warna yang pekat. Kemudian dimasak hingga mendidih sampai benang tadi kelihatan mengkilat marsigira. Pekerjaan ini biasanya dilakukan
pada pagi hari di tepi kali atau dipinggiran danau.
6. Setelah itu, ikatan-ikatan benang dibuka dan diungkas agar menjadi kuat.
7. Benang kemudian dilumuri dengan nasi yang dilumerkan indahan ni
bonang kemudian digosok dengan kuas bulat dari ijuk. 8.
Benang tersebut kemudian dijemur dibawah terik matahari.
20
c. Penentuan Jenis Ulos
Setelah proses pewarnaan benang selesai, tahapan selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah menetukan jenis Ulos yang hendak dibuat. Hal ini
disebabkan karena jenis sebuah Ulos menentukan tata cara pembuatannya. Setelah benang Ulos siap dan jenis Ulos yang hendak dibuat telah ditentukan, maka proses
selanjutnya pembuatan Ulos dapat segera dilakukan. Adapun proses pembuatannya adalah sebagai berikut :
1. Setelah dijemur, benang-benang tersebut kemudian diuntai mangani.
Untuk mempermudah proses penguntaian, benang terlebih dahulu digulung berbentuk bola. Dalam proses ini, kepiawaian pangani menurut
komposisi warna.
20
Wawancara dengan, Ibu Betty Manurung, sebagai pengrajin ulos di Desa Sigaol, 06 Februari 2014.
Universitas Sumatera Utara
2. Setelah diuntai, benang Ulos dapat segera diproses menjadi kain Ulos.
Proses ini disebut tonun tenun. Orang yang bekerja sebagai penenun Ulos
disebut “partonun”. 3.
Setelah ditenun, kain Ulos diberi hiasan-hiasan pengikat rambu Ulos. Pekerjaan ini disebut manirat, dan orang yang mengerjakannya disebut
panirat.
3.2 Jumlah Ulos Yang Di Produksi Masyarakat Sigaol
Dari hasil wawancara penulis ada ± 57 jenis kain ulos Batak Simalungun, Angkola, Mandailing, Toba, Pakpak dan Karo. Di Desa Sigaol jenis ulos yang
ditenun masyarakat dari tahun 1960-1975 ada 12 jenis ulos, yaitu: Ulos Sipitu Hundulan Raja Ni Ulos, Pinuncan Ulos Jugia, Sirara Ragidup, Ragi Hotang,
Lili Silindung, Pamontari Sibolang, Padang-Padang Hande-hande, Mangiring, Pinallobu-lobu, Runjat, Sitolutuho, dan Bolean. Di tahun 1975-2000 masyarakat
Sigaol hanya menenun ulos sebanyak 7 jenis ulos yaitu : Ulos Jugia, Ragidup, Ragi Hotang, Ulos Sibolang, Ulos Mangiring, Bintang Maratur, dan Sitolutuho-bolean.
Karena ke tujuh ulos ini termasuk mudah untuk di tenun, disamping itu juga ulos ini banyak dibutuhkan oleh masyarakat untuk keperluan pesta, dan ulos ini juga memiliki
harga yang cukup mahal.
21
21
Wawancara dengan Ibu Berneria Br. Sitorus, Sebagai Pengarajin Ulos, Jumat 28 Maret 2014.
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat Sigaol tidak lagi menenun ulos Sipitu Hundulan, Pinallobu-lobu, Runjat, Padang-Padang, dan Lili Silindung. Mereka tidak lagi menenun jenis ulos
ini, karena jenis ulos ini memiliki motif yang sangat susah untuk ditenun, biasanya yang menenun ulos ini dibutuhkan orang yang berpengalaman dan yang teliti,
disamping itu juga waktu yang dibutuhkan dalam menenun jenis ulos ini membutuhkan waktu yang cukup lama, serta ulos ini juga kurang diminati oleh
masyarakat. Karena ulos ini sangat jarang dipakai dalam acara adat. Jenis ulos ini hanya boleh dipakai orang-orang tertentu seperti Raja, Kepala Kampung, dan lain-
lain. Berikut penjelasan penggunaan dan fungsi ulos dalam acara adat Batak.
Universitas Sumatera Utara
1. Ulos Jugia, ulos ini disebut juga “ulos naso ra pipot atau “pinunsaan”.
Biasanya ulos yang harga dan nilainya sangat mahal dalam suku Batak disebut ulos “homitan” yang disimpan di “hombung” atau “parmonang-monangan” berupa Iemari
pada jaman dulu kala. Menurut kepercayaan orang Batak, ulos ini tidak diperbolehkan dipakai sembarangan kecuali orang yang sudah “saur matua” atau kata
lain “naung gabe” orang tua yang sudah mempunyai cucu dari anaknya laki-laki dan perempuan.
Selama masih ada anaknya yang belum kawin atau belum mempunyai keturuan walaupun telah mempunyai cucu dari sebahagian anaknya, orang tua
tersebut belum bisa disebut atau digolongkan dengan tingkatan saur matua. Hanya orang yang disebut “nagabe” sajalah yang berhak memakai ulos tersebut. Jadi ukuran
Repro: Novita Butarbutar ULOS JUGIA PINUNCAAN
Penggunaan : Hanya dapat dipakai oleh orang yang sudah beranak cucu Saur-matua. Sumber: C.B. Tampubolon, Ulos Batak, Jakarta: B.P.K. GUNUNG MULIA, 1986, hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
hagabeon dalam adat suku Batak bukanlah ditinjau dari kedudukan pangkat maupun kekayaan. Tingginya aturan pemakaian jenis ulos ini menyebabkan ulos merupakan
benda langka hingga banyak orang yang tidak mengenalnya. Ulos sering menjadi barang warisan orang tua kepada anaknya dan nialainya sama dengan “sitoppi” emas
yang dipakai oleh istri raja pada waktu pesta yang ukurannya sama dengan ukuran padi yang disepakati dan tentu jumlah besar.
Universitas Sumatera Utara
2. Ulos Ragidup, ulos ini setingkat dibawah Ulos Jugia. Ulos Ragidup ada yang menafsirkan kata Idup diambil dari kata Hidup. Karena motif dan raginya seolah-olah
hidup. Idup dalam bahasa Batak berasal dari kata mangidup, mangalsik, menginginkan dan menikmati. Ketika seorang Bapak memakai ulos Ragidup, dia
sedang menikmati kehidupannya sebagai seorang Bapak yang sudah marpahompu cucu dan menginginkan sampai dengan saur matua. Ulos ini dapat dipakai untuk
berbagai keperluan pada upacara duka cita maupun upacara suka cita. Pada jaman dahulu dipakai juga untuk “mangupa tondi” mengukuhkan semangat seorang anak
yang baru lahir. Ulos ini juga dipakai oleh suhut si habolonan tuan rumah. Ini yang membedakannya dengan suhut yang lain,
yang dalam versi “Dalihan Na Tolu” disebut dongan tubu satu marga kita.
Repro: Novita Butarbutar ULOS RAGI IDUP RAGIDUP
Penggunaan : Dipakai oleh orang tua yang sudah beranak cucu. Sumber: M.T. Siregar, Ulos Batak Dalam Tatacara Adat Batak, Jakarta: P.T. MUFTI
HARUN BIN HARUN Jln. K.H. Mas Mansyur, 1985, hal. 157.
Universitas Sumatera Utara
Pembuatan ulos ini berbeda dengan pembuatan ulos lain, sebab ulos ini dapat dikerjakan secara gotong royong. Dengan kata lain, dikerjakan secara terpisah dengan
orang yang berbeda. Kedua sisi ulos kiri dan kanan ambi dikerjakan oleh dua orang. Kepala ulos atas bawah tinorpa dikerjakan oleh dua orang pula, sedangkan bagian
tengah atau badan ulos tor dikerjakan satu orang. Sehingga seluruhnya dikerjakan lima orang. Kemudian hasil kerja ke lima orang ini disatukan diihot menjadi satu
kesatuan yang disebut ulos “Ragidup”.
Bila seorang Tua meninggal dunia, yang memakai ulos ini ialah anak yang sulung sedang yang lainnya memakai
ulos “sibolang”. Ulos ini juga sangat baik bila diberikan sebagai
ulos “Panggabei” Ulos Saur Matua kepada cucu dari anak yang meninggal. Pada saat itu nilai ulos Ragi Hidup sama dengan ulos jugia. Pada upacara
perkawinan, ulos ini biasanya diberikan sebagai ulos “Pansamot” untuk orang tua
pengantin laki-laki dan ulos ini tidak bisa diberikan kepada pengantin oleh siapa pun.
Universitas Sumatera Utara
3. Ragi Hotang, ulos ini biasanya diberikan kepada sepasang pengantin yang disebut sebagai
ulos “Marjabu”. Dengan pemberian ulos ini dimaksudkan agar ikatan batin seperti rotan hotang. Cara pemberiannya kepada kedua pengantin ialah disampirkan
dari sebelah kanan pengantin, ujungnya dipegang dengan tangan kanan Iaki-laki, dan ujung sebelah kiri oleh perempuan lalu disatukan ditengah dada seperti terikat.
Dengan memberikan ulos ini kepada pengantin di haruskan terjadi ikatan batin yang kokoh dan teguh seperti rotan. Pada jaman dahulu rotan adalah tali pengikat sebuah
benda yang dianggap paling kuat dan ampuh. Inilah yang dilambangkan oleh ragi corak tersebut.
Repro: Novita Butarbutar
Penggunaan : Diberikan kepada penganten baru, waktu mangupa atau memasuki rumah baru.
Sumber: M.T. Siregar, Ulos Batak Dalam Tatacara Adat Batak, Jakarta: P.T. MUFTI HARUN BIN HARUN Jln. K.H. Mas Mansyur, 1985, hal. 168.
Universitas Sumatera Utara
4. Ulos Sibolang, ulos ini dapat dipakai untuk keperluan duka cita atau suka cita. Untuk keperluan duka cita biasanya dipilih dari jenis warna hitamnya menonjol,
sedang bila dalam acara suka cita dipilih dari warna yang putihnya menonjol. Dalam acara duka cita ulos ini paling banyak dipergunakan orang. Untuk ulos
“saput” atau ulos “tujung” harusnya dari jenis ulos ini dan tidak boleh dari jenis yang lain. Dalam
upacara perkawinan ulos ini biasanya dipakai sebagai “tutup ni ampang” dan juga
bisa disandang, akan tetapi dipilih dari jenis yang warnanya putihnya menonjol. Inilah yang disebut “ulos pamontari”. Karena ulos ini dapat dipakai untuk segala
peristiwa adat maka ulos ini dinilai paling tinggi dari segi adat batak. Harganya relatif murah sehingga dapat dijangkau orang kebanyakan. Ulos ini tidak lajim dipakai
sebagai ulos pangupa atau parompa.
Repro: Novita Butarbutar SIBOLANG
Penggunaan : Diberikan sebagai tujung atau saput, dipakai pada acara-acara dukacita Sumber: M.T. Siregar, Ulos Batak Dalam Tatacara Adat Batak, Jakarta: P.T. MUFTI
HARUN BIN HARUN Jln. K.H. Mas Mansyur, 1985, hal. 164.
Universitas Sumatera Utara
5. Ulos Mangiring, ulos ini mempunyai corak yang saling iring-beriring. Ini melambangkan kesuburan dan kesepakatan. Ulos ini sering diberikan orang tua
sebagai ulos parompa kepada cucunya. Seiring dengan pemberian ulos itu kelak akan lahir anak, kemudian lahir pula adik-adiknya sebagai temannya seiring dan sejalan.
Ulos ini juga dapat dipakai sebagai pakaian sehari-hari dalam bentuk tali-tali detar untuk kaum laki-laki. Bagi kaum wanita juga dapat dipakai sebagai saong tudung.
Pada waktu upacara “mampe goar” pembaptisan anak ulos ini juga dapat dipakai sebagai bulang-bulang, diberikan pihak hula-hula kepada menantu.
Repro: Novita Butarbutar ULOS MANGIRING
Penggunaan : Dipakai sebagai ulos parompa dan juga dipakai sebagai detar Sumber: M.T. Siregar, Ulos Batak Dalam Tatacara Adat Batak, Jakarta: P.T. MUFTI
HARUN BIN HARUN Jln. K.H. Mas Mansyur, 1985, hal. 181.
Universitas Sumatera Utara
6. Bintang Maratur, ulos ini menggambarkan jejeran bintang yang teratur. Jejeran bintang yang teratur didalam ulos ini menunjukkan orang yang patuh, rukun seia dan
sekata dalam ikatan kekeluargaan. Juga dalam hal “sinadongan” kekayaan atau hasangapon kehormatan tidak ada yang timpang, semuanya berada dalam tingkatan
yang rata-rata sama. Dalam hidup sehari-hari dapat dipakai sebagai hande-hande ampe-ampe, juga dapat dipakai sebagai tali-tali atau saong. Sedangkan nilai dan
fungsinya sama dengan ulos mangiring dan harganya juga sama.
Repro: Novita Butarbutar ULOS BINTANG MARATUR
Penggunaan : Dipakai sebagai hande-hande ampe-ampe dan juga dipakai sebagai tali-tali saong-saong
Sumber: C.B. Tampubolon, Ulos Batak, Jakarta: B.P.K. GUNUNG MULIA, 1986, hal. 23.
Universitas Sumatera Utara
7. Sitoluntuho-Bolean, ulos ini biasanya hanya dipakai sebagai ikat kepala atau selendang wanita. Jenis ulos ini juga diberikan kepada seorang anak yang baru lahir
sebagai ulos parompa. Jenis ulos ini dapat dipakai sebagai tambahan, yang dalam istilah adat batak dikatakan sebagai ulos panoropi yang diberikan hula-hula kepada
boru yang sudah terhitung keluarga jauh. Disebut ulos Sitoluntuho karena ragi coraknya berjejer tiga, merupakan “tuho” atau “tugal” yang biasanya dipakai untuk
melubang tanah guna menanam benih.
22
22
C. B. Tampubolon, Ulos Batak, Yogyakarta: BPK GUNUNG MULIA, 1986, hlm,. 13-17.
Repro: Novita Butarbutar SITOLUNTUHO-BOLEAN
Penggunaan : Dipakai sebagai paroppa kain gendongan dan juga dipakai sebagai penutup kepala Sumber: M.T. Siregar, Ulos Batak Dalam Tatacara Adat Batak, Jakarta: P.T. MUFTI
HARUN BIN HARUN Jln. K.H. Mas Mansyur, 1985, hal. 176.
Universitas Sumatera Utara
Bentuk dan ukuran kain ulos untuk tiap daerah suku Batak pada umumnya hampir sama. Bentuknya adalah seperti selendang, dengan ukuran ada yang besar dan
ada yang kecil. Kedua ujung kain ulos tersebut terdapat rambai-rambai. Beda kain ulos antara satu daerah dengan daerah lainnya hanya terdapat pada nama dan motif
serta komposisi warna saja. Ulos yang paling tinggi nilainya adalah ukuran besar yang disebut ulos raja, karena selain ukurannya besar, kualitasnya lebih tinggi,
sehingga harganya mahal. Ulos raja ini kalau di Tapanuli Utara disebut Ragi Idup, di Simalungun dan Tapanuli Selatan disebut Ragi Santik. Ukuran ulos ini panjangnya ±
2 meter dan lebar ± 90 cm.
23
3.3 Sumber Daya Manusia SDM Penenun Ulos