Perjanjian Leasing Melakukan gugatan ke Pengadilan Umum Perdata

bagi Debitur, dan dari segi hukum perbuatan penarikan secara paksa merupakan perbuatan melawan hukum yang tidak boleh dibiarkan terus-menerus terjadi. Permasalahannya yaitu : Bagaimana kaitan perjanjian Leasing sebagai lembaga pembiayaan dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Bagaimana langkah yang ditempuh Debitur Konsumen apabila mengalami penarikan paksa benda-benda bergerak oleh Kreditur, Lembaga atau Peradilan manakah yang mempunyai wewenang untuk menyelesaikan sengketa terhadap benda-benda bergerak yang ditarik paksa oleh Lessor Kreditur, Bagaimana peran BPSK Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen terhadap pengaduan Konsumen dan penyelesaian sengketa terhadap benda-benda bergerak yang ditarik paksa oleh Lessor Kreditur. Metode yang penulis pergunakan dalam penulisan skripsi ini ada dua macam metode yakni, tinjauan kepustakaan Library Research dilakuakn untuk mengumpulkan buku-buku yang berkaitan langsung dengan judul skripsi yang penulis buat dan penelitian lapangan Field Research, dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data dan bahan-bahan serta informasi tentang perjanjian Leasing serta untuk mengetahui dimana diatur leasing tersebut dalam KUHPerdata. Peranan BPSK dalam menyelenggarakan perlindungan Konsumen di Indonesia merupakan ujung tombak di lapangan untuk memberi perlindungan kepada Konsumen yang telah dirugikan atau diderita sakit. Perlindungan yang diberikan oleh lembaga BPSK tersebut kepada Konsumen adalah melalui penyelesaian sengketa antara Konsumen Debitur dan Pelaku Usaha Lessor dan juga melalui pengawasan terhadap setiap perjanjian atau dokumen yang mencantumkan klausula baku yang merugikan Konsumen. Dalam hal ini BPSK telah berfungsi ganda, disatu sisi UU. No. 8 tahun 1999 telah memberikan kewenangan yudikatif untuk menyelesaikan kepentingan umum yaitu sengketa antara Konsumen dan Pelaku Usaha dan disisi lain UU. No. 8 tahun 1999 juga memberikan kewenangan eksekutif kepada BPSK untuk mengawasi pencantuman Klausula Baku dalam setiap perjanjian atau dokumen yang merugikan Konsumen yang telah ditetapkan sepihak oleh Pelaku Usaha. Kata Kunci: 1. Benda bergerak kendaraan

2. Perjanjian Leasing

3. BPSK Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara hukum pada prinsipnya mengakui bahwa kehidupan hubungan atau pergaulan antar masyarakat memiliki batasan yang menjamin hak-hak pribadi dan komunal. Dan hal tersebut merupakan justifikasi dari prinsip Rule of Law yang menjadi ciri dari suatu negara hukum. Negara sebagai sesuatu lembaga tertinggi harus memberikan kebebasan dan kemerdekaan. Untuk melakukan segala kegiatan untuk menciptakan perkembangan dan kemajuan, peran serta masyarakat amat dibutuhkan. Dan sebaliknya pada masyarakat sendiri untuk menciptakan kesejahteraan juga membutuhkan peran serta dan bantuan negara dalam hal ini pemerintah sebagai sesuatu lembaga tertinggi yang memiliki hak untuk menciptakan aturan yang tegas dan jelas untuk menciptakan ketertiban dan kemudahan bagi masyarakat yang mengarah kepada pembangunan nasional. Namun dalam pengembangan pembangunan nasional tidak hanya pemerintah yang aktif berperan tetapi juga peran serta berbagai pihak termasuk pihak swasta dalam pelaksanaan pembangunan. Serta untuk menciptakan pembangunan yang pesat secara langsung ataupun tidak langsung akan menuntut lebih aktif kegiatan dibidang pembiayaan. Pemerintah telah menetapkan kebijakan-kebijakan sebagai upaya dalam menghimpun dana masyarakat. Universitas Sumatera Utara Pada hakekatnya perluasan usaha memang membutuhkan pembiayaan dana selain melalui sistem perbankan dan lembaga keuangan non-bank yang tumbuh dan berkembang. Salah satu sistem pembiayaan alternatif non-bank yang dikenal adalah leasing. Sebagai altenatif dalam teknik pembiayaan, usaha leasing kelihatannya lebih memberikan kemudahan-kemudahan dibandingkan pembiayaan dengan pinjaman dari bank. Hal ini terutama berlaku bagi usaha-usaha yang baru didirikan, yang mana tidak memiliki aset yang dapat dijadikan collateral jaminan bagi peminjam yang akan diperoleh dari bank. Pada dasarnya perjanjian leasing tidak dikenal dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Tapi mengingat usaha leasing ini sebenarnya tidak lain daripada perjanjian sewa- menyewa berarti tidak terlepas dari buku III KUHPerdata seperti yang disebutkan pada Pasal 1319 KUHPerdata yang berbunyi : 1 “Semua persetujuan, baik yang memiliki suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan- peraturan umum, yang termuat dalam bab-bab ini dan bab-bab yang lalu”. Banyak orang memandang leasing hanya sebagai suatu perbuatan ekonomis yang merupakan suatu kegiatan pembiayaan perusahaan sedangkan jika dilihat dari Undang-undang yaitu KUHPerdata dengan berpegang pada ketentuan umum perikatan maka leasing adalah merupakan fenomena hukum perjanjian pembiayaan atau pegadaian barang modal yang diperlukan suatu perusahaan. 1 Pasal 1319 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Universitas Sumatera Utara Dalam perjanjian ini masing-masing pihak dalam mengikatkan diri mengkehendaki adanya kepastian hukum, sehingga para pihak yang terlibat dalam perjanjian leasing ini tentunya tidak ada yang dirugikan. Maka disinilah fungsi dibuatnya perjanjian oleh para pihak dalam bentuk tertulis kontrak, dan hal ini telah diatur dalam, Pasal 1233 KUHPerdata yang berbunyi, ”Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan baik karena Undang-undang”. 2 Minimnya pengaturan yang mengatur masalah leasing ini di Indonesia tentu saja merupakan suatu tantangan bagi para ahli hukum Indonesia untuk menciptakan suatu peraturan yang aspiratif betapa besarnya peran lembaga pembiayaan leasing ini apalagi jika kita kaitkan dengan pengembangan pembangunan nasional. Leasing merupakan suatu pranata hukum yang “ambivalen”. Di satu pihak dia mirip sewa-menyewa tetapi di lain pihak leasing mengandung unsur jual beli. Bahkan unsur perjanjian minjam-meminjamnya pun ada. Karena itu beberapa segi realisasi leasing dalam praktek masih terkesan banci dan ragu-ragu. Diterimanya leasing sebagai suatu alternatif pembiayaan di Indonesia berawal dari adanya sistem terbuka open system yang dianut oleh KUHPerdata, seperti yang dituangkan pada Pasal 1338 1 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya . 3 2 Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Artinya hukum memberi kebebasan yang seluas-luasnya kepada pihak-pihak yang bersangkutan untuk mengadakan 3 Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Universitas Sumatera Utara perjanjian tentang apa saja, asal tidak bertentangan dengan Undang-undang ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian leasing itu sendiri adalah salah satu perjanjian yang telah timbul dalam praktek karena kebutuhan bisnis dikatakan pula bahwa leasing adalah perjanjian sewa-menyewa yang berkembang di kalangan pengusaha.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana kaitan perjanjian leasing sebagai lembaga pembiayaan dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata? 2. Bagaimana langkah yang ditempuh Debiturkonsumen apabila mengalami penarikan paksa benda-benda bergerak oleh Kreditur? 3. Lembaga atau Peradilan manakah yang mempunyai wewenang untuk menyelesaikan sengketa terhadap benda-benda bergerak yang ditarik paksa oleh Lessor Kreditur? 4. Bagaimana peran BPSKBadan Penyelesaian Sengketa Konsumen terhadap pengaduan Konsumen dan penyelesaian sengketa terhadap benda-benda bergerak yang ditarik paksa oleh Lessor Kreditur?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan penulisan Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan untuk skripsi ini adalah a. Untuk mengetahui perjanjian leasing sebagai lembaga pembiayaan dan kaitannya dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata Universitas Sumatera Utara b. Untuk mengetahui dan mengatasi sengketa penarikan benda-benda bergerak yang dialami Debitur pada khususnya maupun masyarakat dan Konsumen pada umumnya c. Agar Konsumen mengetahui lembaga hukum yang telah dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelesaikan sengketa Konsumen terhadap penarikan benda bergerak dan melakukan upaya–upaya hukum melalui jalur Pengadilan litigasi sesuai dengan ketentuan hukum di Indonesia. d. Untuk mengetahui peranan BPSK Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam menyelesaikan sengketa antara Konsumen dan Lessor Pelaku Usaha, serta sanksi apa yang diberikan BPSK Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen terhadap Lessor Pelaku Usaha yang melakukan perbuatan melawan hukum dengan melakukan penarikan paksa terhadap benda-benda bergerak. 2. Manfaat penulisan Secara umum manfaat penulisan skripsi ini dapat dilihat dari dua sudut yakni secara teoritis dan praktis Manfaat penelitian ini adalah : 1. Dilihat dari segi teoritis. a. Penelitian ini berguna untuk menambah wawasan baik itu mahasiswa maupun sebagai referensi dalam mata kuliah Hukum Pembiayaan maupun Hukum Bisnis. Universitas Sumatera Utara b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam membuat kontrak-kontrak atau perjanjian leasing yang dibuat oleh para pihak. 2. Dilihat dari segi praktis. a. Penelitian ini diharapkan bisa memberikan masukan bagi masyarakat khususnya pelaku bisnis baik itu perusahaan leasing, perusahaan asuransi, suplier dan pelaku usaha lain. b. Penelitian ini dapat dipakai sebagai tambahan referensi bagi mahasiswa maupun pihak lain yang memerlukan informasi mengenai perjanjian leasing khususnya.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini berjudul “ Tinjauan yuridis upaya hukum yang dilakukan debitur terhadap penarikan benda-benda bergerak yang ditarik paksa oleh leasing kreditur”, yang pada prinsipnya atau pada dasarnya melihat perjanjian leasing sebagai lembaga pembiayaan dan kaitannya dengan KUHPerdata, keuntungan dan kerugian dalam menggunakan perjanjian leasing, penyebab putusnya perjanjian leasing yang disebabkan karena wan prestasi dan force majeure, dan akibat hukum dari timbulnya perjanjian leasing yang terdiri dari perjanjian yang dapat dibatalkan serta perjanjian yang batal demi hukum yang diperoleh dari perpustakaan, dari media massa baik cetak maupun elektronika. Selanjutnya dari penelusuran ke perpustakaan umum Universitas Universitas Sumatera Utara Sumatera Utara dan perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara belum ada yang menyangkut judul tersebut dalam suatu penulisan skripsi.

E. Tinjauan Kepustakaan

Di dalam pokok pembahasan ini akan dijadikan lebih lanjut mengenai hal- hal yang berkaitan dengan tinjauan yuridis upaya hukum yang dilakukan kreditur terhadap penarikan benda-benda bergerak yang ditarik paksa oleh leasing kreditur dalam perjanjian fidusia. Pada umumnya masyarakat lebih akrab dan dekat dengan lembaga perbankan, kemudian disusul dengan sekelompok lembaga keuangan bukan bank dan dalam era delapan puluhan dikenal lagi suatu lembaga pembiayaan yang salah satunya adalah leasing. Leasing equipment funding secara umum dapat didefinisikan dengan: Pembiayaan peralatan barang modal untuk digunakan pada proses produksi suatu perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Leasing timbul sebagai perjanjian tidak bernama adalah sebagai konsekuensi dari kebebasan untuk mengikat perjanjian dan adanya open system dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dalam leasing terdapat pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian leasing atau disebut subjek perjanjian leasing terdiri dari beberapa pihak, yaitu: 1. Lessor Sebagai perusahaan leasing atau yang dikenal dengan leasing company yaitu pihak yang memiliki hak kepemilikan barang modal. Universitas Sumatera Utara 2. Lessee Yaitu perusahaan atau pengguna barang modal yang dapat memiliki hak opsi pada kontrak leasing 3. Suppplier Penjual barang modal yang menjadi objek leasing. Harga barang modal di bayar tunai oleh lessor kepada supplier untuk kepentingan leasing. Supplier ini biasanya berstatus produsen barang modal atau penjual biasa. Dilihat dari segi transaksinya sewa guna usaha atau leasing dibedakan menjadi 2 jenis: 1. Finance lease atau sewa guna usaha dengan opsi. Dalam bentuk ini pada akhir kontrak leasing mempunyai hak pilih untuk memberi barang modal sesuai dengan nilai sisa yang disepakati atau mengembalikan barang modal kepada lessor atau memperjanjang kontrak sewa-menyewa. 2. Operating lease atau sewa guna tanpa opsi. Dalam bentuk ini disamakan seperti sewa guna usaha biasa yaitu hanya diberikan hak untuk menggunakan barang modal selama kontrak atau jangka waktu. Keuntungan dari perjanjian leasing, yaitu: 1. Merupakan bentuk pembiayaan yang fleksibel. 2. Biayanya lebih murah. 3. Penghematan pajak. Universitas Sumatera Utara Leasing dikaji dari hukum perdata berdasarkan asas kebebasan berkontrak maka perjanjian leasing seharusnya dirumuskan oleh ke dua belah pihak yang memutuskan lessor dan lesse, tapi dalam praktek ternyata perjanjian leasinglease agreement bentuknya dalam kontrak baku yang merumuskan adalah lessor.

F. Metode Penulisan

Adapun metode pengumpulan data serta analisa data yang penulis pergunakan dalam penulisan ilmiah untuk skripsi ini adalah: Bahan atau materi penulisan 1. Library Reserch Penelitian Kepustakaan. Dalam metode penelitian kepustakaan ini penulis mengumpulkan data- data berdasarkan sumber-sumber kepustakaan atau bacaan dari buku- buku, pendapat sarjana, Undang-undang serta bahan-bahan yang bersifat teoritis. 2. Field research Penelitian lapangan Melalui penelitian lapangan dan melalui instansi terkait yang berkenaan dengan ketentuan mengenai leasing Alat pengumpul data Alat pengumpul data yang dipakai adalah dengan cara: 1. Jalannya penelitian, dimana penulis langsung mengadakan wawancara pihak terkait yang sedang terkait perjanjian leasing Universitas Sumatera Utara 2. Studi dokumen yakni dengan membaca buku dan berkas perkara baik di perpustakaan umum maupun pribadi dan di instansi pemerintah yang telah menjadi mediator dalam menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan perjanjian leasing

G. Sistematika Penulisan

Secara garis besar skripsi ini dibagi lima 5 bab dan masing-masing bab dibagi dalam beberapa sus bab sesuai dengan kepentingan pembahasan dalam penyusunan penulisan skripsi ini: Bab I : Pendahuluan Dalam bab ini terdiri atas latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode pengumpulan data dan sistematika penulisan. Bab II : Aspek Hukum Mengenai Leasing Dalam bab ini terdiri atas pengertian leasing dan dasar hukum leasing, ketentuan-ketentuan mengenai penyelesaian hutang tunggakan dalam perjanjian fidusia, dan pengertian debt collector dan ketentuan hukumnya sesuai hukum di Indonesia Bab III : Tinjauan Umum Tentang Penarikan Benda-benda Bergerak Yang Ditarik Paksa Oleh Leasing Lessor Dalam bab ini terdiri atas jenis-jenis leasing, upaya hukum yang dilakukan debitur terhadap penarikan benda-benda bergerak menurut ketentuan Undang-undang, penarikan paksa termasuk Universitas Sumatera Utara ranah hukum Pidana yang tidak terdapat sesuai ketentuan hukum Perdata, dan Peradilan Perdata dan juru sita Pengadilan sebagai aparatur negara yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyitaan terhadap benda-benda bergerak sesuai ketentuan undang-undang. Bab IV : Tinjauan Hukum Terhadap Hak-hak Kreditur Yang Dilindungi Oleh Undang-undang dan Sanksi Terhadap Penarikan Paksa Oleh Leasing Lessor Dalam bab ini terdiri atas perjanjian leasing sebagai lembaga pembiayaan dan kaitannya dengan KUHPerdata, keuntungan dan kerugian dalam menggunakan perjanjian leasing, hak-hak debitur yang harus dilindungi oleh hukum terhadap penarikan benda- benda bergerak, penarikan paksa oleh debt collector yang tidak sesuai dengan kaedah Undang-undang tentang Jaminan Fidusia UU. No. 42 tahun 1999, penyelesaian sengketa terhadap penarikan benda-benda bergerak yang ditarik paksa oleh lessor yang terdiri atas penyelesaian secara jalur Non-litigasi dan penyelesaian secara jalur Litigasi, pembahasan mengenai tinjauan Yuridis Keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK Medan terhadp perkara dengan No: 01 Pen BPSK- Mdn 2009 Bab V : Kesimpulan dan Saran Dalam bab ini terdiri atas kesimpulan dan saran Universitas Sumatera Utara BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI LEASING

A. Pengertian Leasing dan Dasar Hukum Leasing

Berdasarkan KEPMENKEU No. 1169 1991 tentang kegiatan usaha leasing, yang dimaksud leasing atau sewa guna usaha adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dan hak opsi finance lease atau hak guna usaha tanpa opsi operating lease untuk digunakan oleh leasing selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala Pasal 1 huruf a KEPMENKEU Nomor 1169 1991. 4 Berdasarkan pada Pasal 1 surat keputusan bersama Tiga Menteri; Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian No KEP.122MKIV21974, No. 32MSK21974 dan No. 30Kpb1974 tanggal 7 Februari 1974, menyebutkan bahwa leasing itu adalah : “ Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan Hak Plih opsi bagi perusahaan tersebut untuk memberi barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama “. Equipment Leasing Association di London yang merupakan Asosiasi perusahaan-perusahaan leasing di Inggris memberikan definisi sebagai berikut : 4 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 1169 tahun 1991 Universitas Sumatera Utara ”Leasing adalah perjanjian antara lessor dan lessee untuk menyewa suatu jenis barang modal tertentu yang dipilihditentukan oleh lessee. Hak kepemilikan atas barang modal tersebut ada pada lessor sedangkan lesse hanya menggunakan barang modal tersebut berdasarkan pembayaran uang sewa yang telah ditentukan dalam suatu jangka waktu tertentu”. 5 Didalam perjanjian leasing pada dasarnya ada tiga pihak yaitu Lessor perusahaan leasing, Lesse perusahaannasabah dan supplier penjual barang. Selanjutnya didefinisikan oleh Frank Tiara Supit sebagai: “Company financing in the form of providding Capital Goods wish the user making periodical payments. User would have options to buy the Capital Goods or to prolog the leasing period of the remainding value”. Dapat diartikan bahwa leasing adalah: “Pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal dengan pembayaran secara berkala oleh perusahaan yang menggunakan barang- barang modal tersebut dan dapat dinilai atau memperpanjang jangka waktu berdasarkan nilai sisa”. 6 Selanjutnya menurut keputusan Menteri Keuangan RI Nomor.1169KMK 011991 tentang kegiatan sewa guna usaha leasing, yang dimaksud dengan leasing adalah: 5 Herwastoeti, Aspek Yuridis Dalam Perjanjian Leasing dan Akibat Hukumnya Dalam Hal Terjadinya Wanprestasi, Malang: Laporan Penelitian Universitas Muhammadiyah Maklang. Hal 5 6 Amin Widjaja Tunggal Arif Djohan Tunggal, Aspek Yuridis Leasing, Jakarta : Penerbit PT. Rineka Cipta. Hal 7-8 Universitas Sumatera Utara “Suatu kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik dengan cara sewa guna usaha dengan Hak Opsi Finance Lease maupun sewa guna usaha tanpa Hak Opsi Operating Lease untuk dipergunakan Lesse selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembiayaan secara berkala. 7 Menurut Financial Accounting Standard Board FASB 13 leasing adalah suatu perjanjian penyediaan barang modal yang digunakan untuk jangka waktu tertentu. 8 Dasar Hukum Leasing Seperti yang kita ketahui pengaturan leasing dalam hal ini masih sangat sederhana,dan pelaksanaan sehari-hari didasarkan kepada kebijaksanaan yang tidak bertentangan dengan Surat Keputusan Menteri yang ada. Surat Keputusan Tiga Menteri Tahun 1974 mengenai leasing. Adalah peraturan pertama yang khusus dikeluarkan untuk itu. Surat Keputusan itu dan lain-lain peraturan yang dikeluarkan belakangan untuk mengatur perihal perjanjian-perjanjian dan kegiatan leasing di Indonesia, terutama bersifat administratif dan obligatory atau bersifat memaksa. Sumber hukum yang lebih luas dan mendalam yang melandasi dan mendasari kegiatan leasing dewasa ini di Indonesia antara lain : 7 Munir Fuadi Hukum Tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktek, Bandung:penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 1999, hal 9 8 Y. Sri Susilo, Sigit Triandaru, A. Totok Budi Santoso, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya Jakarta: Penerbit Salemba empat,1999 hal 129 Universitas Sumatera Utara 1. Umum General a. Asas concordantie hukum berdasarkan pasal II aturan peralihan Undang- Undang Dasar 1945 pasca amandemen atas hukum perdata yang berlaku bagi penduduk eropa b. Pasal 1338 KUHPerdata mengenai asas kebebasan berkontrak serta asas- asas persetujuan pada umumnya sebagaimana tercantum dalam bab I Buku III KUHPerdata. Pasal ini memberikan kebebasan kepada semua pihak untuk memilih isi pokok perjanjian mereka sepanjang hal ini tidak betentangan dengan Undang-Undang,kepentingan atau kebijaksanaan umum. c. Pasal 1548 sampai 1580 KUHPerdataBuku III sampai dengan Buku IV, yang berisikan ketentuan mengenai sewa-menyewa sepanjang tidak ada dilakukan penyimpangan oleh para pihak. Pasal ini membahas hak dan kewajiban lessee. 2. Khusus a. Surat Keputusan BersamaSKB Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan RI No. KEP.122MKIV21974, No.32MSK1974 dan No.30KPB1974 tertanggal 7 Pebruari 1974 tentang perizinan usaha leasing. b. Surat Keputusan SK Menteri Keuangan RI No.KEP649MKIV51974, tertanggal 6 Mei 1974 tentang perizinan usaha leasing Universitas Sumatera Utara c. Surat Keputusan SK Menteri Keuangan RI No.KEP649MKIV51974, tertanggal 6 Mei 1974 tentang penegasan ketentuan pajak penjualan dan besarnya bea materi terhadap usaha leasing. d. Surat Edaran Direktorat Jendral Moneter No. PENG-307DJMIIL 771974 tertanggal 8 Juli 1974, tentang: 1. Tata cara perizinan 2. Pembatasan usaha 3. Pembukaan 4. Tingkat suku bunga 5. Perpajakan 6. Pengawasan dan Pembinaan e. Surat Keputusan Menteri Perdagangan No.34KPIIB1980 tertanggal 1 Februari 1980, mengenai lisensiperizinan untuk kegiatan usaha sewa-beli hire purchase, jual-beli dengan angsuran atau cicilan dan sewa-menyewa f. Surat Edaran Dirjen Moneter dalam negeri No.SE.48351983 tanggal 31 Agustus 1983 tentang ketentuan perpanjangan izin usaha perusahaan leasing dan perpanjangan penggunaan tenaga warga negara asing pada perusahaan leasing. g. Surat Edaran Dirjen Moneter dalam negeri No.SE.48351983 tanggal 1 September 1983 tentang tata cara dan prosedur pendirian kantor cabang dan kantor perwakilan perusahaan leasing Universitas Sumatera Utara h. Surat Keputusan SK Menteri Keuangan RI No.S.742MK.0111984 tanggal 12 Juli 1984 mengenai PPh pasal 23 atas usaha financial leasing. i. Surat Edaran Direktur Jendral Pajak No.SE.28PJ.221984 tanggal 26 Juli 1984 mengenai PPh pasal 23 atas usaha financial leasing. j. Keputusan Menteri Keuangan RI No.1169KMK.011991 tentang kegiatan sewa guna usaha Dengan demikian maka untuk pembuatan perjanjian leasing yang harus mengatur hak kewajiban dan hubungan hukum antara pihak-pihak yang bersangkutan, selain dari peraturan-peraturan dan pedoman -pedoman tersebut diatas, kita harus berpegang pada asas-asas dan ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat dalam Undang-Undang negara kita, dalam hal ini Kitab Undang-Undang Hukum Perdata , yurisprudensi- yurisprudensi yang ada dan atau yang dituruti di Indonesia serta praktek-praktek bisnis yang telah berkembang dan lazim menjadi kebiasaan di negeri ini.

B. Ketentuan Mengenai Penyelesaian Hutang Tunggakan dalam Perjanjian Fidusia

Dalam pengertian eksekusi menurut pendapat M. Yahya Harahap dalam bukunya “Ruang Lingkup permasalahan Eksekusi Bidang Perdata”, memberikan pengertian sebagai berikut : “Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, merupakan aturan Universitas Sumatera Utara dan tata lanjutan dalam proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu eksekusi tiada berkesinambungan dari seluruh proses hukum acara perdata”. Secara umum eksekusi merupakan pelaksanaan atau keputusan pengadilan atau akta, maka pengambilan pelunasan kewajiban kreditur melalui hasil penjualan benda-benda tertentu milik debitur. Sedangkan yang dimaksud perjanjian fidusia adalah perjanjian utang piutang kreditur kepada debitur yang melibatkan penjaminan. Jaminan tersebut kedudukannya masih dalam penguasaan pemilik jaminan. Tetapi untuk menjamin kepastian hukum bagi kreditur maka dibuat akta yang dibuat oleh notaris dan didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Nanti kreditur akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian, memiliki kekuatan hak eksekutorial langsung apabila debitor melakukan pelanggaran perjanjian fidusia kepada kreditur parate eksekusi, sesuai UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. 9 Akta di bawah tangan bukanlah akta otentik yang memiliki nilai pembuktian sempurna. Sebaliknya, akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di depan pejabat yang ditunjuk oleh Undang-Undang dan memiliki kekuatan pembuktian sempurna. Untuk akta yang dilakukan di bawah tangan biasanya harus diotentikkan ulang oleh para pihak jika hendak dijadikan alat bukti sah, misalnya di Pengadilan. Pertanyaannya adalah apakah sah dan memiliki kekuatan bukti hukum suatu akta di bawah tangan. Menurut pendapat penulis, adalah syah 9 Undang-undang No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia Universitas Sumatera Utara asalkan para pihak mengakui keberadaan dan isi akta tersebut. Dalam prakteknya, di desa-desa atau karena kondisi tertentu menyebabkan hubungan hukum dikuatkan lewat akta di bawah tangan seperti dalam proses jual beli dan utang piutang. Namun, agar akta tersebut kuat, tetap harus dilegalisir para pihak kepada pejabat yang berwenang. Jaminan fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat jaminan fidusia menimbulkan akibat hukum yang komplek dan beresiko. Kreditur bisa melakukan hak eksekusinya karena dianggap sepihak dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dari kreditur. Bisa juga karena mengingat pembiayaan atas barang objek fidusia biasanya tidak full sesuai dengan nilai barang. Atau, debitur sudah melaksanakan kewajiban sebagian dari perjanjian yang dilakukan, sehingga dapat dikatakan bahwa diatas barang tersebut berdiri hak sebagian milik debitur dan sebagian milik kreditur. Apalagi jika eksekusi tersebut tidak melalui badan penilai harga yang resmi atau badan pelelangan umum. Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum PMH sesuai diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan dapat digugat ganti kerugian. 10 Lembaga pembiayaan yang tidak mendaftarkan jaminan fidusia sebenarnya dapat merugikan lembaga itu sendiri, karena tidak punya hak eksekutorial yang legal. Problem bisnis yang membutuhkan kecepatan dan customer service yang prima selalu tidak sejalan dengan logika hukum yang ada. Mungkin karena kekosongan hukum atau hukum yang tidak selalu secepat 10 Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Universitas Sumatera Utara perkembangan zaman. Bayangkan, jaminan fidusia harus dibuat di hadapan notaris sementara lembaga pembiayaan melakukan perjanjian dan transaksi fidusia di lapangan dalam waktu yang relatif cepat. Saat ini banyak lembaga pembiayaan melakukan eksekusi pada objek barang yang dibebani jaminan fidusia yang tidak didaftarkan. Bisa bernama remedial, rof coll, atau remove. Selama ini perusahaan pembiayaan merasa tindakan mereka aman dan lancar saja. Menurut penulis, hal ini terjadi karena masih lemahnya daya tawar nasabah terhadap kreditur sebagai pemilik dana. Ditambah lagi pengetahuan hukum masyarakat yang masih rendah. Kelemahan ini termanfaatkan oleh pelaku bisnis industri keuangan, khususnya sektor lembaga pembiayaan dan bank yang menjalankan praktek jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan. Dalam proses eksekusi kita mengetahui bahwa asas perjanjian “pacta sun servanda” yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak yang bersepakat, akan menjadi undang-undang bagi keduanya diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata, tetap berlaku dan menjadi asas utama dalam hukum perjanjian. Tetapi terhadap perjanjian yang memberikan penjaminan fidusia di bawah tangan tidak dapat dilakukan eksekusi. Proses eksekusi harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga turunnya putusan pengadilan. Inilah pilihan yang memenuhi prosedur hukum formil agar dapat menjaga keadilan dan penegakan terhadap hukum materil yang dikandungnya. Universitas Sumatera Utara Proses ini hampir pasti memakan waktu panjang, kalau para pihak menggunakan semua upaya hukum yang tersedia. Biaya yang musti dikeluarkan pun tidak sedikit. Tentu saja, ini sebuah pilihan dilematis. Dalih mengejar margin besar juga harus mempertimbangkan rasa keadilan semua pihak. Masyarakat yang umumnya menjadi nasabah juga harus lebih kritis dan teliti dalam melakukan transaksi. Sementara bagi Pemerintah, kepastian, keadilan dan ketertiban hukum adalah penting.

C. Pengertian Debt collector dan Ketentuan Hukumnya Sesuai Hukum di

Indonesia Korporasi paling dominan yang menggunakan jasa debt collector adalah perusahaan leasing. Saat ini sangat mudah untuk membeli benda bergerak, misalnya, mobil dan sepeda motor baik dengan cara kredit maupun secara cash tunai. Tetapi pada saat ini semua leasing pasti akan menggiring konsumennya untuk membeli kendaraan secara kredit. Di samping keuntungan akan bertambah, tentu dengan strategi ini leasing tidak akan menemui banyak masalah. Hukum fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda yang dapat difidusiakan tersebut berdasarkan kepercayaan yang penguasaannya tetap dilakukan oleh si pemilik benda tersebut. Biasanya hal itu terjadi karena pemilik benda tersebut debitur membutuhkan sejumlah uang dan sebagai jaminan atas pelunasan utangnya tersebut si debitur menyerahkan secara kepercayaan hak kepemilikannya atas suatu benda bergerak atau benda yang tidak termasuk dalam Universitas Sumatera Utara lingkup Undang-undang No 4 tahun 1996 kepada krediturnya, dan hak tersebut juga dapat dialihkan kepada pihak lain. Pemberian jaminan fidusia ini merupakan perjanjian yang bersifat accesoir dari suatu peminjaman pokok sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 6- huruf B UU No 42 tahun 1999 dan harus dibuat dengan suatu akta notaris yang disebut sebagai akta Jaminan Fidusia. Secara umum definisi Debt collector adalah pihak ketiga yang menghubungkan antara kreditur dan debitur dalam hal penagihan kredit, Penagihan tersebut hanya dapat dilakukan apabila kualitas tagihan kartu kredit dimaksud telah termasuk dalam kategori kolektibilitas diragukan atau macet berdasarkan kolektibilitas yang digunakan oleh industri kartu kredit di Indonesia. Hal ini tercantum dalam Surat Edaran Bank Indonesia no.760DASP Tahun 2005 Bab IV angka 1 dan 2 yang isinya berbunyi sebagai berikut : 1. Apabila dalam menyelenggarakan kegiatan penyaluran kredit Penerbit danatau Financial Acquirer melakukan kerjasama dengan pihak lain di luar Penerbit danatau Financial Acquirer tersebut, seperti kerjasama dalam kegiatan marketing, penagihan, danatau pengoperasian sistem, Penerbit danatau Financial Acquirer tersebut wajib memastikan bahwa tata cara, mekanisme, prosedur, dan kualitas pelaksanaan kegiatan oleh pihak lain tersebut sesuai dengan tata cara, mekanisme, prosedur, dan kualitas apabila kegiatan tersebut dilakukan oleh Penerbit danatau Financial Acquirer itu sendiri. Debt collector adalah pihak ketiga yang menghubungkan antara kreditur dan debitur dalam hal penagihan kredit, Penagihan tersebut hanya Universitas Sumatera Utara dapat dilakukan apabila kualitas tagihan kartu kredit dimaksud telah termasuk dalam kategori kolektibilitas diragukan atau macet berdasarkan kolektibilitas yang digunakan oleh industri kartu kredit di Indonesia. 2. Dalam hal Penerbit menggunakan jasa pihak lain dalam melakukan penagihan transaksi Kartu Kredit, maka a. Penagihan oleh pihak lain tersebut hanya dapat dilakukan apabila kualitas tagihan Kartu Kredit dimaksud telah termasuk dalam kategori kolektibilitas diragukan atau macet berdasarkan kriteria kolektibilitas yang digunakan oleh industri Kartu Kredit di Indonesia, dan b. Penerbit wajib menjamin bahwa penagihan oleh pihak lain tersebut, selain wajib dilakukan dengan memperhatikan ketentuan pada angka 1, juga wajib dilakukan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum.” Jika penunggak ini tetap tidak mampu melunasi tagihan kartunya, debt collector yang diperintah oleh bank penerbit kartu kredit akan mengambil sejumlah barang baik bergerak maupun tidak bergerak sebagai jaminan. Jika penunggak telah melunasinya, maka jaminan itu akan dikembalikan. Jika tidak, tentu saja barang itu lenyap nilai barang yang diambil setara dengan jumlah tunggakan. 1. Mengarah ke Pidana Perilaku debt collector saat ini masih menjadi masalah serius yang belum ada penanganannya. Di satu sisi konsumen merasa terganggu dengan ulah penagih utang tersebut. Di sisi lain debt collector sebagai utusan bank dan lembaga- Universitas Sumatera Utara lembaga pembiayaan bertanggung jawab atas tunggakan-tunggakan hutang yang bisa merugikan bank dan lembaga-lembaga pembiayaan lain. Masalahnya, belum ada batasan dan aturan yang jelas tentang tata cara penagihan oleh seorang debt collector . Saat ini yang ada hanya sebatas pada aturan bank dan lembaga-lembaga pembiayaan masing-masing. Yang terjadi di lapangan, debt collector melakukan hal-hal di luar kesepakatan antara bank dan agen. Perlakuan debt collector sudah pada tahap yang memperihatinkan. Beberapa tindakan debt collector bahkan sudah mengarah pada tindakan pidana. Misalnya, membuat onar, meneror baik secara langsung maupun telepon, bahkan sampai mengancam akan membunuh si nasabah. Secara hukum, cara penagihan oleh debt collector yang disertai dengan ancaman, cacian, serta teror tidak dapat dibenarkan. Hal tersebut bertentangan dengan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya Pasal 4E, yang menyebutkan bahwa: konsumen berhak mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Ancaman, cacian, serta teror bukan merupakan upaya penyelesaian sengketa yang patut. Yang lebih ironis, ketika konsumen meminta penyelesaian langsung lewat manajemen bank dan lembaga-lembaga pembiayaan yang bersangkutan, justru ditolak dengan alasan persoalan tersebut telah dilimpahkan kepada pihak ketiga, yang dalam hal ini adalah debt collector. 11 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun1999 Tentang Perlindungan Konsumen Universitas Sumatera Utara 2. Penyelesaian secara patut Filosofi yang menyatakan bahwa utang akan dibawa mati tetap berlaku dalam penyelesaian kredit macet, yang berarti tanggung jawab debitur untuk menyelesaikan pembayaran tunggakan harus tetap dipenuhi. Penyelesaian kredit macet seharusnya lebih terfokus pada pihak bank dan lembaga pembiayaan seperti leasing beserta konsumen yang bersangkutan secara langsung karena pada waktu aplikasi kedua pihak tersebut yang bertindak sebagai subyek hukum. Terkait dengan hal tersebut, Peraturan Bank Indonesia Nomor 77PBI2005 12 Bentuk penyelesaian yang dapat ditawarkan misalnya penjadwalan ulang pembayaran sesuai dengan batas kemampuan bank dan konsumen. Selama proses pembayaran, hendaknya praktek bunga berbunga dihentikan. Sebab, kalau bunga dipaksakan tetap berlaku, beban konsumen justru semakin berat dan kemampuan membayar pun semakin rendah, sehingga pokok permasalahan tidak akan terjawab. tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah menyatakan bahwa bank berkewajiban menetapkan kebijakan dan memiliki prosedur tertulis mengenai penerimaan pengaduan, penanganan dan penyelesaian pengaduan, serta pemantauan penyelesaian pengaduan. Bank juga berkewajiban melaporkan penanganan dan penyelesaian pengaduan secara triwulan kepada Bank Indonesia. Apabila penyelesaian secara mufakat di antara kedua belah pihak tidak tercapai, perlu dipikirkan gagasan tentang perlu adanya lembaga atau biro 12 Peraturan Bank Indonesia Nomor 77PBI2005 Universitas Sumatera Utara penyelesaian sengketa perbankan. Lembaga ini dimaksudkan sebagai alternatif penyelesaian sengketa perbankan di luar pengadilan yang punya keputusan mengikat, mengingat penyelesaian lewat pengadilan sering terasa tidak efektif. Selain itu, dari sisi konsumen, terkadang konsumen merasa tidak berdaya ketika harus menghadapi ancaman dari debt collector dan tak jarang pula berakibat pula kepada kematian seperti kasus kematian Irjen Okta di Jakarta baru-baru ini. Bank Indonesia selaku regulator tentunya punya kendali yang cukup untuk merealisasi gagasan tentang pembentukan biro penyelesaian sengketa perbankan tersebut. Dari sisi upaya preventif, amanat Pasal 16 Peraturan Bank Indonesia Nomor 630PBI2005, yang mengatur soal kewajiban penerapan manajemen risiko kredit yang mencakup beberapa hal yang wajib diterapkan sebelum persetujuan aplikasi kartu kredit, seharusnya dilakukan secara konsisten oleh bank penyelenggara. Harapan yang muncul adalah agar persetujuan permohonan aplikasi tidak mudah terjual. 13 Peraturan dari Bank Indonesia ini diharapkan juga dapat diberlakukan secara konsisten kepada lembaga-lembaga pembiayaan lain, dalam hal ini juga termasuk tidak mudah mengeluarkan perjanjian leasing tanpa melakukan peninjauan survey yang mendalam terhadap calon debitur. 13 Ibid Universitas Sumatera Utara

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PENARIKAN BENDA-BENDA

BERGERAK YANG DITARIK PAKSA OLEH LEASINGKREDITUR

A. Jenis- Jenis Leasing

Pada prinsipnya ada 2 macam prototipe leasing, yaitu leasing yang berbentuk operating dan leasing yang berbentuk financial. Namun demikian terdapat juga berbagai bentuk lainnya yang lebih merupakan derivasi dari kedua bentuk pokok tersebut. Untuk itu akan ditinjau satu persatu. 1. Operating lease Operating lease disebut juga service lease. Operating lease ini biasanya merupakan suatu corak leasing dengan karakteristik sebagai berikut : a. Jangka waktu berlakunya leasing relatif singkat, dan lebih singkat dari usia ekonomis dari barang tersebut. b. Besarnya harga sewa lebih kecil ketimbang harga barang ditambah keuntungan yang diharapkan lessor c. Tidak diberikan “hak opsi” bagi lessee untuk membeli barang di akhir masa leasing d. Biasanya operating lease dikhususkan untuk barang-barang yang mudah terjual setelah pemakaian yang laku di pasar barang bekas e. Operating lease biasanya diberikan oleh pabrik atau leveransir, karena umumnya mereka mempunyai keahlian dalam seluk beluk tentang barang Universitas Sumatera Utara tersebut. Sebab, dalam operating lease, jasa pemeliharaan merupakan tanggung jawab lessor. f. Biasanya harga sewa setiap bulannya dibayar dengan jumlah yang tetap. g. Biasanya lessor lah yang menanggung biaya pemeliharaan, kerusakan, pajak dan asuransi h. Biasanya kontrak leasing dapat dibatalkan sepihak oleh lessee, dengan mengembalikan barang yang bersangkutan kepada lessor. 2. Financial Lease Financial lease ini sering disebut juga dengan capital lease atau full-payout. Financial Lease merupakan suatu corak leasing yang lebih sering diterapkan dengan ciri sebagai berikut: a. Jangka waktu berlakunya leasing relatif panjang b. Besarnya harga sewa plus hak opsi harus menutupi harga barang plus keuntungan yang diharapkan oleh lessor c. Diberikan hak opsi untuk lessee untuk membeli barang di akhir masa leasing d. Financial lease dapat diberikan oleh perusahaan pembiayaan e. Harga sewa yang dibayar per bulan oleh lessee dapat dengan jumlahnya yang tetap, maupun dengan cara berubah-ubah sesuai dengan suku bunga pinjaman f. Biasanya lessee yang menanggung biaya pemeliharaan, kerusakan, pajak dan asuransi g. Kontrak leasing tidak dapat dibatalkan sepihak. Universitas Sumatera Utara Seperti telah disebutkan bahwa selain kedua bentuk utama leasing tersebut di atas, masih terdapat bentuk-bentuk variasi lainnya dari leasing, antara lain sebagai berikut: 1. Sales and Lease Back Sales and lease back merupakan suatu jenis pembiayaan dengan mana barang sebenarnya berasal dari lease, kemudian dibeli oleh lessor. Selanjutnya, barang tersebut oleh lessee disewanya kembali dari lessor untuk suatu periode tertentu. Biasanya bentuk sale and lease back ini mengambil bentuk financial lease, oleh karena lessor dari semula memang tidak berkeinginan memiliki barang tersebut, sehingga, bentuk sale and lease back ini mirip dengan hutang untuk suatu keperluan tertentu dengan bayaran cicilan di mana barang tersebut dipergunakan sebagai jaminan hutang. 2. Direct lease Direct lease merupakan leasing di mana barangnya tidak dibeli terlebih dahulu oleh lessor dari lessee seperti pada sale and lease back, tetapi lessor membeli suatu barang dari pihak ketiga, yakni pihak supplier, untuk kemudian barang tersebut dileasingkan kepada pihak lessee. Jadi dalam hal ini, pihak lessee sebenarnya membutuhkan barang modal untuk usahanya atau untuk keperluannya, tetapi memerlukan bantuan biaya dari pihak lessor untuk pengadaan barang tersebut. Universitas Sumatera Utara 3. Leveraged Lease Leveraged lease merupakan suatu jenis financial leasing yang mana pihak yang memberikan pembiayaan di samping lessor juga pihak ketiga. Biasanya leveraged lease ini dilakukan terhadap barang-barang yang mempunyai nilai tinggi, di mana pihak lessor hanya membiayai antara 20 sampai 40 dari pembelian barang, sedangkan selebihnya akan dibiayai oleh pihak ketiga, yang merupakan hasil pinjaman lessor dari pihak ketiga tersebut dengan memakai kontrak leasing yang bersangkutan sebagai jaminan hutangnya. Pihak ketiga ini sering disebut dengan Credit Provider atau Debt Participant, biasanya dalam Leveraged Lease ini terdapat juga seorang yang disebut lesse, dan mengatur hubungan dan negosiasi antara lessor dan debt participant. 4. Cross Border Lease Cross Border Lease merupakan leasing dengan mana pihak lessor dan pihak lessee berada dalam dua negara yang berbeda. 5. Net Lease Net Lease merupakan bentuk financial leasing dimana lessee yang menanggung resiko dan bertanggung jawab atas pemeliharaan barang dan membayar pajak dan asuransinya. 6. Net-net Lease Net-net Lease merupakan financial leasing dimana lessee tidak hanya menaggung resiko dan hanya bertanggung jawab atas pemeliharaan barang dan membayar pajak saja, bahkan lessee juga harus Universitas Sumatera Utara mengembalikan barang kepada lessor dalam kondisi dan nilai seperti pada saat mulainya perjanjian leasing. Sering juga dipakai istilah Non- Maintenance baik untuk Net Lease maupun Net-net Lease. 7. Full Service Lease Full Service Lease disebut juga dengan Rental Lease atau Gross Lease. Yang dimaksudkan adalah leasing dengan mana pihak lessor bertanggung jawab atas pemeliharaan barang membayar asuransi dan pajak. 8. Big Ticket Lease Ini merupakan bentuk leasing untuk barang-barang mahal, misalnya pesawat terbang, dan dengan jangka waktu leasing yang relatif lama. Misalnya sampai 10 sepuluh tahun. 9. Captive Leasing Yang dimaksud dengan Captive Leasing adalah leasing yang ditawarkan oleh lessor kepada langganan tertentu yang terlebih dahulu ada hubungan dengan lessor. Dalam hal ini, biasanya yang menjadi barang objek leasing adalah barang yang merupakan merek dari lessor sendiri. 10. Third Party Leasing Third Party Leasing merupakan kebalikan dari captive leasing. Dalam hal third party leasing ini pihak lessor bebas menawarkan leasing kepada siapa saja. Jadi, lessor tidak harus mempunyai hubungan terlebih dahulu dengan lessee. Universitas Sumatera Utara 11. Wrap Lease Wrap Lease merupakan jenis leasing yang biasanya pihak lessor tidak mau mengambil resiko. Sehingga jangka waktunya lebih singkat dari biasanya. Tetapi tentunya ini akan memberatkan lessee karena dia harus membayar cicilan yang besar. Karena itu, pihak lessor biasanya meleasingkan kembali barang tersebut kepada investor yang menanggung resiko, sehingga jangka waktu leasing bagi lessee akan menjadi lebih panjang, sehingga cicilannya menjadi relatif kecil. Wrap Lease ini belum lazim di Indonesia, dan seringkali bentuk leasing seperti ini dipraktekkan terhadap leasing komputer. 12. Straight Payble Lease, Seasonal Lease dan Return on Investment Lease Pembagian kepada tiga jenis leasing ini adalah jika dipergunakan kriteria “cara pembayaran” terhadap cicilan harga barang oleh lessee kepada lessor. Yang dimaksud dengan straight payble lease adalah leasing yang cicilannya dibayar oleh lessee kepada pihak lessor tiap bulannya dan dengan jumlah cicilan yang selalu sama. Sementara itu, yang dimaksud dengan seasonal lease adalah leasing yang metode pembayaran cicilannya oleh lessee kepada lessor dilakukan setiap periode tertentu. Misalnya dibayar tiap tiga bulan sekali. Sedangkan yang dimaksud dengan return on investment lease adalah suatu jenis leasing di mana pembayaran cicilan oleh lessee kepada Universitas Sumatera Utara lessor hanya terhadap angsuran bunganya saja. Sementara hutang pokoknya baru dibayar setiap akhir tahun dari keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan lessee. 14 B. Upaya Hukum yang dilakukan Debitur Terhadap Penarikan Benda- Benda Bergerak Menurut Ketentuan Undang-undang. Untuk memperjuangkan hak-haknya dan memperoleh kepastian hukum di dalam permasalahan penarikan paksa yang dialami oleh debitur, debitur dapat melakukan upaya-upaya hukum yaitu:

1. Melakukan gugatan ke Pengadilan Umum Perdata

Berbicara mengenai praktek peradilan perdata di Indonesia tentu tidak bisa dilepaskan dari aturan-aturan normatif yang mengaturnya. Hal ini penting agar semua pihak yang terlibat didalam suatu sistem peradilan dapat memperoleh panduan untuk menjalankan proses persidangan yang dihadapi. Di Indonesia, mekanisme tentang praktek peradilan perdata terdapat pada hukum acara perdata yang berfungsi untuk menegakkan hukum material. Hukum material di Indonesia, baik yang termuat dalam suatu bentuk perundang-undangan maupun yang tidak tertulis, merupakan pedoman atau pegangan bagi seluruh warga masyarakat dalam segala tingkah lakunya di dalam pergaulan hidup. Semua ketentuan-ketentuan tersebut tidaklah cukup hanya dibaca, dilihat, atau diketahui saja, dalam hal ini diperlukan sekali suatu bentuk 14 Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktek, Bandung:penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 1999, hal 16-21. Universitas Sumatera Utara perundang-undangan yang akan mengatur dan menetapkan tentang cara bagaimana melaksanakan hukum materil. Menurut Prof. DR. Sudikno Mertukusumo, SH , “ Hukum acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya peraturan hukum perdata materil dengan perantaraan hakim. 15 Menurut Prof. DR. Wirjono Prodjodikoro, SH, “ Hukum acara perdata merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan bagaimana cara pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan- peraturan hukum perdata.” Jadi dapat disimpulkan bahwa Hukum Acara Perdata meliputi ketentuan tentang cara bagaimana harus menyelesaikan masalah dan mendapat keadilan dari hakim apabila kepentingan atau haknya dilanggar oleh orang lain dan sebaliknya bagaimana cara mempertahankan kebenarannya apabila ia dituntut oleh orang lain. 16 Sumber-sumber Hukum Acara Perdata yang dapat digunakan di Indonesia adalah sebagai berikut: a. Undang-undang Dasar tahun 1945 b. HIR dan Rbg c. KUH PerdataBW d. RV 15 Dikutip dari Krisna Harahap, Hukum Acara Perdata: Class Action, Arbritase Alternatif serta Mediasi, cet. 5, Bandung: PT Grafitri Budi Utami,2007, hal. 1 16 R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan, cet. 6,Jakarta:Sinar Grafika, 2004, hal. 3 Universitas Sumatera Utara e. UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman f. UU No. 8 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-undang ini yang menjadi dasar hukum para pihak Konsumen atau Kreditur mengajukan gugatan ke muka Pengadilan Umum g. UU No. 30 Thun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pada asasnya setiap orang boleh berperkara di depan Pengadilan kecuali orang yang belum dewasa atau orang yang sakit ingatan. Bagi orang yang belum dewasa, harus diwakili oleh orang tua atau wakilnya, dan bagi yang sakit ingatan diwakili oleh pengampunya. Suatu badan hukum juga boleh menjadi pihak dalam suatu perkara, dan yang bertindak untuk dan atas nama badan usaha tersebut adalah Direkturnya. Di dalam suatu sengketa perdata sekurang-kurangnya terdapat 2 Dua pihak, yaitu pihak Penggugat yang mengajukan gugatan yang dalam kasus sengketa Konsumen dapat berupa Konsumen yang dirugikan tersebut maupun pihak Kreditur dan pihak Tergugat bisa Konsumen atau Kreditur. Dan biasanya orang yang langsung berkepentingan sendiri yang aktif bertindak sebagai pihak di Pengadilan, baik sebagai Tergugat maupun Penggugat. Penggugat yaitu orang yang merasa bahwa haknya telah dilanggar, sedangkan Tergugat yaitu orang yang ditarik ke muka Pengadilan karena dia dianggap atau dirasa melanggar hak seseorang atau pihak lain. Diatas dikatakan bahwa biasanya orang yang mempunyai kepentingan sendirilah yang langsung menghadap di muka sidang Pengadilan. Keadaan Universitas Sumatera Utara demikian bukanlah merupakan suatu keharusan karena bisa saja orang atau para pihak Konsumen atau Kreditur yang berperkara dalam masalah sengketa Konsumen mewakilkan pada orang lain atas namanya menghadap di muka sidang Pengadilan. Seorang wakil yang mewakili salah satu pihak yang berperkara harus merupakan wakil yang sah, jadi wakil tersebut harus mempunyai surat kuasa yang menyebutkan nama perkara, pengadilan mana, perihal apa dan untuk apa surat kuasa tersebut diberikan. 17 Didalam masalah gugatan ini, kita perlu terlebih dahulu mengetahui perbedaan antara gugatan dan permohonan. Adapun perbedaan diantara keduanya yaitu bahwa dalam perkara gugatan ada suatu sengketa yang harus diselesaikan oleh Pengadilan yang diakhiri dengan sebuah putusan, sedangkan dalam perkara yang disebut permohonan, disini tidak ada sengketa dan diakhiri dengan sebuah penetapan Hakim. Dalam cara mengajukan gugatan harus diperhatikan benar-benar oleh penggugat, bahwa gugatannya harus diajukan kepada Pengadilan yang benar- benar berwenang untuk mengadili perkara atau persoalan yang bersangkutan. Dalam Hukum Acara Perdata dikenal adanya 2 macam kewenangan mengadili, yaitu: a. Kewenangan Mutlak Kewenangan badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh pengadilan lain, baik dalam lingkungan peradilan yang sama Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi 17 M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, cet. 3,Jakarta:Sinar Grafika, 2003, hal.10 Universitas Sumatera Utara maupun dalam lingkungan peradilan yang lain Pengadilan Negeri dengan Pengadilan Agama.Dengan demikian wewenang yang mutlak ini menjawab pertanyaan badan peradilan apa yang berwenang untuk mengadili sengketa yang bersangkutan. Kalau suatu perkara diajukan kepada Hakim yang secara mutlak tidak berwenang memeriksa perkara tersebut, maka hakim harus menyatakan dirinya tidak berwenang secara ex efficio untuk memeriksanya, dan tidak bergantung pada ada tidaknya eksepsi dari tergugat tentang ketidakwenangan itu. Setiap saat selama persidangan berlangsung dapat diajukan tangkisan bahwa hakim tidak berwenang memeriksa perkara tersebut. b. Kewenangan Relatif Kewenangan yang mengatur tentang pembagian kekuasaan mengadili antar Pengadilan yang serupa atau sejenis Misalnya Pengadilan Negeri Medan dengan Pengadilan Negeri Kisaran. Dengan demikian wewenang relatif ini akan menjawab pertanyaan Pengadilan yang berada dimana yang berwenang untuk mengadili perkara yang bersangkutan. Jadi dalam hal ini akan berkaitan dengan wilayah hukum suatu Pengadilan. Kalau seseorang digugat di muka hakim yang tidak berwenang secara relatif memeriksa perkara tersebut, maka hakim hanya dapat menyatakan dirinya tidak berwenang secara relatif memeriksa perkara tersebut apabila tergugat mengajukan eksepsitangkisan bahwa hakim tidak berwenang memeriksa perkara tersebut, dan tangkisan tersebut diajukan pada sidang pertama atau setidak-tidaknya belum mengajukan tangkisan lain. Universitas Sumatera Utara

2. Mengadukan ke BPSK