Mengadukan ke BPSK Tinjuan Yuridis Upaya Hukum Yang Dilakukan Debitur Terhadap Penarikan Benda-Benda Bergerak Yang Ditarik Paksa Oleh Leasing/ Kreditur

2. Mengadukan ke BPSK

Ketentuan mengenai pengaduan Debitur ke BPSK Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam hal ini yang juga merupakan Konsumen diatur dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Mengenai pangaduan ke BPSK ini mekanisme proses upaya hukum untuk mencari keadilan didalam BPSK adalah: Pertama, Konsumen yang membuat pengaduan tentang perbuatan melawan hukum yang dialaminya dan kerugian yang dideritanya secara tertulis ke Kantor BPSK Kedua, Pelaku Usaha Kreditur memberikan jawaban terhadap pengaduan Konsumen secara tertulis kepada BPSK. Jawaban yang merupakan bantahan terhadap pengaduan Konsumen diusahakan harus berisikan keterangan-keterangan yang berisikan fakta-fakta hukum terhadap perbuatan melawan hukum yang dituduhkan Konsumen kepada Kreditur. Ketiga, BPSK akan memanggil kedua belah pihak Konsumen dan Pelaku Usaha untuk melakukan Negoisasi yang merupakan tahap Penyelesaian Sengketa Alternatif PSA yang dianut oleh sistem hukum di Indonesia untuk menyelesaikan suatu permasalahan atau sengketa. Berdasarkan ketentuan Hukum Acara di BPSK proses Negoisasi dilakukan sebelum kedua belah pihak bersidang pada saat pertemuan pertama. BPSK dalam hal ini diwakilkan oleh Hakim-hakim BPSK bertindak sebagai negoisiator yang menjadi penengah bagi Konsumen dan Kreditur untuk Universitas Sumatera Utara mencari kesepakatan bersama dan melakukan perdamaian untuk menyelesaikan masalah diantara kedua belah pihak. Keempat, apabila proses Negoisasi tidak menemukan kesepakatan maka kedua belah pihak yang bersengketa diminta untuk memilih menyelesaikan persoalan tersebut melalui jalur Mediasi Non-Litigasi atau melalui jalur Arbitrase . Jika kedua belah pihak memilih menyelesaikan sengketa mereka melalui jalur Mediasi maka Hakim-hakim BPSK bertindak sebagai Mediator dalam persoalan tersebut dan akan memediasi kedua belah pihak untuk mendapatkan “win-win solution” yang berarti keputusan yang diambil merupakan kesepakatan bersama yang paling menguntungkan bagi kedua belah pihak tanpa ada istilah “win or lose kalah atau menang ” seperti dalam penyelesaian sengketa melalui jalur Litigasi Pengadilan. Keputusan yang didapat dari Mediasi sifatnya adalah sepakat untuk sepakat, yang mana artinya kedua belah pihak sepakat untuk mengambil keputusan bersama dan kedua belah pihak tersebut juga sepakat untuk melaksanakan keputusan yang telah mereka sepakati tersebut. Sementara bila kedua belah pihak memilih menyelesaikan kasusnya menempuh jalur Arbitrase maka kedua belah pihak akan mengikuti proses beracara dalam BPSK yang merupakan ketentuan acara di dalam Pengadilan Khusus diatur dalam Undang-undang No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional. 18 18 Undang-undang No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Universitas Sumatera Utara Kelima, apabila kedua belah pihak memilih menempuh jalur Arbitrase maka proses selanjutnya sesuai Hukum Acara di BPSK adalah proses pembuktian. Berdasarkan ketentuan Arbitrase BPSK maka beban pembuktian dibebankan kepada Krditur Pelaku Usaha sesuai ketentuan Pasal 22 dan 23 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Mengenai pembuktian yang mana di dalamnya terdapat proses pengajuan bukti-bukti yang dibebankan kepada Kreditur atau Pelaku Usaha maka tidak menutup kesempatan kepada Konsumen untuk mengajukan bukti-bukti untuk mendukung pengaduannya yang dilampirkan bersama dengan Pengaduan yang dibuat secara tertulis pada saat proses Pengaduan pertama sekali. Keenam, putusan. Putusan akan diambil oleh Hakim-hakum BPSK setelah memeriksa berkas perkara dan memperhatikan proses pembuktian demikian juga dengan alat bukti yang diajukan kedua belah pihak. Berdasarkan amanat Undang- undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Hakim BPSK diperintahkan untuk mengambil Keputusan yang seadil-adilnya dan memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang bersengketa. Pada penyelesaian sengketa secara litigasi melalui Arbitrase dalam BPSK penyelesaiannya sampai ke tahap putusan yang dikeluarkan oleh Hakim dari waktu Pengaduan pertama kali didaftarkan ke BPSK oleh Konsumen selambat- lambatnya diselesaikan dala waktu 21 dua puluh satu hari. Keputusan yang dikeluarkan BPSK sifatnya adalah final dan mengikat, artinya keputusan BPSK merupakan keputusan yang pertama dan terakhir dalam penyelesaian sengketa konsumen dan harus dipatuhi oleh kedua belah pihak yang bersengeta. Universitas Sumatera Utara Ketujuh, Upaya hukum berikutnya yang dapat dilakukan oleh pihak Konsumen atau Kreditur yang tidak puas dengan Keputusan BPSK adalah keberatan. Tenggang waktu pengajuan keberatan yang dilakukan para pihak Konsumen atau Kreditur ke Pengadilan Negeri PN adalah 14 empat belas hari setelah Keputusan BPSK dikeluarkan. Alasan-alasan pengajuan keberatan terhadap keputusan BPSK terbatas pada hal-hal tertentu yang diatur dalam Undang-undang yaitu di dalam Pasal 70 Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang Penyelesaian sengketa Alternatif 19 “Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut : , yang berbunyi : a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan ; atau c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa”. Putusan terhadap keberatan yang diajukan ke Pengadilan Negri paling lama harus dikeluarkan 21 dua puluh satu hari dari waktu pengajuan Keberatan didaftarkan ke Pengadilan Negeri. 19 Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang Penyelesaian Sengketa Alternatif Universitas Sumatera Utara Kedelapan, apabila para pihak Konsumen atau Debitur masih merasa tidak mendapatkan keadilan sesuai dengan apa yang diinginkan maka para pihak yang terkait Konsumen atau Debitur dapat mengajukan keberatan di tingkat berikutnya yaitu di Mahkamah Agung. Jangka waktu pengajuan keberatan yang dilakukan para pihak Konsumen atau Debitur terhadap keputusan yang dikeluarkan di tingkat Pengadilan Negri adalah 14 empat belas hari setelah dikeluarkanmya Putusan tersebut. Selanjutnya keberatan yang diajukan ke Mahkamah Agung harus diberikan Putusan paling lama 30 tiga puluh hari oleh Mahkamah Agung. Jangka waktu yang tegas dan mempunyai batasan yang diatur jelas untuk Penyelesaian sengketa Konsumen di dalam BPSK merupakan salah satu keunggulan Penyelesaian sengketa Konsumen melalui BPSK dibandingkan bila Konsumen menempuh penyelesaian sengketa melalaui jalur Pengadilan Umum. Kelebihan Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui BPSK dibanding Pengadilan Umum. 1. Biaya lebih murah Penyelesaian Sengeketa melalui BPSK dikenakan biaya sebesar Rp. O, artinya Penyelesaian Sengketa melalui BPSK tidak dipungut dan tidak dikenakan biaya sama sekali. 20 Fakta ini sangat berbeda bila Konsumen yang mengalami permasalahan dalam bidang Perdata memilih untuk menyelesaikan masalahnya melalui jalur Pengadilan Umum, para pihak Konsumen atau Kreditur akan dikenakan 20 H.M. Dharma Bakti Nasution,Sengketa Konsumen Yang Dapat Diselesaikan di BPSK Kota Medan, Makalah BPSK Kota Medan, 2011 Universitas Sumatera Utara biaya perkara dan bagi para pihak yang kalah akan diberikan sanksi untuk membayar biaya perkara, sementara Keputusan yang dikeluarkan BPSK tidak ada Keputusan yang berbunyi bagi para pihak yang kalah untuk membayar biaya perkara. 2. Penyelesaian Sengketa melalui BPSK waktunya lebih singkat dan cepat. Penyelesaian sengketa melalui BPSK mempunyai batasan waktu yang diatur jelas yaitu penyelesaian sengketa melalui jalur Arbitrase apabila para pihak tidak menemukan kesepakatan di BPSK paling lama harus diputuskan dalam waktu 21 dua puluh satu hari, keberatan yang diajukan para pihak Konsumen atau Kreditur ke Pengadilan Negeri terhadap keputusan yang dikeluarkan BPSK paling lama harus diberikan Keputusan dalam waktu 21 dua puluh satu hari dengan ketentuan pengajuan Keberatan ke Pengadilan Negeri paling lama diajukan dalam kurun waktu tidak boleh lewat dari 14 empat belas hari setelah Keputusan dikeluarkan BPSK, selanjutnya apabila para pihak Konsumen atau Kreditur ada yang tidak puas terhadap Keputusan di tingkat Pengadilan Negeri maka para pihak Konsumen atau Kreditur dapat mengajukan keberatan berikutnya ke Mahkamah Agung dengan ketentuan pengajuan keberatan tidak boleh dilakukan lewat dari 14 empat belas hari setelah Pengadilan Negeri mengeluarkan Keputusan. Keputusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung paling lama harus dikeluarkan 30 tiga puluh hari setelah pengajuan keberatan di Mahkamah Agung didaftarkan. Dari mekanisme pengajuan keberatan yang diuraikan diatas maka diketahui bahwa proses penyelesaian sengketa Konsumen melalui BPSK sampai upaya Universitas Sumatera Utara hukum terakhir keberatan yang dapat ditempuh terhadap Keputusan BPSK terakhir di tingkat Mahkamah Agung adalah 100 seratus hari. Kenyataan ini jelas merupakan waktu yang relatif singkat dan cepat dibandingkan bila Konsumen memilih menyelesaikan masalahnya melalui Pengadilan Umum yang bisa memakan waktu bertahun-tahun tanpa ada ketentuan yang jelas mengatur tentang jangka waktunya. 3. Kepastian Hukum yang dikeluarkan BPSK final dan mengikat serta tidak memerlukan proses yang berlarut-larut. Keputusan hukum yang dikeluarkan oleh BPSK bersifat “final and binding” yang artinya keputusan BPSK bersifat final dan mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sementara kepastian hukum yang didapatkan apabila Konsumen memilih menyelesaikan sengketa melalui Pengadilan Umum harus diperoleh setelah melalui proses pengambilan Keputusan yang dapat berlangsung tidak hanya di tingkat Pengadilan Negeri tetapi hingga di tingkat Pengadilan Tinggi banding, Mahkamah Agung kasasi bahkan sampai upaya hukum terakhir yaitu PK Peninjauan Kembali di tingkat Pengadilan Tinggi. 4. Hukum acara yang digunakan di BPSK bersifat semi formal. BPSK sebagai lembaga penyelesaian sengketa Konsumen tidak hanya mengedepankan penyelesaian sengketa melalui cara Arbitrase, tetapi Hakim BPSK saat memanggil para pihak Konsumen dan Kreditur yang bersengketa untuk bertemu terlebih dahulu menyarankan para pihak untuk melakukan proses negoisasi untuk mencari sepakat dan mufakat terhadap sengketa yang Universitas Sumatera Utara terjadi diantara kedua belah pihak. Apabila proses Negoisasi tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan maka BPSK akan meminta kepada kedua belah pihak Konsumen atau Kreditur untuk memilih menyelesaikan sengketanya melalui cara Mediasi atau Arbitrase. Pemberlakuan penyelesaian sengketa didalam BPSK yang mengedepankan cara Negoisasi dan Mediasi menggambarkan bahwa BPSK mengutamakan perdamaian antara kedua belah pihak yang bersengketa untuk mencari kesepakatan bersama dan keputusan yang paling menguntungkan bagi kedua belah pihak dibanding bila penyelesaian sengketa ditempuh melalui cara Arbitrase yang menyebabkan adanya pihak yang kalah win or lose. Keunikan didalam hukum acara BPSK ini menyebabkan para pihak maupun Hakim BPSK tidak perlu memakai hukum acara formal seperti didalam Pengadilan Umum, fakta ini dapat dilihat dari pakaian hakim BPSK yang tidak memakai jas hakim tetapi memakai pakaian yang rapi, maupun ruang persidangan BPSK yang relatif santai dan penuh suasana kekeluargaan yang tidak memberikan kesan para pihak Konsumen atau Kreditur takut karena meja Hakim berdiri sama tinggi dengan meja Konsumen dan Kreditur yang bersengekata. 5. Keputusan BPSK bersifat “win win solution” bukan “win or lose” Artinya keputusan BPSK yang bisa didapat melalui cara Negoisasi dan Mediasi menghasilkan keputusan yang disepakati bersama antara kedua belah pihak, Keputusan yang diambil didasarkan kepada kesepakatan yang Universitas Sumatera Utara dirasakan paling menguntungkan yang dirasakan oleh kedua belah pihak tersebut Konsumen atau Kreditur Keputusan dari hasil Negoisasi dan Mediasi yang diperoleh merupakan mufakat yang disepakati bersama oleh kedua belah pihak untuk mencapai perdamaian. Perdamaian merupakan suatu nilai yang paling dijunjung tinggi dalam penyelesaian sengketa khusunya dalam ranah hukum perdata. Melalui perdamaian suatu sengketa akan lebih singkat penyelesaiannya dan akan menghasilkan keputusan yang memberikan rasa puas dan tenang bagi para pihak yang bersengketa Konsumen atau Kreditur tanpa ada perasaan menjadi pihak yang disalahkan atau dianggap melanggar hukum yang bisa berpengaruh pada efek psikologis, misalnya rusaknya nama baik.

C. Penarikan paksa termasuk rana hukum pidana yang tidak terdapat sesuai ketentuan Hukum Perdata

Jaminan fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat jaminan fidusia menimbulkan akibat hukum yang komplek dan beresiko. Kreditur bisa melakukan hak eksekusinya karena dianggap sepihak dan dapat menimbulkan kesewenang- wenangan dari kreditur. Bisa juga karena mengingat pembiayaan atas barang objek fidusia biasanya tidak full sesuai dengan nilai barang. Atau, debitur sudah melaksanakan kewajiban sebagian dari perjanjian yang dilakukan, sehingga dapat dikatakan bahwa diatas barang tersebut berdiri hak sebagian milik debitur dan sebagian milik kreditur. Apalagi jika eksekusi tersebut tidak melalui badan penilai harga yang resmi atau badan pelelangan umum. Tindakan tersebut dapat Universitas Sumatera Utara dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum PMH sesuai diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan dapat digugat ganti kerugian. 21 Dalam konsepsi hukum pidana, eksekusi objek fidusia di bawah tangan masuk dalam tindak pidana Pasal 368 KUHPidana 22 1. Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan dirinya atau orang lain dengan melawan hukum, memaksa orang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan supaya orang itu memberikan suatu barang yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang itu sendiri atau kepunyaan orang lain, atau supaya orang itu membuat utang atau menghapuskan piutang, dipidana karena pemerasan dengan pidana penjara selama-lamanya 9 sembilan tahun. jika kreditor melakukan pemaksaan dan ancaman perampasan. Pasal ini menyebutkan: 2. Ketentuan pasal 365 ayat kedua, ketiga, dan keempat berlaku bagi kejahatan ini. 23 Situasi ini dapat terjadi jika kreditur dalam eksekusi melakukan pemaksaan dan mengambil barang secara sepihak, padahal diketahui dalam barang tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Walaupun juga diketahui bahwa sebagian dari barang tersebut adalah milik kreditur yang mau mengeksekusi tetapi tidak didaftarkan dalam di kantor fidusia. Bahkan pengenaan pasal-pasal lain dapat terjadi mengingat bahwa dimana-mana eksekusi merupakan bukan hal yang mudah, untuk itu butuh jaminan hukum 21 Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata 22 Pasal 368 Kitab Undang-undang Hukum Pidana 23 Pasal 365 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara dan dukungan aparat hukum secara legal. Inilah urgensi perlindungan hukum yang seimbang antara kreditur dan debitur. Bahkan apabila debitur mengalihkan benda objek fidusia yang dilakukan dibawah tangan kepada pihak lain tidak dapat dijerat dengan UU No. 42 Tahun 1999 Tentang jaminan fidusia, karena tidak syah atau legalnya perjanjian jaminan fidusia yang dibuat. Mungkin saja debitur yang mengalihkan barang objek jaminan fidusia di laporkan atas tuduhan penggelapan sesuai Pasal 372 KUHPidana menandaskan: Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. 24 Oleh kreditur, tetapi ini juga bisa jadi blunder karena bisa saling melaporkan karena sebagian dari barang tersebut menjadi milik berdua baik kreditur dan debitur, dibutuhkan keputusan perdata oleh Pengadilan Negeri setempat untuk mendudukan porsi masing-masing pemilik barang tersebut untuk kedua belah pihak. Jika hal ini ditempuh maka akan terjadi proses hukum yang panjang, melelahkan dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Akibatnya, margin yang hendak dicapai perusahaan tidak terealisir bahkan mungkin merugi, termasuk rugi waktu dan pemikiran. Lembaga pembiayaan yang tidak mendaftarkan jaminan fidusia sebenarnya rugi sendiri karena tidak punya hak eksekutorial yang legal. Problem 24 Pasal 372 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara bisnis yang membutuhkan kecepatan dan customer service yang prima selalu tidak sejalan dengan logika hukum yang ada. Mungkin karena kekosongan hukum atau hukum yang tidak selalu secepat perkembangan zaman. Bayangkan, jaminan fidusia harus dibuat di hadapan notaris sementara lembaga pembiayaan melakukan perjanjian dan transaksi fidusia di lapangan dalam waktu yang relatif cepat. Saat ini banyak lembaga pembiayaan melakukan eksekusi pada objek barang yang dibebani jaminan fidusia yang tidak didaftarkan. Bisa bernama remedial, rof coll, atau remove. Selama ini perusahaan pembiayaan merasa tindakan mereka aman dan lancar saja. Menurut penulis, hal ini terjadi karena masih lemahnya daya tawar nasabah terhadap kreditur sebagai pemilik dana. Ditambah lagi pengetahuan hukum masyarakat yang masih rendah. Kelemahan ini termanfaatkan oleh pelaku bisnis industri keuangan, khususnya sektor lembaga pembiayaan dan bank yang menjalankan praktek jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan. D. Peradilan perdata dan juru sita pengadilan sebagai aparat negara yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyitaan terhadap benda bergerak sesuai Undang-undang Proses peradilan perdata merupakan suatu aktifitas penegakan hukum yang bertujuan untuk mencari dan menemukan kebenaran formil. Mencari kebenaran secara formil berarti bahwa hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Universitas Sumatera Utara Suatu perkara perdata yang diajukan ke Pengadilan sebelumnya dibuat dalam suatu gugatan untuk menuntut suatu hak petitum dengan didasari dasar serta alasan-alasan dari tuntutan posita tersebut. Selanjutnya gugatan dapat ditolak atau dikabulkan oleh Pengadilan bergantung pada terbukti atau tidaknya gugatan tersebut di depan persidangan. Dalam praktek tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan yang harus dibuktikan kebenarannya. Namun Hakim dalam membuktikan suatu gugatan yang diajukan dalam persidangan bersandar pada kedudukan hukum yang sebenarnya berdasarkan keyakinan Hakim pada dalil-dalil yang dikemukakan para pihak yang bersengketa. Pada acara pemeriksaan perkara perdata pihak-pihak yang terlibat biasanya penggugat dan tergugat, dimana masing-masing dalam proses pemeriksaan mempunyai hak untuk membuktikan kebenaran apa yang dikemukakannya, sesuai dengan isi Pasal 163 HIR yang menyebutkan bahwa, “Barang siapa yang mengatakan mempunyai barang suatu hak atau menyebutkkan suatu kejadian untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu”. 25 Kemudian dapat dilihat juga dalam pasal 1865 KUH Perdata, “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantahkan suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”. 26 25 Pasal 163 HIR 26 Pasal 1865 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Universitas Sumatera Utara Berbicara mengenai Jurusita penulis mengemukakan bahwa Jurusita merupakan bagian dari pelaksana tugas Pengadilan Negeri dalam memeriksa dan mengadili perkara perdata mempunyai peran yang tidak kalah penting dengan pejabat lain di Pengadilan, karena keberadaannya diperlukan sejak belum dimulainya persidangan hingga pelaksanaan putusan Pengadilan. Sebagai pejabat peradilan, keberadaannya diatur di dalam undang-undang Peradilan Umum, Peradilan Agama dan Peradilan TUN sedangkan bekerjanya diatur dalam hukum acara RBg HIR. Tidak mudah menemukan Literatur, khususnya yang membahas tentang kejurusitaan, tidak banyak mendapat perhatian dari para sarjana hukum kita dibandingkan dengan bidang tugas hukum lainnya di Pengadilan, disamping itu bidang kejurusitaan ini kurang diajarkan secara mendalam dalam pendidikan ilmu hukum. Padahal, bidang tugas kejurusitaan merupakan hal yang sangat penting dan sangat menentukan untuk memeriksa, mengadili dan menyelesaikan suatu perkara. Suatu perkara tidak mungkin dapat diselesaikan dengan baik dan benar menurut hukum, tanpa peran dan bantuan tugas di bidang kejurusitaan. Hakim tidak mungkin dapat menyelesaikan perkara tanpa dukungan jurusitajurusita pengganti, sebaliknya jurusitajurusita pengganti juga tidak mungkin bertugas tanpa perintah Hakim. Keduanya dalam melaksanakan tugasnya tidak mungkin lepas sendiri-sendiri, kedua-duanya saling memerlukan satu sama lain. Khususnya di dalam penyitaan benda bergerak dalam ruang lingkup perjanjian fidusia yang mana Juru Sita sebagai aparatur negara yang diamanatkan oleh Undang-undang untuk melakukan penyitaan. Universitas Sumatera Utara Selain Hakim dan Panitera, pada setiap pengadilan ditetapkan adanya jurusita deurwaander dan jurusita pengganti Pasal 40 sampai dengan Pasal 43 UU No. 8 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Jurusita Pengadilan Negeri diangkat dan diberhentikan oleh Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan yang bersangkutan. Sedangkan jurusita pengganti diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan Pasal 41 UU No. 8 tahun 2004. Adapun sebagai syarat untuk diangkat menjadi jurusita, sorang calon antara lain harus memenuhi syarat berpengalaman sekurang-kurangnya 3 tiga tahun sebagai jurusita pengganti, sedangkan untuk dapat diangkat menjadi jurusita pengganti, seorang calon harus berpengalaman sekurang-kurangnya 3 tiga tahun sebagai pegawai negeri pada Pengadilan Negeri Pasal 40 UU No. 8 tahun 2004. Dalam menjalankan tugasnya kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang jurusitajurusita pengganti tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan perkara yang didalamnya ia sendiri berkepentingan. Disamping itu, ia juga tidak boleh merangkap menjadi advokad. Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh jurusita akan diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung Pasal 43 UU No. 8 tahun 2004. Sebelum memangku jabatannya, jurusita atau jurusita pengganti wajib diambil sumpah atau janji menurut agamanya oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan Pasal 42 UU No. 8 tahun 2004. Dengan demikian jurusitajurusita pengganti adalah pegawai negeri yang diangkat berdasarkan peraturan Universitas Sumatera Utara perundangan-undangan untuk melakukan tugas kejurusitaan di Pengadilan Negeri dimana ia bertugas. Memperhatikan syarat-syarat pengangkatan dan pelaksanaan tugas seorang jurusitajurusita pengganti yang diatur secara khusus oleh undang-undang, sesungguhnya dapat menyadarkan kita betapa pentingnya kedudukan dan tugas seorang jurusitajurusita pengganti di Pengadilan. Oleh karena itulah pandangan yang meremehkan tugas seorang jurusitajurusita pengganti tidaklah dapat diterima, mengingat tugas seorang jurusitajurusita pengganti dapat menentukan berlangsung atau tidaknya suatu pemeriksaan di persidangan. Kedudukan dan syarat-syarat pengangkatan seorang jurusitajurusita pengganti diatur secara khusus dalam Undang-undang tentang Peradilan Umum, karena tugas-tugas yang dilakukan oleh seorang jurusitajurusita pengganti tersebut, termasuk tugas yang sangat penting. Sebagaimana diketahui, tugas Pengadilan itu meliputi : 1. Tugas peradilan teknis justisial Iurisdictio Contentiosa ; 2. Tugas non justisial Iurisdictio Voluntaria ; 3. Tugas lain menurut Undang-Undang ; 4. Administerasi peradilan admistration of justice,yang meliputi : a Administerasi perkara b Administerasi keuangan perkara 5. Administerasi Umum 27 27 Soebyakto, Tentang Kejurusitaan Dalam Praktik Peradilan Perdata, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1998, hal. 32. Mahkamah Agung RI dalam berbagai petunjuknya pada pokoknya telah membagi tugas di Pengadilan meliputi administerasi perkara dan administerasi umum. Tugas administerasi perkara merupakan tugas teknis justisial yang dilakukan oleh Hakim, Panitera Universitas Sumatera Utara Tugas seorang jurusitajurusita pengganti merupakan tugas teknis justisial. Tugas pengadilan yang bersifat teknis justisial pada dasarnya dimulai sejak pendaftaran perkara, management pengelolan biaya perkara, penyelesaian administerasi perkara, pengelolaan administerasi perkara, pengiriman atau penerimaan berkas ke Pengadilan Tinggi dan atau Mahkamah Agung manakala ada upaya hukum banding dan atau kasasi, serta pelaksanaan putusan perkara perdata. Sedangkan tugas-tugas yang harus dilakukan oleh seorang juru sitajurusita penganti terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan antara lain dalam Pasal 65 UU No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang sudah diubah dengan UU No. 8 tahun 2004 bandingkan juga dengan ketentuan Pasal 716 Rbg. Berdasarkan ketentuan tersebut, tugas jurusitajurusita pengganti antara lain meliputi :  Melaksanakan pemanggilan atas perintah Ketua Pengadilan atau atas perintah Hakim ;  Menyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-teguran, dan pemberitahuan putusan Pengadilan menurut cara-cara yang ditentukan undang-undang ;  Melakukan penyitaan atas perintah Ketua Pengadilan NegeriHakim;  Membuat berita acara penyitaan yang salinan resminya diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Panitera Pengganti dan jurusita jurusita pengganti. Sedangkan tugas administerasi umum dilakukan oleh pejabat kesekretariatan pengadilan. Universitas Sumatera Utara Selanjutnya berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor :KMA055SKX1996 tentang Tugas dan Tanggung Jawab serta Tata Kerja Jurusita pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama 28 Didalam skripsi ini penulis memfokuskan perhatian untuk membahas tugas juru sita untuk melakukan penyitaan beslag , dalam Pasal 5 diatur jurusita mempunyai tugas untuk melakukan pemanggilan, melakukan tugas pelaksanaan putusan, membuat berita acara pelaksanaan putusan yang salinan resminya disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, melakukan penawaran pembayaran uang, serta membuat berita acara penawaran pembayaran uang dengan menyebutkan jumlah dan uraian jenis mata uang yang ditawarkan. Ada 3 tiga macam penyitaan beslag, yaitu : a. Executorial beslag Pasal 208, 209 Rbg dan seterusnya, bandingkan dengan Pasal 197 HIR b. Revindicatoir beslag Pasal 260 Rbg226 HIR c. Conservatoir beslag Pasal 261 Rbg227 HIR Ad. a. Executorial Beslag Penyitaan ini merupakan yang terpenting dari ketiga jenis sita yang lain, karena mengenai pelaksanaan suatu putusan Hakim sebagai hasil sengketa perdata. Sebelum dilaksanakan, lebih dahulu harus ada permohonan eksekusi dari pihak yang menang, maka atas perintah Ketua Pengadilan Negeri pihak yang kalah harus dipanggil untuk mendapat “teguran aanmaning” supaya memenuhi putusan Pasal 207 RBg. Apabila ternyata dalam waktu yang ditetapkan, pihak 28 Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: KMA055SKX1996 tentang Tugas dan Tanggung Jawab serta Tata Kerja Jurusita pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama Universitas Sumatera Utara yang ditegur tetap membangkang tidak mau melaksanakan putusan, maka Ketua Pengadilan Negeri memerintahkan kepada Panitera atau penggantinya dengan suatu surat perintah agar supaya menyita barang-barang kepunyaan miliknya tergugat. Setelah selesai menjalankan penyitaan, jurusita harus membuat berita acara tentang penyitaan tersebut dengan memberitahukan segala sesuatu kepada si pemilik barang-barang yang disita, jika ia ikut hadir. Dalam menjalankan tugasnya tersebut, jurusita tersebut harus dibantu oleh 2dua orang saksi yang sudah dewasa dan dikenalnya. Segala barang milik tergugat boleh disita, kecuali hewan-hewan termasuk alat-alat yang digunakan untuk membantu pekerjaannya. Setelah selesai melakukan penyitaan barang-barang harus diserahkan atau ditinggalkan kepada pemiliknya, dalam hal mana jurusita melaporkan kepada Kepala Desa agar barang-barang tersebut tidak dijualdipindahtangankan. Menurut pengalaman, jurusita sebelum melakukan penyitaan sebaiknya terlebih dahulu memberitahukan akan dilakukannya penyitaan kepada Kepala Desa. Kalau barang-barangnya ada diluar daerah Pengadilan Negeri yang memutus, maka Ketua Pengadilan Negeri meminta bantuan kepada Ketua Pengadilan Negeri didalam daerah barang yang harus disita berada Pasal 206 ayat 2-3 RBg. Ad. b. Revindicatoir Beslag Diatur dalam asal 260 RBg Pasal 226 ayat 1 HIR. Seseorang pemilik barang bergerak yang berada ditangan orang lain, karena tidak mau mengembalikan barang tersebut secara sukarela, maka pemilik tersebut dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri dalam daerah mana Universitas Sumatera Utara pemegang barang tersebut berada, untuk menyita barang miliknya yang berada ditangan orang lain tersebut. Cara-cara penyitaannya sama dengan yang telah diterangkan pada bagian Executie beslag tersebut di atas. Ad. c. Conservatoir beslag Diatur dalam Pasal 261 RBg Pasal 227 HIR. Dapat diajukan terhadap barang-barang bergerak maupun tidak bergerak milik tergugat. Permohonannya biasanya dibuat bersama-sama dengan surat gugatan, dengan alasan bahwa tergugat berusaha untuk menjual atau menyingkirkan barang-barangnya sebelum ada putusan. Menurut Retnowulan Sutantio, perbedaan antara sita conservatoir dan sita revindicatoir adalah : 1. Barang-barang yang disita dengan cara conservatoir adalah barang milik tergugat, sedangkan barang-barang yang disita dengan revindicatoir adalah barang-barang milik penggugat, yang dikuasaidipegang oleh tergugat. 2. Barang-barang yang disita dengan sita conservatoir adalah barang bergerak dan barang tidak bergerak, termasuk tanah, sedangkan barang-barang yang disita dengan sita revindicatoir hanya barang bergerak saja. 3. Untuk sita conservatoir harus ada sangka yang beralasan, bahwa tergugat sedang berdaya upaya untuk menghilangkan barang-barangnya dengan maksud menghindari tuntutan penggugat. Untuk sita revindicatoir hal ini tidaklah perlu. Universitas Sumatera Utara 4. Apabila gugat dikabulkan, sita conservatoir akan dinyatakan sah dan berharga dan dalam rangka eksekusi barang-barang tersebut akan diserahkan secara nyata kepada penggugat atau dalam hal yang digugat adalah sejumlah uang, barang-barang tersebut akan dilelang cukup untuk memenuhi putusan, termasuk biaya perkara, sedangkan apabila gugat ditolak atau dinyatakan tidak dapat diterima, sita conservatoir akan diperintahkan untuk diangkat. Sedangkan dalam sita revindicatoir. Apabila gugat dikabulkan, dan sita dinyatakan sah dan berharga, dalam rangka eksekusi barang itu akan diserahkan kepada Penggugat. Kata revindicatoir berarti, meminta kembali. 5. Oleh karena itu, barang yang disita dengan sita revindicatoir harus disebutkan dengan jelas, juga ciri-cirinya, secara lengkap. Untuk sita conservatoir hal itu tidak perlu. 29 Sedangkan persamaannya adalah : 1. Baik sita conservatoir, maupun sita revindicatoir, dalam hal gugat ditolak atau dinyatakan tidak dapat diterima, akan diperintahkan untuk diangkat. 2. Dalam rangka eksekusi, kedua sita tersebut akan secara otomatis berubah menjadi sita eksekusi. 30 29 Retnowulan Sutantio, Jurusita, Tugas dan Tanggung jawabnya, Proyek Pembinaan Teknis Yustisial Mahkamah Agung RI, MARI, Jakarta, tahun 1993, hal 16 30 Ibid Universitas Sumatera Utara BAB IV A. Perjanjian Leasing Sebagai Lembaga Pembiayaan Dan Kaitannya Dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pada umumnya masyarakat lebih dekat dan akrab dengan lembaga perbankan, kemudian disusul dengan sekelompok lembaga keuangan bukan bank dan dalam era delapan puluhan dikenal lagi suatu lembaga pembiayaan lain yang salah satunya adalah leasing. Leasing equipment funding secara umum dapat didefinisikan dengan : ”Pembiayaan peralatanbarang modal untuk digunakan pada proses produksi suatu perusahaan baik secara langsung maupun tidak”. Leasing sebagai suatu lembaga pembiayaan, saat ini masih cukup muda usianya di Indonesia. Meski begitu, mengingat fungsi leasing dengan lembaga pembiayaan yang setingkat dengannya lebih baik, leasing sangat memiliki potensi yang besar untuk terus berkembang. Perjanjian leasing sebagai suatu perjanjian jenis baru tidak ada diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur tentang hukum perikatan. Akan tetapi ketentuan umum yang terdapat dalam Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut dapat diterapkan juga terhadap perjanjian-perjanjian yang sama sekali belum diatur dalam undang-undang. Asas kebebasan berkontrak yang dianut KUHPerdata ini memungkinkan perkembangan dalam hukum perjanjian, karena masyarakat maupun kebutuhannya dapat menciptakan sendiri bermacam-macam perjanjian di samping perjanjian-perjanjian khusus yang diatur dalam KUHPerdata, asal tidak Universitas Sumatera Utara bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, atau kesusilaan mempunyai causa yang halal menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Adapun yang menentukan apakah suatu perjanjian mempunyai causal yang halal atau tidak adalah Hakim. Perjanjian bernama adalah perjanjian yang disebutkan dengan nama tertentu dan diatur dalam perundang-undangan, sedangkan yang dimaksud dengan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan tetapi merupakan perjanjian-perjanjian yang timbul dalam lalu lintas hukum kemasyarakatan. Salah satu contoh perjanjian tidak bernama ini adalah leasing. Untuk lebih lanjutnya ada baiknya menilik tentang sejarah leasing. “leasing adalah bangunan hukum yang tak lain adalah merupakan improvisasi dari pranata hukum konvensional yang disebut “sewa menyewa” lease. Dikatakan konvensional, karena ternyata sewa menyewa itu merupakan bangunan tua dan sudah lama sekali ada dalam sejarah peadaban umat manusia. Pranata hukum sewa menyewa yang dikembangkan sebagai ilmu pengetahuan telah terekam dalam sejarah, paling tidak telah terekam lebih kurang 4500 tahun Sebelum Masehi. Yakni sewa menyewa yang dipraktekkan dan dikembangkan oleh orang-orang Sumeria. 31 Sementara leasing dalam arti modern pertama kali berkembang di Amerika Serikat, dan kemudian menyebar ke Eropa dan ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Di Amerika Serikat, leasing dalam arti modern ini pertama 31 Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktek, Bandung:penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 1999, hal 12 Universitas Sumatera Utara kali diperkenalkan yaitu leasing yang berobjekkan kereta api. Bahkan dalam tahun 1850, telah tercatat perusahaan leasing yang pertama kali di Amerika Serikat yang beroperasi di bidang leasing kereta api. 32 Selanjutnya masih di Amerika Serikat, pada tahun 1877, The Bell Telephone Company memperkenalkan leasing di bidang pelayanan telefon kepada para pelanggannya. Dan selanjutnya, yaitu pada tahun 1952, perusahaan leasing di San Fransisco USA telah juga memperkenalkan leasing dalam bentuk-bentuk tertentu. Selanjutnya pranata hukum leasing ini berkembang ke seluruh antero dunia seiring dengan arus globalisasi. 33 Di Amerika Serikat perkembangan pranata hukum leasing ini cukup pesat. Selama dasawarsa 1980-an, volume leasing bertambah rata-rata 15 setiap tahunnya. Dan menjelang dasawarsa 1980-an tersebut, lebih kurang sepertiga pengadaan peralatan bisnis baru disana dilakukan dalam bentuk leasing. Demikianlah di USA, maka bank-bank dan perusahaan leasing hidup subur sebagai lessor. Di samping itu, bahkan perusahaan pemegang trademark terkenal juga ikut menjadi lessor. 34 Eksistensi pranata hukum leasing di Indonesia baru terjadi di awal dasawarsa 1970-an, dan baru diatur untuk pertama kali dalam perundangan RI di tahun 1974, Beberapa peraturan di 1974 itu merupakan tonggak sejarah perkembangan hukum tentang leasing di Indonesia. Peraturan-peraturan tersebut adalah: 32 Ibid 33 Ibid 34 Ibid Universitas Sumatera Utara 1. Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No.KEP-122MKIV21974, No.32MSK21974, No.30Kpb11974, tertanggal 7 pebruari 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing. 2. Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.KEP649MKIV51974, tanggal 6 Mei 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing. 3. Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.KEP.650MK51974, tanggal 6 Mei 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing. 4. Pengumuman Direktur Jendral Moneter Nomor Peng- 307DJMIII.171974, tanggal 8 Juli 1974 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Leasing. Setelah beberapa peraturan yang dikeluarkan pada tahun 1974 tersebut, ada beberapa peraturan lain yang terbit di tahun-tahun berikutnya. Dan perkembangan sejarah leasing di Indonesia sangat terkait secara erat dengan policy pemerintah yang terutang dalam peraturan-peraturan tersebut. Perkembangan leasing dalam sejarah di Indonesia dapat diklasifikasikan dalam tiga fase sebagai berikut: 1. Fase Pengenalan Fase pertama yang merupakan fase pengenalan dari bisnis leasing di Indonesia terjadi antara tahun 1974 sampai tahun 1983 diawali dengan keluarnya peraturan khusus yang mengatur tentang leasing. Dalam faase ini leasing belum begitu dikenal di masyarakat. Universitas Sumatera Utara 2. Fase Pengembangan Fase ini kira-kira pada tahun 1984 sampai dengan tahun 1990. Dalam fase ini leasing cukup pesat perkembangannya seiring dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Pada fase kedua ini, beberapa segi operasional leasing telah berubah, misalnya dalam hal metode perhitungan, penyusutan aset untuk kepentingan perpajakan. Hal ini merupakan akibat dari bentuknya Undang-Undang Pajak 1984. 3. Fase Konsolidasi Fase ini terjadi pada sekitar tahun 1991 sampai sekarang. Pada periode ini izin-izin pendirian perusahaan leasing yang sebelumnya agak diperketat, kemudian dibuka kembali. Perusahaan multi finance juga banyak didirikan pada tahap ini. Dan salah satu perubahan yang terjadi pada fase konsolidasi ini adalah diubahnya sistem perpajakan, dari semula dengan operating method berubah menjadi financial method. Perubahan sistem perhitungan perpajakan ini mulai berlaku sejak tanggal 9 Januari 1991, berdasarkan ketentuan dalam SK Menteri Keuangan No.1169KMK.011991. Sungguhpun perkembangan usaha leasing sudah mulai terasa di Indonesia, banyak pihak mengatakan bahwa perkembangannya masih jauh dari yang diharapkan”. Timbulnya leasing sebagai perjanjian tidak bernama adalah sebagai konsekuensi dari kebebasan untuk mengikat perjanjian dan adanya open system dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Universitas Sumatera Utara

B. Keuntungan dan Kerugian Dalam Menggunakan Perjanjian Leasing

Sebagai suatu pranat pembiayaan bisnis, leasing sudah tentu mempunyai plus minusnya. Namun demikian, apabila ditimbang-timbang, leasing banyak manfaatnya dan kelebihannya yang tidak dapat dikover oleh jenis-jenis pembiayaan lainnya. Terutama bagi pembiayaan golongan menengah. Bahkan untuk jenis-jenis barang tertentu, leasing juga dirasakan cocok untuk pembiayaan besar. Misalnya pembiayaan terhadap pengadaan pesawat terbang atau kapal laut, yang harganya sampai miliaran rupiah. Adapun yang merupakan kelebihan-kelebihan leasing bila dibandingkan dengan metode-metode pembayaran lainnya, terutama dengan kredit bank, dapat disebutkan sebagai berikut : 1. Unsur Fleksibilitas Salah satu unggulan yang merupakan andalan dari leasing adalah adanya unsur fleksibilitas. Unsur fleksibilitas ini terutama dalam hal dokumentasi, collateral. Struktur kontraknya, besarnya dan jangka waktu pembayaran cicilan oleh lessee, nilai residu , hak opsi dan lain-lain. 2. Ongkos yang Relatif Murah Karena sifatnya yang relatif sederhana, maka untuk dapat ditandatangani kontrak dan direalisasi suatu leasing relatif tidak memerluka memerlukan ongkosbiaya yang besar, yang biasanya dalam praktek semua biaya tersebut diakumulasikan ke dalam satu paket.Termasuk dalam komponen biaya ini antara lain adalah consultant fee, pengadaan dan pemasangan barang , asuransi dan lain- lain. Universitas Sumatera Utara 3. Penghematan Pajak Sistem perhitungan pajak untuk leasing menyebabkanseyogianya menyebabkan pembayaran pajaknya lebih hemat. 4. Pengaturan Tidak Terlalu Complicated Pengaturan terhadap leasing tidak terlalu complicated. Tidak seperti pengaturannya terhadap kredit bank misalnya. Ini terutama sangat menguntungkan bagi lessor mengingat perusahaan pembiayaan tidak perlu harus melaksanakan banyak hal seperti diwajibkan untuk suatu bank. 5. Kriteria bagi Lessee yang Longgar Dibandingkan debitur yang memanfaatkan fasilitas kredit bank, maka persyaratan bagi perusahaan lessee untuk menerima fasilitas leasing jauh lebih aman bagi lessor, karena setiap saat barang modal dapat dijual, dengan perhitungan harga tidak lebih rendah dari sisa hutang lessee. Karena itu pula dimungkinkan pemberian fasilitas leasing untuk perusahaan menengah ke bawah, perusahaan-perusahaan mana sulit mendapatkan fasilitas lewat kredit perbankan. 6. Pemutusan Kontrak Leasing oleh Lessee Sering juga didapati bahwa dalam kontrak leasing diberikan hak yang begitu mudah bagi lessee untuk memutuskan kontrak di tengah jalan. Karena sering juga harga barang modal dapat dijual kapan saja oleh lessor dengan harga yang dapat menutupi bahkan seringkali melebihi dari sisa hutang lessee. Dengan demikian, tidak banyak resiko yang harus dipikul oleh lessor maupun lessee jika terjadi pemutusan kontrak di tengah jalan. Tetapi tentunya ada beberapa jenis barang modal yang tidak gampang dilakukan penjualan dalam keadaan bekas, Universitas Sumatera Utara seperti yang terjadi pada beberapa jenis mesin. Maka biasanya, untuk leasing seperti ini, tidak diberikan kemudahan bagi lessee untuk memutuskan kontrak di tengah jalan. 7. Pembukuan yang Lebih Mudah Dari segi pembukuan, leasing lebih mudah dan menguntungkan bagi perusahaan lessee. Bahkan cukup reasonable pula jika transaksi leasing ini dimasukkan sebagai pembiayaan secara off balance sheet. Sehingga, pembukuan perusahaan lessee akan kelihatan lebih baik. Disamping keuntungan seperti yang telah disebutkan di atas tersebut, sebenarnya terdapat juga beberapa kelemahan dari pembiayaan dengan cara leasing ini. Sungguhpun kelemahan tersebut dalam banyak hal dapat ditekan seminimal mungkin. Diantara kelemahan-kelemahan leasing tersebut dapat disebutkan sebagai berikut: 1. Biaya Bunga yang Tinggi Karena perusahaan leasing juga memperoleh biaya dari bank, maka pada prinsipnya keberadaan lessor hanyalah sebagai perantara saja dalam menyalurkan dana kepada lessee. Untuk itu tentunya lessor akan mendapat keuntungan margin tertentu. Konsekuensinya, perhitungan bunga, ataupun kompensasi terhadap bunga dalam transaksi leasing akan relatif tinggi. 2. Biaya Marginal yang Tinggi Bisa saja biaya yang sebenarnya marginal menjadi tinggi jika biaya tersebut tidak ditekan secara hati-hati oleh lessor. Hal ini merupakan sisi lain dari mata uang dalam transaksi leasing. Sebab, di satu pihak leasing banyak Universitas Sumatera Utara memberikan kemudahan bagi lessee, tetapi di pihak lain justru berbagi kemudahan tersebut tidak mungkin diberikan secara gratis, melainkan dengan cost-cost tetentu Disamping itu, eksistensi lessor sebagai perantara antara penyedia danamisalnya bank dengan pihak lessee, menyebabkan mata rantai distribusi dana menjadi lebih panjang. Tentunya, sebagaimana biasanya transaksi dengan perantara, costnya akan menjadi lebih tinggi, mengingat perantara tersebut juga memerlukan fee tertentu sebagai kompensasi atas jasa-jasanya. Namun demikian, cost-cost tersebut sampai-sampai batas tertentu masih dapat ditekan. 3. Kurangnya Perlindungan Hukum Karena leasing termasuk bisnis yang loosely regulated, tidak seperti sektor perbankan misalnya, maka perlindungan para pihak hanya sebatas itikad baik dari masing-masing pihak tersebut yang semuanya dapat dituangkan dalam bentuk perjanjian leasing. Dalam hal ini, akan berlaku prinsip pasar antara permintaan dan penawaran, dari lessee dengan lessor. Konsekuensi logisnya, biasanya dalam hal seperti itu, pihak yang kedudukan lemah akan tergilas dan, kurang telindungi. Disamping itu, karena kurangnya pengaturan hukum, disamping menyebabkan kurang terjaminnya unsur fairness, juga bisnis leasing akhirnya tidak predictable dan kurang kepastian hukum. 4. Proses Eksekusi Leasing Macet yang Sulit Tidak ada suatu prosedur yang khusus eksekusi leasing yang macet pembayaran cicilannya. Karena itu, jika ada sengketa haruslah beracara seperti Universitas Sumatera Utara biasa lewat pengadilan dengan prosedur biasa. Dan ini tentunya akan terlalu banyak menghabiskan waku dan biaya, di samping hasilnya yang tidak predictable. Lamanya waktu yang diperlukan dan berbelitnya prosedur pengadilan, akan sangat riskan bagi leasing company. Satu dan lain hal diakibatkan karena selama sengketa terjadi, barang leasing berada dalam keadaan status quosetelah adanya sita revindikator misalnya, yang seperti barang leasing tersebut tetap dikuasai dan dipergunakan oleh lessee. Dan, nilai ekonomisnya semakin lama semakin aus akibat proses amortisasi yang biasanya relatif cepat.

C. Hak-hak Debitur yang harus dilindungi oleh hukum terhadap penarikan benda-benda bergerak

Hak-Hak Konsumen Indonesia sesuai Pasal 4 Undang-undang No. 8 1999 meliputi :

a. Hak Kenyamanan, Keselamatan dan Keamanan

Bagi konsumen hak ini harus mencakup aspek kesehatan secara fisik, dan dari perspektif keyakinanajaran agama tertentu. b. Hak Memilih Merupakan kebebasan konsumen dalam memilih barang dan jasa yang dibutuhkan. Oleh karena itu, barang yang beredar di pasar haruslah terdiri dari beberapa merek untuk suatu barang, agar konsumen dapat memilih. Universitas Sumatera Utara c. Hak Informasi Bisa dipenuhi dengan cara antara lain, melalui diskripsi penjelasan barang menyangkut harga dan kualitas atau kandungan barang dan tidak hanya terbatas informasi pada satu jenis produk, tetapi juga informasi beberapa merek untuk produk sejenis, dengan demikian konsumen bisa membandingkan antara satu merk dengan merk lain untuk produk sejenis. d. Hak Untuk Didengar Pendapat dan Keluhannya Ada dua instrumen dalam mengakomodir hak untuk didengar: Pertama, Pemerintah melalui aturan hukum tertentu dalam bentuk hearing secara terbuka dengan konsumen; Kedua, melalui pembentukan organisasi konsumen swasta dengan atau tanpa dukungan pemerintah. Hak untuk didengar menuntut adanya organisasi konsumen yang mewakili konsumen. e. Hak Untuk Mendapatkan Advokasi Dengan hak ini, konsumen mendapat perlindungan hukum yang efektif dalam rangka mengamankan implementasi ketentuan perlindungan konsumen dan menjamin keadilan sosial. Hak ini dapat dipenuhi dengan cara: Konsultasi hukum, diberikan pada konsumen menengah ke bawah. Bentuk kegiatan ini dapat dilakukan oleh organisasi konsumen dan atau instansi pemerintah yang mengurusi perlindungan konsumen, menggunakan mekanisme tuntutan hukum secara kolektif class action, adanya keragaman akses bagi konsumen individu berupa tersedianya lembaga penyelesaian sengketa konsumen, baik yang didirikan oleh pemerintah berupa Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK di setiap pemerintah Kota Kabupaten. Universitas Sumatera Utara f. Hak Untuk Mendapat Pendidikan Definisi dasar hak ini adalah konsumen harus berpendidikan secukupnya, dapat dilakukan baik melalui kurikulum dalam pendidikan formal maupun melalui pendidikan informal yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang perlindungan konsumen. Pemenuhan hak untuk mendapat pendidikan juga menjadi kontribusi dan tanggung jawab pelaku usaha.

g. Hak Untuk Tidak Diperlakukan Diskriminatif

Tindakan diskriminatif secara sederhana adalah adanya disparitas, adanya perlakukan yang berbeda untuk pengguna jasaproduk, dimana kepada konsumen dibebankan biaya yang sama. Oleh karena itu adanya pelaku usaha yang menyediakan beberapa sub kategori pelayanan dengan tarif yang berbeda-beda, susuai dengan tarif yang dibayar konsumen tidak dapat dikatakan diskriminatif. h. Hak Untuk Mendapat Ganti Rugi Mendapatkan ganti rugi harus dipenuhi oleh pelaku usaha atas kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan si pelaku usaha tersebut. Bentuk ganti rugi dapat berupa: - Pengembalian uang - Penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya Universitas Sumatera Utara - Perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan pasal 19 Ayat 2 UUPK 35 i. Hak Yang Diatur Dalam Peraturan Perundang-Undangan Lainnya Selain hak-hak yang ada dalam UU PK, dalam UU lain juga diatur hak-hak konsumen, seperti UU Kesehatan. Oleh karena itu dimungkinkan adanya hak konsumen tambahan sesuai dengan tipikal sektor masing-masing. D. Penarikan paksa oleh Debt Collector yang tidak sesuai dengan kaedah Undang-undang Jaminan Fidusia UU. No. 42 tahun 1999 Undang – undang Jaminan Fidusia sebagai roh dan dasar hukum mengenai perjanjian fidusia di Indonesia dalam setiap pasal-pasalnya tidak ada mengatur mengenai tindakan penarikan paksa sebagai tindakan yang dapat dilakukan oleh Debitur dalam mengeksekusi benda bergerak yang menjadi objek jaminan fidusia. Pasal 14 Undang – undang Jaminan Fidusia ayat 3 menyatakan “ Jaminan fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia”. Pasal 29 ayat 1 butir b menegaskan bahwa “ penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan”. Pelaksanaan lelang umum diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35 Wawancara dengan Ketua BPSK, Bapak H.M. Dharma Bakti Nasution, SE, SH, MH pada tanggal 3 April 2012 di Kantor BPSK Medan. Universitas Sumatera Utara 150PMK.062007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40PMK.072006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang Pasal 29 ayat 2 mengatur bahwa proses penjualan di bawah tangan dilakukan setelah lewat waktu 1 bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan penerima fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan, dalam hal ini pihak yang berkepentingan adalah calon- calon pembeli benda bergerak yang menjadi objek jaminan fidusia yang mengetahui akan terjadi penjualan terhadap benda bergerak tersebut setelah adanya pengumuman dikoran yang disebutkan dalam Pasal ini minimal harus dua kali diumumkan disurat kabar yang beredar didaerah yang bersangkutan. Selanjutnya Pasal 30 Undang – undang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa “pemberi fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia”. Bunyi dan makna dari pasal 30 Undang – undang Jaminan Fidusia jelas menggambarkan bahwa tidak ada mengatur dan memperbolehkan benda bergerak yang menjadi objek jaminan fidusia diambil dan direbut secara paksa oleh penerima fidusia atau lessor. Penulis memperhatikan dalam ayat ini dinyatakan bahwa pemberi fidusia wajib menyerahkan benda bergerak yang menjadi objek jaminan fidusia. Kata wajib dalam pasal ini menyatakan keharusan dan tanggung jawab hukum yang dimiliki pemberi fidusia atau lessor terhadap benda bergerak yang menjadi objek jaminan fidusia yang berada ditangannya, akan tetapi pernyataan wajib ini tidak memunculkan suatu hak yang dimiliki penerima fidusia atau lessor untuk Universitas Sumatera Utara mengambil paksa dan melakukan perbuatan secara brutal terhadap benda bergerak yang menjadi objek jaminan fidusia apabila pemberi fidusia atau kreditur terlambat atau tidak melaksanakan kewajibannya. Selanjutnya dalam Pasal 34 ayat 1 dinyatakan bahwa Undang- undang mengatur apabila hasil eksekusi yang dilakukan dalam pelelangan umum [ sesuai Pasal 29 ayat 1 butir b] dan melaui proses penjualan di bawah tangan [ Pasal 29 ayat 1 butir c ] melebihi nilai penjaminan maka penerima fidusia lessor wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada pemberi fidusia, begitu juga sebaliknya Pasal 34 ayat 2 juga menegaskan bahwa apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan hutang debitur tetap bertanggung jawab untuk melunasi hutang- hutangnya yang belum terbayar.

E. Penyelesaian Sengketa Terhadap Penarikan Benda Bergerak yang Ditarik Paksa Oleh Lessor

Dalam hal terjadi perselisihan ada beberapa cara yang dapat dipakai untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul dari kedua belah pihak, yaitu dengan cara sebagai berikut: 1. Perdamaian diluar Pengadilan 2.