Tinjauan Yuridis Tentang Pencekalan Yang Dilakukan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Terkait Dugaan Penyalahgunaan Wewenang Yang Dilakukan Oleh Pimpinan KPK Dalam Kasus Pencekalan Terhadap Direktur PT. Masaro Radiokom ( Anggoro Widjoyo)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Admosudirjo, Prajudi. Hukum Administrasi Negara Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988

Bruggink,J.J.H. Refleksi Tentang Hukum [Rechts Reflecties, Grondbegrippenuit de rechtstheire], diterjemahkan oleh B. Arief

Sidharta, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996

Chazawi, Adami. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsidi

Indonesia, Malang: Bayumedia Publishing, April 2005

Crowther, Jonathan. ed., Oxford Advanced Learner’s Dictionary of

Current English A.S. Hornby, ed.5, Oxford University Press,1995

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke- 3, cetakan I, Jakarta: Balai Pustaka, 2001

Hadjon, P.M. et.al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994

Harahap, M Yahya Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP,

Penyidikan dan Penuntutan, cet VII, Jakarta: Sinar Grafika

Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan kedua, Jakarta: Balai Pustaka, 1999

Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata

Usaha Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991

Kartanegara, Satochid. Hukum Pidana II, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa UI, 2002

Kusnadi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, edisirevisi, cetakan kelima, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005


(2)

Leyland, Peter. and Torry Woods, Administrative Law, 3rd ed., London: Blackstone Press Limited, 1999

Marbun, S.F. Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif di Indonesia, cetakan kedua (revisi), Yogyakarta: UII Press, 2003

Ngani, Nico., I Nyoman Budi Jaya, Hasan Madani, Mengenal Hukum Acara

Pidana, Bagian Umum Dan Penyidikan. Yogyakarta: Liberty

Notohamidjojo, O. Makna Negara Hukum, Jakarta: BPK, 1967

Nugraha, Safri. et al. Hukum Adminitrasi Negara, edisi Revisi, Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Pangaribuan, LuhutM.P.,Hukum Acara Pidana, Satu Kompilasi Ketentuan

ketentuan KUHAP dan Hukum Internasional, Cet-III , Jakarta:

Djambatan

Prakoso, Djoko. POLRI Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum, cet. 1, Jakarta: Bina Aksara, 1987

Prinst, Darwin. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Jakarta: Djambatan, 1989.

Purbopranoto, Kuntjoro. Beberapa catatan Hukum Tata Pemerintahan dan

Peradilan Administrasi Negara Bandung: Alumni, 1981

Reksodiputro, Mardjono. Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan

Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian

Hukum, Universitas Indonesia, 1995

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, cetakan ke-III, Jakarta : UI Press, 1986

Soekanto, Soerjonodan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu

Tinjauan Singkat. Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada, 2001

Wade, W.R and C.F. Forsyth, Administrative Law, 7th ed., New York: Oxford


(3)

B. ARTIKEL, JURNAL DAN KARYA ILMIAH

Brotosusilo, Agus “Pergulatan Ideologis Dalam Methodologi Kajian

Hukum,” materi kuliah Filsafat Hukum danTeori Hukum

bidang Hukum Ekonomi, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, FH-UI, 2005

Gijssels, Jan and Mark van Hoecke, Apakah Teori Hukum Itu?, di terjemahkan oleh B. Arief Sidharta, penerbitan tidak berkala No.3, laboratorium hukum, FH-Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2000.

Hadjon, Philipus M. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, pada Himpunan Makalah AAUPB, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994

Sjahdeni, Remy Beberapa Pokok Pikirandan Saran Sehubungan Dengan

Amandemen Undang-Undang Bank Indonesia, makalah

diskusi untuk Tim Panel Amandemen Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia (a), Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76 tahun 1981

Indonesia (b), Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 30 Tahun 2002, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2002

Indonesia (c), Undang-Undang tentang Perubahan Atas UU No, 31 tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU

No. 20 Tahun 2001, LN No.134, TLN No. 4150.Indonesia (d) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.


(4)

Indonesia (e), Undang-Undang Tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia, UU Nomor 2 Tahun 2002, Lembaran Negara RI

Nomor 2Tahun 2002, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4168

Indonesia (f), Undang-Undang tentang Keimigrasian, UU No 9 Tahun 1992, LN Republik Indonesia No 33 tahun 1992, TLN No. 3474

Tap MPR No.XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN

D. LAMAN INTERNET

Hernowo, “Korupsi Adalah: Dari Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia

Bebas Berbahasa Indonesia”.

http://korup.wordpress.com/korupsi-adalah/, 9 November 2010

Iptu I Gede Nyoman Bratasena, “Apa Beda Penyidikan dan Penyelidikan?”,<http://pelayanmasyarakat.blogspot.com/20

07/11/apa-bedapenyidikan-danpenyelidikan.html>, 9 Oktober 2009

http://indonetasia.wordpress.com/2009/06/02/definisi-suap/ 11 November 2010


(5)

BAB III

TUGAS DAN KEWENANGAN KPK DALAM PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SERTA ASAS-ASAS UMUM

PEMERINTAHAN YANG BAIK

A. Komisi Pemberantasan Korupsi

1. Tujuan Dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi

Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi ini dimaksudkan agar pemberantasan tindak pidana korupsi dapat ditangani secara profesional, intensif dan berkesinambungan. Sehingga apa yang menjadi tujuan KPK dapat tercapai, yakni untuk meningkatkan daya guna dan daya hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.90

“Hal tersebut didasari pemikiran bahwa penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan karena korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Maka diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang pelaksanaannya diharapkan optimal, intensif, efektif, profesional, serta berkesinambungan”

Untuk mencapai tujuan tersebut, komisi ini diberikan kewenangan yang luar biasa besarnya dalam upaya memberantas korupsi yang dapat terlihat dari penjelasan umum UU KPK:

91

a. Bahwa dalam rangka mewujudkan masyar akat yang adil , makmur

Beberapa bahan pertimbangan lain yang mendasari pembentukan KPK antara lain adalah:

90

Indonesia (b), Op.Cit,. pasal 4 91


(6)

dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia sampai sekarang ini belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh kar ena itu, pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia perlu ditingkatkan secara profesional, intesif dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, dan menghambat pembangunan nasional;

b. Bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi;

c. Bahwa sesuai dengan ketentuan pasal 43 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.92

2. Pengertian Umum Mengenai Kewenangan

Sebelum penulis membahas lebih jauh mengenai Kedudukan dan Wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi, ada baiknya penulis memaparkan kembali pengertian wewenang itu sendiri. Setiap pejabat administrasi Negara

92


(7)

dalam bertindak (menjalankan tugas-tugasnya) harus dilandasai wewenang yang sah, yang diberikan peraturan perundang-undangan. Penyelenggaraan pemerintahan harus didasarkan oleh hukum ( wet matigheid van bestuur = asas

legalitas = le principle de la l’egalite de’l administration). Oleh kar ena itu, setiap

pejabat administrasi negara sebelum menjalankan tugasnya harus terlebih dahulu dilekatkan dengan suatu kewenangan yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, sumber wewenang pemerintah terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Demikian juga dikatakan oleh Wade, bahwa pada dasarnya untuk menghindari abuse of power, maka semua kekuasaan harus dibatasi oleh hukum atau peraturan perundang-undangan.93

Secara umum wewenang merupakan kekuasaan untuk melakukan semua tindakan hukum publik.94

1. Hak untuk menjalankan suatu urusan pemerintahan (dalam arti sempit); Selanjutnya dapat dijabarkan pengertian wewenang pemerintah adalah:

2. Hak untuk secara nyata mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh instansi pemerintah lainnya (dalam arti luas).

Kewenangan publik menurut Peter Leynand mempunyai dua ciri umum, yaitu antara lain:

1. Setiap keputusan yang dibuat oleh pejabat pemerintah mempunyai kekuatan mengikat kepada seluruh anggota masyarakat (harus

93

H.W.R Wade and C.F. Forsyth, Administrative Law, 7th ed., (New York: Oxford University Press, 1994), p. 379

94

Prajudi Admosudirjo, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hal. 176


(8)

dipatuhi oleh seluruh anggota masyarakat)

2. Setiap keputusan yang dibuat oleh pejabat pemerintah mempunyai fungsi publik (melakukan publik service).95

Kewenangan yang yang terdiri dari beberapa wewenang, yaitu merupakan kekuasaan terhadap segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan yang berlandaskan peraturan perundang-undangan. Jadi kewenangan adalah kekuasaan yang mempunyai landasan hukum, agar tidak timbul kesewenang-wenangan. Kewenangan adalah kekuasaan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik.

Negara merupakan lembaga hukum publik yang terdiri dari jabatan- Jabatan Administrasi Negara, dimana pejabat adminitrasi negara menjalankan urusan pemerintahan. Dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut harus berdasarkan hukum ( wetmatigheid van bestuur ). Oleh karena itu administrasi negara sebelum menjalankan tugasnya harus terlebih dahulu dilekatkan dengan suatu kewenangan yang sah, berdasarkan peraturan peundang-undangan (asas legalitas). Dengan demikian, setiap perrbuatan pejabat administrasi negara harus mempunyai landasan hukum. Sehingga, dapat dikatakan sumber wewenang pemerintah terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kewenangan pemerintah untuk bertindak diperoleh dari Undang-Undang yang dibuat oleh Parlemen. Dan dengan melalui undang-undang tersebut, tindakan pemerintah dilegitimasikan. Derta melalui undang-undang ini pula diletakkan

95

Peter Leyland dan Torry Woods, Administrative Law, 3rd ed., (London: Blackstone Press Limited, 1999), hal 157


(9)

dengan baik “parameter” dari kewenangan bertindak pemerintah, yang dapat dilakukan dengan menetapkan kriteria-kriteria dari kekuasaan bertindak, antara lain:

a. Tujuan dari tindakan pemerintah;

b. Pertimbangan yang harus diambil dalam melakukan pertanggung jawaban;

c. Prosedur yang harus dipatuhi sebelum bertindak.

Untuk memperoleh wewenang pemerintah tersebut, dapat dilakukan tiga cara sebagaimana diuraikan berikut ini:

1. Atribusi, yaitu pemberian wewenang pemerintah yang baru oleh suatu peraturan perundang-undangan (produk hukum legislatif) untuk melaksanakan pemerintahan, secara penuh. Legislator yang kompeten dibedakan atas:96

a. Original Legislator , Tingkat Pusat seperti MPR

menghasilkan UUD, DPR menghasilkan UU. Tingkat daerah seperti DPRD dan Pemerintah daerah menghasilkan Peraturan Daerah (Perda).

b. Delegated Legislator , oleh Presiden berdasar ketentuan

perundang-undangan menghasilkan Peraturan Pemerintah dan Keputusan /Peraturan Presiden.

96

Safri Nugraha, et al Hukum Adminitrasi Negara, edisi Revisi (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia), hal 35-36


(10)

Dengan demikian berarti pelekatan secara atribusi merupakan pembentukan kewenangan baru, yang sebelumnya tidak ada dan khusus di bidang Pemerintahan. Selanjutnya pengertian secara penuh adalah pemberian kewenangan juga termasuk pemberian kewenangan untuk membuat suatu kebijakan yang dapat dituangkan di dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Hal ini berarti kebijakan demikian berada dibawah undang-undang, karena dalam rangka pelaksanaan undang-undang.

4. Delegasi, yaitu suatu pelimpahan wewenang yang telah ada yang berasal dari wewenang atribusi, kepada pejabat administrasi negara, tidak secara penuh. Oleh karena itu, delegasi selalu didahului oleh suatu atribusi wewenang. Bila tidak ada atribusi wewenang, pendelegasian tidak sah (cacat hukum). Delegasi yaitu pelimpahan tidak secara penuh, tidak termasuk wewenang untuk pembentukan kebijakan, karena wewenang pembentukan kebijakan tersebut berada ditangan pejabat yang mendapat pelekatan secara atribusi.

5. Mandat, yaitu pemberian tugas dari mandans (pemberi mandat = menteri) kepada mandataris (penerima mandat = direktur jendral / sekretaris Jendral) untuk atas nama menteri. Pada mandat, wewenang tetap berada di tangan mandans/menteri, sedangkan mandataris hanya melaksanakan perintah secara atas nama saja dan tanggung jawab tetap di tangan menteri.

Penggunaan wewenang pemerintah (publik), wajib mengikuti aturan Hukum Administrasi Negara supaya tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.


(11)

Wewenang publik terdiri dari dua kekuasaan yang luar biasa, yaitu :

1. Wewenang prealabel , yaitu wewenang untuk membuat keputusan yang diambil tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu dari pihak manapun.

2. Wewenang ex officio , yaitu wewenang dalam rangka pembuatan keputusan yang diambil karena jabatannya, sehingga tidak dapat dilawan oleh siapapun (yang berani melawan dikenakan sanksi pidana) karena mengikat secara sah bagi seluruh masyarakat.

Sesuai dengan pendapat Kuntjoro Purbopranoto, bahwa pembatasan tindakan pemerintah itu memang ada, yaitu: (1) tindakan pemerintah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau kepentingan umum, (2) tidak boleh melawan hukum (onrechmatig) baik formil maupun materiil dalam arti luas, (3) tidak boleh melampaui/menyelewengkan kewenangannya menurut kompetensinya.97

1. Undang-Undang hatus menetapkan asas yang tidak dapat dijabarkan atau diinterpretasikan lebih lanjut;

Untuk mencegah penyalahgunaan wewenang oleh pejabat administrasi negara, perlu adanya ketegasan mengenai pelimpahan dalam membuat peraturan oleh pejabat administrasi negara, yaitu:

2. Pendelegasian ditentukan secar a tegas dengan:

a. Menetapkan dalam pasal yang bersangkutan hal yang dapat didelegasikan;

97

Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan


(12)

b. Menetapkan dalam pasal undang-undang yang bersangkutan semacam suatu pedoman untuk pejabat administrasi negara; c. Mensyaratkan dengan undang-undang agar sebelumnya

diadakan studi /penelitian yang cukup;

d. Undang-undang menetapkan jenis dan beratnya sanksi hukum bagi pelanggaran per aturan;

e. Pelimpahan hanya dilakukan kepada pejabat administrasi negara;

f. Undang-undang menetapkan diadakannya beban untuk menampung keluhan, pengaduan atau gugatan.

Dalam pelaksanaan wewenang pemerintah, pejabat administrasi Negara dapat mengambil suatu keputusan yang pada dasarnya harus atas permintaan tertulis, baik dari instansi atau orang-perorangan. Dalam membuat keputusan tersebut terikat pada tiga asas hukum, yaitu:

1. Asas yuridikitas ( rechmatigeheid ), yaitu bahwa setiap tindakan pejabat administrasi negara tidak boleh melanggar hukum secara umum (harus sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan);

2. Asas legalitas ( wetmatigeheid ), yaitu setiap tindakan pejabat administrasi negara harus ada dasar hukumnya (ada pertauran dasar yang melandasinya). Apalagi Indonesia adalah negara hukum, maka asas legalitas adalah hal yang paling utama dalam setiap tindakan pemerintah;


(13)

3. Asas diskresi ( freies ermessen ), yaitu kebebasan dari seorang pejabat administrasi negara untuk mengambil keputusan berdasarkan pendapatnya sendiri, asalkan tidak melanggar asas yuridikitas dan asas legalitas tersebut diatas. Jadi penggunaannya tidak terlepas sendiri dari asas-asas yang lainnya. Sehingga, pejabat administrasi negara tidak dapat menolak untuk mengambil keputusan, bila ada seorang war ga masyarakat mengajukan permohonan kepada pejabat administarsi negara.98

3. Kedudukan dan Wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penanganan tindak pidana korupsi

Pasal 43 UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 jo UU No 30 tahun 2002 menyebutkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga Negara yang dibentuk melalui undang-undang dan menjalankan tugas berdasarkan kewenangan yang melekat secara independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Alinea 14 penjelasan umum UU KPK jo Pasal 19 ayat (1) dan (2) UU No 30 tahun 2002 menjelaskan bahwa KPK dibentuk dan berkedudukan di Ibukota Negara. Apabila dipandang perlu, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, KPK dapat membentuk per wakilan di daerah Provinsi.

Sebelum membahas mengenai kewenangan KPK, maka perlu diketahui asas-asas yang terdapat dalam UU Nomor 30 tahun 2002. Menurut Pasal 5 UU No

98


(14)

30 tahun 2002, asas-asas yang dimaksud adalah:99

a. Kepastian hukum yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi;

b. Keterbukaan yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan fungsinya;

c. Akuntabilitas yaitu ass yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir Komisi Pemberantasan Korupsi harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

d. Kepentingan yaitu adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif;

e. Proporsionalitas yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara tugas, wewenang, tanggung jawab dan kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi.

Dalam rangka menjalankan tugas dan kewenangannya, KPK harus senantiasa berpedoman pada asas-asas tersebut. Hal ini dikarenakan asas-asas tersebut menjiwai setiap pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK.

99


(15)

Tugas Komisi Pemberantasan Korupsi adalah:

7. Dijelaskan dalam pasal 6 UU KPK bahwa tugas dari KPK adalah:

a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;

d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi;

e. Melakukan monitor terhadap pelanggaran pemerintahan negara. f. KPK bertugas menetapkan status kepemilikan gratifikasi

sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (1) dengan Keputusan Pimpinan KPK (Pasal 17 ayat (3) UU KPK);

g. Menyerahkan gratifikasi yang menjadi milik negara kepada menteri Keuangan (Pasal 17 ayat (6) UU KPK);

h. KPK bertugas membentuk panitia seleksi untuk memilih Tim Penasihat KPK (Pasal 22 ayat (2) UU KPK);

i. KPK bertugas membuat keputusan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan pegawai KPK (Pasal 24 ayat (3) UU KPK); j. KPK juga bertugas sebagaimana diatur dalam Pasal 25 UU

KPK, yaitu antara lain:


(16)

pelaksanaan tugas dan wewenang KPK;

l. Mengangkat dan memberhentikan Kepala Bidang, Kepala Sekretariat, Kepala Subbidang, dan pegawai yang bertugas pada KPK;

m. Menentukan kriteria penanganan tindak pidana korupsi.

Berdasarkan tugas-tugas seperti yang telah disebutkan, maka dapat diketahui bahwa tugas KPK tidak hanya melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi, KPK juga bertugas melakukan koordinasi dan supervisi dengan instansi lain (huruf a dan b) dan melakukan tindakan-tindakan pencegahan (huruf d) serta melakukan monitoring terhadap penyelenggaraan pemerintahan (huruf e).

Beberapa program yang terkait dengan pencegahan, diantaranya menelaah peraturan yang berpotensi korupsi besar dan/atau yang menghambat pemberantasan korupsi.100 Kemudian memberikan perbaikan dan penyempurnaan berbagai aturan, sistem dan prosedur untuk meminimalkan terjadinya korupsi. Juga mengembangkan sistem pencatatan transaksi secara nasional yang memungkinkan dapat dideteksinya transaksi-transasi yang bersifat tidak biasa. 101

Wewenang KPK yang paling utama adalah melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Pada dasarnya kewenangan-kewenangan tersebut merujuk pada ketentuan yang diatur dalam UU No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain menurut UU No 30 Tahun 2002. Komisi Pemberantasan Korupsi

100

Taufiqurrachman Ruki, Ketua KPK Menjawab 8 Pertanyaan, http://www.beritaindonesia.com, diakses pada tanggal 21 Desember 2010

101 Ibid


(17)

dalam kerangka kerja Logik Penyidikan102

1. Penyidikan yang efektif menunjang penegakan hukum di Indonesia dan menjadikan korupsi sebagai kejahatan yang beresiko tinggi dalam sector publik dan sektor pemerintah. Juga dalam hal ini menumbuh kembangkan kesadaran publik atas korupsi sebagai kejahatan yang beresiko tinggi;

sasaran yang ingin dicapai dalam penyidikan yaitu:

2. Maksud dan tujuan tersebut adalah menyidik semua tuduhan korupsi secara efektif dengan mempertimbangkan penuntutan. Semua penyidikan akan didasarkan dengan Hukum Acara Pidana yang berlaku dan berdasarkan integritas moral yang tinggi dari Penyidiknya

3. Berbagai Penyidikan dilaksanakan, dituntaskan atau ditutup secara efektif dan dilimpahkan pada bidang Penuntutan yang ada dan KPK juga harus menumbuhkan keseriusan dalam menuntaskan kasus yang tengah disidik sehingga tidak mengambang dan segera dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang ada.

4. Mengembangkan kapasitas intelegensia dan menyelenggarakan pelatihan kepada sleuruh staf penyidik dalam rangka untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia yang ada di KPK disamping

102

Kerangka Kerja Logik – Startegi Konisi Pemberantasan Korupsi: Kerangka kerja logic ini didesain meliputi beberapa asumsi dan indicator, yaitu: Tujuan (Goal), Ringkasan Narasi, Indikator Pengukuran, berbagai Asumsi, Maksud dan Tujuan, dan Outputs (hasil) (Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dari Logical Framework – Strategy Investigation; Final Report: The Establishment of the Corruption Erradiction Commision of Indonesia – Annex A; Grant ADB 3381-INO; Departemen Kehakiman dan HAM Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan Tahun 2002)


(18)

juga meningktkan integritas moral bagi seluruh staf dan pimpinan serta pegawai KPK.

Pasal 3 UU No 30 tahu 2002 menyatakan bahwa: Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Sebagai suatu lembaga Negara yang bersifat independen, selain keberadaannya diatur dalam undang-undang tersendiri (UU No 30 tahun 2002), KPK dalam menjalankan kewajiban, kewenangan103

1. UU No 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan tugasnya terikat pada:

2. UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah ditambah dalam UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, maka KPK terikat pada yaitu KUHAP (UU No 8 Tahun 1981) ketentuan KUHP, UU No 31 Tahun 1999 dan UU No 28 Tahun 1999 serta ketentuan hukum pidana lainnya.

Berdasarkan ketentuan ini KPK, tidak hanya terikat pada UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tetapi juga dalam pelaksanaan prosedur kewenangannya KPK terikat pada Ketentuan KUHAP yang diatur dalam UU No 8 Tahun 1981, KUHP, dan Ketentuan Pemberantasan Korupsi yang diatur dalam UU No 31 Tahun 1999 yang telah diadakan perubahan dengan UU No 30 Tahun 2002 tentang Peubahan Terhadap UU No 31 Tahun 1999 tentang

103


(19)

Pemberantasan Korupsi serta undang-undang lainnya yang terkait dengan pemberantasan korupsi.

Tugas dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam bidang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dalam UU No 30 Tahun 2002 adalah sebagai berikut:

1. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi (Pasal 6 huruf c UU KPK);

2. Berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang:104

a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;

b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan/atau; c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,-

(satu milyar rupiah);

Ketiga syarat tersebut merupakan syarat yang bersifat alternatif, bukan limitatif ataupun kumulatif.

1. Dalam melaksankan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, KPK berwenang:105

a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;

b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang

104

Ibid,. Pasal 11

105


(20)

seseorang bepergian ke luar negeri;

c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau ter dakwa yang sedang diperiksa;

d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait;

e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya; f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka, atau

terdakwa kepada instansi yang terkait;

g. Menghentikan sementara suatu transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perijinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang diperiksa;

h. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti ke luar negeri; i. Meminta bantuan Kepolisian dan Instansi lain yang terkait


(21)

dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

Ad a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan

Kewenangan untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan merupakan kewenangan penyidikan yang dilakukan oleh KPK. Dalam hal ini KPK akan bekerjasama dengan Telkom (Perusahaan Telekomunikasi Indonesia) untuk menyadap berbagai identitas dan alamat para pelanggan telepon dari si tersangka yang dicurigai melakukan korupsi ataupun berupaya untuk menghilangkan pembicaraan rahasia yang dimilikinya.106 KPK dalam melakukan kewenangan penyidikannya dapat melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dengan tujuan untuk memperoleh informasi baik dari saksi, ataupun pelapor maupun terdakwa itu sendiri. Pengertian penyadapan menurut UU No 36 Tahun 1999 adalah kegiatan memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi untuk tujuan mendapatkan informasi secara tidak sah. Pada dasarnya informasi yang dimiliki oleh seseorang adalah hak pribadi yang harus dilindungi sehingga penyadapan harus dilarang.107

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan penyadapan adalah proses mendengarkan (merekam) informasi (rahasia,

106

Final Report: Establishment of the Corruption Eradiction Commision of Indonesia; Grant ADB 3381-INO-Departemen Kehakiman dan HAM Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan Tahun 2002 (Data Riset yang diterjemahkan)

107

Indonesia (e), Undang-Undang tentang Telekomunikasi, UU No. 36 Tahun 1999, Lembaran Negara Nomor 154 Tahun 1999, TLN Nomor., Pasal 40


(22)

pembicaraan) orang lain dengan sengaja tanpa sepengetahuannya.108

a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; atau

Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan orang lain tanpa sepengetahuannya dan seizin orang yang bersangkutan pada dasarnya merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu dulu penggunaan rekaman sebagai hasil penyadapan tidak dapat digunakan dalam persidangan, karena alat bukti tersebut dianggap didapat secara melawan hukum dan bertentangan dengan due process of law .

Hasil penyadapan dan perekaman yang dilakukan oleh KPK dapat dijadikan alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan Pasal 26 jo Pasal 26A UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adapun ketentuan yang tersebut terdapat pada Pasal 26A UU No 20 tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang bunyinya adalah sebagai berikut:

Alat bukti yang sah dalam bentuk petuinjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP, khusus untuk tindak pidana korupsi dapat diperoleh dari:

b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas,

108

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi


(23)

benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, gambar, peta, rancangan, huruf , tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna

Kewenangan untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan orang lain yang dimiliki oleh Penyidik KPK merupakan suatu terobosan mengingat sulitnya mencari alat bukti tanpa melakukan penyadapan. Kewenangan ini benar-benar dapat menjadi senjata ampuh bagi Penyelidik dan Penyidik KPK untuk dapat menangkap basah pelaku korupsi. Jika kewenangan ini dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin, maka akan sangat berarti bagi upaya pemberantasan korupsi.

Ad. b. Memerintahkan kepada Instansi terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri

Istilah pelarangan seseorang untuk bepergian keluar negeri lebih dikenal dengan istilah “ cekal ”, dimana pihak imigrasi bekerjasama dengan KPK untuk melarang si tersangka koruptor untuk lari keluar negeri. Hal ini merupakan suatu keharusan bagi KPK dalam menjalankan fungsinya dikarenakan di negara ini, hampir seluruh koruptor yang ada lari keluar negeri dan tidak dapat diproses hukum. Para tersangka biasanya lari ke negara yang tidak mempunyai perjanjian Ekstradisi antara negara Indonesia dan negara tersebut sehingga sulit untuk diproses hukum.

Kewenangan ini bukanlah hal yang baru dalam dunia penyidikan karena telah sering dilakukan oleh penyidik Kepolisian dan Kejaksaan untuk mencegah terjadinya tersangka atau terdakwa kabur keluar negeri. Namun saat itu proses


(24)

untuk mencekal seseorang keluar negeri memakan waktu dan butuh birokrasi yang berbelit-belit. Seorang penyidik Kepolisian dan Kejaksaan tidak dapat langsung memerintahkan instansi pemerintahan, dalam hal ini keimigrasian, untuk melarang atau mencekal seseorang berpergian ke luar negeri, malainkan harus melalui Surat Keputusan Jaksa Agung.109 Yang kemudian surat tersebut disampaikan kepada pejabat keimigrasian untuk dilakukan pencekalan. Kewenangan yang dimiliki oleh Penyidik KPK saat ini tidak lagi harus melalui keputusan Jaksa Agung, karena berdasarkan kewenangan ini penyidik KPK dapat memerintahkan langsung kepada pejabat keimigrasian untuk melarang seseorang berpergian ke luar negeri. Kewenangan yang diberikan tersebut berusaha untuk memangkas prosedur-prosedur yang yang memakan waktu yang sebenarnya tidak diperlukan. Hal ini merupakan suatu yang positif bagi dunia penegakan hukum kita. Dengan adanya pemangkasan jalur-jalur birokrasi yang tidak penting dan hanya membuang waktu dan tenaga maka penegakan hukum akan berjalan lebih baik. Bagi upaya pemberantasan korupsi sendiri hal demikian akan mencegah terjadinya pelarian para tersangka atau terdakwa kasus korupsi pergi keluar negeri.

109

Indonesia (f), Undang-Undang tentang Keimigrasian, UU No 9 Tahun 1992, LN Republik Indonesia No 33 tahun 1992, TLN No. 3474, pasal 11 ayat (1) huruf c jo ayat (2)


(25)

Ad. c. Meminta keterangan kepada Bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa.

Dalam pasal 64 Undang- Undang No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Bank Sentral)110

1. Penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perbankan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Perbankan terhadap tindak pidana yang menyangkut transaksi lembaga pembiayaan hanya dapat dilakukan oleh Bank Indonesia;

dinyatakan dalam tugas Penyelidikan dan Penyidikan menyatakan sebagai berikut:

2. Penyelidikan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh pejabat-pejabat tertentu dari Bank Indonesia;

3. Pejabat-pejabat tertentu dari Bank Indonesia yang ditunjuk untuk melaksanakan penyelidikan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan berdasarkan Keputusan Dewan Gubernur Bank Indonesia;

4. Pejabat dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (3) adalah penyidik sebagaimana sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (1) huruf (b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang tugasnya tidak hanya terbatas kepada melakukan tindakan penyidikan saja, tetapi sekaligus juga melakukan penyidikan;

5. Menyimpang dari ketentuan Pasal 7 ayat (2) Kitab Undang-Undang

110

Remy Sjahdeni, Beberapa Pokok Pikiran dan Saran Sehubungan Dengan

Amandemen Undang-Undang Bank Indonesia, makalah diskusi untuk Tim Panel Amandemen


(26)

Hukum Acara Pidana, penyidik sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (3) berdiri sendiri dalam melaksanakan tugasnya dan tidak boleh dicampuri atau dipengaruhi oleh pihak kepolisian dan pihak Kejaksaan Republik Indonesia.

Apabila mengacu pada pasal ini, maka KPK tidak dapat meminta keterangan dengan melakukan penyidikan langsung ke Bank Indonesia (hal ini apabila kasusnya adalah pejabat tinggi negara) untuk meminta keterangan mengenai keadaan keuangan tersangka. Penyidikan ini hanya dapat dilakukan apabila BI sendiri telah melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap keuangan pejabat negara tersebut. Hal ini selalu dikaitkan dengan “kerahasian bank” yang menyulitkan tim penyidik dari KPK untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap laporan keuangan yang diterima.

Akan tetapi apabila kita mengacu kepada Undang-Undang No 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 7 tahun 1992 tentang Perbankan dimungkinkan penyidik KPK untuk bukan hanya memeinta keterangan tetapi juga melakukan penyidikan terhadap laporan keuangan yang diduga hasil korupsi. Hal ini dapat diperhatikan dalam pasal 42 dinyatakan bahwa:111

1. Untuk kepentingan per adilan dalam perkara pidana, Pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada Polisi, Jaksa, atau Hakim untuk memperoleh keterangan dari Bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada Bank;

111

Lihat pasal 42 Undang-Undang No 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-


(27)

2. Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung dan Ketua Mahkamah Agung;

3. Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebut nama dan jabatan Polisi, Jaksa, atau Hakim, nama tersangka, dan hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan yang diperlukan. Jadi pada ketentuan tersebut timbul permasalahan, apakah pimpinan KPK dapat sah dan diterima sebagai penyidik, dikarenakan adanya polisi dan jaksa sebagai penyidik dalam KPK. Apabila KPK tidak mempunyai kewenangan dalam penyidikan terhadap perbankan, KPK dalam kasus-kasus seperti ini dibatasi hanya punya kewenangan Supervisi, ini akan kembali pada kewenangan KPK dimana Pasal 8 ayat (1) dinyatakan:

Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan kewenangan publik.112

Dalam melaksakan wewenangnya yang diberikan oleh undang-undang diluar KUHAP, baik kejaksaan maupun KPK menimbulkan beberapa kritik dari berbagai kalangan masyarakat dan akademisi. Wewenang tersebut dianggap Dalam hal ini, KPK tidak dapat melaksanakan kewenangannya dalam penyelidikan dan penyidikan dengan meminta keterangan kepada Bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa, KPK hanya mempunyai kewenangan Supervisi.

112


(28)

menimbulkan tumpang tindih antara lembaga-lembaga yang juga diberikan wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan oelh KUHAP.

Ad. d. Memerintahkan kepada Bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa atau pihak lain yang terkait

Setelah penyidik KPK mendapatkan informasi tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa dari bank atau lembaga keuangan lainnya, yang diindikasikan sangat kuat bahwa rekening milik tersangka atau terdakwa merupakan hasil korupsi, maka Penyidik KPK berwenang untuk memerintahkan pihak bank atau pihak lembaga keuangan untuk memblokir rekening tersebut. Tujuannya adalah agar uang tersebut tidak dilarikan atau dipindahkan lagi, sehingga menjadi sulit untuk ditemukan.

Ad.e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasannya untuk memberhentikan tersangka dari jabatannya.

Pada umumnya perbuatan korupsi itu sangat berkaitan erat dengan penggunaan sarana kekuasaan jabatan. Biasanya seseorang yang telah dijadikan tersangka atau terdakwa dalam kasus tindak pidana korupsi tidak mau mundur dari jabatannya. Umumnya mereka berargumentasi bahwa kita harus menghormati asas praduga tak bersalah.

Dengan diberhentikannya sementara waktu terdakwa atau tersangka dari jabatannya dimaksudkan agar tersangka atau terdakwa dapat berkonsentrasi pada


(29)

permasalahan yang dihadapi, serta dimaksudkan agar pemeriksaan perkara korupsi dapat berlangsung secara fair dan adil.

Ad. f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait.

Yang dimaksud dengan data kekayaan adalah seluruh informasi tentang keadaan kekayaan tersangka atau terdakwa baik itu berupa benda ber gerak, benda tidak bergerak, benda berwujud maupun benda tidak berwujud. Selain itu Penyidik KPK juga berwenang untuk meminta kepada instansi yang terkait tanpa ada yang ditutup-tutupi. Selain itu penyidik KPK juga berwenang untuk meminta kepada instansi yang terkait untuk memberikan data perpajakan tersangka atau terdakwa tindak pidana korupsi.

Dari data perpajakan tersangka atau terdakwa dapat diketahui berapa kekayaannya, serta perkembangan kekayaannya dari tahun ke tahun. Berdasarkan data-data tersebut dapat diketahui berapa besarnya kewajiban pajak yang seharusnya menjadi kewajiban tersangka, berapa yang sudah dibayar dan berapa yang “disembunyikan”. Berapa besar yang “disembunyikan” inilah yang seharusnya masuk ke kas negara, nemun disembunyikan atau digelapkan oleh tersangka atau terdakwa. Dalam penjelasan pasal 12 huruf f, yang dimaksud dengan tersangka atau terdakwa itu adalah baik perorangan maupun korporasi.


(30)

Ad. g. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi, serta kensesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti permulaan yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa.

Pengertian sementara tersebut bertujuan untuk menghindari timbulnya kerugian negara lebih lanjut akibat dari suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau akibat dari diberikannya suatu perizinan, lisensi, serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Tujuan ini bermaksud untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, untuk menghindari penghilangan atau penghancuran alat bukti yang diperlukan oleh penyelidik, penyidik serta untuk menghindari kerugian Negara yang lebih besar.

Ad. h. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri.

Apabila tersangka sudah melarikan diri ke luar negeri atau barang-barang bukti hasil tindak pidana korupsi berada di luar negeri maka Penyidik KPK diberi kewenangan untuk meminta bantuan Interpol atau penegak hukum negara lain, karena sulit bagi Penyidik KPK untuk melakukan hal tersebut dengan kemampuan yang dimilikinya sendiri.

Untuk itu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 telah memberikan kekuasaan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melakukan kerjasama


(31)

dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dengan lembaga penegak hukum negara lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau berdasarkan perjanjian internasional yang telah diakui oleh pemerintah republik Indonesia.113

113

Indonesia (b), Op.Cit, Pasal 41

Dengan adanya kekuasaan tersebut Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melakukan kerjasama tidak hanya untuk melakukan pencarian penangkapan, dan penyitaan saja, tetapi juga untuk melakukan penahanan, penggeledahan, pendeportasian, pemeriksaan dan pemblokiran rekening tersangka atau terdakwa tindak pidana korupsi, dan hal-hal lain yang dipandang perlu guna meningkatkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Ad. i. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, dalam perkara tindak pidana korupsi yang ditangani.

Komisi Pemberantasan Korupsi yang telah dibentuk tentunya memiliki keterbatasan juga, diantaranya memiliki pegawai yang jumlahnya jauh lebih sedikit dari pada jumlah aparat Kepolisian maupun Kejaksaan. Dengan keterbatasan yang dimiliki itulah penyidik KPK diberi kewenangan untuk meminta bantuan kepada Kepolisian atau Instansi lain yang terkait, misalnya dalam melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, Penyidik KPK memerlukan bantuan dari pihak Kepolisian atau Instansi lainnya.


(32)

B. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik

1. Penerapan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik

Makna umum pemerintahan dalam perspektif Hukum Administrasi Negara tidak dapat dilepaskan dari teori pemisahan kekuasaan negara yang pada awalnya bersumber pada gagasan John Locke (1632-1704) tentang pembatasan kekuasaan negara dalam kelembagaan kekuasaan Legilatif, Eksekutif dan Federatif, yang kemudian berkembang dengan munculnya teori pemisahan kekuasaan negara trias

politica oleh Montesquieu (1689-1755) dalam bukunya L’Esprit de lois (1704)

dimana kekuasaan negara dalam lembaga Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Dapat disimpulkan pikiran-pikiran John Locke mengenai pemisahan kekuasaan negara tersebut telah merubah kekuasaan monarchi absolut pada abad ke tujuh belas menjadi Monarchi Constitutional, kekuasaan negara harus dibatasi oleh konstitusi, dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsep pemisahan kekuasaan negara sangat berjasa bagi perkembangan sistem pemerintahan negara hukum selanjutnya. ” Negara Indonesia adalah negara hukum” demikian bunyi Pasal 1 ayat (3) Amandemen ketiga UUD 1945 dan dalam penjelasan naskah asli UUD 1945 mengenai sistem pemerintahan negara menerangkan negara Indonesia

berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat), pemerintahan berasas atas sistem konstitusi. Penggunaan istilah

Machsstaat atau “negara berdasarkan kekuasaan” bisa dirasakan kurang pas atau kurang tepat, karena tiap-tiap negara memiliki dan menjalankan pemerintahannya dengan kekuasaan, maka Alfred Veldross dalam “ Albendlandische


(33)

negara memerintah menurut kehendaknya sendiri atau tegasnya pemerintahan negara berlaku sewenang-wenang.114

Terdapat berbagai teori negara hukum yang turut mewarnai corak maupun jalannya pemerintahan negara, maka pemahaman negara hukum memerlukan pendekatan yang tepat dan relevan. Untuk dapat disebut negara hukum harus memiliki dua unsur pokok yaitu: adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan adanya pemisahan kekuasaan dalam negara.115 Kedua pokok tersebut menurut Stahl perlu ditambah dua unsur pokok lagi, yaitu: setiap tindakan Negara harus berdasarkan undang-undang yang dibuat terlebih dahulu dan adanya Peradilan Administrasi untuk menyelesaikan perselisihan antara penguasa dan rakyat.116 Tujuan negara hukum menurut ajaran Kant, adalah membentuk dan mempertahankan hukum, negara menjamin kedudukan hukum individu-individu di dalam masyar akat, selain itu setiap warga negara mempunyai kedudukan hukum yang sama dan tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang oleh penguasa.117

Konstitusi negara hukum Indonesia menganut asas rule of law dalam menjalankan sistem pemerintahan negara dengan menjunjung tinggi supremasi hukum yang harus ditaati baik oleh setiap warga negara meupun penguasa, dimana semua warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecuali (Pasal 27 ayat (1) UUD 1945). Konstitusi merupakan hukum dasar dalam sistem perundang-undangan dan dalam menjalankan pemerintahan. Kenyataan ini dapat

114

O. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum, (Jakarta: BPK, 1967), hal.23 115

Kusnadi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, edisi revisi, cetakan kelima, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005) hal. 132

116 Ibid 117


(34)

dilihat dari ketentuan UUD 1945 yang menyebutkan “Kedaulatan di tangan rakyat

dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” (Pasal 1 ayat (1) UUD 1945),

dan “Presiden Republik Indonesia memgang kekuasaan pemerintahan menurut

Undang-Undang Dasar” (Pasal 4 ayat (1) UUD 1945). Namun demikian,

supremasi hukum yang memegang peran sentral dalam menjalankan pemerintahan tidak selalu akan berjalan seperti yang diharapkan, sebab dalam penyelenggaraan negara bisa terjadi timbulnya pengaruh kekuasaan yang mengakibatkan tidak berfungsinya lembaga-lembaga negara dengan baik,118

Beberapa pendapat ahli mengenai Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, seperti yang disistemisasi oleh Van Wijk berjudul “Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara” tahun 1994. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dikelompokkan sebagai berikut:

yaitu terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang bernaung pada hukum atau rule of man by using

law dan tindakan Pemerintahan dilakukan secara arbitary atau sewenang-wenang

belaka, maka fungsi-fungsi lembaga negara harus berjalan sesuai dengan konstitusi dan ketentuan perundang-undangan.

119

1. Asas-asas formal mengenai pembentukan keputusan yang meliputi: asas kecermatan formal dan asas “fair play”;

2. Asas-asas meterial mengenai formulasi keputusan yang meliputi: a. Asas kepastian hukum

118

Tap MPR No.XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN

119

Philipus M. Hadjon, Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, pada Himpunan Makalah AAUPB (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hal 107.


(35)

b. Asas kepercayaan atau asas harapan-harapan yang telah ditimbulkan

c. Asas persamaan;

d. Asas kecermatan material; e. Asas keseimbangan

Mengenai Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Prof Kuntjoro Purbopranoto dalam bukunya yang berjudul “Beberapa Catatan Hukum Tata

Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara” menguraikan Asas-Asas

Umum Pemerintahan Yang Baik dalam 13 asas, sebagai berikut :120 1. Asas kepastian hukum ( principle of legal security ); 2. Asas keseimbangan ( priciple of proportionality );

3. Asas kesamaan (dalam pengambilan keputusan pangreh) – principle of

equality ;

4. Asas bertindak cermat ( principle of carefuleness );

5. Asas motivasi untuk setiap keputusan pengreh ( principle of motivation ); 6. Asas jangan mencampur adukkan kewenangan ( principle of non misuse of

competence );

7. Asas permainan yang layak ( principle of fair play );

8. Asas keadilan atau kewajaran ( principle of reasonableness or prohibition

of arbitrariness);

9. Asas menanggapi pengharapan yang wajar ( principle of meeting raised

expectation );

120


(36)

10. Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal ( principle of

undoing the consequences of an annuled decisions );

11. Asas perlindungan atas pandangan hidup (cara hidup) pribadi (principle of

protecting the personal way of life );

12. Asas kebijaksanaan ( sapience );

13. Asas penyelenggaraan kepentingan umum ( principle of public service ) Dalam aspek Hukum Administrasi, penyelenggaraan pemerintahan yang baik, tidak terlepas dari makna wewenang yang dimiliki dan digunakan oleh pemerintah. Prof. Prajudi Admosudirdjo membedakan pengertian antara wewenang ( competence ) dan kewenangan ( authority ) yang dalam Hukum Admnistrasi Negara dibedakan pengertiannya, walaupun dalam praktek pembedaan itu tidak terlalu dirasakan. “Kewenangan” adalah apa yang disebut “kekuasaan formal” yang berasal dari kekuasaan legislatif (diberikan oleh undang-undang), sementara “wewenang” adalah pendelegasian sebagian kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum.121

Misalnya wewenang menandatangani/menerbitkan surat-surat izin dari seorang pejabat atas nama Menteri, kewenangannya tetap berada di tangan Menteri. Secara yuridis pengertian wewenang adalah kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik atau kemampuan bertindak yang

Menurut Dr.S.F.Marbun, kewenangan berarti kumpulan wewenang- wewenang (rechtsbevoegdheiden), sedangkan wewenang ( competence, becoegdheid ) hanya mengenai sesuatu onderdil atau bidang tertentu saja.

121

Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981) hal 29


(37)

diberikan oleh undang-undang untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.122

a. Kelompok Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik bersifat formal sehubungan dengan proses persiapan pembentukkan keputusan.

Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik dalam kepustakaan Indonesia, secara umum bersumber kepada Hukum Administrasi Negara Belanda. Oleh kerena itu pengelompokkan asas-asas yang terjadi pada umumnya sebagai berikut:

b. Kelompok Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik bersifat formal sehubungan dengan motivasi terbitnya keputusan,

c. Kelompok Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik bersifat material sehubungan dengan isi keputusuan;

Termasuk dalam kelompok pertama (a) antara lain asas kecermatan; fair

play ; dan larangan bertindak sewenang-wenang ( deteournament de pouvoir ).

Disebut kelompok asas-asas yang bersifat formal karena sekumpulan asas tersebut acapkali disebut kelompok asas prosedural, karena meliputi sejumlah langkah persiapan dalam pembuatan keputusan. Peranan asas penyalahgunaan wewenang disini adalah agar dalam pembuatan keputusan tidak menyimpang prosedur yang sudah ditentukan. Kelompok kedua (b) adalah asas motivasi bersifat formal, karena merupakan bagian konsiderans yang menampakkan berbagai alasan yang mendukung diterbitkannya suatu keputusan.123

122

S.F. Marbun, Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif di Indonesia, cetakan kedua (revisi), (Yogyakarta: UII Press, 2003), hal 123

123

P.M. Hadjon, et.al.,Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994), hal 275

Kelompok ketiga (c) Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik bersif at material, artinya berhubungan dengan isi atau diktum keputusan. Termasuk dalam kelompok ini adalah asas kepastian


(38)

hukum, asas persamaan, asas keseimbangan, asas larangan penyalahgunaan wewenang, asas fair play, asas kepercayaan /pengharapan, asas larangan bertindak sewenang-wenang.

2. Manfaat Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik

Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik memiliki fungsi sebagai pedoman pelaksanaan kewenangan administrasi negara untuk memberikan dan menentukan batas-batas yang harus diperhatikan oleh suatu jabatan secara yuridis. Orientasinya harus kepada peraturan perundang-undangan dan tatanan hukum, karena berdasarkan kedua hal tersebut maka kepatuhan terhadap batas-batas jabatan umum dapat dipaksakan, bukan ber gantung kepada kesadaran atau itikad baik pejabat.124

Sebagai norma hukum, paling tidak Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik berpengaruh pada tiga bidang, yaitu:125

a. Penafsiran dan penerapan ketentuan perundang-undangan;

b. Pembentukan beleid pemerintah dimana organ pemerintahan diberi kebebasan kebijaksanaan oleh peraturan perundang-undangan atau tidak terdapat ketentuan yang membatasi kebebasan kebijaksanaan yang akan dilakukan itu;

c. Pelaksanaan kebijakan Pembagian ketiga bidang tersebut oleh Indroharto diberi nama “tiga aspek penemuan hukum”. Aliran filsafat yang turut mendasari Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik adalah aliran positivisme hukum. Menurut aliran ini, hukum adalah perintah

124

Safri Nugraha, et.al., Op.Cit., hal 71 125

Indroharto, Usaha Memahami Undnag-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha


(39)

penguasa yang berdaulat dan merupakan kehendak negara. Kebijakan penguasa bersenyawa dengan hukum. John Austin dalam teori

Analitical Jurisprudence atau sering disebut dengan teori hukum yang

analitis, menyebutkan ada dua bentuk hukum, yaitu positive law (Undang-Undang) dan positive morality (hukum kebiasaan). Logika hukumnya adalah undang-undang dan hukum kebiasaan akan diakui sebagai hukum apabila telah dikukuhkan oleh penguasa yang berwenang.


(40)

BAB IV

ANALISA YURIDIS MENGENAI PENCEGAHAN DAN PENANGKALAN (PENCEKALAN) SEHUBUNGAN DENGAN DUGAAN

PENYALAHGUNAAN WEWENANG PIMPINAN KPK

A.Kronologis Kasus Bibit-Chandra Dalam Kerangka Pencekalan

Berawal pada testimoni Antasari Azhar, Polri memanggil empat pimpinan KPK dan empat pejabat KPK. Polisi memanggil petinggi KPK dengan jeratan pasal 23 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 atas dugaan telah menyalahgunakan kekuasaan dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 421 KUHP. Dalam kasus ini Polri mendapatkan laporan secara resmi dari Ketua KPK nonaktif Antasari Azhar. Laporan itu menyebutkan adanya dugaan pimpinan KPK yang menerima suap dan penyalahgunaan kewenangan sebagai pimpinan KPK dalam menangani kasus PT Masaro Radiokom yang diduga melibatkan Anggoro Widjaja.

Dalam pemeriksaan, penyidik lebih banyak menanyakan mengenai dugaan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh pimpinan KPK mengenai pencekalan dan pencabutan cekal Direktur PT Masaro Radiokom Anggoro Widjojo dan terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra. Kedua orang tersebut memang dijatuhi cekal oleh KPK. Anggoro diduga melakukan suap kepada anggota Komisi IV DPR. Anggoro telah menjadi tersangka dalam kasus ini. Namun, sebelum cekal itu diberikan, yang bersangkutan lebih dulu kabur ke Singapura. Sementara Djoko Tjandra pernah dicekal karena diduga terkait kasus suap Jaksa Urip Tri Gunawan dan merupakan orang dekat Sjamsul Nursalim.


(41)

Namun setelah diselidiki lebih mendalam, kasus suap tersebut tidak terbukti. Keputusan pencabutan cekal itu diputuskan berdasarkan rapat pimpinan.

Menurut Pasal 7 ayat (1) huruf (a) KUHAP, disebutkan bahwa penyidik berwenang untuk menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana. Jadi, jika kita mengacu pada pasal ini, testimoni dari Antasari Azhar yang menyebutkan adanya suatu tindak pidana penyuapan dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pimpinan KPK, dapat dijadikan dasar bagi Kepolisian untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tentang masalah tersebut. Kepolisian berpendapat bahwa pimpinan KPK telah menyalahgunakan wewenang dikarenakan telah menerbitkan keputusan cekal pada saat Anggoro Widjaja masih diperiksa dalam status sebagai saksi. POLRI berpendapat bahwa keputusan cekal tersebut terkait dengan isu pemerasan yang diduga dilakukan oleh pimpinan KPK.

Yang dimaksud dengan penyelidikan berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang–Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini. Sedangkan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Berdasarkan rumusan Pasal 1


(42)

butir 2 KUHAP, unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian penyidikan adalah:

a. Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang mengandung tindakan-tindakan yang antara satu dengan yang lain saling berhubungan;

b. Penyidikan dilakukan oleh pejabat publik yang disebut penyidik;

c. Penyidikan dilakukan dengan berdasarkan peraturan perundang-undangan; d. Tujuan penyidikan ialah mencari dan mengumpulkan bukti, yang dengan

bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi, dan menemukan tersangkanya.

Berdasarkan keempat unsur tersebut dapat disimpulkan bahwa sebelum dilakukan penyidikan, telah diketahui adanya tindak pidana tetapi tindak pidana itu belum terang dan belum diketahui siapa yang melakukannya. Adanya tindak pidana yang belum terang itu diketahui dari penyelidikannya.126

Dalam kasus ini, pihak Kepolisian telah memenuhi unsur penyidikan sebagaimana yang telah diuraikan diatas, terkait masalah penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pimpinan KPK. Berawal dari laporan pimpinan KPK nonaktif Antasari Azhar di mana penyidikan merujuk pada laporan tertanggal 6 Juni 2009, yang dilaporkan adalah penerimaan suap atau pemerasan terhadap PT Masaro Radiocom terkait pengajuan anggaran SKRT Dephut. Lebih jauh dalam penyidikan, polisi temukan fakta sebagai berikut: Anggoro Widjojo adalah mantan pemegang saham PT Masaro Radiocom yang pada Juli 2008 diduga terlibat pada kasus penyuapan pejabat di Depaptemen Kehutanan dan

126

Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, (Malang: Bayumedia Publishing, April 2005), hal.380-381


(43)

anggota Komisi 4 DPR RI. Atas adanya dugaan tersebut KPK melakukan pencekalan, 22 Agustus 2008. Berdasarkan pencekalan tersebut, Anggoro berupaya menyelesaikan penyelesaian tersebut melalui adiknya Anggodo. Anggodo menyerahkan sejumlah uang melalui Ary Muladi untuk diserahkan kepada para pimpinan KPK.

Untuk dapat melakukan penyidikan, paling tidak harus terdapat bukti permulaan yang cukup. Bukti permulaan yang cukup didapat dari polisi berdasarkan keterangan dari Antasari Azhar dan juga Ary Muladi. Maka atas dasar hal tersebut, Polisi dapat melakukan penyidikan tentang dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pimpinan KPK.

Keterangan resmi Mabes Polri pada 15 September 2009 mengenai ditetapkannya dua komisioner KPK sebagai tersangka dugaan penyalahgunaan wewenang, menjelaskan bahwa Polisi sangat ingin mendukung penuh pemberantasan korupsi dan KPK untuk memberantas korupsi. Kepolisian berangkat dari rasa tanggung jawab dalam melaksanakan tugas ini. Dalam dunia penyidikan dan sistem penegakan hukum, selalu ada bagian-bagian yang mampu dilihat, namun tidak dilihat oleh orang yang lain.

Kemudian lebih lanjut dalam pasal 12 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, pada intinya menyebutkan dalam rangka penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, kalau orang tidak termasuk dalam status terlidik, tersidik, tertuntut, lalu dilakukan pencekalan terhadapnya, maka berarti ada pencekalan yang tidak sesuai dengan prosedur. Pencekalan yang dilakukan terhadap Anggoro dan Joko, sudah menyalahi pasal 21 ayat 5 Undang-


(44)

Undang a quo. Karena itu sudah disebutkan dalam pasal tersebut bahwa pencekalan harus diputuskan dalam Rapat Pimpinan secara kolektif. Pencekalan yang dilakukan oleh Chandra Hamzah menjadi salah prosedur dan menjadi tindak pidana penyalahgunaan wewenang. Kemudian pencekalan tersebut terhadap Joko Tjandra terkait adanya dugaan kasus Urip Tri Gunawan juga oleh Chandra dan Bibit, itu pun sama bukan putusan kolektif.

Lebih lanjut kepolisan menjelaskan bahwa telah terjadi pemerasan pasal 12 e jo. pasal 15 UU a quo bahwa percobaan pegawai negeri yang ingin menguntungkan diri sendiri dengan cara melawan hukum untuk memaksa orang menyerahkan sesuatu. Hal ini berdasarkan pada digeledahnya PT. Masaro oleh KPK terkait kasus Tanjung Apiapi ataupun Air Talang. Sewaktu kasus ini digeledah, KPK kemudian melakukan pencekalan terhadap Anggoro yang tidak ada kaitannya dengan penyidikan. Hal ini melanggar aturan dalam UU KPK yaitu bahwa sesuai pasal 12 dijelaskan dalam rangka penyelidikan, penyidikan, penuntutan, KPK berwenang memerintahkan instansi mencegah keberangkatan ke luar negeri. Jadi berdasarkan perbuatan tersebut, maka muncul perbuatan melawan hukum sesuai pasal 23 UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 421 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu:

Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pasal 220, pasal 231, pasal 421, pasal 442, pasal 429 atau pasal 430 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Dalam penyidikan polisi, Chandra melakukan pencekalan terhadap Anggoro, tetapi dia tidak tahu dalam proses apa dia dicekal. Ada dugaan bahwa


(45)

dengan dilakukannya cekal ini, terdapat aliran uang. Dalam kesewenangan ini, Chandra menerbitkan cekal terhadap sesorang yang tidak terlibat apapun dalam penyidikan yang dilakukan oleh KPK karena penyidikan yang dilakukan adalah masalah Tanjung Api-api ataupun Air Talang. Dalam keputusan cekal itu dilakukan secara sendiri. Padahal menurut UU KPK, pimpinan KPK dalam membuat keputusan harus secara kolektif untuk kontrol supaya tidak berbuat sewenang-wenang. Chandra mengambil keputusan cekal tersebut sendiri.

Begitupun dengan Bibit S Riyanto, dia tidak mengetahui terkait apa mencekal Joko Tjandra. Ini melampaui batas karena tidak memberitahu yang lain sudah cekal Joko Tjandra. Pencabutan cekal juga tidak sesuai prosedur. Bahwa satgas belum melakukan penyelidikan apapun, tapi oleh Chandra diputuskan dicabut cekalnya. Tanpa perlu mengetahui usulan dari satgas jika cekal itu seharusnya dicabut. Dia melanggar pasal 21 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang seharusnya dilakukan secara kolegial.

B.Tinjauan Yuridis Pencekalan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Kerangka Penerapan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik.

Pada Pasal 12 ayat (1) huruf b, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, dikatakan bahwa dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang untuk memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian keluar negeri.


(46)

Setiap pejabat administrasi negara dalam bertindak (menjalankan tugastugasnya) harus dilandasai wewenang yang sah, yang diberikan peraturan perundang-undangan. Penyelenggaraan pemerintahan harus didasarkan oleh hukum (wet matigheid van bestuur = asas legalitas = le principle de la l’egalite

de’l administration). Oleh karena itu, setiap pejabat administrasi negara sebelum

menjalankan tugasnya harus terlebih dahulu dilekatkan dengan suatu kewenangan yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, sumber wewenang pemerintah terdapat dalam peraturan perundangundangan. Demikian juga dikatakan oleh Wade, bahwa pada dasarnya untuk menghindari abuse of

power, maka semua kekuasaan harus dibatasi oleh hukum atau peraturan

perundang-undangan.

Kewenangan yang terdiri dari beberapa wewenang, yaitu merupakan kekuasaan terhadap segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan yang berlandaskan peraturan perundang-undangan. Jadi kewenangan adalah kekuasaan yang mempunyai landasan hukum, agar tidak timbul kesewenang-wenangan. Kewenangan adalah kekuasaan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik. Hak adalah kekuasaan untuk melakukan suatu tindakan hukum privat.127

127

Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981)., hal 76

Negara merupakan lembaga hukum publik yang terdiri dari jabatan-jabatan Administrasi Negara, dimana pejabat adminitrasi Negara menjalankan urusan pemerintahan. Dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut harus berdasarkan hukum (wetmatigheid van bestuur). Oleh karena itu administrasi negara sebelum menjalankan tugasnya harus terlebih


(47)

dahulu dilekatkan dengan suatu kewenangan yang sah, berdasarkan peraturan perundang-undangan (asas legalitas). Dengan demikian, setiap perrbuatan pejabat administrasi negara harus mempunyai landasan hukum.

Di dalam kasus ini, KPK yang menjadi perwakilan dari negara dalam hal penanganan tindak pidana korupsi, telah mempunyai landasan hukum untuk melakukan pencekalan terhadap seseorang yang ada hubungannya dengan penyelidikan, penyidikan maupun penuntutan yang sedang dikerjakan oleh lembaga tersebut. Seperti yang telah dijelaskan diatas, landasan hukum mengenai kewenangan tersebut adalah pasal 12 ayat (1) huruf b, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Kewenangan yang dimiliki oleh KPK tersebut diperoleh dari Undang-Undang yang dibuat oleh Parlemen. Dan dengan melalui undang-undang tersebut, tindakan pemerintah dilegitimasikan. Serta melalui undang-undang ini pula diletakkan dengan baik “parameter” dari kewenangan bertindak pemerintah, yang dapat dilakukan dengan menetapkan kriteria-kriteria dari kekuasaan bertindak, antara lain:

a. Tujuan dari tindakan pemerintah

b. Pertimbangan yang harus diambil dalam melakukan pertanggung jawaban c. Prosedur yang harus dipatuhi sebelum bertindak.

Komisi Pemberantasan Korupsi, dalam hal ini diwakili oleh para pimpinannya, telah memenuhi ketiga kriteria dalam melakukan pencekalan terhadap anggoro. Yang menjadi tujuan dari tindakan tersebut sudah jelas bahwa pencekalan itu dilakukan dalam rangka penanganan tindak pidana korupsi. Dan pertimbangan yang harus diambil dalam melakukan pertanggungjawaban adalah


(48)

mengacu kepada pasal 12 ayat (1) huruf (b) Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan juga Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik.- 31B/01/VII/2008 Tanggal 14 Agustus 2008. Sedangkan prosedur mengenai pencekalan ini telah sesuai dengan presedens yang telah dilakukan oleh pendahulunya, yaitu dengan dibuatnya Surat Nomor R-3164/01/VIII/2008 Perihal Pelarangan Bepergian Ke Luar Negeri a.n Aggoro Widjaja dkk, yang ditujukan kepada Direktur Jendral Imigrasi Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Hal ini juga dipertegas lagi menurut UU No 30 Tahun 2002 penyidikan tindak pidana korupsi dilakukan oleh penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi (Penyidik KPK). Penyidik KPK adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.128 Penyidik KPK memiliki tugas untuk melakukan tugas penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang menjadi kewenangannya. Tindak pidana korupsi yang menjadi kewenangannya adalah:129

a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;

b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau

c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)

Jadi dalam hal ini, tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak

128

Op.Cit., pasal 45 ayat 1 129


(49)

pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara, merupakan tindak pidana korupsi yang menjadi kewenangan KPK untuk dilakukan penyidikan.

Kewenangan yang dimiliki oleh KPK tersebut merupakan kewenangan atribusi, yaitu pemberian wewenang pemerintah yang oleh suatu peraturan perundang-undangan (produk hukum legislatif) diberikan untuk melaksanakan tugas pemerintahan secara penuh. Dalam pelaksanaan wewenang pemerintah, pejabat administrasi negara dapat mengambil suatu keputusan yang pada dasarnya harus atas permintaan tertulis, baik dari instansi atau orang-perorangan. Dalam membuat keputusan tersebut terikat pada tiga asa hukum, yaitu:

1. Asas yuridikitas (rechmatigeheid), yaitu bahwa setiap tindakan pejabat administrasi negara tidak boleh melanggar hukum secara umum (harus sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan).

Dalam kasus pencekalan ini, tindakan yang dilakukan oleh Chandra sebagai salah satu unsur dari pimpinan KPK terkait masalah pencekalan Anggoro dan Pencekalan yang dilakukan oleh Bibit terhadap Joko S Chandra, tidak melanggar hukum secara umum. Dengan dipenuhinya prosedur dalam melakukan pencekalan, maka hal tersebut sudah sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan.

2. Asas legalitas (wetmatigeheid), yaitu setiap tindakan pejabat administrasi negara harus ada dasar hukumnya (ada pertauran dasar yang melandasinya). Apalagi Indonesia adalah negara hukum, maka asas legalitas adalah hal yang paling utama dalam setiap tindakan pemerintah.


(50)

Asas legalitas maksudnya disini adalah dasar hukum dari setiap tindakan pejabat, dalam hal ini Chandra M Hamzah, selaku salah satu pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, dalam melakukan pencekalan terhadap Anggoro Widjaja dan Pencekalan yang dilakukan oleh Bibit terhadap Joko S Chandra. Sebagaimana telah diketahui sebelumnya, bahwa yang menjadi dasar hukum pencekalan tersebut telah ditentukan secara nyata di UU tentang KPK, yaitu pasal 12 ayat (1) huruf (b) UU a quo. Jadi perbuatan tersebut bukanlah suatu perbuatan yang tanpa dasar hukum.

3. Asas diskresi (freies ermessen), yaitu kebebasan dari seorang pejabat administrasi negara untuk mengambil keputusan berdasarkan pendapatnya sendiri, asalkan tidak melanggar asas yuridikitas dan asas legalitas tersebut diatas. Jadi penggunaannya tidak terlepas sendiri dari asas-asas yang lainnya. Sehingga, pejabat administrasi negara tidak dapat menolak untuk mengambil keputusan, bila ada seorang warga masyarakat mengajukan permohonan kepada pejabat administarsi negara.

Asas diskresi dalam kasus ini dikaitkan dengan pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Chandra M Hamzah secara individu. Dalam kasus ini, walaupun Chandra M Hamzah melakukan pencekalan terhadap Anggoro Widjadja dkk maupun pencabutan pencekalan terhadap Djoko Tjandra, perbuatan tersebut tidaklah mengesampingkan kedua asas sebelumnya, yaitu asas yuridikitas dan asas legalitas. Jadi, perbuatan tersebut bukanlah suatu perbuatan penyalahgunaan wewenang.


(51)

Penyalahgunaan wewenang terjadi jika wewenang yang berasal dari hukum publik digunakan untuk tujuan lain tanpa itikad baik. Dalam hal ini, penyalahgunaan harus dituju pada landasan obyektif diberikannya wewenang tersebut dengan mengemukakan norma hukum yang terkait erat dengan wewenang yang diberikan. Dengan kata lain, penyalahgunaan wewenang muncul jika wewenang dilakukan bertentangan dengan tujuan hukum yang dalam hal ini melindungi kepentingan umum atas pemberian wewenang tersebut. selain itu, penyalahgunaan terjadi karena tiadaya itikad baik dalam melaksanakan wewenang yang ditunjukan secara konkret dalam setiap kejadian dalam pelaksanaan wewenang tersebut.

Jadi, penyidikan yang dilakukan oleh POLRI terhadap dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Pimpinan KPK, dalam hal ini Chandra M Hamzah, telah menjadi salah sasaran apabila kita melihat hal ini dari sudut pandang Hukum Administrasi Negara. Mengingat disini bahwa prosedur pencekalan yang dilakukan oleh Chandra M Hamzah dalam melakukan pencekalan terhadap Anggoro Widjaja dan penghentian pencekalan terhadap Djoko Chandra telah dilalui sebagaimana mestinya. Telah dijelaskan diatas bahwa kewenangan tersebut merupakan kewenangan atribusi yang dimiliki oleh KPK dalam rangka menjalankan ketentuan Pasal 12 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Hal ini merupakan suatu keharusan bagi KPK dalam menjalankan fungsinya dikarenakan di negara ini, hampir seluruh koruptor yang ada lari keluar negeri dan tidak dapat diproses hukum. Kewenangan ini bukanlah hal yang baru


(52)

dalam dunia penyidikan karena telah sering dilakukan oleh penyidik Kepolisian dan Kejaksaan untuk mencegah terjadinya tersangka atau terdakwa kabur keluar negeri. Kewenangan yang dimiliki oleh Penyidik KPK saat ini tidak lagi harus melalui keputusan Jaksa Agung, karena berdasarkan kewenangan ini penyidik KPK dapat memerintahkan langsung kepada pejabat keimigrasian untuk melarang seseorang berpergian ke luar negeri. Kewenangan yang diberikan tersebut berusaha untuk memangkas prosedur-prosedur yang yang memakan waktu yang sebenarnya tidak diperlukan.

Berdasarkan hal tersebut di atas, jelas bahwa proses penyelidikan adalah proses untuk menentukan, apakah telah terjadi suatu tindak pidana yang artinya pada proses tersebut jelas belum ada pihak yang dikenakan status tersangka. Hal ini berbeda dengan proses penyidikan. Dalam proses penyidikan telah terdapat keyakinan bahwa telah terjadi suatu dan tindak pidana dan proses penyidikan merupakan proses untuk mencari bukti sekaligus tersangka tindak pidana tersebut. Jadi, KPK memang berwenang untuk melakukan pencekalan terhadap seseorang meskipun statusnya masih sebagai saksi. Fakta bahwa Polri menindaklanjuti dugaan penyalahgunaan wewenang berdasarkan keterangan seorang Antasari Azhar justru seharusnya membuat Polri bersikap hati-hati dalam mengambil tindakan, mengingat kesaksian Antasasri Azhar jelas akan diragukan kebenarannya dan objektivitasnya (belakangan Antasari menjelaskan bahwa informasi tentang masalah Bibit dan Chandra berupaya dicari tahu keberannya oleh yang bersangkutan, yang pada akhirnya pengakuan Antasari menjelaskan bahwa dirinya tidak yakin Bibit dan Chanda terlibat). Terkecuali Polri memang


(53)

memiliki bukti bahwa tindakan pemerasan yang diduga dilakukan oleh KPK, memang terjadi. Karena jelas bahwa berdasarkan laporan dari pihak Anggoro Widjaja orang yang memeras adalah orang yang bernama Ary Muladi dan Edi Sumarsono dan keduanya sama sekali tidak memiliki status apapun di KPK.

Mengenai masalah penyidikan yang dilakukan oleh Polri terhadap dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan ole pimpinan KPK, seharusnya Polri melihat batasan-batasan mengenai penyidikan berdasarkan UU Kepolisian. Pasal 16 ayat (2) UU a quo menyebutkan bahwa tindakan penyelidikan dan penyidikan jika memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;

c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. Menghormati hak asasi manusia.

Pemakaian pasal 23 UU Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 421 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dinilai terlalu dipaksakan. Sudah dijelaskan bahwa kewenangan pencekalan yang dilakukan oleh merupakan kewenangan yang dimiliki oleh KPK berdasarkan atribusi. Pencekalan tersebut telah memenuhi asas yuridikitas, asas legalitas maupun asas diskresi. Walaupun hanya salah satu unsur pimpinan KPK yang melakukan pencekalan maupun pencabutan pencekalan, tetapi Chandra M


(54)

Hamzah tidaklah mengesampingkan asas legalitas dan asas yuridikitas sebagaimana merupakan syarat dari dilakukannya diskresi.

Selain itu, salah satu Pimpinan KPK yaitu Muhammad Jasin menyatakan pencekalan Anggoro Widjojo dan Joko Tjandra telah sah dan sesuai dengan prosedur.130 Adapun mengenai pengambilan keputusan secara kolektif kolegial hanya diperlukan dalam penetapan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, ujar M Jasin dalam dskusi di Gedung KPK.131

Penyidikan yang dilakukan oleh POLRI terhadap dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Pimpinan KPK ini harus juga dikaitkan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, mengingat kedua lembaga tersebut, baik Kepolisian maupun Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan dua lembaga penegak hukum. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dikelompokkan sebagai berikut:132

1. Asas-asas formal mengenai pembentukan keputusan yang meliputi: asas kecermatan formal dan asas “fair play”

2. Asas-asas meterial mengenai formulasi keputusan yang meliputi: a. Asas kepastian hukum

b. Asas kepercayaan atau asas harapan-harapan yang telah ditimbulkan c. Asas persamaan

130

131

132

Philipus M. Hadjon, Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, pada Himpunan Makalah AAUPB (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hal 107.


(55)

d. Asas kecermatan material e. Asas keseimbangan

Mengenai Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Prof Kuntjoro Purbopranoto dalam bukunya yang berjudul “Beberapa Catatan Hukum Tata

Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara” menguraikan Asas-Asas

Umum Pemerintahan Yang Baik dalam 13 asas, sebagai berikut:133 1. Asas kepastian hukum (principle of legal security);

2. Asas keseimbangan (priciple of proportionality);

3. Asas kesamaan (dalam pengambilan keputusan pangreh) – principle of

equality;

4. Asas bertindak cermat (principle of carefuleness);

5. Asas motivasi untuk setiap keputusan pengreh (principle of motivation); 6. Asas jangan mencampuradukkan kewenangan (principle of non misuse of

competence);

7. Asas permainan yang layak (principle of fair play);

8. Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or prohibition

of arbitrariness);

9. Asas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raised

expectation);

10.Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal (principle of

undoing the consequences of an annuled decisions);

133


(1)

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhana Wata’ala yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehingga dapat menyelesaikan Skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum, pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa, dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, maka saran serta kritik yang bersifat membangun akan penulis terima dengan senang hati yang bertujuan menyempurnakan isi penuluisan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, bukanlah hal yang mudah bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. DR. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin, S.H., M.H., D.F.M., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Syafruddin, S.H., M.H., D.F.M., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(2)

5. Bapak Abul Khair, S.H., M. Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen pembimbing I.

6. Ibu Nurmalawaty, S.H., M. Hum., selaku Dosen Pembimbing II.

7. Seluruh staff dosen dan karyawan FH-USU yang tanpa kenal lelah memberikan ilmu dan tenaganya sehingga saya dapat menyelesaikan perkuliahan ini.

8. Ayahanda tercinta Laksda TNI (Purn) H. Martono dan juga Ibunda Tercinta, R. Ida Sutadiningrat, S.H., M.H.

9. Suamiku serta anak-anak kembarku tercinta yang telah memberikan dorongan dan semangat serta doanya dalam penyelesaian skripsi ini.

10.Sahabat-sahabat saya di Program Ekstensi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 2008, AKBP Endang Hermawan, SIK., Kompol Fadillah Zulkarnaen, SIK., Eddy Purwono, Kapten Pnb. Dedy P. Brahmana, Thomas Manurung, Amd., Yusi Astuti Purba, Amd., Desi Apriguna Singarimbun, Amd., Kristalia Purba, Amd. dan Ronny Eko Wisuda Rambe, S.Sos.

Akhir kata, saya berharap semoga Tuhan Yang Maha Kuasa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga Skripsi ini membawa manfaat bagi pemgembangan ilmu pengetahuan.

Medan, 25 Desember 2010


(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……….. i

DAFTAR ISI ……… iii

ABSTRAKSI ………... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……… 1

B. Permasalahan ……….. 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ………..…….. 7

D. Keaslian Penulisan ……….. 8

E. Tinjauan Kepustakaan ………..….. 9

1. Komisi Pemberantasan Korupsi ……… 9

a. Pengertian ………. 9

b. Kewenangan Pejabat Administrasi Negara … 11

2. Kedudukan dan Kewenangan KPK ………. 18

3. Aturan Tentang KPK dan POLRI Sehubungan Dengan Tugas dan Kewenangannya ……….. 36

a. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) ……. 36

b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ……….. 37

c. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian ……… 39

F. Metode Penelitian ………. 40


(4)

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENYIDIKAN DALAM KERANGKA PENCEKALAN (PENCEGAHAN –

PENANGKALAN)

A. Penyidikan, Penyidik, Tugas dan Kewenangannya ….. 44 1. Pengertian Penyidikan ……….. 44 2. Pengertian Penyidik ………. 45 3. Tugas dan Kewenangan Penyidikan yang

Ditentukan Dalam KUHAP ………. 48 4. Proses Pemeriksaan Penyidikan yang Dilakukan

Oleh Penyidik ……….. 53 5. Proses Penyidikan oleh KPK ……….. 58 6. Penghentian Penyidikan ……….. 67 B. Penyidikan Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Peraturan Pelaksanannya Tugas dan Kewenangannya ………….. 71 1. Penyidikan Menurut Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia ……… 71 2. Tugas dan Kewenangan Penyidik POLRI

Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

dan Peraturan Pelaksanannya ……… 72 3. Pencekalan (Pencegahan – Penangkalan)

Menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992

Tentang Keimigrasian ………. 75 4. Kewenangan dan Tata Cara Pencegahan dan

Penangkalan Menurut Undang-Undang


(5)

BAB III TUGAS DAN KEWENANGAN KPK DALAM PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SERTA ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK

A. Komisi Pemberantasan Korupsi ……….. 83 1. Tujuan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi ……… 83 2. Pengertian Umum Mengenai Kewenangan ……… 84 3. Kedudukan dan Wewenangan Komisi Pemberantasan

Korupsi dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi ………. 91 B. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik ……….. 110

1. Penerapan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik ….. 110 2. Manfaat Asas-Asas Pemerintahan Yang Baik ………….…. 116

BAB IV ANALISA YURIDIS MENGENAI PENCEGAHAN DAN

PENANGKALAN (PENCEKALAN) SEHUBUNGAN DENGAN DUGAAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG PIMPINAN KPK

A. Kronologis Kasus Bibit-Chandra Dalam

Kerangka Pencekalan ……….…..… 118 B. Tinjauan Yuridis Pencekalan Oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi Dalam Kerangka Penerapan

Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik ….…… 123

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ……… 137 B. Saran ………..……… 138


(6)

ABSTRAK

Shinta Zahara* Abul Khair, SH, M.Hum** Nurmalawaty, S.H., M. Hum.***

Skripsi ini membahas tentang pencekalan yang dilakukan oleh KPK terkait dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Pencegahan dan penangkalan merupakan serangkaian tindakan dalam rangka mencegah pihak yang diduga terlibat kasus pidana untuk bepergian ke luar negeri. Tindakan ini dilakukan umtuk mendukung tugas penyidikan dan memecahkan suatu kasus pidana dan menyelesaikannya di pengadilan oleh karena itu pencekalan merupakan tahap yang cukup penting untuk kepentingan penyidikan. Penyidikan yang dilakukan harus mengacu kepada peraturan perundang-undangan. Wewenang penyidikan bukan hanya dimiliki oleh POLRI dan Kejaksaan. Pejabat lain juga memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan seperti misalnya penyidik pegawai negeri sipil dan juga penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi.

Dalam melaksankan tugas dan kewenangannya, terdapat beberapa kewenangan yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi yang sesuai dengan UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Salah satu kewenangan yang dimiliki oleh KPK adalah melakukan pencekalan terhadap seseorang yang diduga terlibat dalam perkara tindak pi1dana korupsi untuk kepentingan penyidikannya. Dalam melakukan tindakan pencekalan, Komisi Pemberantasan Korupsi harus sejalan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

** Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

*** Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.