peliharaan, kayu bakar, dan hasil tangkapan dari danau, dan lain-lain. Semua ini dibawa kepasar lalu ditukarkan dengan barang-barang yang mereka butuhkan.
2.2 Setelah Masuknya Tenun Ulos ke Tanah Batak
Ketika leluhur orang Batak tiba di kaki gunung Pusuk Buhit, mereka masih belum menggunakan bahan pakaian dari kapas melainkan masih menggunakan kulit
kayu yang dipukul-pukul atau direndam supaya lemas, yang disebut dengan tangki. Beberapa pendapat mengatakan bahwa pengetahuan bertenun diperoleh dari India
Belakang dan sejak itulah kapas menjadi bahan baku untuk menghasilkan ulos dan bahan pakaian. Ketika kampung-kampung di Toba masih dikelilingi oleh tembok dan
benteng yang tinggi, menjadi kebiasaan bagi ibu-ibu duduk bertenun di halaman rumahnya. Sebagian besar hasil tenunannya digunakan untuk keperluan sendiri, tetapi
kadang-kadang ada juga yang dibawa ke onan pasar atau pekan untuk ditukarkan dengan barang kebutuhan sehari-hari.
10
10
N. Siahaan , Sejarah Kebudayaan Batak, Medan: CV. Napitupuluh Dan SONS Djalan Irian Barat 39, 1964, hlm., 130-131.
Universitas Sumatera Utara
2.2.1 Sejarah Masuknya Tenun Ulos Di Desa Sigaol
Ulos adalah jenis pakaian orang Batak sejak zaman dahulu kala. Cara memakainnya ialah dengan meletakkan di badan - sampai batas pinggang bagi para
pria dan sebatas dada bagi wanita dipakai sebagi penutup dada dan punggung. Cara berpakaian seperti ini umumnya masih berlangsung hingga sekitar tahun 1850.
11
Menurut hasil wawancara yang penulis peroleh penemu ulos pertama di Tanah Batak tidak diketahui secara jelas karena banyak pendapat yang mengatakan
bahwa sejak orang Batak ada ulos juga sudah ada. Etnis Batak sudah ada ribuan tahun yang lalu begitu juga dengan keberadaan usia. Tenun ulos masuk ke Desa Sigaol
sekitar tahun 1939 dibawa oleh keluarga Op. Tuan Dirambe Butarbutar Beliau memiliki istri 2 orang yaitu boru Sitorus dan boru Gultom. Ketika keluarga Op. Tuan
Dirambe datang ke Desa Sigaol mata pencaharian masyarakat pada saat itu adalah nelayan, berdagang, bertani, dan beternak. Selain itu masyarakatnya buta huruf tidak
dapat baca hal ini juga mengakibatkan perolehan mata pencaharian karena mereka kurang agresif dalam mencari nafkah. Disamping itu juga masyarakat tidak bebas
dalam menyalurkan setiap bakat yang mereka peroleh dalam memenuhi perekonomiannya karena masyarakat pada saat itu jadi budak kolonial Belanda.
Setelah kelurga Op. Tuan Dirambe menetap di Desa Sigaol, masyarakat Sigaol sangat tertarik dengan kerajinan tangan yang dibuat oleh istri-istri Op. Tuan
Dirambe, dan masyarakat meminta pada istri-istri Tuan Dirambe untuk mau
11
M. T. Siregar, Ulos Dalam Tatacara Adat Batak, Jakarta: P. T. MUFTI HARUN BIN HARUN Jln. K. H. Mas Mansyur no. 96 Jakarta Pusat- 10230, hlm, 1.
Universitas Sumatera Utara
mengajari mereka. Kehadiran tenun ulos di Desa Sigaol cukup mendukung perekonomian masyarakat meskipun dalam pembuatannya memerlukan waktu yang
cukup lama. Masyarakat Sigaol juga pada saat itu tetap mengerjakan mata pencahariannya sebagai nelayan, berdangang, beternak, dan berjualan seperti: Itom,
Salaon, Bakkudu, Kayu Bakar, Tuak Nira atau dikenal dengan istilah susu orang Batak dan Hasil ternak lainnya.
2.2.2 Tenun Ulos Home Industry
Pada zaman dahulu, ulos dikenakan sebagai pakaian sehari-hari. Ulos yang di pakai laki-laki untuk menutup tubuh bagian atas disebut sebagai hande-hande atau
ikat kepala detar. Bagian bawah disebut Singkot lopes. Sedangkan yang perempuan memakainya sebagai abit kain sebatas dada. Bagian bawah, punggung
dipakai hoba-hoba dan bila disandang disebut selendang dan pada bagian atas atau di kepala disebut saong-saong. Kemudian, apabila menggendong anak disebut ulos
parompa. Ulos dipakai sehari-hari di rumah, di ladang, dan di tempat-tempat lain. Karena dahulu kala orang belum mengenal yang namanya tekstil, semua pakaian
terbuat dari hasil rajutan atau tenunan.
12
Dahulu menenun ulos tidak boleh dilakukan sembarangan tetapi harus cermat dan teliti. Harus diperhatikan agar perbandingan panjang dan lebar jangan
menyimpang dari ketentuan. Tambahan kain yang dijahitkan di sisi kiri dan kanan
12
N. Siahaan, op. cit, hlm,. 131.
Universitas Sumatera Utara
ulos, harus selalu lebih lebar dari kain yang di tengah, dan biasanya ulos zaman dahulu memiliki ukuran, yang panjangnya memiliki 2,8 meter dan lebar memiliki 1,7
meter.
13
Selama bertenun, ada larangan dan pantangan yang tidak boleh dilanggar misalnya:
1. Kalau ujung benang putus ketika menggulung dan ujungnya tidak dapat
ditemukan kembali, merupakan pertanda bahwa kain yang ditenun akan menjadi penutup mayat pemiliknya.
2. Jika sewaktu bertenun, balobas kayu berbentuk penggaris yang dipakai
untuk merapatkan benang dengan tidak sengaja memukul seekor lalat hingga mati, merupakan pertanda bahwa tidak lama lagi anak pemilik kain akan
meninggal. 3.
Jika disebuah kampung ada kemalangan meninggal, kendi atau mencampur tempat cat harus segera ditutup dengan duri, supaya begu roh orang
meninggal tidak masuk ke dalam mengaduk-aduk larutan cat, mengakibatkan campuran yang telah diracik dengan susah payah menjadi rusak.
4. Seorang penenun tidak boleh meninggalkan kampug membawa ulos yang
masih setengah selesai, dengan maksud menyelesaikannya di kampung lain. Jika aturan ini dilanggar, tondi roh kain tenun akan menghilang.
13
Wawancara, Dengan Ibu Sibonur Br. Manurung, bekerja sebagai pengrajin ulos, 21 April 2014, pukul 10.00 wib.
Universitas Sumatera Utara
5. Kedua potongan kain yang dijahitkan pada kedua ujung ulos sebagai
penghias, tidak boleh sama panjangnya. Jika ukurannya sama akan membawa kematian bagi pemiliknya.
14
2.2.3 Nelayan
Tidak semua daerah mempunyai tempat untuk menangkap ikan, hanya diwilayah yang mempunyai sungai dan Danau Toba. Pada masa lalu masyarakat Toba
tidak mengetahui ikan apa saja yang ada di sungai maupun di Danau Toba pada saat itu. Ikan mas dan halu gurami bukanlah ikan asli danau, melainkan ikan yang
disemai dan dibiakkan oleh Dinas Perikanan pada masa Pemerintahan Hindia Belanda.
14
N. Siahaan, op. cit, hlm, 132.
Universitas Sumatera Utara
A.J. van Zanen bekas kontelir Belanda di Toba, sangat kagum setelah mengetahui sedemikian banyak jenis alat penangkap ikan yang dipakai nelayan di Toba. Tidak
diketahui sejak kapan peralatan tersebut mulai digunakan. Dilaporkan ada 27 jenis alat penangkap ikan yang digunakan seperti yang disajikan dalam tabel 1 dibawah ini.
Tabel. 1 Alat Menangkap Ikan di Toba
Peraturan menangkap ikan di Danau Toba, hanya berlaku untuk penduduk yang berdomisili di sekeliling danau. Setiap horja yang lokasinya di pinggir Danau
Toba, memiliki daerah penangkapan ikan mulai dari batas pantai menjorok tegak lurus masuk ke danau. Di daerah bukan horjanya, tidak diperkenankan menangkap
ikan terkecuali mendapat isin dari Raja Parjolo Raja Pertama, jumlahnya tidak ditentukan tergantung pada sipemberi. Sedangkan menangkap ikan di sungai bebas,
No. Nama Alat Pekerja
15. Hail Sibahut
1 orang 16.
Hail Tabu-tabu 1 orang
17. Hail Parippik
1 orang 18.
Hail Taotao 1 orang
19. Bubu
1 orang 20.
Bubu Issor 1 orang
21. Launglaung
1 orang 22.
Arsam 1 orang
23. Sulangat
1 orang 24.
Sabaran Batu 1 orang
25. Suri Gamal
2 orang 26.
Antuk 1 orang
27. Tahop
1 orang
No. Nama Alat
Pekerja
1. Suri Bolon
8-9 orang 2.
Suri Paduadua 2 orang
3. Sidua Tali
2 orang 4.
Sigulang Batu 10 orang
5. Parhorian
1 orang 6.
Undalap 1 orang
7. Ambe Bagas
1 orang 8.
Batu Pangiring 1 orang
9. Tiktik
1 orang 10.
Olat 1-5 orang
11. Ambatan
2-3 orang 12.
Pandan Tari 1 orang
13. Tungkup
1 orang 14.
Hail Ihan 1 orang
Sumber: buku
Sejarah Kebudayaan Batak, N. Siahaan 1964, hlm, 127 “
Memori van Overgave van de Onderafdeling Toba, A.J. van Zanen ”
Universitas Sumatera Utara
dan tidak terikat pada suatu peraturan, tetapi di beberapa tempat terdapat kesepakatan hanya anggota marga secara bergantian boleh menangkap ikan di muara sungai.
15
Sewaktu menangkap ikan harus memperhatikan pantangan subang supaya tidak terkena murka dewi air, diantaranya:
1. Jangan menggunakan perahu kayu yang berbongkol untuk menangkap ikan di
Danau Toba, karena akan membawa sial sia-sia. 2.
Jika si nelayan menangkap ikan-pantai ikan yang biasanya hidup di tepi pantai di tengah danau, berarti bahaya kematian mengancam salah satu
anggota keluarganya. 3.
Jika si nelayan menemukan seekor ikan yang hampir mati di bubunya ditempat ikan atau menangkap seekor ikan pora-pora kecil tergantung-
gantung di antara dua ikan besar di jalanya, memberitahukan akan ada mayat di antara dua usungan keranda.
4. Selama menangkap ikan, si nelayan harus menghindari menyebut kata
“lumang” artinya kosong, karena dapat menyebabkan dia pulang dengan tangan kosong.
15
N. Siahaan, op. cit, hlm., 128-130.
Universitas Sumatera Utara
2.2.4 Beternak
Hampir semua keluarga yang tinggal di huta kampung memelihara ternak, terutama babi dan ayam. Pada umumnya jumlah ternak yang dipelihara tidak banyak
dan kurang terpelihara dengan baik karena ternak tersebut berkeliaran di sekitar kampung dan pada malam hari ayam mencari tempat bertengger didahan kayu yang
tumbuh dikampung. Begitu juga dengan babi yang tidak diberikan makan yang cukup sehingga hewan tersebut mencari makannya di luar kampung.
Ada juga masyarakat yang memelihara kerbau dan kuda dan umumnya mereka dari keluarga yang berpunya. Didesa Sigaol tidak terdapat rumput, hewan
tersebut dibawa kepadang luas di luar kampung, dan yang mengembalakan kerbau tersebut adalah anak-anak pemilik kerbau tersebut, setelah kerbau tersebut kenyang
lalu dimandikan. Kemudian dibawa pulang dan di masukkan ke dalam kandang. Sedangkan penduduk yang tidak mampu membeli kerbau secara utuh, sering
bergabung dengan beberapa temannya dan patungan membeli seekor kerbau, atau dalam bahasa Batak Toba disebut marriperipe marpinahan.
Vergouwen menjelaskan bahwa orang Batak sudah mempunyai Peraturan dan Hukum patik dohot uhum yang baik untuk mengatur perkongsian, yang disebut
parripe-ripeon. Dalam aturan patugan, secara jelas diatur kapan dan berapa lama seseorang anggota bertugas memelihara dan memanfaatkan kerbau untuk bekerja
Universitas Sumatera Utara
disawah. Demikianlah penentuan jadwal untuk masing-masing anggota kapan boleh memerah susu kerbau
16
.
2.2.5 Berdagang
Setelah masuknya ulos ke Desa Sigaol masyarakat Sigaol tetap melanjutkan aktivitasnya untuk berjualan kepasar dengan membawa hasil tenunan ulos, hasil
tangkapan ikan, hasil ternak, serta salaon, itom, bakkudu, tuak nira dan kayu bakar. Semua ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Makanan pokok
masyarakat pada waktu itu adalah beras dan ubi. Sedangkan bagi daerah yang kurang subur seperti Desa Sigaol mereka menanam singkong dan ubi jalar. Keladi suhat
juga dimakan sebagai makanan tambahan, dan daunnya dijadikan sayur. Hewan peliharaan tidak pernah disembelih untuk dimakan bersama keluarganya, mereka
hanya boleh makan daging apabila ada pesta dan itupun jarang terjadi, bagi mereka makan daging itu adalah makanan mewah.
2.3 Kondisi Alam