tua telah meninggal dunia, maka izin dapat diperoleh dari wali

e. Perkawinan hanya diizinkan jika calon mempelai pria sudah mencapai usia 19 tahun dan calon mempelai wanita sudah mencapai usia 16 tahun

f. Apabila perkawinan dilangsungkan sebelum usia calon memenuhi syarat, maka harus dimintakan dispensasi dari Pengadilan

g. Perkawinan tidak diperbolehkan dilangsungkan apabila calon mempelai mempunyai hubungan darah, berhubungan susuan, berhubungan semenda

h. Bagi calon mempelai wanita tidak berada dalam masa tunggu atau

iddah

i. Seseorang masih terkait tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali Pengadilan memberi izin untuk beristri lebih dari seorang

Sementara, syarat perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam yang dirumuskan dalam Pasal 14 hingga Pasal 18 adalah sebagai berikut :

a. Dalam pelaksanaan perkawinan, harus ada calon suami dan calon istri, wali nikah, dua orang saksi, serta adanya ijab dan kabul b. Perkawinan hanya boleh dilakukan jika calon mempelai telah

mencapai usia yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yakni sekurang-kurangnya


(27)

berumur 19 tahun bagi calon mempelai laki-laki dan 16 tahun bagi calon mempelai perempuan

c. Bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun harus mendapat ijin dari orang tua

d. Harus ada persetujuan kedua calon mempelai

e. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan maupun lisan/ isyarat selama tidak ada penolakan

Dalam Hukum Islam, akad perkawinan dikatakan sah apabila akad tersebut dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang lengkap sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama. Yang termasuk dalam syarat akad nikah adalah :

a. Kesanggupan dari calon-calon mempelai untuk melaksanakan akad nikah

b. Calon mempelai bukanlah orang-orang yang terlarang melaksanakan perkawinan

c. Calon mempelai adalah orang-orang yang sejodoh, sehingga ada keharmonisan dan perkawinan dapat mencapai tujuannya.

Yang dimaksud dengan rukun akad, ialah segala macam hal yang wajib ada dalam pelaksanaan akad. Termasuk di dalamnya :

a. Shighat akad b.Maskawin c. Dua orang saksi

d.Wali pihak calon mempelai perempuan e. Perwakilan (Kamal Mukhtar, 1993 : 37).


(28)

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan antara lain adalah meliputi syarat-syarat materiil yakni dalam Nomor 1 Tahun 1974 tentang UU Perkawinan Pasal 6 hingga Pasal 11 dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 14 hingga Pasal 18.

Syarat materiil berkenaan dengan syarat yang melekat pada diri mempelai, adalah mengenai persyaratan orangnya; adanya persetujuan kedua mempelai, calon mempelai laki-laki harus sudah berusia 19 tahun dan calon mempelai perempuan berusia 16 tahun, tidak terkait pernikahan dengan orang lain kecuali bagi yang berpoligami, bagi wanita tidak sedang dalam masaiddah, tidak terkena larangan/halangan melakukan pernikahan, tidak terkena larangan kawin kembali untuk ketiga kalinya, ada izin dari orang tua/ calon mempelai, izin pengadilan bagi yang hendak berpoligami.

Akad atau perkawinan dikatakan sah apabila dilaksanakan dengan syarat akad nikah dan rukun akad. Syarat nikah meliputi kesanggupan dari calon mempelai, calon mempelai bukanlah orang yang terlarang melaksanakan perkawinan, dan calon mempelai adalah orang yang sejodoh. Adapun untuk syarat-syarat formal adalah mengenai tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut agama dan Undang-Undang, antara lain mengenai tata cara pencatatan perkawinan dan prosedur pelaksanaan perkawinannya (Rachmadi Usman, 2006 : 272-273). Misalnya, mengenai pemberitahuan kehendak menikah yang harus dilakukan oleh kedua calon mempelai, persyaratan perkawinan yang telah diajukan oleh kedua calon mempelai harus diteliti terlebih dahulu oleh Pegawai Pencatat Perkawinan,


(29)

Pegawai Pencatat Perkawinan, pada saat sebelum perkawinan berlangsung, harus menanyakan terlebih dahulu persetujuan calon mempelai di depan saksi.

4. Pencatatan Perkawinan

Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat, baik perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan hukum Islam maupun perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat yang tidak berdasarkan hukum Islam. Pencatatan perkawinan diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 Ayat (2) bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Angka 4 huruf b Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan antara lain juga disebutkan bahwa pencatatan perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian, yang dinyatakan dalam surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan (M. Yahya Harahap, 2009: 40).

Sama halnya dengan ketentuan dalam Undang-Undang perkawinan, ketentuan dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam juga mengatur tentang pencatatan perkawinan bahwa agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat, pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo.


(30)

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah, perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 3 sampai Pasal 9 PP Nomor 9 Tahun 1975, tahapan tata cara pencatatan perkawinan adalah sebagai berikut:

a. Pemberitahuan kehendak melangsungkan pernikahan

Pemberitahuan kehendak melangsungkan pernikahan diatur dalam Pasal 3, 4, 5, dan 6, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yakni setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Perkawinan di tempat perkawinan akan dilangsungkan. Bagi mereka yang melangsungkan pernikahannya dengan aturan Islam, maka pencatatan perkawinannya dilakukan oleh Pegawai Pencatat nikah, Talak, dan Rujuk ( P2NTR) atau Pembantu Pegawai Pencatat nikah, Talak, dan Rujuk (P3NTR) sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. Selain itu, dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 477 Tahun 2004 tentang Pencacatan nikah Pasal 5, orang yang hendak menikah membawa surat keterangan untuk nikah dari kepala desa atau pejabat setingkatnya dan memberitahukannya kepada penghulu. Sedangkan untuk mereka yang melangsungkan perkawinannya selain menurut


(31)

ketentuan Islam, maka dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil. Ketentuan ini menandakan bahwa pencatatan perkawinan dilakukan oleh dua instansi yakni Kantor Urusan Agama dan Kantor Catatan Sipil. Pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan memuat hal-hal antara lain :

1) Nama, didalamnya termasuk nama kecil dan nama keluarga. 2) Umur

3) Agama/kepercayaan

4) Tempat kediaman calon mempelai,

5) Apabila salah satu atau kedua calon mempelai pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suaminya yang terdahulu

Pemberitahuan kehendak ini dilakukan sekurang-kurangnya sepuluh hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan, kecuali disebabkan oleh sesuatu hal yang penting.

b. Penelitian Syarat-Syarat Perkawinan

Penelitian syarat-syarat perkawinan tercantum dalam Pasal 7 dan Pasal 8 PP Nomor 9 Tahun 1975, dalam pencatatan perkawinan, Pejabat Pencatat Perkawinan meneliti hal-hal sebagai berikut:

1) Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai

2) Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat tinggal orang tua calon mempelai


(32)

3) Izin tertulis/izin Pengadilan apabila seorang mempelai belum berusia 21 tahun

4) Izin Pengadilan/ Pejabat dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih beristri

5) Dispensasi pengadilan mengenai perkawinan di bawah umur 16 tatun utnuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki

6) Surat kematian istri atau suami, atau surat perceraian

7) Izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Hankam/Pangab apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya merupakan anggota ABRI (TNI dan Polri) 8) Surat kuasa autentik atau dibawah tangan yang disahkan

oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, apabila salah satu mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena alasan yang penting sehingga harus diwakilkan oleh orang lain.

c. Pengumuman Kehendak Melangsungkan Perkawinan

Setelah semua syarat-syarat dan tata cara pemberitahuan kehendak perkawinan terpenuhi dan tidak ada halangan untuk melangsungkan perkawinan maka Pegawai Pencatat Perkawinan menyelenggarakan pengumuman dengan menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetap pada suatu tempat yang sudah ditentukan yang ditandatangi oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Perihal mengenai


(33)

pengumuman kehendak melangsungkan perkawinan ini tercantum dalam Pasal 9 PP Nomor 9 Tahun 1975, yang memuat hal-hal antara lain :

1) Nama, umur, agama/ kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon mempelai, apabila salah seorang atau kedua calon mempelai pernah kawin maka disebutkan nama suami atau istri terdahulu

2) Hari, tanggal, jam, dan tempat perkawinan akan dilangsungkan

Dalam Pasal 15 Keputusan Menteri Agama Nomor 477 Tahun 2004 tentang Pencatatan Nikah, pengumuman kehendak menikah dilakukan oleh Penghulu di KUA Kecamatan tempat pernikahan akan dilaksanakan dan di KUA Kecamatan tempat tinggal masing-masing calon mempelai, pengumuman ini ditempelkan selama 10 hari.

d. Pencatatan Perkawinan

Setelah melangsungkan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1975, kemudian menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya perkawinan dicatat secara resmi dalam akta perkawinan yang telah disipakan oleh Pejabat Pencatat Perkawinan .


(34)

B. Tinjauan tentang Perkawinan di Bawah Umur 1. Pengertian Perkawinan di Bawah Umur

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 15 Ayat (1) dijelaskan bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 (c) yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 (sembilan belas) tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 (enam belas) tahun. Pasal 15 Ayat (2) dijelaskan bahwa bagi calon mempelai yang belum berumur mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jadi, perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang dilakukan sebelum umur 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkawinan di Bawah Umur Faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan dibawah umur dalam pembahasan hukum adat, yang mempengaruhi masyarakat untuk melangsungkan perkawinan dalam usia muda, yakni:

a. Adanya pesan (tanggeh: Lampung, weling: Jawa) dari orang tua yang telah meninggal dunia, misalnya dikarenakan antara kedua orang tua kedua belah pihak pernah mengadakan perjanjian untukbesanan (Jawa) agar tali persaudaraan menjadi kuat.

b. Kedudukan seseorang sebagai kepala kekerabatan yang akan mempengaruhi keguncangan dalam kekerabatandan kewarisan atau kedudukan terhadap harta kekuasaan.

c. Terjadi sengketa antara kerabat untuk dapat memelihara kerukunan dan kedamaian antar kerabat yang bersangkutan


(35)

d. Untuk mencegah terjadinya perkawinan dengan orang lain yang tidak dapat disetujui oleh orang tua atau kerabat yang bersangkutan.

e. Kemungkinan terjadinya perkawinan terpaksa, misalnya gadis yang masih di bawah umur tersebut hamil diluar nikah (Hilman Hadikusumo, 1990: 93).

Selain faktor-faktor seperti tersebut di atas, secara umum, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan di bawah umur adalah antara lain :

a. Pendidikan yang rendah. Karena kurang menyadari adanya bahaya apabila terjadi perkawinan di bawah umur, banyak remaja yang putus sekolah atau hanya tamat sekolah dasar, kemudian menikah karena tidak punya kegiatan.

b. Peraturan budaya. Peraturan budaya bisa jadi menjadi salah satu faktor terjadinya perkawinan di bawah umur. Dalam peraturan budaya usia layak menikah seringkali dikaitkan dengan datangnya haid pertama bagi perempuan. Dengan begitu, banyak remaja yang sebenarnya belum layak menikah tetapi harus menikah karena peraturan budaya

c. Kecelakaan. Tidak sedikit perkawinan remaja di bawah umur terjadi karena adanya “kecelakaan’ dari pergaulan yang tidak terkontrol. Dampaknya mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan menikah. Untuk menutupi aib keluarga, tidak ada jalan alin kecuali menikah. Pernikahan semacam ini biasanya tidak akan bertahan lama karena landasannya tidak kuat.

d. Keluarga Cerai (broken home). Banyak anak-anak korban perceraian terpaksa menikah dini karena berbagai alasan, misalnya tekanan ekonomi, untuk meringankan beban orang tua tunggal, membantu keluarga, mendapatkan pekerjaan, meningkatkan taraf hidup.

e. Daya tarik fisik. Faktor lain adalah daya tarik fisik. Banyak remaja yang terjerumus ke dalam pernikahan karena daya tarik fisik. Karena daya tarik fisik sangat terbatas, pernikahan biasanya tidak berusia panjang (EB. Surbakti, 2008: 316-317). Yang menjadi faktor penyebab terjadinya perkawinan di bawah umur pada umumnya adalah masalah ekonomi keluarga, tidak adanya pengertian


(36)

mengenai akibat adanya perkawinan di bawah umur, adanya perkawinan terpaksa, faktor kebiasaan adat budaya, faktor keluarga dan faktor perjodohan. Dalam masyarakat adat, faktor yang mempengaruhi terjadinya perkawinan di bawah umur biasanya adalah karena adanya pesan dari orang tua yang telah meninggal, terjadinya sengketa adat, dan bahkan adanya perkawinan yang dilakukan karena terpaksa.

3. Akibat Perkawinan di bawah Umur

Dilihat dari beberapa penyebab perkawinan di bawah umur, terlihat bahwa sebagian remaja melakukan perkawinan di bawah umur dikarenakan kecelakaan atau hamil di luar nikah, faktor pendidikan, faktor adat dan budaya serta masih banyak lagi. Berikut beberapa akibat dari dilakukannya perkawinan di bawah umur karena faktor tersebut di atas:

a. Perceraian umumnya terjadi diantara anak-anak yang memutuskan untuk menikah karena hamil terlebih dahulu. b. Perkawinan diantara pasangan yang pendidikannya rendah, gaji

kecil, tidak mempunyai pekerjaan atau keterampilan tidak mungkin dapat mempertahankan perkawinannya dalam waktu lama.

c. Tidak akan mempunyai waktu untuk mengembangkan diri (Sri Esti Wuryani D., 2008: 214).

Akibat yang banyak terjadi dari perkawinan di bawah umur ini cenderung mengarah kepada banyaknya perceraian dan kurangnya kemampuan pasangan muda dalam mengembangkan dirinya karena sudah terikat dalam tali perkawinan. Kesibukan membina rumah tangga dan mengurus anak menjadi penghambat pasangan perkawinan di bawah umur untuk


(37)

berkembang dan mengekspresikan jiwa muda mereka karena sudah terbebani dengan tanggungjawab berkeluarga.

C. Tinjauan Tentang Dispensasi Perkawinan

1. Pengertian Dispensasi Perkawinan

Pengertian dari dispensasi pada umumnya adalah merupakan penyimpangan atau pengecualian dari suatu peraturan (R. Subekti dan R. Tjitrosoedibio, 1996: 36). Sedangkan dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 Pasal 1 Ayat (2) sub g, yang dimaksud dengan dispensasi Pengadilan Agama ialah penetapan yang berupa dispensasi untuk calon suami yang belum mencapai umur 19 tahun dan atau calon istri yang belum mencapai umur 16 tahun yanag dikeluarkan oleh Pengadilan Agama. Dispensasi perkawinan diperlukan bagi setiap calon pengantin pria yang belum berumur 19 tahun, calon pengantin wanita belum berumur 16 tahun (Anwar Sitompul, 1984: 64). Dispensasi perkawinan ini kelonggaran, pengecualian dari ketentuan menurut Undang-Undang yang berupa penetapan dari Pengadilan Agama untuk laki-laki atau calon suami yang belum mencapai umur 19 tahun dan atau perempuan atau calon istri yang belum mencapai umur 16 tahun untuk melangsungkan perkawinan. Bagi pasangan yang umurnya belum memenuhi syarat sah melangsungkan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang


(38)

Perkawinan maka wajib untuk meminta dispensasi dari Pengadilan Agama tempatnya tinggal atau berdomisili.

2. Persetujuan Izin dan Dispensasi

Dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 tahun 1975 Pasal 12 Ayat (1) dan (2) dijelaskan bahwa pernikahan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Seorang calon mempelai yang akan melangsungkan pernikahan belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sesuai yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam Pasal 13 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 tahun 1975 ini juga dijelaskan bahwa apabila seorang calon suami belum mencapai umur 19 tahun dan calon isteri belum mencapai umur 16 tahun hendak melangsungkan pernikahan harus mendapat dispensasi dari Pengadilan Agama. Permohonan dispensasi nikah tersebut diajukan oleh kedua orang tua pria maupun wanita kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya. Kemudian Pengadilan Agama setelah memeriksa dalam persidangan dan berkeyakinan bahwa terdapat hal-hal yang memungkinkan untuk memberikan dispensasi tersebut, maka Pengadilan Agama memberikan dispensasi nikah dengan suatu penetapan. Salinan penetapan itu dibuat dan diberikan kepada pemohon untuk memenuhi persyaratan melangsungkan pernikahan (Anwar Sitompul, 1984: 65).

Dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 477 Tahun 2004 Tentang pencatatan Nikah Pasal 11 hingga Pasal 12 dijelaskan mengenai persetujuan, izin, dan dispensasi. Disebutkan bahwa pernikahan yang akan


(39)

dilangsungkan harus berdasarkan persetujuan calon mempelai. Apabila seseorang calon mempelai belum berusia 21 tahun maka wajib mendapatkan izin dari orangtuanya. Untuk calon suami yang belum berusia 19 tahun dan calon istri yang belum berusia 16 tahun harus mendapat dispensasi dari Pengadilan.

Persetujuan izin dan dispensasi diajukan oleh kedua orang tua pria maupun wanita kepada Pengadilan Agama, Pengadilan Agama setelah memeriksa dalam persidangan dan berkeyakinan bahwa terdapat hal-hal yang memungkinkan untuk memberikan dispensasi tersebut, maka Pengadilan Agama memberikan dispensasi nikah dengan suatu penetapan.

D. Tinjauan tentang Putusan Hakim 1. Pengertian Putusan Hakim

Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaaikan suatu perkara atau sengketa antar para pihak (Sudikno Mertokusumo, 2002: 202). Putusan hakim dalam hal ini bukan hanya yang diucapkan oleh hakim dalam persidangan tetapi juga pernyataan yang dituangkan secara tertulis. Putusan yang dituangkan dalam bentuk tertulis tidak mempunyai kekuatan hukum sebagai putusan jika tidak diucapkan oleh hakim di persidangan. Putusan hakim bukanlah satu-satunya bentuk untuk menyelesaikan perkara. Penyelesaian perkara dalam peradilan contentious disebut putusan,


(40)

sedangkan penyelesaian perkara dalam peradilan voluntair disebut penetapan (Sudikno Mertokusumo, 2002 : 202). Gugatan permohonan sering juga disebut gugatan voluntair. Ciri dari permohonan atau gugatan

voluntairadalah masalah yang diajukan bersifat untuk kepentingan sepihak, murni untuk menyelesaikan kepentingan hukum pemohon yang memerlukan kepastian hukum, permasalahan yang diajukan adalah tanpa sengketa dengan pihak lain dan tidak ada pihak lain yang ditarik sebagai lawan (Yahya Harahap, 2008: 29). Dilihat dari cirinya, maka permohonan jelas berbeda dengan gugatan contentious. Gugatan contentieus merupakan gugatan yang mengandung sengketa diantara para pihak yang berperkara yang penyelesaian perkaranya diajukan dengan posisi para pihak yang mengajukan penyelesaian perkara dan bertindak sebagai penggugat sedangkan yang ditarik sebagai lawan berkedudukan sebagai tergugat (Yahya Harahap, 2008: 47).

Fundamentum petendi atau posita permohonan pada prinsipnya didasarkan pada ketentuan pasal undang-undang yang menjadi alasan permohonan, dengan menghubungkan ketentuan itu dengan peristiwa yang dihadapi pemohon (M. Yahya Harahap, 2008: 33). Isi dari petitum permohonan merupakan permintaan yang bersifat deklaratif, petitum tidak boleh melibatkan pihak lain yang tidak ikut sebagai pemohon, tidak boleh memuat petitum yang bersifat condemnatoir, petitum permohonan harus dirinci satu per satu tentang hal-hal yang dikehendaki pemohon untuk ditetapkan Pengadilan kepadanya (M. Yahya Harahap, 2008: 37). Proses


(41)

pemeriksaan gugat permohonan bersifat sederhana yakni hanya mendengar keterangan pemohon atau kuasanya sehubungan dengan permohonan, memeriksa bukti ataupun saksi yang diajukan oleh pemohon serta tidak terdapat tahap replik dan duplik seperti pada pemeriksaan gugatcontentious

(M. Yahya Harahap, 2008: 38). Prinsip pembuktian yang harus diterapkan dalam pemeriksaan gugat permohonan adalah pembuktian harus berdasarkan alat bukti yang ditentukan Undang-Undang yakni dalam Pasal 1866 KUH Perdata. Alat bukti yang sah meliputi tulisan (akta), keterangan saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Ajaran Pembebanan berdasarkan Pasal 1865 KUH Perdata. Dalam hal ini, beban wajib bukti diserahkan pada pemohon. Nilai kekuatan pembuktian yang sah, harus mencapai batas minimal pembuktian yakni apabila alat bukti yang diajukan hanya sebgai alat bukti permulaan atau hanya satu saksi tanpa adanya alat bukti yang lain, maka alat bukti yang diajukan oleh pemohon belum mencapai batas minimal untuk membuktikan dalil permohonan (M. Yahya Harahap, 2008: 40).

Demikian juga pada putusan hakim di peradilan agama. Dalam perkara permohonan produk keputusan yang dikeluarkan adalah penetapan, sedangkan untuk perkara yang mengandung sengketa produk keputusan yang dikeluarkan berbentuk putusan. Dalam Penjelasan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan sekarang dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas


(42)

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dijelaskan bahwa putusan atas perkara permohonan disebut penetapan. Bentuk penetapan ini berkaitan dengan sifat atau corak gugat. Dengan kata lain, dalam Undang-Undang putusan yang sesuai dengan gugat permohonan adalah penetapan (M. Yahya Harahap, 2009: 305).

Gugat permohonan adalah gugat yang bersifat volunteer. Cirinya antara lain adalah merupakan gugat secara sepihak. Pihak hanya terdiri dari pemohon. Tidak ada pihak yang diposisikan sebagai tergugat. Keberadaan orang lain dalam permohonan yang bersifatvolunteerhanya sebagai subjek. Gugat permohonan tidak bertujuan untuk menyelesaikan suatu persengketaan. Petitum dan amar gugat permohonan hanya bersifat

declaratoir. Asas kebenaran pada putusan penetapan adalah asas kebenaran sepihak. Kebenaran ini hanya bernilai bagi pemohon saja. Kebenarannya tidak menjangkau orang lain. Kekuatan mengikat dari putusan ini juga hanya berlaku pada diri pemohon. Putusan penetapan tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian dan tidak mempunyai kekuatan eksekutorial karena amarnya bersifatdeclaratoir(M. Yahya Harahap, 2009: 306).

Bentuk putusan Peradilan Agama yang lain adalah “putusan”. Dalam Penjelasan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan sekarang dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang dimaksud dengan keputusan yang berbentuk


(43)

putusan adalah keputusan atas perkara gugatan berdasarkan adanya sengketa. Gugat yang bersifat sengketa maupun mengandung sengketa disebut juga gugat contentius. Setiap gugat yang bersifat contentius

melahirkan putusan yang bersifat condemnatoir dan berkekuatan eksekutorial (M. Yahya Harahap, 2009: 307).

Dalam putusan-putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Pasal 57 Ayat (2) tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan sekarang dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disebutkan bahwa setiap putusan dan penetapan dimulai dengan kalimat “Bismillahhirrahmanirrahim” diikuti dengan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Untuk para hakim dalam lingkungan Peradilan Agama, syarat atau ciri batiniah menegakkan hukum, kebenaran dan keadilannya dilekatkan ciri yang lebih khusus. Jika dalam ketentuan Pasal 4 Ayat (1) UU nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan dijelaskan pula dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 2 bahwa ikatan batiniah hakim dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan peradilan digantungkan secara umum kepada “Tuhan Yang Maha Esa”, di dalam lingkungan Peradilan Agama dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan peradilan selengkapnya adalah


(44)

basmalah baru disusul simbol batiniah yang umum yakni”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (M. Yahya Harahap, 2009: 313).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan putusan hakim adalah pernyataan hakim sebagai pejabat negara yang dinyatakan pada sidang terbuka umum yang berupa putusan dan penetapan. Putusan dari gugat voluntair atau permohonan dituangkan dalam bentuk penetapan, diktumnya berisi penegasan pernyataan hukum tentang hal yang diminta. Sedangkan putusan hakim untuk gugatcontentiousdisebut putusan. Produk keputusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama dalam bentuk penetapan merupakan putusan dari perkara permohonan. Dalam keputusan yang berbentuk penetapan, kebenaran hanya bersifat sepihak. Jadi hanya berlaku bagi diri pihak pemohon. Dalam amar putusan pun hanya bersifat deklaratoir, sehingga tidak mempunyai kekuatan untuk mengeksekusi. Kekuatan mengikat penetapan juga hanya sebatas mengikat diri pihak pemohon, tidak mengikat terhadap orang lain yang tidak bersangkut paut dengan permohonan yang diajukan oleh pihak pemohon. Berbeda dengan bentuk putusan sebagai produk keputusan Pengadilan untuk perkara yang mengandung sengketa. Dalam putusan, amarnya bersifat condemnatoir atau menghukum. Hal ini berarti bahwa putusan mempunyai kekuatan eksekutorial. Putusan juga mengikat para pihak yang berperkara, tidak hanya satu pihak saja.


(45)

2. Bentuk-Bentuk Putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata

Dalam hukum acara perdata, terdapat bentuk-bentuk putusan, diantaranya adalah:

a. Dari aspek kehadiran para pihak 1) Putusan Gugatan Gugur

Putusan gugatan gugur terjadi jika penggugat tidak hadir pada hari sidang yang telah ditentukan, atau tidak menyuruh wakilnya untuk menghadiri padahal telah dipanggil dengan patut. Dalam hal ini, hakim dapat dan berwenang untuk menjatuhkan putusan maupun menggugurkan gugatan penggugat dan penggugat dihukum untuk membayar biaya perkara. Akibatnya maka tergugat bebas dari perkara yang dimaksud, terhadap putusan gugur maka tidak dapat diajukan perlawanan dan penggugat tidak dapat mengajukan gugatan baru (M.Yahya Harahap, 2008: 873). 2) PutusanVerstek

Putusan Verstek merupakan kebalikan pengguguran gugatan. Hakim menjatuhkan putusan verstekapabila pada sidang pertama tergugat tidak menghadiri persidangan tanpa alasan yang sah padahal sudah dipanggil oleh juru sita secara patut (M.Yahya Harahap, 2008: 874).

3) PutusanContradictoir

Bentuk putusan ini ditinjau dari kehadiran para pihak pada saat putusan dibacakan. Terdapat dua jenis putusan contradictoir,


(46)

pertama, pada saat putusan dibacakan para pihak hadir namun pada sidang-sidang sebelumnya salah satu pihak, tidak menghadiri persidangan, pada saat putusan dibacakan para pihak hadir dalam persidangan. Kedua, pada saat putusan dibacakan, salah saatu pihak tidak hadir. Baik dari sidang pertama maupun sidang-sidang selanjutnya pihak yang bersangkutan selalu hadir, atau mungkin pada salah satu sidang tidak hadir, atau pada sidang-sidang yang lain pihak yang bersangkutan selalu hadir, akan tetapi pada saat putusan dibacakan salah satu pihak tidak hadir (M.Yahya Harahap, 2008: 874-875).

b. Putusan Ditinjau dari Sifatnya 1) PutusanDeklaratoir

Putusan declaratoir berisi pernyataan atau penegasan tentang suatu keadaan atau kedudukan hukum semata-mata. Pernyataan tersebut merupakan penjelasan atau penetapan tentang sesuatu hak ataupun status. Dengan adanya pernyataan tersebut, putusan telah menentukan dengan pasti siapa yang berhak atau siapa yang mempunyai kedudukan atas permasalahan yang disengketakan (M.Yahya Harahap, 2008: 876).

2) PutusanConstitutief

Putusan ini merupakan putusan yang emmastikan suatu keadaan hukum maupun yang menimbulkan keadaan hukum baru. Misalnya, putusan perceraian, merupakan putusan yang


(47)

meniadakan keadaan hukum yakni tidak ada lagi ikatan hukum antara suami istri sehingga putusan itu meniadakan hubungan perkawinan yang ada dan dengan itu timbul keadaan hukum baru kepada suami istri yakni janda dan duda (M.Yahya Harahap, 2008: 876).

3) PutusanCondemnatoir

Putusan ini merupakan putusan yang memuat amar menghukum salah satu pihak yang berperkara. Amar putusan condemnatoirdi dalamnya tercantum amar yang berisi kalimat menghukum untuk membayar, menyerahkan, membongkar, membagi, dan memerintahkan untuk membayar, menyerahkan, membongkar, membagi dan sebagainya (M.Yahya Harahap, 2008: 877).

c. Putusan Ditinjau pada Saat Penjatuhannya 1) Putusan Sela

Disebut juga putusan sementara. Dalam putusan sela, hakim dapat mengambil atau menjatuhkan putusan yang bukan putusan akhir yang dijatuhkan pada saat proses pemeriksaan sedang berlangsung. Putusan sela berisi perintah yang harus dilakukan para pihak yang berperkara untuk memudahkan hakim dalam menyelesaikan pemeriksaan perkara sebelum menjatuhkan putusan akhir. Dalam teori dan praktik, muncul beberapa jenis putusan dari putusan sela yakni putusan preparatoir, adalah putusan yang tujuannya untuk mempersiapkan jalannya


(48)

pemeriksaan, putusan interlocutoir adalah putusan yang dapat berisi macam-macam perintah sesuai dengan tujuan yang akan dicapai oleh hakim, serta putusan insidentil yang merupakan putusan sela yang berkaitan langsung dengan gugatan insidentil yang berkaitan dengan penyitaan yang membebankan pemberian uang jaminan dari pemohon sita agar sita dilaksanakan (M.Yahya Harahap, 2008: 879-884).

2)Putusan Akhir

Putusan akhir merupakan tindakan atau perbuatan hakim sebagai penguasa atau pelaksana kekuasaan kehakiman untuk menyelesaikan dan mengakhiri sengketa yang terjadi diantara pihak yang berperkara. Beberapa permasalahan mengenai putusan akhir antara lain adalah pertama putusan akhir secara formal menampung semua fakta yang ditemukan dan putusan sela yang diambil. Kelalaian mencantumkan hal tersebut dalam putusan akhir secara formil putusan tersebut dianggap cacat. Kedua, menetapkan secara pasti hubungan hukum para pihak ( M. Yahya Harahap, 2008: 887).

Dari penjelasan ahli di atas, dapat kita simpulkan bahwa bentuk dari putusan hakim bermacam-macam dan berbeda-beda pada tiap aspeknya. Untuk bentuk putusan hakim yang dilihat dari aspek kehadiran para pihak, terdapat putusan gugatan gugur yang terjadi jika penggugat tidak hadir pada hari sidang yang ditentukan, putusanverstekyang merupakan kebalikan dari


(49)

putusan gugur, serta putusan contradictoir. Bentuk putusan ditinjau dari sifatnya terdiri atas putusan deklaratoir yang berisi pernyataan atau penegasan tentang suatu keadaan hukum, putusan constitutief yang merupakan putusan yang menimbulkan keadaan hukum baru, serta putusan

condemnatoir dimana putusan ini amarnya menghukum salah satu pihak yang berperkara. Putusan ditinjau dari aspek saat penjatuhannya terdiri atas dua bentuk yakni putusan sela dimana hakim menjatuhkan putusan pada saat proses pemeriksaan sedang berlangsung dan putusan akhir yang merupakan tindakan hakim untuk menyelesaikan dan mengakhiri sengketa.

3. Susunan dan Isi Putusan Hakim

Dilihat dari segi wujudnya, setiap putusan hakim dalam perkara perdata terdiri dari 4 bagian, yakni :

a. Kepala Putusan

Menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2008 tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 2 Ayat (1) disebutkan bahwa “peradilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini juga dijelaskan dalam Undang-Undnag Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 4 bahwa setiap putusan hakim harus mempunyai kepala putusan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” . Kepala putusan tersebut


(50)

memberikan kekuatan eksekutorial kepada putusan hakim, sehingga dapat dilaksanakan. Apabila dalam putusan tercantum amar yang bersifat menghukum (condemnatoir), maka dalam putusan tersebut melekat kekuatan eksekutorial. Kekuatan eksekutorial yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara (Sudikno Mertokusumo, 2002: 211). Ini berarti jika pihak yang dikalahkan tidak mau menaati keputusan secara sukarela, maka putusan dapat dijalankan dengan paksa (M. Yahya Harahap, 2009: 311).

b. Identitas para pihak yang berperkara

Di dalam putusan harus dimuat identitas dari para pihak yakni nama, umur, alamat, dan nama dari pengacaranya kalau ada (Sudikno Mertokusumo, 2002: 213). Identitas para pihak, yakni penggugat dan tergugat dalam perkara sengketa, pemohon dan termohon dalam perkara permohonan, yang berperkara harus dimuat secara jelas, yaitu nama, alamat, pekerjaan dan sebagainya serta nama kuasanya jika yang bersangkutan menguasakan kepada orang lain.

c. Pertimbangan/considerans(alasan-alasan)

Pertimbangan atau yang sering disebut juga considerans

merupakan dasar putusan. Pertimbangan dalam putusan perdata dibagi menjadi 2, yaitu pertimbangan tentang duduknya perkara


(51)

atau peristiwanya dan pertimbangan tentang hukumnya. Dalam proses perdata terdapat pembagian tugas antara pihak dan hakim, yakni para pihak harus mengemukakan peristiwanya, sedangkan persoalan hukumnya adalah urusan hakim.

Apa yang dimuat dalam bagian pertimbangan dari putusan tidak lain adalah merupakan alasan-alasan hakim sebagai pertanggungjawaban kepada masyarakat mengapa ia sampai mengambil putusan demikian, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai obyektif. Alasan dan dasar putusan harus dimuat dalam pertimbangan putusan (Sudikno Mertokusumo, 2002: 213). Dalam praktik, pada umumnya pertimbangan hakim diawali dengan kata-kata “MENIMBANG”. Pertimbangan hakim haruslah mempertimbangkan dalil-dalil gugatan, bantahan atau eksepsi dari tergugat yang dihubungkan dengan alat bukti yang ada (Sarwono, 2011: 233). Disebutkan dalam Pasal 50 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa setiap putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar putusan juga harus memuat pasal tertentu dalam perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang menjadi dasar untuk mengadili. Tentang duduk perkara dalam pertimbangan hakim, digambarkan secara singkat namun jelas kronologis duduk perkaranya. Sedangkan tentang pertimbangan hukumnya memuat tentang bagaimana hakim dalam mengkwalisir


(52)

fakta atau kejadian, menggambarkan tentang penilaian hakim mengenai fakta-fakta yang diajukan, mempertimbangkan secara kronologis dan rinci setiap item, serta memuat dasar-dasar hukum yang digunakan oleh hakim dalam menilai fakta yang diajukan dan memutus perkara baik dari hukum tertulis maupun tidak tertulis (Mukti Arto, 2011: 263). Dapat dikatakan bahwa pertimbangan hukum merupakan jiwa dan intisari putusan. Pertimbangan berisi analisis, argumentasi, pendapat atau kesimpulan hukum dari hakim yang memeriksa perkara. Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar putusan, harus memuat pula pasal-pasal tertentu dan peratutan perundang-undangan yang menjadi landasan putusan (M.Yahya Harahap, 2008: 809-810). Betapa pentingnya alasan-alasan sebagai dasar putusan dapat dilihat dari beberapa putusan Mahkamah Agung yang menetapkan bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan merupakan alasan untuk kasasi dan harus dibatalkan (Sudikno Mertokusumo, 2002: 15).

d. Amar atauDictumPutusan

Amar atau dictumputusan hakim merupakan jawaban atas petitum dalam gugatan penggugat. Artinya, amar atau dictum adalah tanggapan terhadap petitum. Amar atau dictum dibagi menjadi

dictum declaratif, yakni penetapan dari hubungan hukum yang menjadi sengketa dan dictum dispositif, yakni yang memberi


(53)

hukum atau hukumannya, mengabulkan atau menolak gugatan. (Sudikno Mertokusumo, 2002: 217).

e. Biaya Perkara

Dalam praktik, biaya perkara adalah biaya yang dibebankan oleh pihak yang sedang berperkara dalam persidangan pengadilan yang dicantumkan dalam amar putusan, biaya-biaya yang berhubungan dengan proses persidangan (Sarwono, 2011: 234).

Dari beberapa uraian dan pendapat ahli di atas dapat kita lihat bahwa susunan dan isi putusan hakim terdiri atas beberapa bagian. Bagian-bagian tersebut pertama merupakan kepala dari putusan yang memuat tentang peradilan dilakukan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk keputusan hakim Pengadilan Agama, dalam kepala putusan memuat kalimat Basmalah. Bagian kedua adalah identitas para pihak yang berperkara. Bagian ini terdiri atas nama, alamat, pekerjaan dan hal-hal umum atas diri para pihak. Selanjutnya bagian ketiga adalah bagian pertimbangan atau

considerans. Pertimbangan merupakan dasar dari putusan hakim yang memuat alasan-alasan sebagai pertanggungjawaban hakim kepada masyarakat dimana dalam putusan perdata terdiri atas dua pertimbangan yakni tentang duduk perkara dan tentang hukumnya. Amar atau dictum

merupakan bagian dari isi putusan hakim yang keempat. Amar adalah jawaban dari petitum dalam gugatan penggugat. Bagian terakhir merupakan bagian yang memuat tentang besarnya biaya perkara yang dibebankan kepada pihak yang berperkara.


(54)

E. Tinjauan tentang Pengadilan Agama 1. Pengertian Pengadilan Agama

Pengadilan pada dasarnya adalah lembaga ataupun badan yang melakukan peradilan. Menurut Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang dimaksud dengan pengadilan agama dinyatakan pada Pasal 1 dan Pasal 2, Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Yang dimaksud dengan pengadilan adalah Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di lingkungan peradilan agama. Kekuasaan kehakiman dalam peradilan agama dilakukan oleh Pengadilan Agama sebagai badan peradilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai badan peradilan tingkat banding. Tugas dan wewenang Pengadilan Agama pada pokoknya adalah memeriksa dan memutus sengketa antara orang-orang yang beragama Islam mengenai bidang hukum tertentu yang harus diputus berdasarkan syari’at Islam (Sudikno Mertokusumo, 2002 :137)

Berdasarkan hal tersebut, maka Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Pengadilan adalah Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di lingkungan peradilan agama. Kekuasaan kehakiman dalam peradilan agama dilakukan oleh Pengadilan Agama sebagai badan peradilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai badan peradilan tingkat banding.


(55)

2. Asas Umum Peradilan Agama

Asas-asas umum peradilan Agama terdapat dalam isi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, sekarang dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama secara tersirat. Berikut asas-asas umum Peradilan Agama yang dimaksud:

a. Asas personalita Ke Islaman

Yang tunduk dan dapat ditundukkan oleh kekuasaan Peradilan Agama hanyalah mereka yang memeluk Agama Islam. dalam Ketentuan Pasal 2 dan Penjelasan Umum angka 2 alinea ketiga serta Pasal 49 Ayat (1) diuraikan, ada beberapa penegasan mengenai asas tersebut:

1) Pihak-pihak yang bersengketa harus sama-sama pemeluk agama Islam;

2) Perkara perdata yang disengketakan terbatas mengenai perkara di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah, dan;

3) Hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu cara penyelesaian berdasarkan hukum Islam (M. Yahya Harahap, 2009: 56).

Asas ini sekaligus sebagai dasar kewenangan absolut bagi Peradilan Agama. Sehingga pada prinsipnya Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara yang bertalian dengan masalah perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah bagi mereka yang


(56)

memeluk agama Islam berdasarkan hukum Islam (Mukti Arto, 2011: 6)

b. Asas Kebebasan

Jangkauan kebebasan hakim dalam melaksanakan fungsi kemerdekaan kekuasaan kehakiman tetap terbatas dan relatif dengan acuan sebagai berikut :

1) Bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya. Dalam melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman, hakim harus bebas dari campur tangan kekuasaan pemerintahan lainnya. Kebebasan dalam hal ini maksudnya adalah benar-benar mandiri murni berdiri sendiri.

2) Bebas dari paksaan, direktiva, atau rokomendasi yang datang dari pihak extra judicial. Ini berarti hakim dalam melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman tidak dapat dipaksa mengambil keputusan yang dikehendaki oleh pihak yang memaksa. Segala paksaan yang datang dari manapun dan dalam bentuk apapun tidak dibenarkan. 3) Kebebasan melaksanakan wewenang judicial (peradilan).

Kebebasan hakim mengacu pada menerapkan hukum yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, menafsirkan hukum yang tepat melalui penafsiran.

4) Kebebasan untuk mencari dan melakukan penemuan hukum(M. Yahya Harahap, 2009: 59).


(57)

c. Asas Wajib Mendamaikan

Asas kewajiban hakim untuk mendamaikan ini berarti mendamaikan pihak-pihak yang berperkara sejalan dengan tuntunan dan tuntutan ajaran moral Islam. Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Pasal 6, penerapan kewajiban mendamaikan berupa tindakan antara lain:

1) Mendorong para pihak untuk menyelesaikan perkara dengan perdamaian

2) Dalam hal mereka mau berdamai ataupun tidak, diserahkan sepenuhnya kepada para pihak

3) Hakim tidak dapat memaksa para pihak untuk berdamai Kewajiban mendamaikan ini berlangsung dan dapat diupayakan oleh hakim pada saat mulai awal persidangan, selama proses persidangan berlangsung, dan batasnya adalah sampai putusan dijatuhkan oleh hakim (M. Yahya Harahap, 2009: 65).

d. Asas Sederhana, Cepat, dan biaya Ringan

Asas ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan sekarang dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 57 Ayat (3). Pada dasarnya asas ini diambil dari ketentuan


(58)

Pasal 2 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam Undang-Undang tentang peradilan agama tidak dijelaskan bagaimana asas ini diterapkan. Ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Tujuan dari asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan ini tidak hanya sekedar menitikberatkan pada unsur kecepatan dan biaya ringan tetapi proses pemeriksaan yang relatif tidak memakan waktu lama dengan kesederhanaan hukum acara itu sendiri (M. Yahya Harahap, 2009: 69).

e. Asas Persidangan Terbuka Untuk Umum

Makna pemeriksaan sidang terbuka untuk umum adalah berarti setiap pemeriksaan berlangsung di sidang pengadilan, siapapun yang berkunjung untuk menyaksikan jalannya pemeriksaan tidak boleh dihalangi ataupun dilarang. Pemeriksaan sidang terbuka untuk umum dapat menjadi bahan informasi bagi anggota masyarakat. Sekalipun asas terbuka untuk semua anggota masyarakat, akan tetapi dalam beberapa perkara persidangan di tutup untuk umum. Misalnya perkara perceraian. Sifat ketentuan sidang tertutup dalam pemeriksaan perceraian bersifat imperatif, karena aturan ini memiliki derajat yang bernilai ketertiban umum. Pemeriksaan sidang tertutup dalam perkara perceraian hanya meliputi proses pemeriksaannya saja. Dalam proses pengucapan putusan kembali pada asas persidangan terbuka. Hal ini dijelaskan


(59)

dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan sekarang dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, bahwa putusan pengadilan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (M. Yahya Harahap, 2009: 73).

f. Asas Legalitas dan Persamaan

Makna legalitas pada prinsipnya sama dengan pengertian rule of law. Pengadilan mengadili berdasarkan hukum. Hukum yang memegang supremasi dan dominasi. Ini berarti bahwa hakim yang berfungsi dan berwenang untuk menegakkan hukum melalui lembagai peradilan tidak diperkenankan bertindak di luar hukum. Hukum berada di atas segala-galanya. Hakim dilarang menjatuhkan putusan yang bertentangan dengan hukum. Pihak yang sedang berperkara pun tidak diperbolehkan meminta putusan yang tidak dibenarkan dalam hukum. Sedangkan pengertian asas kesamaan dikaitkan dengan fungsi peradilan, berarti setiap orang yang datang berhadapan dengan Pengadilan adalah sama hak dan kedudukannya. Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan sidang di Pengadilan, perlindungan yang sama oleh hukum, serta mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum (M. Yahya Harahap, 2009: 83).


(60)

g. Asas Aktif memberi Bantuan

Asas aktif memberi bantuan pada pencari keadilan lebih bersifat anjuran. Anjuran yang diberikan adalah dalam batas-batas yang dibenarkan hukum. Pemberian bantuan dan nasehat yang dibenarkan hukum sepanjang mengenai hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan formal. Formal berarti berhubungan dengan tata cara berproses di pengadilan. Ini bertujuan agar proses pemeriksaan terarah, berjalan mulus, dan tidak menyimpang dari tata tertib beracara yang dibenarkan oleh hukum. Hal-hal yang berkenaan dengan masalah materiil atau pokok perkara tidak dijangkau oleh fungsi pemberian bantuan dan nasehat (M. Yahya Harahap, 2009: 88-92).

Berlakunya asas-asas tersebut diatas diharapkan mampu memberikan kemudahan terhadap para pencari keadilan. Dalam pelaksanaannya, berbagai asas tersebut diharapkan mampu memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat. Pemberian bantuan dalam kewenangan hakim tidak berarti bersifat limitatif atau terbatas pada hal-hal diatas saja. Bantuan amsih bisa diperluas lagi dengan syarat asal dari permasalahannya masih dalam persoalan hukum formal.

3. Wewenang Pengadilan Agama

Pengadilan Agama mempunyai daerah hukum yang sama dengan Pengadilan Negeri melihat bahwa pelaksanaan putusan oleh Pengadilan Agama masih membutuhkan pengukuhan dari Pengadilan Negeri. Oleh


(61)

karena itu, Pengadilan Agama terdapat pada setiap kota kabupaten. Tugas dan wewenang dari Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 49 Undang -Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan sekarang dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yakni “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang :

a. Perkawinan

Dalam bidang perkawinan meliputi hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah, antara lain adalah :

1) izin beristri lebih dari seorang

2) izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;

3) dispensasi perkawinan; 4) pencegahan perkawinan;

5) penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah; 6) pembatalan perkawinan;


(62)

8) perceraian karena talak; 9) gugatan perceraian;

10) penyelesian harta bersama; 11) penguasaan anak-anak;

12) ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan apabila bapak yang seharusnya bertangung jawab tidak memenuhinya;

13) penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;

14) putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak; 15) putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua; 16) pencabutan kekuasaan wali;

17) penunjukkan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;

18) menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukkan wali oleh orang tuanya;

19) pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;


(63)

21) putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;

22) pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain. b. Waris

c. Wasiat d. Hibah e. Wakaf f. Zakat g. Infaq h. Shadaqah

i. Ekonomi syari’ah

Yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi:

1) bank syari’ah;

2) lembaga keuangan mikro syari’ah. 3) asuransi syari’ah

4) reksa dana syari’ah

5) obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah


(64)

7) pembiayaan syari’ah 8) pegadaian syari’ah

9) dana pensiun lembaga keuangan syari’ah 10) bisnis syari’ah (Mukti Arto, 2011: 1-2).

Selain dalam Undang-Undang Peradilan Agama, wewenang Pengadilan Agama juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Kompilasi Hukum Islam berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 dijadikan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah perkawinan, kewarisan, dan perwakafan adalah menjadi wewenang Pengadilan Agama untuk menyelesaikan semua masalah dan sengketa yang diatur dalam Kompilasi hukum Islam. Masalah-masalah tersebut dapat diriinci sebagai berikut:

a. Anak Dalam Kandungan 1) sah/ tidaknya kehamilan 2) status anak sebagai ahli waris 3) bagian warisan anak

4) kewajiban orang tua terhadap anak b. Kelahiran

1) Penentuan sah/ tidaknya anak 2) Penentuan asal-usul anak

3) Penentuan status anak/ pengakuan anak c. Pemeliharaan Anak


(65)

2) Pencabutan kekuasaan orang tua 3) Penunjukan/ penggantian wali 4) Pemecatan wali

5) Kewajiban orang tua/ wali terhadap anak 6) Pengangkatan anak; anak sipil, anak terlantar 7) Sengketan hak pemeliharaan anak

8) Kewajiban orang tua angkat terhadap anak angkat 9) Pembatalan pengangkatan anak

10) Penetapan bahwa ibu turut memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak

d. Perkawinan (Akad Nikah)

1) Sengketa pertunangan dan akibat hukumnya

2) Dispensasi kawin di bawah umur 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita

3) Ijin kawin dari orang tua bagi yang belum berusia 21 tahun

4) Wali Adhol

5) Pencegahan perkawinan

6) Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah 7) Ijin beristri lebih dari seorang

8) Penetapan sahnya perkawinan 9) Pembatalan perkawinan


(66)

10) Penolakan ijin perkawinan campuran oleh Pegawai Pencatat Nikah

11) Penetapan sah/ tidaknya rujuk e. Hak dan Kewajiban Sumai-Istri

1) Mahar

2) Penghidupan istri (nafkah, kiswah, maskah, dan sebagainya)

3) Gugatan atas kelalaian suami terhadap istri 4) Penetapan nusyuz

5) Perselisihan suami-istri 6) Gugatan atas kelalaian istri 7) Muth’ah

8) Nafkah Iddah

9) Sengketa tempat kediaman bersama suami-istri f. Harta Benda dalam Perkawinan

1) Penentuan status harta benda perkawinan 2) Perjanjian harta benda dalam perkawinan 3) Pembagian harta benda perkawinan

4) Sengketa pemeliharaan harta benda dalam perkawinan 5) Sita marital harta perkawinan

6) Sengketa wakaf

7) Harta bawaan suami-istri g. Putusnya Perkawinan


(67)

1) Penentuan putusnya perkawinan karena kematian 2) Perceraian atas kehendak suami ( cerai talak) 3) Perceraian atas kehendak isteri (cerai gugat) 4) Putusnya perkawinan karena sebab yang lain h. Pemeliharaan orang tua

i. Kematian

1) Penetapan kematian secara yuridis 2) Penetapan sah/ tidaknya wasiat j. Kewarisan

1) Penentuan ahli waris

2) Penentuan harta peninggalan

3) Penentuan bagian masing-masing ahli waris 4) Pembagian harta peninggalan

5) Penentuan kewajiban ahli waris terhadap pewaris 6) Pengangkatan wali bagi ahli waris yang belum cakap

bertindak

7) Baitul Mal (Mukti Arto, 2011: 1-2)

Tugas-tugas lain dari Pengadilan Agama di luar perkara antara lain adalah pelayanan untuk Legalisasi Akta Keahliwarisan, pemberian pertolongan pembagian warisan di luar sengketa, rokhaniwan sumpah, penyelenggaraan hisab dan rukyat hilal, penyuluhan hukum, memberikan fatwa pada instansi pemerintah, pelayanan riset, mengawasi penasehat hukum ( Mukti Arto, 2011: 2-5).


(1)

4. Tanya: bagaimana tingkat permohonan dispensai perkawinan di bawah umur di kabupaten Kulon Progo?

Jawab: cukup tinggi ya.

5. Tanya: bagaimana prosedur pengajuan permohonan dispensasi perkawinan di bawah umur?

Jawab: sama kok mbak seperti dengan pengajuan perkara perdata lainnya, tidak ada prosedur yang mengatur secara khusus. Cuma mungkin yang membedakan hanya pada syarat-syarat pengajuannya.

6. Tanya: syarat-syarat mengajukan permohonan?

Jawab: Surat pengantar dari Kelurahan setempat, Satu lembar foto copy Surat Nikah orang tua bermaterai, lembar foto copy KTP (yang masih berlaku) bermaterai, FC Akta Kelahiran/Surat Kenal Lahir, Surat Penolakan dari KUA, Surat ket dari dokter calon mempelai wanita sudah hamil belum, Biaya panjar perkara.

7. Tanya: berapakah jumlah permohonan dispensasi yang diajukan tiap bulannya? Jawab : kalo per bulan ya antara 1 sampai 4. Banyak kok.

8. Tanya: faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi diajukannya permohonan dispensasi perkawinan di bawah umur?

Jawab: ada yang karena hamil, dan umur kehamilannya itu macem-macem lho, Sudah hidup serumah tetapi belum terikat perkawinan. Ada yang sudah melahirkan juga, baru minta dispensasi, jadi anaknya sudah gede, baru minta dinikahkan.

9. Tanya: berdasarkan apakah pertimbangan hakim dalam memutuskan permohonan dispensasi perkawinan di bawah umur?


(2)

Jawab: yang pasti Pasal 7 ayat 2 UUP dan pasal 49 ayat 1 UU Pengadilan agama Nomor 7 tahun 1989. Sedangkan untuk duduk perkaranya adalah berdasarkan keterangan pemohon. keterangan pemohon ini di dapat dari pemohon, tetapi anak pemohon juga harus memberikan keterangannya. Calon anak pemohon, serta besan dari pemohon perlu di dengar juga. Keterangan ini harus mengenai peristiwa yang di dengar, dilihat atau dialami sendiri lho. Keterangan para pihak ini sangat menentukan langkah-langkah yang harus diambil selanjutnya mbak. Jadi berpengaruh sekali nantinya pada keputusan hakim. Jika alasannya tidak kuat, maka hakim juga akan mempertimbangkannya dalam putusan. Kondisi dari anak yang dimohonkan dispensasi juga dipertimbangkankan oleh hakim. Misalnya si anak sudah terlanjur hamil. Kehadiran para pihak dalam persidangan juga menjadi alasan hakim dalam menjatuhkan putusan. Ini berkenaan dengan keterangan yang akan disampaikan para pihak mengenai kebenaran dari duduk perkaranya. Tentang halangan perkawinan, pekerjaan calon mempelai laki-laki, kebenaran hubungan kedua calon mempelai, status kedua calon mempelai, serta tentang keadaan sebenarnya dari kedua calon mempelai. Alasan pengajuan permohonannya juga penting mbak, alasan sebagai dasar pemohonan untuk nantinya akan ditentukan hukumnya. Pertimbangan lainnya yang juga tidak kalah penting adalah adanya alat bukti seperti KTP pemohon yang menegaskan tentang domisilinya, Surat nikah yang nmenegaskan tentang status pernikahan dan anak-anaknya, Akta Kelahiran yang menegaskan bahwa si anaka memang benar anak dari pemohon, surat keterangan hamil apabila telah terlanjur hamil, surat penolakan dari KUA juga.


(3)

Jawab: iya, kaidah Usul Fiqih. Kaidah ini berkenaan dengan asas kemanfaatan hukum.

11. Tanya: Dari banyak permohonan yang dikabulkan adakah yang ditolak? Jawab: ada

12. Tanya: berdasarkan pertimbangan apakah hakim menolak permohonan dispensasi perkawinan di bawah umur?

Jawab: belum pernah menolak. Tapi biasanya karena alasannya tidak jelas, sudah berumur 15 tahun lebih untuk perempuan dan tidak dikarenakan faktor lain, maka hakim jarang mengabulkan. Akan lebih baik menunggu beberapa bulan lagi hingga usianya genap 16 tahun. Atau karena buktinya kurang. Alasannya karena hamil, namun tidak ada surat keterangan hamil dari pihak yang berwenang mengeluarkan surat tersebut, atau karena hakim menganggap akibatnya belum terlalu berbahaya, serta si calon mempelai laki-laki belum jelas pekerjaannya jadi masih bisa ditolak permohonannya.

13. Tanya: mengapa hakim cenderung mengabulkan permohonan dispensasi?

Jawab: Kalo sudah ada itikad baik untuk mengajukan dispensasi kan otomatis niatnya sudah mulai yakni untuk menikah, kenapa hakim harus mempersulit. Kalau memutus perkara kan kita juga punya nilai-nilai yang diyakini mbak. Kan walaupun voluntair segala sesuatunya juga tidak hanya melibatkan pemohon semata tetapi juga anak yang dimohonkan dispensasi. Apalagi yang dianut oleh hakim dalam perkara dispensasi perkawinan ini adalah asas kemanfaatan hukum bagi masyarakat. Tapi kadang dilematis juga sih, mau dikabulkan masih anak-anak, tapi jika tidak ditakutkan maka dikhawatirkan akan timbul maksiat yang lebih besar. Kebanyakan sudah hamil duluan kan mbak, sudah mendapat tekanan dari para tetangga, masih harus menanggung malu karena anak lahir tanpa ayah.


(4)

Tentunya akan sangat berpengaruh terhadap kondisi psikologis si anak. Kasian rasanya. Tetap secara pribadi kan hati nurani kita sebagai sesama manusia tergerak mbak. Hakim harus berkeyakinan bagaimana baiknya memutuskan permohonan yang diajukan kepadanya di luar ketentuan yang seharusnya di tentukan Undang-Undang. Tapi tidak berarti hakim tidak mau tau tentang Undang-Undang yang harus ditegakkan lho. Di Undang-Undang, tentang hak asasi manusia juga sudah ada tho mbak. Hak untuk melanjutkan keturunan dijamin oleh negara. Saya juga tidak mau dianggap melanggar hak asasi manusia kalau nanti saya tidak mengabulkannya. Dengan catatan tetap berpedoman pada pertimbangan yang sudah ada lho mbak, kalo dari pertimbangannya saja rancu dan tidak relevan, dalam arti tidak sesuai dengan fakta yang terjadi, ya saya nggak mau mengabulkan mbak. Meskipun saling bertentangan antara apa yang diyakini hakim dengan Undang-Undang, hakim tetap harus bersikap bijak. Kalau dikatakan bertentangan ya terlalu ekstrim ya mbak, maksud saya intinya agak berbeda lah dari apa yang ditentukan Undang-Undang, saya harus menjamin penegakan hak asasi mereka kan mbak. Dilematis ya, tapi kan hakim tidak boleh menolak perkara yang sudah diajukan kepadanya. Kita wajib memeriksa, mengadili dan memutusnya.

14. Tanya: Resiko dari terjadinya perkawinan di bawah umur apakah juga dipertimbangkan oleh hakim ketika memutuskan permohonan dispensasi?

Jawab: tidak mbak, hanya diberi nasehat pada awal persidangan apakah akan mengurungkan niatnya atau tetap memohon ijin dispensasi.

15. Tanya: adakah upaya dari pihak Pengadilan Agama untuk turut serta melakukan pencegahan terjadinya perkawinan di bawah umur?


(5)

Jawab: kalo dari Pengadilan sendiri belum ada, hanya Biasanya dari Pengadilan hamya sebagai narasumber bekerja sama dengan Pemda Kulon Progo untuk mengadakan penyuluhan hukum.

16. Tanya: apakah apabila permohonan ditolak, dapat mengajukan lagi di lain waktu? jawab: bisa saja, tetapi harus ganti alasannya. Tapi sejauh ini belum ada mbak yang mengajukan kembali setelah ditolak.


(6)

Dokumen yang terkait

Dualisme legalatis pemohon dalam proses pengajuan dispensasi perkawinan (kajian yuridis terhadap penerapan buku pedoman pelaksanaan tugas dan administrasi peradilan agama (Buku II)

0 3 135

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENGABULKAN PERMOHONAN DISPENSASI PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR DI PENGADILAN AGAMA WATES (Studi Kasus : PENETAPAN Nomor 015/Pdt.P/2015/PA.Wt ;PENETAPAN Nomor 024/Pdt.P/2015/PA.Wt)

0 2 90

PENETAPAN DISPENSASI KAWIN OLEH HAKIM DALAM PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DI PENGADILAN AGAMA BANTUL

0 4 93

DISPENSASI PENGADILAN AGAMA DALAM PERKAWINAN DI BAWAH UMUR Dispensasi Pengadilan Agama Dalam Perkawinan Di Bawah Umur (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Karanganyar).

0 3 19

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENGABULKAN PERMOHONAN DISPENSASI NIKAH DI BAWAH UMUR DILIHAT DARI SEGI Pertimbangan Hakim Dalam Mengabulkan Permohonan Dispensasi Nikah Di Bawah Umur Dilihat Dari Segi Manfaat Dan Mudharot (Studi Kasus Pengadilan Agama Surakarta

0 2 19

SKRIPSI Pertimbangan Hakim Dalam Mengabulkan Permohonan Dispensasi Nikah Di Bawah Umur Dilihat Dari Segi Manfaat Dan Mudharot (Studi Kasus Pengadilan Agama Surakarta).

0 2 11

PENDAHULUAN Pertimbangan Hakim Dalam Mengabulkan Permohonan Dispensasi Nikah Di Bawah Umur Dilihat Dari Segi Manfaat Dan Mudharot (Studi Kasus Pengadilan Agama Surakarta).

0 3 14

Pertimbangan Hakim dalam Penetapan Dispensasi Perkawinan Dini Akibat Hamil di Luar Nikah pada Pengadilan Agama Bantul

0 0 18

Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Palangka Raya dalam mengabulkan permohonan dispensasi kawin di bawah umur - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 25

BAB III PERTIMBANGAN HAKIM MENGABULKAN DISPENSASI UNTUK PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (STUDI KASUS DI PENGADILAN AGAMA PANGKALPINANG) - Pertimbangan hakim mengabulkan dispensasi untuk perkawinan

0 0 38