Tinjuan Yuridis Upaya Hukum Yang Dilakukan Debitur Terhadap Penarikan Benda-Benda Bergerak Yang Ditarik Paksa Oleh Leasing/ Kreditur

(1)

TINJUAN YURIDIS UPAYA HUKUM YANG DILAKUKAN DEBITUR TERHADAP PENARIKAN BENDA-BENDA BERGERAK YANG

DITARIK PAKSA OLEH LEASING/ KREDITUR

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

HAROLD MARNANGKOK MARBUNGARAN MAHARA MANURUNG NIM: 080200385

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN/ BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

TINJUAN YURIDIS UPAYA HUKUM YANG DILAKUKAN DEBITUR TERHADAP PENARIKAN BENDA-BENDA BERGERAK YANG

DITARIK PAKSA OLEH LEASING/ KREDITUR

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

HAROLD MARNANGKOK MARBUNGARAN MAHARA MANURUNG NIM: 080200385

Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Perdata

(Dr. Hasim Purba, SH. M. Hum) NIP. 196603031985081001

Pembimbing I Pembimbing II

(MUHAMMAD HAYAT, SH) (MUHAMMAD HUSNI,

SH, MH.)

NIP. 195008081980021001 NIP. 19582021988031004

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ABSTRAKSI

Di zaman sekarang ini kegiatan pembiayaan dan bentuk pembelian barang secara berangsur (kredit) berkembang dengan pesat di Indonesia, hal ini menyebabkan banyaknya lahir lembaga-lembaga pembiayaan non bank termasuk salah satu diantaranya adalah Leasing. Wilayah Indonesia yang luas dan minimnya pembangunan sarana transportasi publik yang memadai di kota-kota, desa-desa, hingga pedalaman Indonesia menyebabkan kebutuhan akan transportasi benda bergerak khusunya kendaraan roda dua (sepeda motor) dan roda empat (mobil) sangat tinggi karena diperlukan masyarakat untuk mendorong aktifitas sehari-hari. Membludaknya jenis kendaran roda dua (sepeda motor) dan roda empat (mobil) yang masuk ke pasar Indonesia mulai dari pabrikan otomotif Jepang hingga pabrikan otomotif Eropa yang merupakan pabrikan elit dunia membuat masyarakat gampang tergiur untuk memiliki jenis kendaraan terbaru ataupun mengganti kendaraan mereka yang lama dengan keluaran terbaru. Lembaga pembiayaan pun hadir dengan inovasi-inovasi mereka memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk membeli barang secara berangsur (kredit) dengan uang muka (downpayment) yang relatif rendah dan jangka waktu pembayaran cicilan yang relatif lama (bisa mencapai 3 sampai dengan 4 tahun), hal ini membuat masyarakat terkadang gampang tergiur untuk mendapatkan kendaraan terbaru yang mereka lihat ataupun berhasrat memiliki kendaraan bekas

(second) yang dijual di showroom roda dua (sepeda motor) maupun showroom

roda empat (mobil) karena kemudahan pembelian dan bentuk pembayaran yang ditawarkan perusahaan leasing yang menawarkan jasa perjanjian leasing untuk mendapatkan kendaraan tersebut sekaligus di showroom-showroom tersebut. Akan tetapi hasrat dan ketergiuran masyarakat ini kadang tidak dibarengi dengan kemampuan finansial ataupun pemikiran yang panjang tentang sumber pembayaran cicilan di kemudian hari dengan mempertimbangkan pendapatan, kebutuhan yang terus meningkat, dan pengeluaran dari Debitur. Hal ini menyebabkan banyaknya terjadi fenomena kredit macet dalam perjanjian Leasing, dan banyak perusahaan Leasing yang bermodal besar menggunakan jasa debt

collector untuk melakukan penarikan paksa terhadap benda bergerak yang berada

di tangan Debitur secara sewenang-wenang tanpa mematuhi peraturan dan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini yang paling sering dirugikan adalah Debitur karena barang bergerak yang berada ditangan mereka diambil sementara uang Debitur untuk membayar uang muka (downpayment) dan cicilan kendaraan yang telah dibayarkan tidak dapat diminta kembali dari Kreditur. Situasi ini jelas memberikan ketidaknyamanan dan rasa ketidakadilan


(4)

bagi Debitur, dan dari segi hukum perbuatan penarikan secara paksa merupakan perbuatan melawan hukum yang tidak boleh dibiarkan terus-menerus terjadi.

Permasalahannya yaitu : Bagaimana kaitan perjanjian Leasing sebagai lembaga pembiayaan dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Bagaimana langkah yang ditempuh Debitur/ Konsumen apabila mengalami penarikan paksa benda-benda bergerak oleh Kreditur, Lembaga atau Peradilan manakah yang mempunyai wewenang untuk menyelesaikan sengketa terhadap benda-benda bergerak yang ditarik paksa oleh Lessor/ Kreditur, Bagaimana peran BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) terhadap pengaduan Konsumen dan penyelesaian sengketa terhadap benda-benda bergerak yang ditarik paksa oleh

Lessor/ Kreditur. Metode yang penulis pergunakan dalam penulisan skripsi ini ada

dua macam metode yakni, tinjauan kepustakaan (Library Research) dilakuakn untuk mengumpulkan buku-buku yang berkaitan langsung dengan judul skripsi yang penulis buat dan penelitian lapangan (Field Research), dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data dan bahan-bahan serta informasi tentang perjanjian

Leasing serta untuk mengetahui dimana diatur leasing tersebut dalam

KUHPerdata.

Peranan BPSK dalam menyelenggarakan perlindungan Konsumen di Indonesia merupakan ujung tombak di lapangan untuk memberi perlindungan kepada Konsumen yang telah dirugikan atau diderita sakit. Perlindungan yang diberikan oleh lembaga BPSK tersebut kepada Konsumen adalah melalui penyelesaian sengketa antara Konsumen/ Debitur dan Pelaku Usaha/ Lessor dan juga melalui pengawasan terhadap setiap perjanjian atau dokumen yang mencantumkan klausula baku yang merugikan Konsumen. Dalam hal ini BPSK telah berfungsi ganda, disatu sisi UU. No. 8 tahun 1999 telah memberikan kewenangan yudikatif untuk menyelesaikan kepentingan umum yaitu sengketa antara Konsumen dan Pelaku Usaha dan disisi lain UU. No. 8 tahun 1999 juga memberikan kewenangan eksekutif kepada BPSK untuk mengawasi pencantuman Klausula Baku dalam setiap perjanjian atau dokumen yang merugikan Konsumen yang telah ditetapkan sepihak oleh Pelaku Usaha.

Kata Kunci:

1. Benda bergerak/ kendaraan 2. Perjanjian Leasing


(5)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun judul skripsi ini adalah “Tinjauan Yuridis Upaya Hukum Yang Dilakukan Debitur Terhadap Penarikan Benda-benda Bergerak Yang Ditarik Paksa Oleh Leasing/ Kreditur”.

Penulis telah berusaha mengerahkan segala kemampuan dan ilmu pengetahuan yang penulis dapatkan selama perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dalam menyelesaikan skripsi ini. Tetapi penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari kekurangan dan jauhn dari kesempurnaan, untuk itu penulis mohon saran dan kritikan yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Penulis sadar sejak awal hingga akhir prnulis banyak menerima bimbingan, bantuan dan motivsi dari berbagai pihak. Karena itu tidak lupan penulis bersyukur dan mengucapkan terima kasih dengan rasa tulus dan ikhlas kepada:

1. Bapak Prof. DR. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan I di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(6)

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH selaku Pembantu Dekan II di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan III di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sekaligus sebagai Dosen Pembimbing II penulis yang telah banyak memberikan saran, motivasi dan koreksi bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini

5. Bapak Muhammad Hayat, SH selaku Dosen Pembimbing I penulis yang telah membantu dan memotivasi penulis dengan memberikan saran dan ide-idenya. 6. Bapak DR. Hasim Purba, SH, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum

Perdata BW

7. Bapak Makdin Munthe, SH selaku Dosen Wali penulis mulai dari pertama kali penulis berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara hingga penulis menyusun skripsi untuk menperoleh gelar Sarjana Hukum

8. Bapak H. M. Dharma Bhakti Nasution, SE, SH, MH sebagai Ketua BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) Kota Medan yang telah menyambut prnulis dengan hangat dan membantu penulis dalam memperoleh keterangan mengenai penyelesaian sengketa Konsumen dalam perjanjian

leasing yang ditangani BPSK dan memberikan makalah-makalah BPSK

(Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) sebagai sumber pustaka untuk menyelesaikan skripsi ini.

9. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen serta Staf Administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing, mengajarkan, dan membantu penulis mulai dari penulis tidak mengetahui apa-apa tentang Ilmu


(7)

Hukum hingga penulis mempunyai bekal Ilmu Hukum yang penulis dapatkan dalam proses perkuliahan

10.Buat seseorang yang istimewa di hati penulis Yosephine Monica Sriulina Tobing yang telah mendukung, tak henti-hentinya memotivasi, setia menemani dan mengingatkan penulis mulai dari awal penulisan hingga tahap penyelesaian skripsi ini. Thank you Dearest, from the bottom of my heart i wanna say “I love You” 

11.Teman-teman Panitia PMB dan Inagurasi FH PRM (Program Reguler Mandiri) USU 2011/2012 yang telah bekerjasama menyukseskan acara PMB dan Inagurasi serta menjadi teman karib penulis selama berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara: (Rama, Edi, Haris, Rya, Dll)

12.Teman-teman dan sahabat seangkatan penulis (2008) di kampus yang telah menjadi teman yang baik dan lucu bagi penulis baik di dalam dan di luar kampus: (Sefira, Sere, Ewik, Zola, Dedi,Kebo, Dll)

13.Sahabat-sahabat, rekan-rekan dan kader-kader seperjuangan penulis di SAPMA PP USU dan SAPMA FF HUKUM USU, kalian teman-teman di kala suka dan duka dan kalian semua hebat, cepat menyusul mencapai Sarjana Hukum. PANCASILA ABADI!!! (Daeng Ryan, Iwan Nerow, Jean, Ncus, Bondan, Rino Shah, Putra “ma caro” dan kader-kader SAPMA PP semuanya)

14.Sahabat-sahabat dan abang-abang SC PRM, khususnya sahabat-sahabat dan abang-abang yang terkumpul dalam “Mess Squad” terima kasih telah mengisi hari-hari penulis dan menjadi sahabat yang luar biasa baik di dalam maupun di


(8)

luar kampus, khususnya kepada Abang Yamitema Laoly SH, MH yang telah banyak memberikan bimbingan, motivasi serta menjadi mentor yang tulus bagi penulis, tidak hanya masalah pendidikan di kampus tetapi juga motivasi kehidupan di luar kampus

15.Sahabat –sahabat penulis yang senantiasa menemani dan mengisi hari-hari penulis, kalian akan tetap menjadi sahabatku dari sekarang sampai hari tua nanti (Febrin, Sandi,Riki, Osmon, Feron, Bote, Dll)

16.Adik-adik di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara angkatan 010 dan 011 khususnya adik-adik PRM dan SAPMA PP HUKUM USU yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.

17.K’ Yeti yang telah banyak membantu penulis mengedit dan memeriksa penulisan skripsi ini.

18.Khusus buat Opung (Ny. A. Manurung/ Br. Gurning) dirumah yang selalu mendoakan penulis untuk menyelesaikan perkuliahan dan meraih kesuksesan di masa depan serta Namboru mak’ sas yang telah membantu penulis menyediakan kebutuhan sehari-hari dirumah. GBU!

Teristimewa kepada kedua orang tua penulis, Ayah (Alm). Ir. Togar Manurung yang semasa hidupnya banyak memberikan nasehat kepada penulis dan penulis berharap dapat menyenangkan dan mewujudkan cita-cita Ayah dengan keberhasilan Penulis menjadi Sarjana Hukum, juga kepada Mama Ir. Rugun br. Siahaan yang telah membesarkan penulis, tiada henti mendoakan dan dengan cintanya yang tulus selalu mendukung penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada adik penulis Nicholas Manurung dan Audina Br.


(9)

Manurung yang telah menemani dan mendoakan penulis dari masa kecil hingga sekarang ini. I ALWAYS LOVE YOU ALL . GOD BLESS US!

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi kehidupan masyarakat dan dapat menambah wawasan tentang permasalahan yang penulis bahas serta dapat menambah referensi bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

Medan, Mei 2012

Harold


(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Tinjauan Kepustakaan ... 7

F. Metode Penulisan... 9

G. Sistematika Skripsi ... 10

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI LEASING ... 12

A. Pengertian Leasing dan Dasar Hukum Leasing ... 12

B. Ketentuan Mengenai Penyelesaian Hutang/Tunggakan dalam Perjanjian Fidusia ... 17

C. Pengertian Debt Collector dan Ketentuan Hukumnya sesuai Hukum di Indonesia ... 21

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PENARIKAN BENDA-BENDA BERGERAK YANG DITARIK PAKSA OLEH LEASING/ KREDITUR ... 27

A. Jenis-Jenis Leasing ... 27

B. Upaya Hukum yang Dilakukan Debitur terhadap Penarikan Benda-Benda Bergerak Menurut Ketentuan Undang-Undang ... 33

C. Penarikan Paksa Termasuk Ranah Hukum Pidana yang Tidak Terdapat sesuai Ketentuan Hukum Perdata ... 46

D. Peradilan Perdata dan Juru Sita Pengadilan sebagai Aparat Negara Yang Mempunyai Kewenangan Untuk Melakukan Penyitaan Terhadap Benda-Benda Bergerak sesuai Undang-Undang ... 49


(11)

BAB IV TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK KREDITUR YANG DILINDUNGI OLEH

UNDANG-UNDANG DAN SANKSI TERHADAP

PENARIKAN PAKSA OLEH LEASING ... 59 A. Perjanjian Leasing sebagai Lembaga Pembiayaan

dan Kaitannya Dengan Kuhperdata... 59 B. Keuntungan dan Kerugian Dalam Menggunakan

Perjanjian Leasing ... 64 C. Hak-hak Kreditur yang Harus Dilindungi oleh Hukum

Terhadap Penarikan Benda-Benda Bergerak ... 68 D. Penarikan Paksa oleh Debt Collector yang Tidak sesuai

dengan Kaedah Undang-Undang Tentang Jaminan

Fidusia UU. No. 42 Tahun 1999 ... 71 E. Penyelesaian Sengketa Terhadap Penarikan

Benda-Benda Bergerak yang Ditarik Paksa oleh Lessor 73 1. Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Non-Litigasi .... 73 2. Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Litigasi ... 74 F. Analisa Tinjauan Yuridis Keputusan BPSK terhadap

Lessor yang Melakukan Penarikan Paksa kepada

Konsumen denganNo. Perkara 01/Pen/BPSK-Mdn/2009 86 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 94

A. Kesimpulan ... 94 B. Saran ... 97 DAFTAR PUSTAKA


(12)

ABSTRAKSI

Di zaman sekarang ini kegiatan pembiayaan dan bentuk pembelian barang secara berangsur (kredit) berkembang dengan pesat di Indonesia, hal ini menyebabkan banyaknya lahir lembaga-lembaga pembiayaan non bank termasuk salah satu diantaranya adalah Leasing. Wilayah Indonesia yang luas dan minimnya pembangunan sarana transportasi publik yang memadai di kota-kota, desa-desa, hingga pedalaman Indonesia menyebabkan kebutuhan akan transportasi benda bergerak khusunya kendaraan roda dua (sepeda motor) dan roda empat (mobil) sangat tinggi karena diperlukan masyarakat untuk mendorong aktifitas sehari-hari. Membludaknya jenis kendaran roda dua (sepeda motor) dan roda empat (mobil) yang masuk ke pasar Indonesia mulai dari pabrikan otomotif Jepang hingga pabrikan otomotif Eropa yang merupakan pabrikan elit dunia membuat masyarakat gampang tergiur untuk memiliki jenis kendaraan terbaru ataupun mengganti kendaraan mereka yang lama dengan keluaran terbaru. Lembaga pembiayaan pun hadir dengan inovasi-inovasi mereka memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk membeli barang secara berangsur (kredit) dengan uang muka (downpayment) yang relatif rendah dan jangka waktu pembayaran cicilan yang relatif lama (bisa mencapai 3 sampai dengan 4 tahun), hal ini membuat masyarakat terkadang gampang tergiur untuk mendapatkan kendaraan terbaru yang mereka lihat ataupun berhasrat memiliki kendaraan bekas

(second) yang dijual di showroom roda dua (sepeda motor) maupun showroom

roda empat (mobil) karena kemudahan pembelian dan bentuk pembayaran yang ditawarkan perusahaan leasing yang menawarkan jasa perjanjian leasing untuk mendapatkan kendaraan tersebut sekaligus di showroom-showroom tersebut. Akan tetapi hasrat dan ketergiuran masyarakat ini kadang tidak dibarengi dengan kemampuan finansial ataupun pemikiran yang panjang tentang sumber pembayaran cicilan di kemudian hari dengan mempertimbangkan pendapatan, kebutuhan yang terus meningkat, dan pengeluaran dari Debitur. Hal ini menyebabkan banyaknya terjadi fenomena kredit macet dalam perjanjian Leasing, dan banyak perusahaan Leasing yang bermodal besar menggunakan jasa debt

collector untuk melakukan penarikan paksa terhadap benda bergerak yang berada

di tangan Debitur secara sewenang-wenang tanpa mematuhi peraturan dan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini yang paling sering dirugikan adalah Debitur karena barang bergerak yang berada ditangan mereka diambil sementara uang Debitur untuk membayar uang muka (downpayment) dan cicilan kendaraan yang telah dibayarkan tidak dapat diminta kembali dari Kreditur. Situasi ini jelas memberikan ketidaknyamanan dan rasa ketidakadilan


(13)

bagi Debitur, dan dari segi hukum perbuatan penarikan secara paksa merupakan perbuatan melawan hukum yang tidak boleh dibiarkan terus-menerus terjadi.

Permasalahannya yaitu : Bagaimana kaitan perjanjian Leasing sebagai lembaga pembiayaan dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Bagaimana langkah yang ditempuh Debitur/ Konsumen apabila mengalami penarikan paksa benda-benda bergerak oleh Kreditur, Lembaga atau Peradilan manakah yang mempunyai wewenang untuk menyelesaikan sengketa terhadap benda-benda bergerak yang ditarik paksa oleh Lessor/ Kreditur, Bagaimana peran BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) terhadap pengaduan Konsumen dan penyelesaian sengketa terhadap benda-benda bergerak yang ditarik paksa oleh

Lessor/ Kreditur. Metode yang penulis pergunakan dalam penulisan skripsi ini ada

dua macam metode yakni, tinjauan kepustakaan (Library Research) dilakuakn untuk mengumpulkan buku-buku yang berkaitan langsung dengan judul skripsi yang penulis buat dan penelitian lapangan (Field Research), dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data dan bahan-bahan serta informasi tentang perjanjian

Leasing serta untuk mengetahui dimana diatur leasing tersebut dalam

KUHPerdata.

Peranan BPSK dalam menyelenggarakan perlindungan Konsumen di Indonesia merupakan ujung tombak di lapangan untuk memberi perlindungan kepada Konsumen yang telah dirugikan atau diderita sakit. Perlindungan yang diberikan oleh lembaga BPSK tersebut kepada Konsumen adalah melalui penyelesaian sengketa antara Konsumen/ Debitur dan Pelaku Usaha/ Lessor dan juga melalui pengawasan terhadap setiap perjanjian atau dokumen yang mencantumkan klausula baku yang merugikan Konsumen. Dalam hal ini BPSK telah berfungsi ganda, disatu sisi UU. No. 8 tahun 1999 telah memberikan kewenangan yudikatif untuk menyelesaikan kepentingan umum yaitu sengketa antara Konsumen dan Pelaku Usaha dan disisi lain UU. No. 8 tahun 1999 juga memberikan kewenangan eksekutif kepada BPSK untuk mengawasi pencantuman Klausula Baku dalam setiap perjanjian atau dokumen yang merugikan Konsumen yang telah ditetapkan sepihak oleh Pelaku Usaha.

Kata Kunci:

1. Benda bergerak/ kendaraan 2. Perjanjian Leasing


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara hukum pada prinsipnya mengakui bahwa kehidupan hubungan atau pergaulan antar masyarakat memiliki batasan yang menjamin hak-hak pribadi dan komunal. Dan hal tersebut merupakan justifikasi dari prinsip Rule of Law yang menjadi ciri dari suatu negara hukum. Negara sebagai sesuatu lembaga tertinggi harus memberikan kebebasan dan kemerdekaan. Untuk melakukan segala kegiatan untuk menciptakan perkembangan dan kemajuan, peran serta masyarakat amat dibutuhkan. Dan sebaliknya pada masyarakat sendiri untuk menciptakan kesejahteraan juga membutuhkan peran serta dan bantuan negara dalam hal ini pemerintah sebagai sesuatu lembaga tertinggi yang memiliki hak untuk menciptakan aturan yang tegas dan jelas untuk menciptakan ketertiban dan kemudahan bagi masyarakat yang mengarah kepada pembangunan nasional.

Namun dalam pengembangan pembangunan nasional tidak hanya pemerintah yang aktif berperan tetapi juga peran serta berbagai pihak termasuk pihak swasta dalam pelaksanaan pembangunan. Serta untuk menciptakan pembangunan yang pesat secara langsung ataupun tidak langsung akan menuntut lebih aktif kegiatan dibidang pembiayaan. Pemerintah telah menetapkan kebijakan-kebijakan sebagai upaya dalam menghimpun dana masyarakat.


(15)

Pada hakekatnya perluasan usaha memang membutuhkan pembiayaan dana selain melalui sistem perbankan dan lembaga keuangan non-bank yang tumbuh dan berkembang. Salah satu sistem pembiayaan alternatif non-bank yang dikenal adalah leasing.

Sebagai altenatif dalam teknik pembiayaan, usaha leasing kelihatannya lebih memberikan kemudahan-kemudahan dibandingkan pembiayaan dengan pinjaman dari bank. Hal ini terutama berlaku bagi usaha-usaha yang baru didirikan, yang mana tidak memiliki aset yang dapat dijadikan collateral (jaminan) bagi peminjam yang akan diperoleh dari bank. Pada dasarnya perjanjian

leasing tidak dikenal dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Tapi

mengingat usaha leasing ini sebenarnya tidak lain daripada perjanjian sewa-menyewa berarti tidak terlepas dari buku III KUHPerdata seperti yang disebutkan pada Pasal 1319 KUHPerdata yang berbunyi :1

“Semua persetujuan, baik yang memiliki suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat dalam bab-bab ini dan bab-bab yang lalu”. Banyak orang memandang leasing hanya sebagai suatu perbuatan ekonomis yang merupakan suatu kegiatan pembiayaan perusahaan sedangkan jika dilihat dari Undang-undang yaitu KUHPerdata dengan berpegang pada ketentuan umum perikatan maka leasing adalah merupakan fenomena hukum perjanjian pembiayaan atau pegadaian barang modal yang diperlukan suatu perusahaan.

1


(16)

Dalam perjanjian ini masing-masing pihak dalam mengikatkan diri mengkehendaki adanya kepastian hukum, sehingga para pihak yang terlibat dalam perjanjian leasing ini tentunya tidak ada yang dirugikan. Maka disinilah fungsi dibuatnya perjanjian oleh para pihak dalam bentuk tertulis (kontrak), dan hal ini telah diatur dalam, Pasal 1233 KUHPerdata yang berbunyi, ”Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan baik karena Undang-undang”.2

Minimnya pengaturan yang mengatur masalah leasing ini di Indonesia tentu saja merupakan suatu tantangan bagi para ahli hukum Indonesia untuk menciptakan suatu peraturan yang aspiratif betapa besarnya peran lembaga pembiayaan leasing ini apalagi jika kita kaitkan dengan pengembangan pembangunan nasional.

Leasing merupakan suatu pranata hukum yang “ambivalen”. Di satu pihak

dia mirip sewa-menyewa tetapi di lain pihak leasing mengandung unsur jual beli. Bahkan unsur perjanjian minjam-meminjamnya pun ada. Karena itu beberapa segi realisasi leasing dalam praktek masih terkesan banci dan ragu-ragu.

Diterimanya leasing sebagai suatu alternatif pembiayaan di Indonesia berawal dari adanya sistem terbuka (open system) yang dianut oleh KUHPerdata, seperti yang dituangkan pada Pasal 1338 (1) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya .3

2

Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Artinya hukum memberi kebebasan yang seluas-luasnya kepada pihak-pihak yang bersangkutan untuk mengadakan

3


(17)

perjanjian tentang apa saja, asal tidak bertentangan dengan Undang-undang ketertiban umum dan kesusilaan.

Perjanjian leasing itu sendiri adalah salah satu perjanjian yang telah timbul dalam praktek karena kebutuhan bisnis dikatakan pula bahwa leasing adalah perjanjian sewa-menyewa yang berkembang di kalangan pengusaha.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana kaitan perjanjian leasing sebagai lembaga pembiayaan dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata?

2. Bagaimana langkah yang ditempuh Debitur/konsumen apabila mengalami penarikan paksa benda-benda bergerak oleh Kreditur?

3. Lembaga atau Peradilan manakah yang mempunyai wewenang untuk menyelesaikan sengketa terhadap benda-benda bergerak yang ditarik paksa oleh Lessor/ Kreditur?

4. Bagaimana peran BPSK(Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) terhadap pengaduan Konsumen dan penyelesaian sengketa terhadap benda-benda bergerak yang ditarik paksa oleh Lessor/ Kreditur?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan untuk skripsi ini adalah

a. Untuk mengetahui perjanjian leasing sebagai lembaga pembiayaan dan kaitannya dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata


(18)

b. Untuk mengetahui dan mengatasi sengketa penarikan benda-benda bergerak yang dialami Debitur pada khususnya maupun masyarakat dan Konsumen pada umumnya

c. Agar Konsumen mengetahui lembaga hukum yang telah dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelesaikan sengketa Konsumen terhadap penarikan benda bergerak dan melakukan upaya–upaya hukum melalui jalur Pengadilan (litigasi) sesuai dengan ketentuan hukum di Indonesia.

d. Untuk mengetahui peranan BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) dalam menyelesaikan sengketa antara Konsumen dan

Lessor/ Pelaku Usaha, serta sanksi apa yang diberikan BPSK (Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen) terhadap Lessor/ Pelaku Usaha yang melakukan perbuatan melawan hukum dengan melakukan penarikan paksa terhadap benda-benda bergerak.

2. Manfaat penulisan

Secara umum manfaat penulisan skripsi ini dapat dilihat dari dua sudut yakni secara teoritis dan praktis

Manfaat penelitian ini adalah : 1. Dilihat dari segi teoritis.

a. Penelitian ini berguna untuk menambah wawasan baik itu mahasiswa maupun sebagai referensi dalam mata kuliah Hukum Pembiayaan maupun Hukum Bisnis.


(19)

b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam membuat kontrak-kontrak atau perjanjian leasing yang dibuat oleh para pihak.

2. Dilihat dari segi praktis.

a. Penelitian ini diharapkan bisa memberikan masukan bagi masyarakat khususnya pelaku bisnis baik itu perusahaan leasing, perusahaan asuransi, suplier dan pelaku usaha lain.

b. Penelitian ini dapat dipakai sebagai tambahan referensi bagi mahasiswa maupun pihak lain yang memerlukan informasi mengenai perjanjian leasing khususnya.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini berjudul “ Tinjauan yuridis upaya hukum yang dilakukan debitur terhadap penarikan benda-benda bergerak yang ditarik paksa oleh leasing /kreditur”, yang pada prinsipnya atau pada dasarnya melihat perjanjian leasing sebagai lembaga pembiayaan dan kaitannya dengan KUHPerdata, keuntungan dan kerugian dalam menggunakan perjanjian leasing, penyebab putusnya perjanjian leasing yang disebabkan karena wan prestasi dan

force majeure, dan akibat hukum dari timbulnya perjanjian leasing yang terdiri

dari perjanjian yang dapat dibatalkan serta perjanjian yang batal demi hukum yang diperoleh dari perpustakaan, dari media massa baik cetak maupun elektronika. Selanjutnya dari penelusuran ke perpustakaan umum Universitas


(20)

Sumatera Utara dan perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara belum ada yang menyangkut judul tersebut dalam suatu penulisan skripsi.

E. Tinjauan Kepustakaan

Di dalam pokok pembahasan ini akan dijadikan lebih lanjut mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tinjauan yuridis upaya hukum yang dilakukan kreditur terhadap penarikan benda-benda bergerak yang ditarik paksa oleh leasing/ kreditur dalam perjanjian fidusia.

Pada umumnya masyarakat lebih akrab dan dekat dengan lembaga perbankan, kemudian disusul dengan sekelompok lembaga keuangan bukan bank dan dalam era delapan puluhan dikenal lagi suatu lembaga pembiayaan yang salah satunya adalah leasing. Leasing (equipment funding) secara umum dapat didefinisikan dengan: Pembiayaan peralatan barang modal untuk digunakan pada proses produksi suatu perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Leasing timbul sebagai perjanjian tidak bernama adalah sebagai

konsekuensi dari kebebasan untuk mengikat perjanjian dan adanya open system dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Dalam leasing terdapat pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian leasing atau disebut subjek perjanjian leasing terdiri dari beberapa pihak, yaitu:

1. Lessor

Sebagai perusahaan leasing atau yang dikenal dengan leasing company yaitu pihak yang memiliki hak kepemilikan barang modal.


(21)

2. Lessee

Yaitu perusahaan atau pengguna barang modal yang dapat memiliki hak opsi pada kontrak leasing

3. Suppplier

Penjual barang modal yang menjadi objek leasing. Harga barang modal di bayar tunai oleh lessor kepada supplier untuk kepentingan leasing.

Supplier ini biasanya berstatus produsen barang modal atau penjual biasa.

Dilihat dari segi transaksinya sewa guna usaha atau leasing dibedakan menjadi 2 jenis:

1. Finance lease atau sewa guna usaha dengan opsi.

Dalam bentuk ini pada akhir kontrak leasing mempunyai hak pilih untuk memberi barang modal sesuai dengan nilai sisa yang disepakati atau mengembalikan barang modal kepada lessor atau memperjanjang kontrak sewa-menyewa.

2. Operating lease atau sewa guna tanpa opsi.

Dalam bentuk ini disamakan seperti sewa guna usaha biasa yaitu hanya diberikan hak untuk menggunakan barang modal selama kontrak atau jangka waktu.

Keuntungan dari perjanjian leasing, yaitu:

1. Merupakan bentuk pembiayaan yang fleksibel. 2. Biayanya lebih murah.


(22)

Leasing dikaji dari hukum perdata berdasarkan asas kebebasan berkontrak maka perjanjian leasing seharusnya dirumuskan oleh ke dua belah pihak yang memutuskan lessor dan lesse, tapi dalam praktek ternyata perjanjian

leasing(lease agreement) bentuknya dalam kontrak baku yang

merumuskan adalah lessor.

F. Metode Penulisan

Adapun metode pengumpulan data serta analisa data yang penulis pergunakan dalam penulisan ilmiah untuk skripsi ini adalah:

Bahan atau materi penulisan

1. Library Reserch (Penelitian Kepustakaan).

Dalam metode penelitian kepustakaan ini penulis mengumpulkan data-data berdasarkan sumber-sumber kepustakaan atau bacaan dari buku-buku, pendapat sarjana, Undang-undang serta bahan-bahan yang bersifat teoritis.

2. Field research (Penelitian lapangan)

Melalui penelitian lapangan dan melalui instansi terkait yang berkenaan dengan ketentuan mengenai leasing

Alat pengumpul data

Alat pengumpul data yang dipakai adalah dengan cara:

1. Jalannya penelitian, dimana penulis langsung mengadakan wawancara pihak terkait yang sedang terkait perjanjian leasing


(23)

2. Studi dokumen yakni dengan membaca buku dan berkas perkara baik di perpustakaan umum maupun pribadi dan di instansi pemerintah yang telah menjadi mediator dalam menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan perjanjian leasing

G. Sistematika Penulisan

Secara garis besar skripsi ini dibagi lima (5) bab dan masing-masing bab dibagi dalam beberapa sus bab sesuai dengan kepentingan pembahasan dalam penyusunan penulisan skripsi ini:

Bab I : Pendahuluan

Dalam bab ini terdiri atas latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode pengumpulan data dan sistematika penulisan.

Bab II : Aspek Hukum Mengenai Leasing

Dalam bab ini terdiri atas pengertian leasing dan dasar hukum

leasing, ketentuan-ketentuan mengenai penyelesaian hutang/

tunggakan dalam perjanjian fidusia, dan pengertian debt collector dan ketentuan hukumnya sesuai hukum di Indonesia

Bab III : Tinjauan Umum Tentang Penarikan Benda-benda Bergerak Yang Ditarik Paksa Oleh Leasing/ Lessor

Dalam bab ini terdiri atas jenis-jenis leasing, upaya hukum yang dilakukan debitur terhadap penarikan benda-benda bergerak menurut ketentuan Undang-undang, penarikan paksa termasuk


(24)

ranah hukum Pidana yang tidak terdapat sesuai ketentuan hukum Perdata, dan Peradilan Perdata dan juru sita Pengadilan sebagai aparatur negara yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyitaan terhadap benda-benda bergerak sesuai ketentuan undang-undang.

Bab IV : Tinjauan Hukum Terhadap Hak-hak Kreditur Yang Dilindungi Oleh Undang-undang dan Sanksi Terhadap Penarikan Paksa Oleh Leasing/ Lessor

Dalam bab ini terdiri atas perjanjian leasing sebagai lembaga pembiayaan dan kaitannya dengan KUHPerdata, keuntungan dan kerugian dalam menggunakan perjanjian leasing, hak-hak debitur yang harus dilindungi oleh hukum terhadap penarikan benda-benda bergerak, penarikan paksa oleh debt collector yang tidak sesuai dengan kaedah Undang-undang tentang Jaminan Fidusia UU. No. 42 tahun 1999, penyelesaian sengketa terhadap penarikan benda-benda bergerak yang ditarik paksa oleh lessor yang terdiri atas penyelesaian secara jalur Non-litigasi dan penyelesaian secara jalur Litigasi, pembahasan mengenai tinjauan Yuridis Keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Medan terhadp perkara dengan No: 01/ Pen/ BPSK- Mdn/ 2009

Bab V : Kesimpulan dan Saran


(25)

BAB II

ASPEK HUKUM MENGENAI LEASING

A. Pengertian Leasing dan Dasar Hukum Leasing

Berdasarkan KEPMENKEU No. 1169/ 1991 tentang kegiatan usaha

leasing, yang dimaksud leasing atau sewa guna usaha adalah kegiatan

pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dan hak opsi (finance lease) atau hak guna usaha tanpa opsi ( operating lease) untuk digunakan oleh leasing selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala ( Pasal 1 huruf a KEPMENKEU Nomor 1169 / 1991).4

Berdasarkan pada Pasal 1 surat keputusan bersama Tiga Menteri; Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian No KEP.122/MK/IV/2/1974, No. 32/M/SK/2/1974 dan No. 30/Kpb/1974 tanggal 7 Februari 1974, menyebutkan bahwa leasing itu adalah : “ Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan Hak Plih (opsi) bagi perusahaan tersebut untuk memberi barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama “.

Equipment Leasing Association di London yang merupakan Asosiasi

perusahaan-perusahaan leasing di Inggris memberikan definisi sebagai berikut :

4


(26)

Leasing adalah perjanjian antara lessor dan lessee untuk menyewa suatu jenis barang modal tertentu yang dipilih/ditentukan oleh lessee. Hak kepemilikan atas barang modal tersebut ada pada lessor sedangkan lesse hanya menggunakan barang modal tersebut berdasarkan pembayaran uang sewa yang telah ditentukan dalam suatu jangka waktu tertentu”.5

Didalam perjanjian leasing pada dasarnya ada tiga pihak yaitu Lessor (perusahaan leasing), Lesse (perusahaan/nasabah) dan supplier (penjual

barang).

Selanjutnya didefinisikan oleh Frank Tiara Supit sebagai: “Company financing in the form of providding Capital Goods wish the user making periodical payments. User would have options to buy the Capital Goods or to prolog the leasing period of the remainding value”.

Dapat diartikan bahwa leasing adalah:

“Pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal dengan pembayaran secara berkala oleh perusahaan yang menggunakan barang-barang modal tersebut dan dapat dinilai atau memperpanjang jangka waktu berdasarkan nilai sisa”.6

Selanjutnya menurut keputusan Menteri Keuangan RI Nomor.1169/KMK 01/1991 tentang kegiatan sewa guna usaha (leasing), yang dimaksud dengan

leasing adalah:

5

Herwastoeti, Aspek Yuridis Dalam Perjanjian Leasing dan Akibat Hukumnya Dalam Hal Terjadinya Wanprestasi, Malang: Laporan Penelitian Universitas Muhammadiyah Maklang. Hal 5

6

Amin Widjaja Tunggal & Arif Djohan Tunggal, Aspek Yuridis Leasing, Jakarta : Penerbit PT. Rineka Cipta. Hal 7-8


(27)

“Suatu kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik dengan cara sewa guna usaha dengan Hak Opsi (Finance Lease) maupun sewa guna usaha tanpa Hak Opsi (Operating Lease) untuk dipergunakan Lesse selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembiayaan secara berkala.7

Menurut Financial Accounting Standard Board ( FASB 13) leasing adalah suatu perjanjian penyediaan barang modal yang digunakan untuk jangka waktu tertentu.8

Dasar Hukum Leasing

Seperti yang kita ketahui pengaturan leasing dalam hal ini masih sangat sederhana,dan pelaksanaan sehari-hari didasarkan kepada kebijaksanaan yang tidak bertentangan dengan Surat Keputusan Menteri yang ada.

Surat Keputusan Tiga Menteri Tahun 1974 mengenai leasing. Adalah peraturan pertama yang khusus dikeluarkan untuk itu. Surat Keputusan itu dan lain-lain peraturan yang dikeluarkan belakangan untuk mengatur perihal perjanjian-perjanjian dan kegiatan leasing di Indonesia, terutama bersifat

administratif dan obligatory atau bersifat memaksa. Sumber hukum yang lebih

luas dan mendalam yang melandasi dan mendasari kegiatan leasing dewasa ini di Indonesia antara lain :

7

Munir Fuadi Hukum Tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktek, (Bandung:penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hal 9

8

Y. Sri Susilo, Sigit Triandaru, A. Totok Budi Santoso, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya (Jakarta: Penerbit Salemba empat,1999) hal 129


(28)

1. Umum (General)

a. Asas concordantie hukum berdasarkan pasal II aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945 pasca amandemen atas hukum perdata yang berlaku bagi penduduk eropa

b. Pasal 1338 KUHPerdata mengenai asas kebebasan berkontrak serta asas-asas persetujuan pada umumnya sebagaimana tercantum dalam bab I Buku III KUHPerdata. Pasal ini memberikan kebebasan kepada semua pihak untuk memilih isi pokok perjanjian mereka sepanjang hal ini tidak betentangan dengan Undang-Undang,kepentingan atau kebijaksanaan umum.

c. Pasal 1548 sampai 1580 KUHPerdata(Buku III sampai dengan Buku IV), yang berisikan ketentuan mengenai sewa-menyewa sepanjang tidak ada dilakukan penyimpangan oleh para pihak. Pasal ini membahas hak dan kewajiban lessee.

2. Khusus

a. Surat Keputusan Bersama(SKB) Menteri Keuangan, Menteri

Perindustrian dan Menteri Perdagangan RI No.

KEP.122/MK/IV/2/1974, No.32/M/SK/1974 dan No.30/KPB/1974 tertanggal 7 Pebruari 1974 tentang perizinan usaha leasing.

b. Surat Keputusan (SK) Menteri Keuangan RI

No.KEP/649/MK/IV/5/1974, tertanggal 6 Mei 1974 tentang perizinan usaha leasing


(29)

c. Surat Keputusan (SK) Menteri Keuangan RI No.KEP/649/MK/IV/5/1974, tertanggal 6 Mei 1974 tentang penegasan ketentuan pajak penjualan dan besarnya bea materi terhadap usaha leasing.

d. Surat Edaran Direktorat Jendral Moneter No. PENG-307/DJM/IIL 7/7/1974 tertanggal 8 Juli 1974, tentang:

1. Tata cara perizinan 2. Pembatasan usaha 3. Pembukaan

4. Tingkat suku bunga 5. Perpajakan

6. Pengawasan dan Pembinaan

e. Surat Keputusan Menteri Perdagangan No.34/KP/II/B1980 tertanggal 1 Februari 1980, mengenai lisensi/perizinan untuk kegiatan usaha sewa-beli (hire purchase), jual-beli dengan angsuran atau cicilan dan sewa-menyewa

f. Surat Edaran Dirjen Moneter dalam negeri No.SE.4835/1983 tanggal 31 Agustus 1983 tentang ketentuan perpanjangan izin usaha perusahaan leasing dan perpanjangan penggunaan tenaga warga negara asing pada perusahaan leasing.

g. Surat Edaran Dirjen Moneter dalam negeri No.SE.4835/1983 tanggal 1 September 1983 tentang tata cara dan prosedur pendirian kantor cabang dan kantor perwakilan perusahaan leasing


(30)

h. Surat Keputusan SK Menteri Keuangan RI No.S.742/MK.011/1984 tanggal 12 Juli 1984 mengenai PPh pasal 23 atas usaha financial

leasing.

i. Surat Edaran Direktur Jendral Pajak No.SE.28/PJ.22/1984 tanggal 26 Juli 1984 mengenai PPh pasal 23 atas usaha financial leasing.

j. Keputusan Menteri Keuangan RI No.1169/KMK.01/1991 tentang kegiatan sewa guna usaha

Dengan demikian maka untuk pembuatan perjanjian leasing yang harus mengatur hak kewajiban dan hubungan hukum antara pihak-pihak yang bersangkutan, selain dari peraturan-peraturan dan pedoman -pedoman tersebut diatas, kita harus berpegang pada asas-asas dan ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat dalam Undang-Undang negara kita, dalam hal ini Kitab Undang-Undang Hukum Perdata , yurisprudensi- yurisprudensi yang ada dan atau yang dituruti di Indonesia serta praktek-praktek bisnis yang telah berkembang dan lazim menjadi kebiasaan di negeri ini.

B. Ketentuan Mengenai Penyelesaian Hutang / Tunggakan dalam Perjanjian Fidusia

Dalam pengertian eksekusi menurut pendapat M. Yahya Harahap dalam bukunya “Ruang Lingkup permasalahan Eksekusi Bidang Perdata”, memberikan pengertian sebagai berikut : “Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, merupakan aturan


(31)

dan tata lanjutan dalam proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu eksekusi tiada berkesinambungan dari seluruh proses hukum acara perdata”.

Secara umum eksekusi merupakan pelaksanaan atau keputusan pengadilan atau akta, maka pengambilan pelunasan kewajiban kreditur melalui hasil penjualan benda-benda tertentu milik debitur.

Sedangkan yang dimaksud perjanjian fidusia adalah perjanjian utang piutang kreditur kepada debitur yang melibatkan penjaminan. Jaminan tersebut kedudukannya masih dalam penguasaan pemilik jaminan.

Tetapi untuk menjamin kepastian hukum bagi kreditur maka dibuat akta yang dibuat oleh notaris dan didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Nanti kreditur akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian, memiliki kekuatan hak eksekutorial langsung apabila debitor melakukan pelanggaran perjanjian fidusia kepada kreditur (parate eksekusi), sesuai UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.9

Akta di bawah tangan bukanlah akta otentik yang memiliki nilai pembuktian sempurna. Sebaliknya, akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di depan pejabat yang ditunjuk oleh Undang-Undang dan memiliki kekuatan pembuktian sempurna. Untuk akta yang dilakukan di bawah tangan biasanya harus diotentikkan ulang oleh para pihak jika hendak dijadikan alat bukti sah, misalnya di Pengadilan. Pertanyaannya adalah apakah sah dan memiliki kekuatan bukti hukum suatu akta di bawah tangan. Menurut pendapat penulis, adalah syah

9


(32)

asalkan para pihak mengakui keberadaan dan isi akta tersebut. Dalam prakteknya, di desa-desa atau karena kondisi tertentu menyebabkan hubungan hukum dikuatkan lewat akta di bawah tangan seperti dalam proses jual beli dan utang piutang. Namun, agar akta tersebut kuat, tetap harus dilegalisir para pihak kepada pejabat yang berwenang.

Jaminan fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat jaminan fidusia menimbulkan akibat hukum yang komplek dan beresiko. Kreditur bisa melakukan hak eksekusinya karena dianggap sepihak dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dari kreditur. Bisa juga karena mengingat pembiayaan atas barang objek fidusia biasanya tidak full sesuai dengan nilai barang. Atau, debitur sudah melaksanakan kewajiban sebagian dari perjanjian yang dilakukan, sehingga dapat dikatakan bahwa diatas barang tersebut berdiri hak sebagian milik debitur dan sebagian milik kreditur. Apalagi jika eksekusi tersebut tidak melalui badan penilai harga yang resmi atau badan pelelangan umum. Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sesuai diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan dapat digugat ganti kerugian.10

Lembaga pembiayaan yang tidak mendaftarkan jaminan fidusia sebenarnya dapat merugikan lembaga itu sendiri, karena tidak punya hak eksekutorial yang legal. Problem bisnis yang membutuhkan kecepatan dan

customer service yang prima selalu tidak sejalan dengan logika hukum yang ada.

Mungkin karena kekosongan hukum atau hukum yang tidak selalu secepat

10


(33)

perkembangan zaman. Bayangkan, jaminan fidusia harus dibuat di hadapan notaris sementara lembaga pembiayaan melakukan perjanjian dan transaksi fidusia di lapangan dalam waktu yang relatif cepat.

Saat ini banyak lembaga pembiayaan melakukan eksekusi pada objek barang yang dibebani jaminan fidusia yang tidak didaftarkan. Bisa bernama

remedial, rof coll, atau remove. Selama ini perusahaan pembiayaan merasa

tindakan mereka aman dan lancar saja. Menurut penulis, hal ini terjadi karena masih lemahnya daya tawar nasabah terhadap kreditur sebagai pemilik dana. Ditambah lagi pengetahuan hukum masyarakat yang masih rendah. Kelemahan ini termanfaatkan oleh pelaku bisnis industri keuangan, khususnya sektor lembaga pembiayaan dan bank yang menjalankan praktek jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan.

Dalam proses eksekusi kita mengetahui bahwa asas perjanjian “pacta sun

servanda” yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak yang

bersepakat, akan menjadi undang-undang bagi keduanya (diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata), tetap berlaku dan menjadi asas utama dalam hukum perjanjian.

Tetapi terhadap perjanjian yang memberikan penjaminan fidusia di bawah tangan tidak dapat dilakukan eksekusi. Proses eksekusi harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga turunnya putusan pengadilan. Inilah pilihan yang memenuhi prosedur hukum formil agar dapat menjaga keadilan dan penegakan terhadap hukum materil yang dikandungnya.


(34)

Proses ini hampir pasti memakan waktu panjang, kalau para pihak menggunakan semua upaya hukum yang tersedia. Biaya yang musti dikeluarkan pun tidak sedikit. Tentu saja, ini sebuah pilihan dilematis. Dalih mengejar margin besar juga harus mempertimbangkan rasa keadilan semua pihak. Masyarakat yang umumnya menjadi nasabah juga harus lebih kritis dan teliti dalam melakukan transaksi. Sementara bagi Pemerintah, kepastian, keadilan dan ketertiban hukum adalah penting.

C. Pengertian Debt collector dan Ketentuan Hukumnya Sesuai Hukum di Indonesia

Korporasi paling dominan yang menggunakan jasa debt collector adalah perusahaan leasing. Saat ini sangat mudah untuk membeli benda bergerak, misalnya, mobil dan sepeda motor baik dengan cara kredit maupun secara cash/ tunai. Tetapi pada saat ini semua leasing pasti akan menggiring konsumennya untuk membeli kendaraan secara kredit. Di samping keuntungan akan bertambah, tentu dengan strategi ini leasing tidak akan menemui banyak masalah.

Hukum fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda yang dapat difidusiakan tersebut berdasarkan kepercayaan yang penguasaannya tetap dilakukan oleh si pemilik benda tersebut. Biasanya hal itu terjadi karena pemilik benda tersebut (debitur) membutuhkan sejumlah uang dan sebagai jaminan atas pelunasan utangnya tersebut si debitur menyerahkan secara kepercayaan hak kepemilikannya atas suatu benda bergerak atau benda yang tidak termasuk dalam


(35)

lingkup Undang-undang No 4 tahun 1996 kepada krediturnya, dan hak tersebut juga dapat dialihkan kepada pihak lain.

Pemberian jaminan fidusia ini merupakan perjanjian yang bersifat accesoir dari suatu peminjaman pokok sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 6-huruf B UU No 42 tahun 1999 dan harus dibuat dengan suatu akta notaris yang disebut sebagai akta Jaminan Fidusia.

Secara umum definisi Debt collector adalah pihak ketiga yang menghubungkan antara kreditur dan debitur dalam hal penagihan kredit, Penagihan tersebut hanya dapat dilakukan apabila kualitas tagihan kartu kredit dimaksud telah termasuk dalam kategori kolektibilitas diragukan atau macet berdasarkan kolektibilitas yang digunakan oleh industri kartu kredit di Indonesia. Hal ini tercantum dalam Surat Edaran Bank Indonesia no.7/60/DASP Tahun 2005 Bab IV angka 1 dan 2 yang isinya berbunyi sebagai berikut :

1. Apabila dalam menyelenggarakan kegiatan penyaluran kredit Penerbit dan/atau Financial Acquirer melakukan kerjasama dengan pihak lain di luar Penerbit dan/atau Financial Acquirer tersebut, seperti kerjasama dalam kegiatan marketing, penagihan, dan/atau pengoperasian sistem, Penerbit dan/atau Financial Acquirer tersebut wajib memastikan bahwa tata cara, mekanisme, prosedur, dan kualitas pelaksanaan kegiatan oleh pihak lain tersebut sesuai dengan tata cara, mekanisme, prosedur, dan kualitas apabila kegiatan tersebut dilakukan oleh Penerbit dan/atau Financial Acquirer itu sendiri. Debt collector adalah pihak ketiga yang menghubungkan antara kreditur dan debitur dalam hal penagihan kredit, Penagihan tersebut hanya


(36)

dapat dilakukan apabila kualitas tagihan kartu kredit dimaksud telah termasuk dalam kategori kolektibilitas diragukan atau macet berdasarkan kolektibilitas yang digunakan oleh industri kartu kredit di Indonesia.

2. Dalam hal Penerbit menggunakan jasa pihak lain dalam melakukan penagihan transaksi Kartu Kredit, maka

a. Penagihan oleh pihak lain tersebut hanya dapat dilakukan apabila kualitas tagihan Kartu Kredit dimaksud telah termasuk dalam kategori kolektibilitas diragukan atau macet berdasarkan kriteria kolektibilitas yang digunakan oleh industri Kartu Kredit di Indonesia, dan

b. Penerbit wajib menjamin bahwa penagihan oleh pihak lain tersebut, selain wajib dilakukan dengan memperhatikan ketentuan pada angka 1, juga wajib dilakukan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum.”

Jika penunggak ini tetap tidak mampu melunasi tagihan kartunya, debt

collector yang diperintah oleh bank penerbit kartu kredit akan mengambil

sejumlah barang baik bergerak maupun tidak bergerak sebagai jaminan. Jika penunggak telah melunasinya, maka jaminan itu akan dikembalikan. Jika tidak, tentu saja barang itu lenyap nilai barang yang diambil setara dengan jumlah tunggakan.

1. Mengarah ke Pidana

Perilaku debt collector saat ini masih menjadi masalah serius yang belum ada penanganannya. Di satu sisi konsumen merasa terganggu dengan ulah penagih utang tersebut. Di sisi lain debt collector sebagai utusan bank dan


(37)

lembaga-lembaga pembiayaan bertanggung jawab atas tunggakan-tunggakan hutang yang bisa merugikan bank dan lembaga-lembaga pembiayaan lain.

Masalahnya, belum ada batasan dan aturan yang jelas tentang tata cara penagihan oleh seorang debt collector . Saat ini yang ada hanya sebatas pada aturan bank dan lembaga-lembaga pembiayaan masing-masing.

Yang terjadi di lapangan, debt collector melakukan hal-hal di luar kesepakatan antara bank dan agen. Perlakuan debt collector sudah pada tahap yang memperihatinkan. Beberapa tindakan debt collector bahkan sudah mengarah pada tindakan pidana. Misalnya, membuat onar, meneror baik secara langsung maupun telepon, bahkan sampai mengancam akan membunuh si nasabah. Secara hukum, cara penagihan oleh debt collector yang disertai dengan ancaman, cacian, serta teror tidak dapat dibenarkan. Hal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya Pasal 4E, yang menyebutkan bahwa: "konsumen berhak mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut".

Ancaman, cacian, serta teror bukan merupakan upaya penyelesaian sengketa yang patut. Yang lebih ironis, ketika konsumen meminta penyelesaian langsung lewat manajemen bank dan lembaga-lembaga pembiayaan yang bersangkutan, justru ditolak dengan alasan persoalan tersebut telah dilimpahkan kepada pihak ketiga, yang dalam hal ini adalah debt collector.11

11


(38)

2. Penyelesaian secara patut

Filosofi yang menyatakan bahwa "utang akan dibawa mati" tetap berlaku dalam penyelesaian kredit macet, yang berarti tanggung jawab debitur untuk menyelesaikan pembayaran tunggakan harus tetap dipenuhi.

Penyelesaian kredit macet seharusnya lebih terfokus pada pihak bank dan lembaga pembiayaan seperti leasing beserta konsumen yang bersangkutan secara langsung karena pada waktu aplikasi kedua pihak tersebut yang bertindak sebagai subyek hukum.

Terkait dengan hal tersebut, Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 12

Bentuk penyelesaian yang dapat ditawarkan misalnya penjadwalan ulang pembayaran sesuai dengan batas kemampuan bank dan konsumen. Selama proses pembayaran, hendaknya praktek bunga berbunga dihentikan. Sebab, kalau bunga dipaksakan tetap berlaku, beban konsumen justru semakin berat dan kemampuan membayar pun semakin rendah, sehingga pokok permasalahan tidak akan terjawab.

tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah menyatakan bahwa bank berkewajiban menetapkan kebijakan dan memiliki prosedur tertulis mengenai penerimaan pengaduan, penanganan dan penyelesaian pengaduan, serta pemantauan penyelesaian pengaduan. Bank juga berkewajiban melaporkan penanganan dan penyelesaian pengaduan secara triwulan kepada Bank Indonesia.

Apabila penyelesaian secara mufakat di antara kedua belah pihak tidak tercapai, perlu dipikirkan gagasan tentang perlu adanya lembaga atau biro

12


(39)

penyelesaian sengketa perbankan. Lembaga ini dimaksudkan sebagai alternatif penyelesaian sengketa perbankan di luar pengadilan yang punya keputusan mengikat, mengingat penyelesaian lewat pengadilan sering terasa tidak efektif. Selain itu, dari sisi konsumen, terkadang konsumen merasa tidak berdaya ketika harus menghadapi ancaman dari debt collector dan tak jarang pula berakibat pula kepada kematian seperti kasus kematian Irjen Okta di Jakarta baru-baru ini.

Bank Indonesia selaku regulator tentunya punya kendali yang cukup untuk merealisasi gagasan tentang pembentukan biro penyelesaian sengketa perbankan tersebut. Dari sisi upaya preventif, amanat Pasal 16 Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/30/PBI/2005, yang mengatur soal kewajiban penerapan manajemen risiko kredit yang mencakup beberapa hal yang wajib diterapkan sebelum persetujuan aplikasi kartu kredit, seharusnya dilakukan secara konsisten oleh bank penyelenggara. Harapan yang muncul adalah agar persetujuan permohonan aplikasi tidak mudah terjual.13

Peraturan dari Bank Indonesia ini diharapkan juga dapat diberlakukan secara konsisten kepada lembaga-lembaga pembiayaan lain, dalam hal ini juga termasuk tidak mudah mengeluarkan perjanjian leasing tanpa melakukan peninjauan (survey) yang mendalam terhadap calon debitur.

13


(40)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG PENARIKAN BENDA-BENDA BERGERAK YANG DITARIK PAKSA OLEH LEASING/KREDITUR

A. Jenis- Jenis Leasing

Pada prinsipnya ada 2 macam prototipe leasing, yaitu leasing yang berbentuk operating dan leasing yang berbentuk financial. Namun demikian terdapat juga berbagai bentuk lainnya yang lebih merupakan derivasi dari kedua bentuk pokok tersebut. Untuk itu akan ditinjau satu persatu.

1. Operating lease

Operating lease disebut juga service lease. Operating lease ini biasanya

merupakan suatu corak leasing dengan karakteristik sebagai berikut :

a. Jangka waktu berlakunya leasing relatif singkat, dan lebih singkat dari usia ekonomis dari barang tersebut.

b. Besarnya harga sewa lebih kecil ketimbang harga barang ditambah keuntungan yang diharapkan lessor

c. Tidak diberikan “hak opsi” bagi lessee untuk membeli barang di akhir masa leasing

d. Biasanya operating lease dikhususkan untuk barang-barang yang mudah terjual setelah pemakaian (yang laku di pasar barang bekas)

e. Operating lease biasanya diberikan oleh pabrik atau leveransir, karena


(41)

tersebut. Sebab, dalam operating lease, jasa pemeliharaan merupakan tanggung jawab lessor.

f. Biasanya harga sewa setiap bulannya dibayar dengan jumlah yang tetap. g. Biasanya lessor lah yang menanggung biaya pemeliharaan, kerusakan,

pajak dan asuransi

h. Biasanya kontrak leasing dapat dibatalkan sepihak oleh lessee, dengan mengembalikan barang yang bersangkutan kepada lessor.

2. Financial Lease

Financial lease ini sering disebut juga dengan capital lease atau full-payout.

Financial Lease merupakan suatu corak leasing yang lebih sering diterapkan

dengan ciri sebagai berikut:

a. Jangka waktu berlakunya leasing relatif panjang

b. Besarnya harga sewa plus hak opsi harus menutupi harga barang plus keuntungan yang diharapkan oleh lessor

c. Diberikan hak opsi untuk lessee untuk membeli barang di akhir masa leasing

d. Financial lease dapat diberikan oleh perusahaan pembiayaan

e. Harga sewa yang dibayar per bulan oleh lessee dapat dengan jumlahnya yang tetap, maupun dengan cara berubah-ubah sesuai dengan suku bunga pinjaman

f. Biasanya lessee yang menanggung biaya pemeliharaan, kerusakan, pajak dan asuransi


(42)

Seperti telah disebutkan bahwa selain kedua bentuk utama leasing tersebut di atas, masih terdapat bentuk-bentuk variasi lainnya dari leasing, antara lain sebagai berikut:

1. Sales and Lease Back

Sales and lease back merupakan suatu jenis pembiayaan dengan mana

barang sebenarnya berasal dari lease, kemudian dibeli oleh lessor. Selanjutnya, barang tersebut oleh lessee disewanya kembali dari lessor untuk suatu periode tertentu. Biasanya bentuk sale and lease back ini mengambil bentuk financial lease, oleh karena lessor dari semula memang tidak berkeinginan memiliki barang tersebut, sehingga, bentuk sale and lease back ini mirip dengan hutang untuk suatu keperluan tertentu dengan bayaran cicilan di mana barang tersebut dipergunakan sebagai jaminan hutang.

2. Direct lease

Direct lease merupakan leasing di mana barangnya tidak dibeli

terlebih dahulu oleh lessor dari lessee seperti pada sale and lease back, tetapi lessor membeli suatu barang dari pihak ketiga, yakni pihak

supplier, untuk kemudian barang tersebut dileasingkan kepada pihak

lessee. Jadi dalam hal ini, pihak lessee sebenarnya membutuhkan

barang modal untuk usahanya atau untuk keperluannya, tetapi memerlukan bantuan biaya dari pihak lessor untuk pengadaan barang tersebut.


(43)

3. Leveraged Lease

Leveraged lease merupakan suatu jenis financial leasing yang mana

pihak yang memberikan pembiayaan di samping lessor juga pihak ketiga. Biasanya leveraged lease ini dilakukan terhadap barang-barang yang mempunyai nilai tinggi, di mana pihak lessor hanya membiayai antara 20% sampai 40% dari pembelian barang, sedangkan selebihnya akan dibiayai oleh pihak ketiga, yang merupakan hasil pinjaman lessor dari pihak ketiga tersebut dengan memakai kontrak leasing yang bersangkutan sebagai jaminan hutangnya. Pihak ketiga ini sering disebut dengan Credit Provider atau Debt Participant, biasanya dalam

Leveraged Lease ini terdapat juga seorang yang disebut lesse, dan

mengatur hubungan dan negosiasi antara lessor dan debt participant. 4. Cross Border Lease

Cross Border Lease merupakan leasing dengan mana pihak lessor dan

pihak lessee berada dalam dua negara yang berbeda. 5. Net Lease

Net Lease merupakan bentuk financial leasing dimana lessee yang

menanggung resiko dan bertanggung jawab atas pemeliharaan barang dan membayar pajak dan asuransinya.

6. Net-net Lease

Net-net Lease merupakan financial leasing dimana lessee tidak hanya

menaggung resiko dan hanya bertanggung jawab atas pemeliharaan barang dan membayar pajak saja, bahkan lessee juga harus


(44)

mengembalikan barang kepada lessor dalam kondisi dan nilai seperti pada saat mulainya perjanjian leasing. Sering juga dipakai istilah

Non-Maintenance baik untuk Net Lease maupun Net-net Lease.

7. Full Service Lease

Full Service Lease disebut juga dengan Rental Lease atau Gross Lease.

Yang dimaksudkan adalah leasing dengan mana pihak lessor bertanggung jawab atas pemeliharaan barang membayar asuransi dan pajak.

8. Big Ticket Lease

Ini merupakan bentuk leasing untuk barang-barang mahal, misalnya pesawat terbang, dan dengan jangka waktu leasing yang relatif lama. Misalnya sampai 10 ( sepuluh ) tahun.

9. Captive Leasing

Yang dimaksud dengan Captive Leasing adalah leasing yang ditawarkan oleh lessor kepada langganan tertentu yang terlebih dahulu ada hubungan dengan lessor. Dalam hal ini, biasanya yang menjadi barang objek leasing adalah barang yang merupakan merek dari lessor sendiri.

10.Third Party Leasing

Third Party Leasing merupakan kebalikan dari captive leasing. Dalam

hal third party leasing ini pihak lessor bebas menawarkan leasing

kepada siapa saja. Jadi, lessor tidak harus mempunyai hubungan terlebih dahulu dengan lessee.


(45)

11.Wrap Lease

Wrap Lease merupakan jenis leasing yang biasanya pihak lessor tidak

mau mengambil resiko. Sehingga jangka waktunya lebih singkat dari biasanya. Tetapi tentunya ini akan memberatkan lessee karena dia harus membayar cicilan yang besar. Karena itu, pihak lessor biasanya

meleasingkan kembali barang tersebut kepada investor yang

menanggung resiko, sehingga jangka waktu leasing bagi lessee akan menjadi lebih panjang, sehingga cicilannya menjadi relatif kecil. Wrap

Lease ini belum lazim di Indonesia, dan seringkali bentuk leasing

seperti ini dipraktekkan terhadap leasing komputer.

12.Straight Payble Lease, Seasonal Lease dan Return on Investment

Lease

Pembagian kepada tiga jenis leasing ini adalah jika dipergunakan kriteria “cara pembayaran” terhadap cicilan harga barang oleh lessee kepada lessor.

Yang dimaksud dengan straight payble lease adalah leasing yang cicilannya dibayar oleh lessee kepada pihak lessor tiap bulannya dan dengan jumlah cicilan yang selalu sama. Sementara itu, yang dimaksud dengan seasonal lease adalah leasing yang metode pembayaran cicilannya oleh lessee kepada lessor dilakukan setiap periode tertentu. Misalnya dibayar tiap tiga bulan sekali.

Sedangkan yang dimaksud dengan return on investment lease adalah suatu jenis leasing di mana pembayaran cicilan oleh lessee kepada


(46)

lessor hanya terhadap angsuran bunganya saja. Sementara hutang pokoknya baru dibayar setiap akhir tahun dari keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan lessee. 14

B. Upaya Hukum yang dilakukan Debitur Terhadap Penarikan Benda-Benda Bergerak Menurut Ketentuan Undang-undang.

Untuk memperjuangkan hak-haknya dan memperoleh kepastian hukum di dalam permasalahan penarikan paksa yang dialami oleh debitur, debitur dapat melakukan upaya-upaya hukum yaitu:

1. Melakukan gugatan ke Pengadilan Umum Perdata

Berbicara mengenai praktek peradilan perdata di Indonesia tentu tidak bisa dilepaskan dari aturan-aturan normatif yang mengaturnya. Hal ini penting agar semua pihak yang terlibat didalam suatu sistem peradilan dapat memperoleh panduan untuk menjalankan proses persidangan yang dihadapi. Di Indonesia, mekanisme tentang praktek peradilan perdata terdapat pada hukum acara perdata yang berfungsi untuk menegakkan hukum material.

Hukum material di Indonesia, baik yang termuat dalam suatu bentuk perundang-undangan maupun yang tidak tertulis, merupakan pedoman atau pegangan bagi seluruh warga masyarakat dalam segala tingkah lakunya di dalam pergaulan hidup. Semua ketentuan-ketentuan tersebut tidaklah cukup hanya dibaca, dilihat, atau diketahui saja, dalam hal ini diperlukan sekali suatu bentuk

14

Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktek, (Bandung:penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hal 16-21.


(47)

perundang-undangan yang akan mengatur dan menetapkan tentang cara bagaimana melaksanakan hukum materil.

Menurut Prof. DR. Sudikno Mertukusumo, SH , “ Hukum acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya peraturan hukum perdata materil dengan perantaraan hakim.15

Menurut Prof. DR. Wirjono Prodjodikoro, SH, “ Hukum acara perdata merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan bagaimana cara pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.”

Jadi dapat disimpulkan bahwa Hukum Acara Perdata meliputi ketentuan tentang cara bagaimana harus menyelesaikan masalah dan mendapat keadilan dari hakim apabila kepentingan atau haknya dilanggar oleh orang lain dan sebaliknya bagaimana cara mempertahankan kebenarannya apabila ia dituntut oleh orang lain.16

Sumber-sumber Hukum Acara Perdata yang dapat digunakan di Indonesia adalah sebagai berikut:

a. Undang-undang Dasar tahun 1945 b. HIR dan Rbg

c. KUH Perdata(BW) d. RV

15

Dikutip dari Krisna Harahap, Hukum Acara Perdata: Class Action, Arbritase & Alternatif serta Mediasi, cet. 5, (Bandung: PT Grafitri Budi Utami,2007), hal. 1

16

R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan, cet. 6,(Jakarta:Sinar Grafika, 2004), hal. 3


(48)

e. UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman f. UU No. 8/ 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Undang-undang ini yang menjadi dasar hukum para pihak (Konsumen atau Kreditur) mengajukan gugatan ke muka Pengadilan Umum

g. UU No. 30 Thun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Pada asasnya setiap orang boleh berperkara di depan Pengadilan kecuali orang yang belum dewasa atau orang yang sakit ingatan. Bagi orang yang belum dewasa, harus diwakili oleh orang tua atau wakilnya, dan bagi yang sakit ingatan diwakili oleh pengampunya. Suatu badan hukum juga boleh menjadi pihak dalam suatu perkara, dan yang bertindak untuk dan atas nama badan usaha tersebut adalah Direkturnya.

Di dalam suatu sengketa perdata sekurang-kurangnya terdapat 2 (Dua) pihak, yaitu pihak Penggugat yang mengajukan gugatan yang dalam kasus sengketa Konsumen dapat berupa Konsumen yang dirugikan tersebut maupun pihak Kreditur dan pihak Tergugat (bisa Konsumen atau Kreditur). Dan biasanya orang yang langsung berkepentingan sendiri yang aktif bertindak sebagai pihak di Pengadilan, baik sebagai Tergugat maupun Penggugat. Penggugat yaitu orang yang merasa bahwa haknya telah dilanggar, sedangkan Tergugat yaitu orang yang ditarik ke muka Pengadilan karena dia dianggap atau dirasa melanggar hak seseorang atau pihak lain.

Diatas dikatakan bahwa biasanya orang yang mempunyai kepentingan sendirilah yang langsung menghadap di muka sidang Pengadilan. Keadaan


(49)

demikian bukanlah merupakan suatu keharusan karena bisa saja orang atau para pihak (Konsumen atau Kreditur) yang berperkara dalam masalah sengketa Konsumen mewakilkan pada orang lain atas namanya menghadap di muka sidang Pengadilan. Seorang wakil yang mewakili salah satu pihak yang berperkara harus merupakan wakil yang sah, jadi wakil tersebut harus mempunyai surat kuasa yang menyebutkan nama perkara, pengadilan mana, perihal apa dan untuk apa surat kuasa tersebut diberikan.17

Didalam masalah gugatan ini, kita perlu terlebih dahulu mengetahui perbedaan antara gugatan dan permohonan. Adapun perbedaan diantara keduanya yaitu bahwa dalam perkara gugatan ada suatu sengketa yang harus diselesaikan oleh Pengadilan yang diakhiri dengan sebuah putusan, sedangkan dalam perkara yang disebut permohonan, disini tidak ada sengketa dan diakhiri dengan sebuah penetapan Hakim.

Dalam cara mengajukan gugatan harus diperhatikan benar-benar oleh penggugat, bahwa gugatannya harus diajukan kepada Pengadilan yang benar-benar berwenang untuk mengadili perkara atau persoalan yang bersangkutan.

Dalam Hukum Acara Perdata dikenal adanya 2 macam kewenangan mengadili, yaitu:

a. Kewenangan Mutlak

Kewenangan badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh pengadilan lain, baik dalam lingkungan peradilan yang sama (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi)

17


(50)

maupun dalam lingkungan peradilan yang lain (Pengadilan Negeri dengan Pengadilan Agama).Dengan demikian wewenang yang mutlak ini menjawab pertanyaan badan peradilan apa yang berwenang untuk mengadili sengketa yang bersangkutan. Kalau suatu perkara diajukan kepada Hakim yang secara mutlak tidak berwenang memeriksa perkara tersebut, maka hakim harus menyatakan dirinya tidak berwenang secara ex efficio untuk memeriksanya, dan tidak bergantung pada ada tidaknya eksepsi dari tergugat tentang ketidakwenangan itu. Setiap saat selama persidangan berlangsung dapat diajukan tangkisan bahwa hakim tidak berwenang memeriksa perkara tersebut.

b. Kewenangan Relatif

Kewenangan yang mengatur tentang pembagian kekuasaan mengadili antar Pengadilan yang serupa atau sejenis (Misalnya Pengadilan Negeri Medan dengan Pengadilan Negeri Kisaran). Dengan demikian wewenang relatif ini akan menjawab pertanyaan Pengadilan yang berada dimana yang berwenang untuk mengadili perkara yang bersangkutan.

Jadi dalam hal ini akan berkaitan dengan wilayah hukum suatu Pengadilan. Kalau seseorang digugat di muka hakim yang tidak berwenang secara relatif memeriksa perkara tersebut, maka hakim hanya dapat menyatakan dirinya tidak berwenang secara relatif memeriksa perkara tersebut apabila tergugat mengajukan eksepsi(tangkisan) bahwa hakim tidak berwenang memeriksa perkara tersebut, dan tangkisan tersebut diajukan pada sidang pertama atau setidak-tidaknya belum mengajukan tangkisan lain.


(51)

2. Mengadukan ke BPSK

Ketentuan mengenai pengaduan Debitur ke BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) dalam hal ini yang juga merupakan Konsumen diatur dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Mengenai pangaduan ke BPSK ini mekanisme proses upaya hukum untuk mencari keadilan didalam BPSK adalah:

Pertama, Konsumen yang membuat pengaduan tentang perbuatan melawan hukum yang dialaminya dan kerugian yang dideritanya secara tertulis ke Kantor BPSK

Kedua, Pelaku Usaha (Kreditur) memberikan jawaban terhadap pengaduan Konsumen secara tertulis kepada BPSK.

Jawaban yang merupakan bantahan terhadap pengaduan Konsumen diusahakan harus berisikan keterangan-keterangan yang berisikan fakta-fakta hukum terhadap perbuatan melawan hukum yang dituduhkan Konsumen kepada Kreditur.

Ketiga, BPSK akan memanggil kedua belah pihak ( Konsumen dan Pelaku Usaha) untuk melakukan Negoisasi yang merupakan tahap Penyelesaian Sengketa Alternatif (PSA) yang dianut oleh sistem hukum di Indonesia untuk menyelesaikan suatu permasalahan atau sengketa.

Berdasarkan ketentuan Hukum Acara di BPSK proses Negoisasi dilakukan sebelum kedua belah pihak bersidang pada saat pertemuan pertama.

BPSK dalam hal ini diwakilkan oleh Hakim-hakim BPSK bertindak sebagai negoisiator yang menjadi penengah bagi Konsumen dan Kreditur untuk


(52)

mencari kesepakatan bersama dan melakukan perdamaian untuk menyelesaikan masalah diantara kedua belah pihak.

Keempat, apabila proses Negoisasi tidak menemukan kesepakatan maka kedua belah pihak yang bersengketa diminta untuk memilih menyelesaikan persoalan tersebut melalui jalur Mediasi (Non-Litigasi) atau melalui jalur Arbitrase .

Jika kedua belah pihak memilih menyelesaikan sengketa mereka melalui jalur Mediasi maka Hakim-hakim BPSK bertindak sebagai Mediator dalam persoalan tersebut dan akan memediasi kedua belah pihak untuk mendapatkan

win-win solution” yang berarti keputusan yang diambil merupakan kesepakatan

bersama yang paling menguntungkan bagi kedua belah pihak tanpa ada istilah

win or lose ( kalah atau menang )” seperti dalam penyelesaian sengketa melalui

jalur Litigasi (Pengadilan).

Keputusan yang didapat dari Mediasi sifatnya adalah sepakat untuk sepakat, yang mana artinya kedua belah pihak sepakat untuk mengambil keputusan bersama dan kedua belah pihak tersebut juga sepakat untuk melaksanakan keputusan yang telah mereka sepakati tersebut.

Sementara bila kedua belah pihak memilih menyelesaikan kasusnya menempuh jalur Arbitrase maka kedua belah pihak akan mengikuti proses beracara dalam BPSK yang merupakan ketentuan acara di dalam Pengadilan Khusus (diatur dalam Undang-undang No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional).18

18


(53)

Kelima, apabila kedua belah pihak memilih menempuh jalur Arbitrase maka proses selanjutnya sesuai Hukum Acara di BPSK adalah proses pembuktian. Berdasarkan ketentuan Arbitrase BPSK maka beban pembuktian dibebankan kepada Krditur (Pelaku Usaha) sesuai ketentuan Pasal 22 dan 23 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Mengenai pembuktian yang mana di dalamnya terdapat proses pengajuan bukti-bukti yang dibebankan kepada Kreditur atau Pelaku Usaha maka tidak menutup kesempatan kepada Konsumen untuk mengajukan bukti-bukti untuk mendukung pengaduannya yang dilampirkan bersama dengan Pengaduan yang dibuat secara tertulis pada saat proses Pengaduan pertama sekali.

Keenam, putusan. Putusan akan diambil oleh Hakim-hakum BPSK setelah memeriksa berkas perkara dan memperhatikan proses pembuktian demikian juga dengan alat bukti yang diajukan kedua belah pihak. Berdasarkan amanat Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Hakim BPSK diperintahkan untuk mengambil Keputusan yang seadil-adilnya dan memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang bersengketa.

Pada penyelesaian sengketa secara litigasi melalui Arbitrase dalam BPSK penyelesaiannya sampai ke tahap putusan yang dikeluarkan oleh Hakim dari waktu Pengaduan pertama kali didaftarkan ke BPSK oleh Konsumen selambat-lambatnya diselesaikan dala waktu 21 (dua puluh satu) hari. Keputusan yang dikeluarkan BPSK sifatnya adalah final dan mengikat, artinya keputusan BPSK merupakan keputusan yang pertama dan terakhir dalam penyelesaian sengketa konsumen dan harus dipatuhi oleh kedua belah pihak yang bersengeta.


(54)

Ketujuh, Upaya hukum berikutnya yang dapat dilakukan oleh pihak (Konsumen atau Kreditur) yang tidak puas dengan Keputusan BPSK adalah

keberatan. Tenggang waktu pengajuan keberatan yang dilakukan para pihak (Konsumen atau Kreditur) ke Pengadilan Negeri (PN) adalah 14 (empat belas) hari setelah Keputusan BPSK dikeluarkan.

Alasan-alasan pengajuan keberatan terhadap keputusan BPSK terbatas pada hal-hal tertentu yang diatur dalam Undang-undang yaitu di dalam Pasal 70 Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang Penyelesaian sengketa Alternatif19

“Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

, yang berbunyi :

a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;

b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan ; atau

c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa”.

Putusan terhadap keberatan yang diajukan ke Pengadilan Negri paling lama harus dikeluarkan 21 (dua puluh satu) hari dari waktu pengajuan Keberatan didaftarkan ke Pengadilan Negeri.

19


(55)

Kedelapan, apabila para pihak (Konsumen atau Debitur) masih merasa tidak mendapatkan keadilan sesuai dengan apa yang diinginkan maka para pihak yang terkait (Konsumen atau Debitur) dapat mengajukan keberatan di tingkat berikutnya yaitu di Mahkamah Agung.

Jangka waktu pengajuan keberatan yang dilakukan para pihak (Konsumen atau Debitur) terhadap keputusan yang dikeluarkan di tingkat Pengadilan Negri adalah 14 (empat belas) hari setelah dikeluarkanmya Putusan tersebut.

Selanjutnya keberatan yang diajukan ke Mahkamah Agung harus diberikan Putusan paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh Mahkamah Agung.

Jangka waktu yang tegas dan mempunyai batasan yang diatur jelas untuk Penyelesaian sengketa Konsumen di dalam BPSK merupakan salah satu keunggulan Penyelesaian sengketa Konsumen melalui BPSK dibandingkan bila Konsumen menempuh penyelesaian sengketa melalaui jalur Pengadilan Umum. Kelebihan Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui BPSK dibanding Pengadilan Umum.

1. Biaya lebih murah

Penyelesaian Sengeketa melalui BPSK dikenakan biaya sebesar Rp. O, artinya Penyelesaian Sengketa melalui BPSK tidak dipungut dan tidak dikenakan biaya sama sekali.20

Fakta ini sangat berbeda bila Konsumen yang mengalami permasalahan dalam bidang Perdata memilih untuk menyelesaikan masalahnya melalui jalur Pengadilan Umum, para pihak (Konsumen atau Kreditur) akan dikenakan

20

H.M. Dharma Bakti Nasution,Sengketa Konsumen Yang Dapat Diselesaikan di BPSK Kota Medan, Makalah BPSK Kota Medan, 2011


(56)

biaya perkara dan bagi para pihak yang kalah akan diberikan sanksi untuk membayar biaya perkara, sementara Keputusan yang dikeluarkan BPSK tidak ada Keputusan yang berbunyi bagi para pihak yang kalah untuk membayar biaya perkara.

2. Penyelesaian Sengketa melalui BPSK waktunya lebih singkat dan cepat. Penyelesaian sengketa melalui BPSK mempunyai batasan waktu yang diatur jelas yaitu penyelesaian sengketa melalui jalur Arbitrase (apabila para pihak tidak menemukan kesepakatan) di BPSK paling lama harus diputuskan dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari, keberatan yang diajukan para pihak (Konsumen atau Kreditur) ke Pengadilan Negeri terhadap keputusan yang dikeluarkan BPSK paling lama harus diberikan Keputusan dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari dengan ketentuan pengajuan Keberatan ke Pengadilan Negeri paling lama diajukan dalam kurun waktu tidak boleh lewat dari 14 (empat belas) hari setelah Keputusan dikeluarkan BPSK, selanjutnya apabila para pihak (Konsumen atau Kreditur) ada yang tidak puas terhadap Keputusan di tingkat Pengadilan Negeri maka para pihak (Konsumen atau Kreditur) dapat mengajukan keberatan berikutnya ke Mahkamah Agung dengan ketentuan pengajuan keberatan tidak boleh dilakukan lewat dari 14 (empat belas) hari setelah Pengadilan Negeri mengeluarkan Keputusan. Keputusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung paling lama harus dikeluarkan 30 (tiga puluh) hari setelah pengajuan keberatan di Mahkamah Agung didaftarkan. Dari mekanisme pengajuan keberatan yang diuraikan diatas maka diketahui bahwa proses penyelesaian sengketa Konsumen melalui BPSK sampai upaya


(57)

hukum terakhir (keberatan) yang dapat ditempuh terhadap Keputusan BPSK terakhir (di tingkat Mahkamah Agung) adalah 100 (seratus) hari.

Kenyataan ini jelas merupakan waktu yang relatif singkat dan cepat dibandingkan bila Konsumen memilih menyelesaikan masalahnya melalui Pengadilan Umum yang bisa memakan waktu bertahun-tahun tanpa ada ketentuan yang jelas mengatur tentang jangka waktunya.

3. Kepastian Hukum yang dikeluarkan BPSK final dan mengikat serta tidak memerlukan proses yang berlarut-larut.

Keputusan hukum yang dikeluarkan oleh BPSK bersifat “final and binding” yang artinya keputusan BPSK bersifat final dan mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sementara kepastian hukum yang didapatkan apabila Konsumen memilih menyelesaikan sengketa melalui Pengadilan Umum harus diperoleh setelah melalui proses pengambilan Keputusan yang dapat berlangsung tidak hanya di tingkat Pengadilan Negeri tetapi hingga di tingkat Pengadilan Tinggi (banding), Mahkamah Agung (kasasi) bahkan sampai upaya hukum terakhir yaitu PK (Peninjauan Kembali) di tingkat Pengadilan Tinggi.

4. Hukum acara yang digunakan di BPSK bersifat semi formal.

BPSK sebagai lembaga penyelesaian sengketa Konsumen tidak hanya mengedepankan penyelesaian sengketa melalui cara Arbitrase, tetapi Hakim BPSK saat memanggil para pihak (Konsumen dan Kreditur) yang bersengketa untuk bertemu terlebih dahulu menyarankan para pihak untuk melakukan proses negoisasi untuk mencari sepakat dan mufakat terhadap sengketa yang


(1)

Pembina dan Pengawas sebagaimana yang diamantkan dalam Pasal 29 dan 30 UUPK, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelengaraan Perlindungan Konsumen, selanjutnya berdasarkan SK Menteri Perdagangan No. 01/M-Dag/Per/3/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Perdagangan bahwa pembinaan berada pada Direktorat Perlindungan Konsumen, sebagai penyusun kebijakan di bidang Perlindungan Konsumen sedangkan tugas Pengawasan yang melakukan Pengawasan atas barang dan jasa yang beredar di pasar dilaksanakan oleh Direktorat Pengawasan Barang dan Jasa.

B. Saran

Berikut di akhir penulisan skripsi ini penulis ingin menyarankan kepada masyarakat yang melakukan perjanjian leasing dan kepada pemerintah sebagai aparatur negara bahwa:

1. Pentingnya kesadaran masyarakat untuk memahami isi dan bentuk kontrak baku, Perjanjian Leasing dalam hal ini sebagai perjanjian yang sering menimbulkan sengketa di kemudian hari, ada baiknya masyarakat membaca secara teliti isi perjanjian sebelum melakukan Perjanjian Leasing dengan leasing/ lessor, selain itu masyarakat sebaiknya memastikan kepada Kreditur tentang dimana dan kapan sertifikat jaminan fidusia selesai dibuat untuk menjamin kepastian hukum bila terjadi sengketa di kemudian hari.

2. Peradilan perdata, aparatur negara, dan lembaga-lembaga negara yang berwenang menangani tentang sengketa Konsumen dimintakan untuk lebih


(2)

aktif memberikan penyuluhan hukum maupun pendidikan hukum lewat media cetak, elektronik maupun seminar-seminar ilmiah agar masyarakat dapat memahami tentang Perjanjian Leasing sehingga dapat melakukan upaya-upaya hukum bila mengalami permasalahan dalam Perjanjian Leasing.

3. Peradilan perdata, aparatur negara, dan lembaga-lembaga negara yang berwenang menangani tentang sengketa Konsumen diminta untuk secara cepat dan langsung menangani pengaduan di bidang sengketa Konsumen sehingga dapat memberikan pemenuhan rasa keadilan bagi para pihak yang mencari keadilan.(efisiensi waktu)

4. BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) sebagai lembaga Negara resmi yang mempunyai otoritas untuk menyelesaikan sengketa-sengketa Konsumen yang berada di bawah naungan Pemerintah Daerah diharapkan lebih aktif untuk melakukan tindakan preventif (pencegahan) melaui program kerja dan penyuluhan-penyuluhan ataupun melalui jalur negoisasi, mediasi, dan arbitrase terhadap pengaduan-pengaduan masyarakat yang mengalami sengketa Konsumen.

5. Peran dan fungsi Juru Sita Pengadilan yang harus diaktifkan sebagai aparatur negara resmi yang berwenang untuk melakukan Penyiitaan terhadap kasus-kasus di areal hukum Perdata.

6. Pembentukan peraturan yang jelas dan tegas tentang penggunaan jasa Debt Collector sebagai pihak ketiga yang dikuasakan oleh Lessor termasuk tugas kerjanya (tentang perbuatan apa yang diperbolehkan dan perbuatan apa yang


(3)

dilarang), dan tentang pemberian sanksi terhadap Debt Coleector yang bekerja dengan melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigdaad).

7. Ketegasan dan kepastian hukum oleh Peradilan perdata dan lembaga-lembaga negara yang berwenang menangani tentang sengketa Konsumen terhadap eksekusi sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan Putusan yang berkekuatan hukum dalam rangka memberikan kepastian hukum dan pemenuhan rasa keadilan bagi pihak-pihak yang telah mengadukan nasibnya dengan mendaftarkan gugatan.

8. Diharapkan bahwa ke depannya (Hukum yang akan datang) BPSK hendaknya diberikan dana untuk melakukan Eksekusi terhadap putusan BPSK karena selama ini BPSK menghadapi kendala untuk melakukan eksekusi terhadap putusan karena BPSK tidak memiliki anggaran dana untuk dapat melakukan Eksekusi, sementara dalam menjalankan suatu proses Eksekusi diperlukan biaya.

9. Pelaku Usaha dimintakan lebih memahami, mematuhi dan mempunyai kesadaran hukum terhadap Putusan BPSK yang mana Putusan BPSK merupakan Keputusan yang mempunyai kekuatan hukum bersifat “final and binding” (terakhir dan mengikat) karena selama ini salah satu kendala yang dihadapi BPSK adalah Pelaku Usaha banyak yang tidak melaksanakan Keputusan BPSK atau dengan kata lain mereka keberatan, tetapi keberatan itu tidak diajukan melalui suatu upaya hukum Banding, dan apabila Pelaku Usaha melakukan Banding


(4)

Banding tersebut dilakukan lewat dari tenggang waktu yang diatur dalam UUPK yaitu 14 (empat belas) hari setelah Keputusan diumumkan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Amin Widjaja Tunggal & Arif Djohan Tunggal, Aspek Yuridis Leasing, Jakarta : Penerbit PT. Rineka Cipta.

Dikutip dari Krisna Harahap, Hukum Acara Perdata: Class Action, Arbritase & Alternatif serta Mediasi, cet. 5, (Bandung: PT Grafitri Budi Utami,2007), hal. 1

M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, cet. 3,(Jakarta:Sinar Grafika, 2003), hal.10 Munir Fuadi Hukum Tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktek,

Bandung:penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 1999.

Herwastoeti, Aspek Yuridis Dalam Perjanjian Leasing dan Akibat Hukumnya Dalam Hal Terjadinya Wanprestasi, Malang : Laporan Penelitian Universitas Muhammadiyah Malang. Hal. 5

H.M. Dharma Bakti Nasution, Prosedur dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa, Makalah BPSK Kota Medan, 2009

H.M. Dharma Bakti Nasution,Sengketa Konsumen Yang Dapat Diselesaikan di BPSK Kota Medan, Makalah BPSK Kota Medan, 2011

R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan, cet. 6,(Jakarta:Sinar Grafika, 2004), hal. 3

Retnowulan Sutantio, Jurusita, Tugas dan Tanggung jawabnya, Proyek Pembinaan Teknis Yustisial Mahkamah Agung RI, MARI, Jakarta, tahun 1993, hal 16

Soebyakto, Tentang Kejurusitaan Dalam Praktik Peradilan Perdata, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1998, hal. 32.

Y. Sri Susilo, Sigit Triandaru, A. Totok Budi Santoso, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: Penerbit Salemba empat,1999

Wawancara dengan Ketua BPSK, Bapak H.M. Dharma Bakti Nasution, SE, SH, MH pada tanggal 3 April 2012 di Kantor BPSK Medan.


(6)

Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 8 Tahun1999 Tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Penyelesaian Sengketa Alternatif Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia

Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : KMA/055/SK/X/1996 tentang Tugas dan Tanggung Jawab serta Tata Kerja Jurusita pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 1169 Tahun 1991 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005