Sebelum Masuknya Tenun Ulos

BAB II KONDISI PEREKONOMIAN MASYARAKAT DESA SIGAOL

SEBELUM MASUKNYA TENUN ULOS SEBAGAI MATA PENCAHARIAN

2.1 Sebelum Masuknya Tenun Ulos

Pada tahun 1938, yaitu pada masa penjajahan Belanda kondisi perekonomian masyarakat dapat dikatakan tidak sejahtera khususnya di Desa Sigaol. Pada masa penjajahan Hindia-Belanda di Indonesia seluruh masyarakat tidak bebas terhadap apa yang dimilikinya baik berupa tanah, rumah, hasil pertanian, hasil tangkapan, hasil ternak, dan lain-lain. Masyarakat pada masa itu sangat takut terhadap kolonial Belanda karena pada saat itu semua peraturan yang berlaku adalah peraturan yang diberlakukan oleh Kolonial Belanda sehingga seluruh masyarakat Indonesia patuh terhadap aturan tersebut meskipun ada sebagian yang menentang peraturan tersebut. 7 Masyarakat pada saat itu tidak pernah puas akan hasil yang mereka dapatkan karena Belanda terus mengawasi hasil pertanian mereka. Setelah masyarakat memperoleh hasil dari pertanian Kolonial Belanda langsung mengambil seluruh hasil pertanian masyarakat, jika masyarakat tidak memberikan apa yang di minta oleh Kolonial Belanda masyarakat disiksa, ditangkap, dan di hukum mati. Melihat kekejaman Kolonial Belanda masyarakat Indonesia takut dan pasrah serta 7 Wawancara : Charles Butarbutar, dari kantor Kepala Desa Sigaol saat memberikan keterangan tentang sejarah dan kondisi Desa Sigaol, Sabtu 2202. Universitas Sumatera Utara menyerahkan seluruh hasil pertaniannya. Hal ini dilakukan Kolonial Belanda bertujuan untuk memperkaya pemerintahan Belanda.

2.1.1 Nelayan

Kehidupan ekonomi nelayan tradisional diidentikkan dengan kemiskinan, karena nelayan sangat bergantung terhadap kondisi iklim. Sehingga membuat nelayan di desa ini sangat sulit dalam pemenuhan kebutuhan keluarga khususnya. Peralatan yang dipakai para nelayan untuk menangkap ikan hanya menggunakan Solu Sampan sebagai alat untuk melintasi air danau toba ke dataran yang lebih dalam lagi dan Doton Jaring digunakan sebagai alat untuk menangkap ikan. Dampak dari perubahan iklim juga sangat banyak dirasakan oleh nelayan karena resiko nelayan lebih tinggi ketika mereka melakukan aktivitas di laut. Dampak perubahan iklim juga akan mengurangi produktivitas dan pendapatan bagi nelayan. “Perubahan cuaca dan iklim akan menganggu perikanan dan kelautan, sebagai contoh pengaruh cuaca dan iklim akan mempengaruhi pertumbuhan plankton yang mengandung klorofil hijau daun, adanya tumbuhan klorofil menandakan bahwa banyak ikan di laut tersebut. 8 Dampak yang ditimbulkan dari berbagai perubahan tersebut tidak hanya mempengaruhi kondisi ekonomi nelayan, namun juga aspek-aspek lain di kehidupan sosial nelayan. Dampak iklim tersebut sangat mempengaruhi kehidupan sosial 8 Wawancara, Bapak Firman Nadapdap, pekerja sebagai nelayan selama 38 tahun di Desa Sigaol, Sabtu 8 februari 2014 pukul 19.45 wib. Universitas Sumatera Utara ekonomi nelayan, dimana ketika terjadi pertukaran cuaca atau musim kemarau maka para nelayan tidak dapat menangkap ikan ke Danau karena beresiko tinggi. Apabila pertukaran iklim terjadi berkepanjangan maka masyarakat tidak dapat memenuhi kebutuhnnya sehari-hari, untuk mengatasi hal tersebut masyarakat Sigaol sebagai Masyarakat yang memiliki mata pencaharian sebagai nelayan, membuat strategi dengan cara menambahkan mata pencahariannya sebagai pekerja diladang tetangga, kuli bangunan, berjualan dan lain-lain. Masayarakat Sigaol menggunakan strategi diatas untuk mengatasi agar tidak terjadi kelaparan dan agar kebutuhan keluarganya tetap terpenuhi. Hasil yang diperoleh nelayan dari danau itu berupa ikan mujahir nila, ikan gabus, ikan lele, ikan mas, pora-pora, udang kecil, dll. Dari jenis ikan itu hasil ikan yang paling banyak ditangkap yaitu ikan mujahir ikan nila karena harga jual ikan mujahir jauh lebih mahal daripada jenis ikan lainnya. Harga jual ikan mujahir ikan nila pada 1974 itu sekitar 100 rupiahkg. 9 9 Wawancara, Ibu Rosin Br. Manurung, pekerja sebagai pengrajin ulos sekalian istri nelayan di Desa Sigaol, Minggu 25 Mei 2014, Jam 08.30-09.45 wib. Universitas Sumatera Utara

2.1.2 Beternak

Beternak menjadi salah satu peluang yang sangat besar bagi masyarakat untuk dikembangkan sebagai usaha di masa depan, ketika masyarakat Sigaol mengalami perubahan iklim yang cukup lama mereka menggunakan strategi dalam memenuhi kebutuhannya dengan cara beternak yaitu memelihara ayam, itik, bebek, anjing, babi, kerbau, kambing, kuda, dll. Sebagian hasil ternak yang mereka pelihara itu dijual kepasar untuk membeli kebutuhan sehari-hari, sebagian lagi dipotong untuk acara pesta dikampung itu. Menurut hasil wawancara dari beberapa masyarakat mereka tidak pernah memakan daging sesuai dengan selera meskipun hewan peliharaannya banyak. Mereka boleh makan daging apabila keluarga atau saudara dekat dari orang tua mereka datang dari perantauan contohnya Paman, bibi, tante, kakek, nenek, dan lain- lain baru bisa makan enak makan daging. Hal ini dikerjakan oleh masyarakat sebagai mata pencaharian tambahan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Masyarakat sigaol pada tahun 1938 masih banyak yang belum mengenal tulisan buta huruf, karena mereka tidak pernah duduk dibangku sekolah diakibatkan kurangnya biaya untuk mengecam pendidikan. Mereka hanya dapat melakukan aktivitas seperti menangkap ikan, beternak, bertani, berdagang, menjual kayu bakar dan sebagainya. Universitas Sumatera Utara

2.1.3 Berdagang

Dimasa silam ketika uang masih belum dikenal, perdagangan dilakukan dengan cara tukar-menukar barter. Sarana pertukaran yang paling banyak dilakukan ialah padi karena lebih mudah dilakukan. Hampir semua barang dapat dipertukarkan dengan padi, karena mudah diukur. Menukarkan padi dengan suatu barang disebut manuhor membeli bentuk barang apapun. Di waktu itu ketika tempat untuk berjual- beli belum ada, jika hendak menukarkan barang harus pergi menawarkannya dari rumah ke rumah atau dari kampung ke kampung. Lama kelamaan cara berjualan seperti itu dirasakan sangat melelahkan, timbulah pemikiran untuk mencari cara yang lebih mudah dengan cara mengumpulkan para pengetua kampung berkumpul untuk mangadakan musyawarah yang dihadiri oleh pimpinan horja raja utusan dari beberapa kampung yang dekat atau bertetangga. Hasil dari musyawarah tersebut memutuskan untuk mendirikan sebuah pekan atau pasar yang disebut dengan onan dan sekaligus menyediakan tanah kosong untuk lokasi pasar. Kampung-kampung yang menjadi anggota onan, disebut bona ni onan, merekalah yang menjadi tuan rumah dan yang bertanggung jawab atas keberhasilan pekan tersebut. Setelah adanya pasar semua masyarakat membawa jualannya ketempat tersebut untuk melakukan jual beli. Pada saat itu masyarakat Sigaol banyak menjual yang namanya Itom, Salaon, Bakkudu ketiga jenis tumbuh- tumbuhan ini berfungsi untuk menghasilkan cat warna yang akan digunakan untuk menenun ulos. Selain itom, Salaon, dan Bakkudu mereka juga menjual hewan Universitas Sumatera Utara peliharaan, kayu bakar, dan hasil tangkapan dari danau, dan lain-lain. Semua ini dibawa kepasar lalu ditukarkan dengan barang-barang yang mereka butuhkan.

2.2 Setelah Masuknya Tenun Ulos ke Tanah Batak