tersebut. Karena pekerjaan sebagai pengrajin ulos memberikan jaminan bagi kehidupan sosial ekonomi yang mensejahterakan masyarakat Sigaol.
Para pengrajin ulos sebagian ada sebagian ada yang tidak mengecam pendidikan, ada juga yang hanya tamat Sekolah Dasar SD. Penduduk Sigaol
berjumlah 665 jiwa, dari 665 jiwa tersebut hanya 89 orang yang mengecam pendidikan Sekolah Dasar, 30 orang menduduki Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
SLTP, kemudian 546 orang tidak mengecam pendidikan atau dapat dikatakan tidak tahu baca buta huruf.
3.4 Modal Awal Yang dibutuhkan
Pada tahun 1970 modal awal yang dibutuhkan dalam membeli bahan baku ulos sekitar 100 rupiah untuk digunakan dalam membeli benang dan alat-alat yang
akan digunakan dalam menenun satu lembar ulos. Pada tahun 1970 alat-alat yang akan digunakan untuk keperluan membuat ulos sudah tersedia mulai dari benang, cat
warna, motif dan juga mesin sudah ada. Pada tahun ini jugalah mewarnai ulos dengan cara alami mulai dihentikan karena kurang efektif dan membutuhkan waktu
yang cukup banyak. Modal awal yang dibutuhkan semakin lama semakin meningkat sesuai dengan nilai harga jual ulos perlembarnya. Kenaikan harga bahan dasar ulos
juga disesuaikan dengan pertukaran nilai mata uang yang berlaku di Indonesia. Perubahan modal awal yang dibutuhkan dalam menenun ulos mulai tahun 1970
Universitas Sumatera Utara
sampai tahun 2000 mengalami perubahan, karena kebijakan harga jual beli yang sudah disepakati oleh pemerintah tidak boleh diganggu gugat.
3.5 Sistem Pemasaran Ulos dari Tahun 1970-2000
Sistem pemasaran ulos yang dilakukan dari tahun 1970 sampai dengan tahun 2000, dengan cara menjualnya di pasar Porsea dan Balige, kedua pasar ini adalah
salah satu tempat penjualan ulos di Kabupaten Tapanuli Utara. Harga ulos di tahun 1970 itu mulai dari harga Rp 200 rupiah sampai dengan harga Rp 400 rupiah.
Kenaikan harga ulos disesuaikan dengan pertukaran nilai mata uang Indonesia. Kenaikan harga ulos di tahun 1970 sampai dengan tahun 1998 hanya sedikit
bertambah. Tetapi kenaikan harga ulos yang paling meningkat itu terlihat setelah berakhirnya krisis moneter di Indonesia yaitu pada tahun 1999, pada tahun inilah
pengrajin ulos memiliki perekonomian yang sangat baik dari hasil jual ulos tersebut. Harga ulos satu lembarnya itu sekitar 50.000-100.000 lima puluh sampai seratus ribu
rupiah. Bukan hanya harga jual ulos saja yang meningkat, tetapi harga Sembako pun naik. Setiap ulos memiliki harga yang berbeda-beda itu disesuaikan dengan fungsi
ulos dalam budaya Batak, Ukuran ulos dan motif ulos yang digunakan piga lili. Dalam penggunaan motif lili itu disesuaikan dengan kebutuhan ulos yang akan di
tenun, semakin banyak motifnya lilina maka semakin mahal harga ulos tersebut. Apabila si pengrajin ulos mampu menenun ulos dengan menggunakan tujuh batang
lidi Marsipitu lili maka orang tersebut sudah dianggap orang yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam menenun ulos dan ulos apa pun pasti bisa di tenunnya.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu harga ulos juga ditentukan dari kerapian ulos yang sudah di tenun itu, disini terlihat bagaimana cara pekerja dalam menenun ulos apakah mereka teliti dan
kepekaan dalam memadukan setiap motif yang satu dengan yang lain.
Universitas Sumatera Utara
Daftar Tabel Perubahan Harga Ulos Tahun 1970 - 2000 No.
Nama Ulos Harga Ulos
Persentase
1970 – 1978
1979 -1982 1983- 1994
1995 -1998 1999 - 2000
1. Ulos Jugia
Rp. 400 Rp. 5000
Rp. 8000 Rp. 12.000
Rp. 100.000 59.48
2. Ragidup
Rp. 300 Rp. 4000
Rp. 6000 Rp. 9000
Rp. 75.000 59.06
3. Ragi Hotang
Rp. 250 Rp. 2500
Rp. 4000 Rp. 7000
Rp. 50.000 56.86
4. Ulos Sibolang
Rp. 200 Rp. 2000
Rp. 3000 Rp. 5000
Rp. 40.000 59. 36
5. Ulos Mangiring
Rp. 150 Rp. 1500
Rp. 3000 Rp. 4000
Rp. 25.000 48.58
6. Bintang Maratur
Rp.150 Rp.1500
Rp. 3000 Rp. 4000
Rp.25.000 48.58
7. Sitolutuho-bolean
Rp.150 Rp.1500
Rp. 3000 Rp. 4000
Rp. 25.000 48.58
Sumber : Hasil wawancara dengan Ibu Roslin Br. Manurung dan Ibu Berneria Br. Sitorus sebagai pengrajin ulos tertua di Desa Sigaol, Kamis, 25 Maret 2014, pukul : 14.35 wib.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV DAMPAK INDUSTRI TRADISIONAL TENUN ULOS TERHADAP
KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA SIGAOL 1970-2000
4.1 Perubahan Sosial Ekonomi Pengrajin Ulos
Pada umumnya masyarakat Sigaol berprofesi sebagai nelayan, bertani, peternak, dan berdagang. Penghasilan yang mereka peroleh hanya mampu
memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari secara terbatas. Keterbatasan tersebut terlihat dari bangunan rumah penduduk, fasilitas yang digunakan,
makanan sehari-hari yang seadanya bahkan anak-anak mereka tidak memperoleh kesempatan untuk duduk di bangku sekolah. Penduduk Desa Sigaol adalah suku
Batak Toba asli, mereka meyakini istilah banyak anak banyak rejeki maranak sampulu onom marboru sampuluh pitu, dengan banyaknya jumlah anak yang
mereka miliki dalam sebuah keluarga semakin banyak pula rejeki yang mereka terima.
Hal ini juga membawa pengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi mereka, sehingga anak-anak mereka pun harus bekerja ladang untuk membantu
orang tua. Partisipasi anak-anak dalam mengerjakan ladang dan mengembalakan kerbau membuat tenaga kerja semakin banyak sehingga waktu mengerjakan
ladang pun semakin cepat selesai. Hal tersebut sedikit banyaknya telah membantu menambah penghasilan keluarga dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Universitas Sumatera Utara
Banyaknya jumlah anak yang tidak memperoleh kesempatan untuk duduk di bangku sekolah, serta pendidikan orang tua yang cukup terbatas membuat
mereka bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup secara pas-pasan. Mereka tidak mampu mencari pekerjaan lain yang mampu menambah penghasilan
keluarga, mereka hanya memiliki kemampuan dalam bertani menangkap ikan, beternak, berjualan seperti: Salaon, Itom, Bakkudu ketiga jenis ini adalah jenis
tumbuh-tumbuhan yang berfungsi untuk menghasilkan warna pada ulos cat, hal inilah yang mereka kerjakan setiap harinya untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Keterbatasan mereka tersebut memacu sebagian orang tua maupun anak-anak mengubah nasib mulai memikirkan masa depan mereka dengan
berbagai cara. Anak-anak tersebut berusaha untuk dapat duduk di bangku sekolah, mereka harus menjalani masa-masa sekolah dengan beban dan tantangan yang
cukup berat. Setiap pagi mereka harus bangun pagi-pagi subuh karena mereka harus
membantu orang tua menangkap ikan, mengembala kerbau, mengumpulkan kayu bakar, mengumpulkan Salaon, Itom, dan Bakkudu untuk di jual kepasar, mereka
juga harus menempuh jarak yang jauh untuk kepasar menjual semua jualan mereka. Selain itu mereka juga harus menempuh jarak yang jauh untuk ke sekolah
dengan berjalan kaki. Keperluan sekolah yang mereka miliki cukup terbatas seperti pakaian, sepatu karet, dan tas yang terbuat dari plastik. Semua
perlengkapan ini harus disediakan baru bisa duduk di bangku sekolah. Orang tua tidak hanya memperlengkapi dari segi pakaian anak-anaknya tetapi orang tua juga
harus membayar uang sekolah anak-anaknya.
Universitas Sumatera Utara
Melihat kebutuhan yang semakin lama semakin meningkat, masyarakat Sigaol berpikir kembali untuk menambahi pendapatannya dengan cara menenun
ulos, yang dibawa oleh keluarga Op. Tuan Dirambe. Masuknya tenun ulos ini membuat masyarakat Sigaol semakin tertarik untuk mengerjakan hal tersebut.
Semua ini dikerjakan masyarakat Sigaol untuk menambah pendapatan mereka. Keuntungan yang mereka peroleh dari hasil bertenun ulos cukup besar, dari hasil
tenun ulos dapat digunakan untuk menutupi biaya sekolah anak-anaknya. Dengan adanya kegiatan ini mereka tidak harus bekerja seharian diladang, di danau, dan
mengumpulkan kayu bakar. Sistem kerja yang mereka lakukan adalah saling berbagi bapak-bapak ke danau menangkap ikan, ibu-ibu dan sebagian anak-
anaknya bertenun ulos dan menggulung benang, sebagian lagi mengembalakan hewan ternak dan mencari kayu bakar untuk dijual.
Desa Sigaol adalah salah satu desa pengrajin ulos yang cukup terkenal di kabupaten Tapanuli Utara dengan ciri khas ulos yang dihasilkan adalah Ulos
Jugia atau Pinunsan, Ulos Ragidup, Ragi Hotang, Ulos Sibolang, Ulos Mangiring, Ulos Bintang Maratur, dan Ulos Sitolu Tuho Bolean. Semua jenis
ulos ini adalah hasil tenunan masyarakat Sigaol yang cukup berpengalaman dalam menenun ulos. Keuntungan yang mereka peroleh dari tenun ulos ini cukup
besar, bahkan mampu meningkatkan kehidupan sosial ekonomi mereka. Setiap orang mampu menenun ulos sebanyak 3 lembar kain ulos per minggu. Harga ulos
1 lembar itu pada tahun 1970 – 1978 sebesar 400 rupiah dikali 3 lembar total
pendapatan adalah 1200 rupiah perminggu termasuk modal. Satu lembar ulos modalnya adalah 100 rupiah, jadi pendapatan bersih diluar modal sebesar 900
rupiahminggu.
Universitas Sumatera Utara
Pada tahun 70-an nilai uang 900 rupiah itu sudah sangat besar nilainya, karena pada tahun itu nilai mata uang Indonesia masih sangat rendah. Setiap harga
jual-beli barang yang digunakan masyarakat sesuai dengan nilai mata uang yang berlaku. Dari keuntungan hasil ulos itu mereka mampu memperbaiki rumahnya,
memperbanyak alat-alat untuk menenun ulos, membeli radio, membeli perlengkapan rumah tangga, dan menyekolahkan anak-anaknya hingga ke jenjang
perguruan tinggi. Keberhasilan yang diperoleh pengrajin ulos ini membuat status sosial
mereka dalam masyarakat semakin meningkat. Mereka menjadi dapat ikut berpartisipasi dalam acara pesta dan adat yaitu dalam pemberian tumpak uang
trimakasih dan lain sebagainya serta tumpak uang terimakasih yang mereka berikan jumlahnya pun menjadi lebih besar sehingga status sosial mereka pun
menjadi lebih tinggi. Mereka pun ikut berperan aktif dalam menyumbang dana apabila ada kegiatan yang akan diadakan disekitar lingkungan tempat tinggal
mereka, salah satu kegiatan itu adalah Natal Remaja Natal Naposo Bulung dan Pesta Muda-Mudi Perkumpulan Karang Taruna. Mereka juga ikut berpartisipasi
dalam pembangunan jalan, Gereja, Perbaikan Sekolah anak-anak mereka. Selain itu mereka juga melakukan musyawarah dengan anak-anak rantau yaitu anak-anak
pengrajin ulos yang sudah sukses dirantau untuk ikut berpartisipasi dalam mendirikan sebuah Tugu Makam di kampung tempat mereka tinggal. Hal ini
dilakukan sebagai tradisi budaya yang sudah turun-temurun dari generasi ke generasi yang berfungsi sebagai penghormatan kepada Roh Nenek Moyang.
Selain itu dalam masyarakat Batak tingkat kesuksesan anak-anaknya tidak hanya dilihat dari segi tingginya pendidikan yang di miliki oleh anak-anaknya, tetapi
Universitas Sumatera Utara
tingkat kesuksesan juga dilihat dari segi pembangunan makam di kampung halamannya. Kenapa orang Batak lebih mewah membangun rumah orang mati
Makam daripada membantu orang miskin di kampung halamannya? Karena dalam prinsip orang Batak itu ada 3 prinsip kehidupan yang harus dicapai yaitu :
Hagabeon, Hamoraon Harta dan Hasangapon, ketiga ini adalah termasuk pembangunan makam yang besar dan mewah.
Dibawah ini terdapat beberapa contoh pengrajin ulos yang cukup sukses di Desa Sigaol seperti keluarga ibu Kartina Butarbutar, memiliki 9 orang anak
semuanya telah disekolahkan hingga perguruan tinggi, setelah anak-anaknya sudah menyelesaikan persekolahannya. Anak-anak Ibu Kartika tersebut
membangun rumah orang tuanya yang dulunya terbuat dari kayu tapi sekarang sudah menjadi bagus dan cantik. Bukan hanya rumah saja yang dibangun oleh
anak-anaknya tetapi anak-anaknya juga membeli sebuah kapal untuk mengangkut batu dan dijual untuk menambahi pendapatannya sehari-hari.
Keluarga boru Nadapdap, memiliki 6 orang anak, 4 orang di sekolahkan hingga perguruan tinggi, 2 orang lagi bekerja sebagai Angkatan Darat dan
Angkatan Udara. Setelah anak-anaknya berhasil, Ibu ini tidak lagi menenun ulos mulai tahun 2009 yang lalu. Karena ibu ini sudah tua dan tidak sanggup lagi
bekerja yang berat. Ibu ini memiliki rumah yang cukup besar dan ibu ini sudah memiliki perabotan yang tidak dimiliki oleh tetangganya seperti : Tv, Sepeda
Motor, Kursi, Dispenser, Mejicom, Radio, Kulkas, dll. Keluarga Br. Siregar, memiliki 5 orang anak semuanya sekolah hingga
perguruan tinggi, memiliki rumah yang cukup besar, memiliki 2 kapal batu, kolam
Universitas Sumatera Utara
ikan, memiliki sepeda motor dan juga memiliki perabotan rumah yang cukup bagus.
Drs. Saidi Butarbutar adalah salah seorang anak pengrajin ulos di Desa Sigaol yang berhasil duduk dibangku pemerintahan yaitu DPR RI. Beliau adalah
salah seorang yang disekolahkan dari hasil tenun ulos, kini Beliau sudah menjadi orang besar. Sebagai ucapan terimakasih Drs. Saidi butarbutar kepada orang
tuanya. Beliau membangun sebuah rumah yang sangat mewah di Desa Sigaol dan itu diberikan kepada orang tuanya.
Pada umumnya pengrajin ulos di Desa Sigaol cukup sukses dibanding dengan di Desa-Desa yang lain yang mata pencahariannya sebagai petani dan
nelayan yang ada di Kecamatan Lumban Julu. Tetapi sekarang harga ulos tidak begitu mahal lagi dibanding tahun 1998 sampai tahun 2000 dan usaha mereka
sebagai pengrajin ulos tidak begitu menguntungkan lagi. Meskipun demikian mereka sudah memiliki investasi yang menjamin kehidupan mereka pada masa-
masa yang akang datang. Seperti adanya hewan peliharaan, kapal sebagai alat transportasi dan juga sebagai alat untuk mengangkut batu padas untuk dijual,
Pengangkutan umum mobil sewa, kedai, dan hasil tangkapan dari danau serta hasil dari keramba kolam ikan.
Universitas Sumatera Utara
4.1.1 Sebelum Menenun Ulos
Pekerjaan utama masyarakat Sigaol sebelum beralih profesi menjadi pengrajin ulos, adalah nelayan, berladang, beternak dan berdagang. Dari hasil ini,
mereka bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka sehari-sehari. Meskipun begitu banyak usaha yang mereka lakukan tetap saja perekonomian mereka tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan biaya menyekolahkan anak- anaknya, sehingga anak-anak di Desa Sigaol masih banyak yang tidak bersekolah
karena rendahnya perekonomian keluarga pada masa itu. Rendahnya tingkat ekonomi keluarga pada masa itu membuat sebahagian keluarga mengkonsumsi
ubi kayu ditambah dengan makan nasi seadanya untuk menganjal perutnya. Kondisi perekonomian yang sangat minim ini memaksa anak-anak
tersebut terbiasa dengan kehidupan yang keras. Orang tua selalu membagi tugas kepada anak-anak mereka, ada yang ke ladang, ada yang mengembala kerbau, ada
yang mencari kayu bakar dan ada juga yang membantu orang tuanya untuk menangkap ikan. Kedua orang tua membagi tugas anak-anaknya sesuai dengan
usia anak-anaknya. Mereka melakukan segala cara untuk mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka sehari-hari serta untuk menyekolahkan anak-
anaknya, agar nantinya masa depan anak-anaknya tidak sesulit dulu lagi dalam mencari uang.
Melihat usaha dan kerja keras anak-anak dalam membantu kedua orang tuanya, maka hati orang tua mereka pun terbuka untuk menyekolahkan anak-
anaknya dengan syarat harus tetap bekerja yang sungguh-sungguh. Mereka harus bekerja keras agar pekerjaan yang sudah dibagi-bagi kedua orang tuanya tadi
Universitas Sumatera Utara
dapat selesai tepat waktu sebelum berangkat kesekolah. Dari rumah mereka telah menyiapkan seragam sekolah dan dibawa ketempat pekerjaannya masing-masing.
Ketika hari mulai terang mereka mulai menganti pakaian mereka dengan seragam sekolah tadi, setelah itu mereka berangkat kesekolah tanpa mandi dan apabila ada
air yang ditemukan mereka langsung cuci muka dan bergegas berangkat ke sekolah agar tidak terlambat. Hasil usaha dan kerja keras anak-anak ini untuk
bersekolah mereka mampu mengatasi segala hambatan-hambatan yang datang, jauhnya jarak sekolah dari rumahnya tidak mematahkan semangat mereka.
Seragam sekolah yang mereka pakai sangat sederhana, kebanyakan pakaian dan celana yang mereka pakai tidak sesuai dengan ukuran badan mereka,
hal ini merupakan hal yang disengaja oleh orang tua mereka dengan alasan agar tahan lama, jikalau bisa satu seragam yang dipakai anak tersebut untuk
menyelesaikan persekolahannya. Mereka harus menempuh jarak yang cukup jauh dari kampung ke sekolah tanpa menggunakan alas kaki, pakaian yang besar dan
celana longgar yang di ikat dengan seutas tali. Dalam perjalanan menuju sekolah mereka membawa goni yang berisi ubi
kayu, sayur-sayuran, kayu bakar dan hasil ladang untuk dijual ke pasar terlebih dahulu. Hasil penjualan barang-barang tersebut yang mereka pergunakan untuk
biaya sekolah. Mereka sering kewalahan untuk membayar uang sekolah karena keterbatasan biaya. Dalam keadaan yang sulit tersebut mereka terus berusaha
untuk sekolah, ada hanya mampu sampai tamat Sekolah Dasar ada juga diantara mereka yang mampu tamat sampai Sekolah Menengah Lanjutan Tingkat
Pertama. Didaerah-daerah pada umumnya sangat sulit ditemukan prasarana pendidikan, kalau pun ada yang dapat ditemukan hanya lah Sekolah Dasar dan
Universitas Sumatera Utara
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama itu pun harus menempuh jarak yang sangat jauh dengan berjalan kaki tanpa menggunakan alas kaki seperti sepatu dan sandal.
Pada umumnya mereka hanya mampu bersekolah hingga ke jenjang Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Setelah tamat sekolah mereka tidak dapat
melanjut ke jenjang yang lebih tinggi, karena tidak tersedianya sarana pendidikan, mereka kembali lagi ke rutinitas semula yaitu bekerja sepanjang hari di ladang.
Sebahagian orang tua mulai sadar dengan keadaan tersebut, mereka berusaha untuk meningkatkan kehidupan ekonomi agar memperoleh kehidupan yang lebih
layak. Segala cara dikerjakan untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, tetapi
selalu mengalami kekurangan, karena pendidikan orang tua mereka yang rendah dan ketersediaan lapangan pekerjaan yang sangat terbatas. Banyak diantara
mereka yang menyuruh anak-anak mereka merantau ke daerah lain, setelah memiliki usia yang cukup dewasa dengan harapan di perantauan anak-anak
mereka memperoleh pekerjaan yang lebih baik daripada sebelumnya. Sebahagian anak-anak mereka yang merantau berhasil memperoleh pekerjaan dan kehidupan
yang lebih layak, sehingga mereka mulai mengajak adik-adik dan keluarga untuk datang ke daerah perantauan tersebut dan bekerja disana.
Anak-anak yang diperantauan tersebut ikut membantu kehidupan ekonomi keluarganya di kampung dengan cara mengirim sebahagian uang dari penghasilan
mereka yang bekerja di daerah perantauan. Uang tersebut digunakan orang tua mereka untuk membantu mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dan juga untuk
menyekolahkan anak-anak mereka.
Universitas Sumatera Utara
4.1.2 Sesudah Menenun Ulos
Hampir semua masyarakat di Desa Sigaol melakukan aktifitas sebagai pengrajin ulos, dengan adanya tenun ulos ini dapat membantu meningkatkan
kehidupan ekonomi mereka. Keuntungan dari hasil tenun ulos cukup menjanjikan bagi kehidupan perekonomian mereka, sehingga hampir semua masyarakat Sigaol
mengerjakan pekerjaan tersebut. Meskipun mereka beralih profesi dari petani, nelayan, dan beternak, tetapi mereka tidak meninggalkan pekerjaan sebelumnya.
Tenun ulos di Desa Sigaol merupakan peluang usaha yang cukup baik pada masa itu. Sekitar tahun 1950 hingga tahun 1970, masyarakat di Desa Sigaol
banyak beralih profesi menjadi pengrajin ulos, karena pada kurun waktu tersebut kain ulos sangat banyak dibutuhkan masyarakat untuk menutupi tubuhnya dari
terpaan angin. Karena pada saat itu pakaian yang terbuat dari tekstil sangat jarang dijumpai, mereka memakai kulit pohon dan daun-daun untuk menutupi tubuhnya.
Keuntungan dari hasil tenun ulos cukup besar, keuntungan yang diperoleh para pengrajin ulos dari hasil tenun ulos mengangkat kehidupan sosial ekonomi
mereka. Para pengrajin ulos memperoleh pesanan yang cukup banyak dari para konsumen dan dari toke untuk dijual ke Kota dari ke Luar Negeri juga. Dari hasil
penjualan satu lembar ulos itu mereka memperoleh untung sebesar Rp 50.000 sampai dengan Rp 70.000 tujuh puluh ribu rupiah diluar modal, keuntungan ini
mereka peroleh mulai tahun 1999 sampai pada tahun-tahun berikutnya harga ulos tetap naik meskipun tidak banyak perubahan. Sementara modal yang mereka
butuhkan untuk menenun satu lembar ulos itu sebesar Rp 15.000 sampai dengan Rp 30.000 sesuai dengan besar kecilnya ukuran ulos yang mau ditenun.
Universitas Sumatera Utara
Dari hasil menenun ulos, para pengrajin ulos di Desa Sigaol mengumpulkan keuntungan hasil tenun mereka sedikit demi sedikit tiap tahunnya.
Sehingga mereka bisa memenuhi kebutuhan rumah tangganya sehari-hari, memperbaiki rumahnya dulunya terbuat dari kayu menjadi terbuat dari batu
beton, menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi, membeli lahan untuk dijadikan tempat jualan, beli kapal, beli sepeda motor dan membeli
perabotan rumah tangga yang mereka butuhkan. Sebelum tahun 1970, masyarakat Sigaol sangat susah memperoleh
pendidikan, karena fasilitas pendidikan yang kurang memadai dan bangunan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Lanjutan Tingkat Pertama hanya ada satu
di Desa itu dan jarak ke Sekolah yang harus mereka tempuh sangat jauh. Hal ini menyebabkan kebanyakan masyarakat Desa Sigaol hanya tamat jenjang
pendidikan Sekolah Dasar dan masih banyak pula masyarakat Sigaol yang buta huruf tidak tahu baca pada saat itu. Tetapi hal tersebut tidak membuat
masyarakat mengalami kesulitan dalam berhitung disaat melakukan transaksi kepada konsumen dan toke.
Setelah krisis moneter tahun 1999, pekerjaan sebagai pengrajin ulos sangat menjanjikan keuntungan yang cukup besar, karena pada saat inilah harga ulos
mengalami peningkatan yang sangat tinggi. Sehingga para pengrajin ulos berlomba-lomba untuk menenun ulos dan mereka lebih fokus pekerjaannya
sebagai pengrajin ulos daripada berladang, sebagai nelayan dan beternak. Semua anak-anaknya digerakkan dan diajari untuk menenun ulos, agar pendapatan yang
mereka peroleh semakin banyak, disini terlihat kerja sama yang baik di dalam keluarga tersebut baik itu hubungan Ayah dengan Ibu begitu juga dengan
Universitas Sumatera Utara
kerjasama anak dengan orang tua terlihat sangat kompak. Keuntungan mereka dari hasil tenun ulos jauh lebih besar daripada pendapatan mereka sebagai petani.
Setelah mereka menenun ulos, kondisi perekonomian mereka mulai meningkat dari sebelumnya. Mereka mampu mencukupi kebutuhan hidup mereka
sehari-hari, bahkan mereka dapat menyekolahkan anak-anaknya ke perguruan tinggi. Para pengrajin ulos, selama menenun ulos di Desa Sigaol telah mengalami
kesuksesan. Hal tersebut dapat dilihat dari keberhasilan mereka dalam membeli sepeda motor, televisi, kapal, membangun rumah, membangun Togu makam,
menyekolahkan anak-anaknya dan lain sebagainya. Pekerjaan sebagai pengrajin ulos menjadi salah satu pekerjaan yang sangat
diminati oleh sebagian besar masyarakat Sigaol. Selama menenun ulos mereka mengalami banyak masalah dan rintangan, karena apabila mereka tidak teliti
dalam menenun ulos maka mereka akan kewalahan dalam membuka dan menyambungkan antara benang yang satu dengan yang lain apabila putus.
Meskipun demikian, mereka tetap memperoleh banyak keuntungan dari hasil tenun ulos tersebut. Dari hasil tenun ulos mereka mampu meningkatkan
stratifikasi sosial mereka, sehingga mereka mampu berpartisipasi dalam pesta maupun dalam acara adat, memberi sumbangan untuk sebuah acara perayaan
natal, perkumpulan muda-mudi dan patungan mendirikan makam Tugu, sumbangan untuk pembangunan rumah ibadah seperti: Gereja dan lain
sebagainya. Berdasarkan hasil informasi yang penulis peroleh, ada keluh kesah yang
dialami masyarakat selama menenun ulos, dari segi suka yang dialami cukup
Universitas Sumatera Utara
banyak membantu kehidupan sehari-hari mereka dan berkat tenun ulos kehidupan ekonomi kami jauh lebih baik dari sebelumnya. Sedangkan dukanya, kami banyak
mengalami sakit pinggang, mata dan dada, karena yang banyak bekerja dan bergerak itu adalah ketiga organ tubuh tersebut.
4.2 Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat