disawah. Demikianlah penentuan jadwal untuk masing-masing anggota kapan boleh memerah susu kerbau
16
.
2.2.5 Berdagang
Setelah masuknya ulos ke Desa Sigaol masyarakat Sigaol tetap melanjutkan aktivitasnya untuk berjualan kepasar dengan membawa hasil tenunan ulos, hasil
tangkapan ikan, hasil ternak, serta salaon, itom, bakkudu, tuak nira dan kayu bakar. Semua ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Makanan pokok
masyarakat pada waktu itu adalah beras dan ubi. Sedangkan bagi daerah yang kurang subur seperti Desa Sigaol mereka menanam singkong dan ubi jalar. Keladi suhat
juga dimakan sebagai makanan tambahan, dan daunnya dijadikan sayur. Hewan peliharaan tidak pernah disembelih untuk dimakan bersama keluarganya, mereka
hanya boleh makan daging apabila ada pesta dan itupun jarang terjadi, bagi mereka makan daging itu adalah makanan mewah.
2.3 Kondisi Alam
Desa Sigaol merupakan bagian dari Kecamatan Lumban Julu yang terletak di dataran tinggi Bukit Barisan, dengan kontur tanah yang beragam; datar, landai,
bergelombang, miring, dan terjal, dengan ketinggian antara ± 870 - 950 Meter di atas permukaan laut. Memiliki tekstur tanah pada umumnya Andosol tanah yang
16
N. Siahaan, op. cit, hlm,. 127.
Universitas Sumatera Utara
berwarna hitam rata-rata Curah hujan 85 mm per tahun. Posisi geografis Toba Samosir terletak antara 2°23’ - 2°30’ LU dan 99°04’-99
o
.09’ BT, dengan luas wilayah 400 Ha. Menurut sensus jumlah penduduk Desa Sigaol sebanyak 665 jiwa
dengan komposisi penduduk jumlah laki-laki sebanyak 325 orang dan perempuan sebanyak 340 orang.
Desa Sigaol tergolong daerah yang sulit ditumbuhi tanaman. Karena tanahnya terjal tanah merah campur batu-batuan dan kering tidak ada penyimpanan
air. Dengan kondisi seperti ini, sehingga masyarakat tidak memungkinkan untuk bertani. Sedangkan kecepatan angin di Desa Sigaol rata-rata 3,3 kmjam, kecepatan
angin tertinggi adalah 4,61 kmjam, dan kecepatan terendah adalah 2,43 kmjam
5
.
17
2.4 Pola Perkampungan Penduduk
Sistem Penduduk asli Desa Sigaol adalah suku Batak Toba, yang dihuni oleh marga Sinaga, Sitorus dan Nainggolan. Budaya masyarakat Batak Toba menganut
sistem patrilineal garis keturunan dari laki-laki. ini merupakan tulang punggung masyarakat Batak yang dibangun berdasarkan silsilah atau keturunan marga yang
menghubungkan antara satu sama lain dalam garis laki-laki patrilineal. Laki-laki membentuk kelompok kekerabatan, sementara kaum perempuan membentuk afiliasi
kekeluargaan afinal relationship karena mereka menikah dengan kelompok patrilineal yang lain.
17
Data dari Badan Pusat Statistik Balige Kabupaten Tapanuli Utara, 1980.
Universitas Sumatera Utara
Sistem marga mengimplikasikan bahwa setiap kelompok orang yang memiliki asal genealogis yang sama juga memiliki tempat tinggal atau permukiman
yang sama setidaknya diwaktu silam. Jadi, yang dikatakan sebagai marga pada suku bangsa Batak Toba ialah marga-marga pada suku bangsa Batak yang berkampung
halaman marbona pasogit di daerah Toba. Fungsi utama sistem marga adalah membangun keteraturan di antara orang-
orang Batak termasuk dengan orang-orang diluar suku Batak. Bagaimana sistem sosial ini dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari tercermin ketika seorang warga
Batak bertemu dengan orang Batak lainnya dan mereka menelusuri pohon silsilah mereka partuturan. Dengan melakukan partuturan mereka bisa menentukan apakah
seseorang adalah kerabatnya, apakah mereka memiliki tali kekerabatan lewat perkawinan dan bagaimana mereka harus menyapa satu sama lain. Dapat dilihat dari
prinsip Dalihan na tolu, jika marga dari pihak laki- laki disebut “dongan sabutuha”
Saudara memperoleh istri dari pihak marga pemberi istri disebut “hula-hula” Paman dan memberi berkah kepada marga pengambil istri disebut “boru” anak
perempuan . Sistem sosial ini berfungsi mengatur keserasian masyarakat Batak. Ketiga kelompok fungsional ini dipandang sebagai keterwakilan tiga DewaTuhan
Orang Batak. Batara Guru, Soripada dan Mangalabulan. Batara Guru adalah simbol hula-hula yang melalui anak gadis mereka, menciptakan turunan manusia baru. Hula-
hula memperoleh penghargaan dan kekuasaan sebagaimana Batara Guru dalam “Tiga DewaTuhan” orang Batak, yakni Soripada adalah dongan sabutuha saudara
yang bertanggungjawab merawat anak-anak mereka.
Universitas Sumatera Utara
Untuk menciptakan harmoni dalam hubungan Dalihan Na Tolu ini, dalam adat Batak Toba telah menetapkan aturan perilaku sebagai berikut. Logika moral
yang terkandung dalam somba marhula-hula hormat kepada paman terkait dengan proses penciptaan manusia. Sementara manat mardongan tubumarga hormat
kepada saudara mengandung dua kewajiban moral yakni : 1.
Seseorang harus bersikap serius kepada kelompok marganya. Sikap dan sifat serius terhadap dongan tubu saudara meliputi :
a. Utang harus dibayar
b. Pemberian tidak bisa ditagih kembali dan disebarluaskan kepada yang lain
c. Perselisihan diantara kelompok marga harus didasarkan pada nilai-nilai
demokrasi, bukan otoriter. 2.
Hubungan diantara marga harus didasarkan pada nilai-nilai demokratis, bukan otoriter. Terakhir elek marboru membujuk pihak perempuan berarti
seni mencintai terhadap pihak perempuan harus dilakukan dengan tulus hati yang terdalam. Menjauhkan sifat pura-pura dan tersembunyi seperti :
a. Mengambil harta boru tanpa seijinnya holung.
b. Merampas milik boru heum.
c. Cemburu hosom.
d. Mengharapkan pemberian dari pihak perempuan hirim.
Universitas Sumatera Utara
BAB III PERKEMBANGAN TENUN ULOS DI DESA SIGAOL 1970-2000
3.1 Kualitas Kain Ulos Yang di Produksi Masyarakat Sigaol
Kain ulos yang di produksi masyarakat Sigaol tetap menjaga kualitas hasil tenunannya dari tahun ke tahun karena harga jual ditentukan oleh kualitas ulos yang
ditenun. Semakin rapi ulos tersebut semakin tinggi harga jual akan ulos itu sendiri. Selain itu jual ulos itu dikatakan berkualitas apabila cara menenun ulos tersebut rapi,
memiliki ukuran yang sesuai panjang dan lebar harus seimbang, banyaknya motif lidi yang digunakan, dan kain ulos tersebut harus keras. Kualitas kain ulos di Desa
Sigaol dapat dikatakan menurun karena mereka tidak lagi menggunakan pewarnaan ulos secara alamiah karena pewarnaan secara alamiah tidak efektif lagi digunakan
karena memerlukan banyak waktu untuk melakukan pewarnaan alami tersebut. Disamping itu juga mereka sudah mengurangi motif lili ulos tersebut, karena terlalu
capek mengerjakan pekerjaan seperti itu, semakin banyak motifnya Lilina semakin besar pula ukuran ulos yang akan di tenun. Disamping itu juga, dalam menenun ulos
yang memiliki banyak motif dibutuhkan orang-orang yang sudah berpengalaman dan orang-orang yang teliti. Karena semakin banyak motif ulos yang akan di tenun maka
semakin banyak pula kesulitan yang dialami pada saat menenun ulos tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Menurut hasil wawancara penulis, kualitas ulos sebelum tahun 1970 sampai tahun 2000 hanya mengalami pergeseran pewarnaan alamiah dan pengurangan
jumlah motif akan ulos tersebut. Karena para penenun ulos di Sigaol mengalami kesulitan dalam mengerjakan kedua hal tersebut. Tetapi jikalau proses pembuatan,
dan cara menenun sama saja seperti yang dulu. Untuk lebih jelasnya penulis menjelaskan kembali secara rinci perbedaan proses pembuatan ulos mulai awal
sampai selesai baik yang menggunakan mesin maupun yang tidak menggunakan mesin.
3.1.1 Perbedaan Tenun Tradisional Dengan Tenun Ulos Yang Menggunakan Mesin
Hasil tenun ulos tradisional atau manual ATBM dengan hasil tenun yang menggunakan mesin sangat beda, dapat dilihat dari proses pembuatan, bahan yang
digunakan dan kerapian hasil tenun tersebut. Proses pembuatan ulos manual ada 4 tahap yaitu: Mangunggas, Makkasoli, Mangani, dan Martonun. Keempat tahap ini
digunakan untuk memperoleh hasil tenun yang kuat dan mengkilat. Pada saat manggani, benang tersebut di oleskan dengan nasi secara merata sambil dijemur
diterik matahari, dan pada saat martonun, benang tersebut diberikan air agar benang antar yang satu dengan yang lain menyatu. Ulos orang batak itu dalam istilah diberi
makan dan minum seperti manusia. Selain itu hasil tenun ulos manual jauh lebih kuat dan rapi, biasanya warna ulos yang ditenun manual cenderung dengan warna yang
kalam holom. Kemudian warna ulos yang ditenun manual tidak pudar apabila
Universitas Sumatera Utara
dicuci dan hasil ulos yang diperoleh dari tenun manual jauh lebih kuat, cantik dan rapi.
Hasil tenun ulos yang menggunakan mesin itu biasanya mereka lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas, mereka kurang teliti pada saat proses
pembuatan ulos tersebut, sehingga hasil ulos yang diperoleh asal jadi. Ulos hasil tenunan mesin itu tidak rapi atau benangnya tidak menyatu karena pada saat
menenun ulos tersebut, tidak diberikan air untuk menyatukan benang yang satu dengan yang lain dan pada saat mangani benang tersebut tidak dioleskan nasi yang
sudah dilumerkan melainkan tepung kanji. Biasanya ulos yang dikeluarkan dari mesin itu warnanya cerah-cerah, dan apabila dicuci warnanya pudar.
3.1.2 Bahan Dasar Tenun Ulos
Secara garis besar, ada dua bahan yang digunakan dalam pembuatan Ulos, yaitu: bahan untuk pembuat kain dan bahan pewarna. Bahan pembuat kain adalah
benang yang terbuat dari kapas. Sedangkan bahan pewarnanya adalah: kulit kayu, rerumputan, akar-akaran, lumpur, dan dedaunan. Semua bahan ini dimasak untuk
menghasilkan warna ulos yang akan di tenun. Warna yang dihasilkan jenis tumbuh- tumbuhan diatas tadi menghasilkan warna hitam dan warna merah, sementara warna-
warna lain seperti warna biru dan warna kuning dihasilkan dari perpaduan antara warna merah dan hitam tadi. Demikianlah cara pewarnaan kain ulos tempo dulu.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan pewarnaan ulos sekarang sudah diwarnai langsung dari perusahaan dan pewarnaan manualalamiah tidak digunakan lagi karena tidak efektif lagi digunakan.
3.1.3 Alat Tenun Ulos
Alat tenun ulos yang dibutuhkan dalam pembuatan kain ulos memiliki salah satu keunikan dari kain Ulos adalah penggunaan alat tenun yang masih menggunakan
kayu atau biasa disebut ATBM Alat Tenun Bukan Mesin, dan cara pengoperasiaannya dilakukan secara manual.
1. Alat pemintal kapas, alat ini digunakan untuk merubah kapas menjadi
benang dalam masyarakat Batak, alat ini dikenal dengan nama sorha. 2.
Pamunggung, yaitu sandara punggung, selain itu alat ini juga berfungsi untuk menahan benang dan untuk cantelan mengikat.
3. Pagabe, berfungsi untuk memegang benang yang dipintal.
4. Baliga, berfungsi untuk menyusun dan mengatur benang
5. Hatulungan, alat ini bentuknya seperti tombak dan berfungsi untuk
membagi-bagi benang 6.
Pamapan, berfungsi untuk melilitkan benang setelah dibagi-bagi hatulungan.
7. Palabuan periuk tanah, alat ini digunakan untuk merendam bahan
pewarna.
Universitas Sumatera Utara
8. Anian, alat ini terbuat dari sepotong balok kayu yang diatasnya ditancapkan
tongkat pendek sesuai ukuran Ulos yang hendak dibuat. Fungsi alat ini adalah untuk menguntai benang sehingga pembuatan Ulos semakin mudah.
18
3.1.4 Proses Pembuatan Ulos
Kain Ulos ada beberapa jenis, setiap jenis memiliki corak, motif, dan fungsi yang berbeda-beda. Namun walaupun berbeda-beda, bahan yang digunakan adalah
sama, yaitu sejenis benang yang dipintal dari kapas. Yang membedakan antara satu jenis Ulos dengan lainnya adalah proses pembuatannya. Dengan kata lain, proses
pembuatan Ulos menjadi penentu nilai dan fungsi sebuah Ulos, apakah Ulos tersebut untuk siabithononton dipakaikan, sihadanghononton dijadikan selendang atau
sitalitalihononton diikatkan. Selain itu, proses pembuatannya juga menetukan kepada siapakah kain Ulos digunakan untuk mangulosi.
Proses pembuatan kain Ulos merupakan demonstrasi keahlian orang Batak merubah benang menjadi kain yang kaya akan nilai. Pembuatan kain in merupakan
rangkaian proses panjang mulai dari mangunggas memintal, makkulhul menggulung, mangani membentuk, dan manotar menenun. Adapun proses
pembuatannya adalah sebagai berikut:
18
Data ini diperoleh dari, Museum TB. Silalahi Center Balige Kabupaten Toba Samosir, 15 Februari 2014.
Universitas Sumatera Utara
a. Tahap Persiapan