Dampak Industri Tradisional Tenun Ulos Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Sigaol Kecamatan Lumban Julu Kabupaten Tapanuli Utara (1970-2000)

(1)

DAMPAK INDUSTRI TRADISIONAL TENUN ULOS TERHADAP

KEHIDUPAN

SOSIAL

EKONOMI

MASYARAKAT

DESA

SIGAOL

KECAMATAN

LUMBAN

JULU

KABUPATEN

TAPANULI UTARA 1970-2000

SKRIPSI

DIKERJAKAN

O

L

E

H

NOVITA BUTARBUTAR

100706060

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

Lembaran Pengesahan Oleh Dekan Dan Dosen Penguji Ujian PEGESAHAN

Panitian Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Sastra dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan

Pada : Tanggal : Hari :

Fakultas Ilmu Budaya USU Dekan

Dr. Syahron Lubis, M.A NIP. 195110131976031001

Panitia Ujian

No Nama Tanda Tangan

1. Drs. Edi Sumarno, M. Hum ( ) 2. Dra. Nurhabsyah, M. Si ( ) 3. Dra. Fitriaty Harahap, SU ( ) 4. Dra. Junita Setiana Ginting, M.Si ( ) 5. Dra. Farida Hanum Ritonga, MSP ( )


(3)

Lembar Persetujuan Ketua Departemen

Disetujui oleh :

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN SEJARAH Ketua Departemen

Drs. Edi Sumarno, M. Hum NIP. 196409221989031001


(4)

Lembaran persetujuan skripsi

DAMPAK INDUSTRI TRADISIONAL TENUN ULOS TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA SIGAOL Kec.

LUMBAN JULU Kab. TAPANULI UTARA 1970-2000 Yang Diajukan oleh :

Nama : Novita Butarbutar Nim : 100706060

Telah disetujui untuk diajukan dalam ujian skripsi oleh :

Pembimbing Tanggal :

Dra. Farida Hanum Ritonga, MSP NIP. 195401111981032001

Ketua Departemen Ilmu Sejarah Tanggal :

Drs. Edi Sumarno, M. Hum NIP. 196409221989031001

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(5)

DAMPAK INDUSTRI TRADISIONAL TENUN ULOS TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA SIGAOL Kec. LUMBAN JULU Kab. TAPANULI UTARA 1970-2000

SKRIPSI DIKERJAKAN O

L E H

NAMA : NOVITA BUTARBUTAR NIM : 100706060

Pembimbing :

Ketua Departemen Ilmu Sejarah

Dra. Farida Hanum Ritonga, MSP Drs. Edi Sumarno, M. Hum

NIP. 195401111981032001 NIP.

196409221989031001

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan kasihNyalah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Menyusun skripsi merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh mahasiswa yang menyelesaikan studinya di Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Untuk memenuhi syarat tersebut diatas, penulis mengangkat sebuah permasalahan yang ditulis menjadi sebuah skripsi berjudul “Dampak industri tradisional tenun ulos terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat Desa Sigaol

Kecamatan Uluan Kabupaten Tapanuli Utara (1970-2000)”.

Penelitian skripsi ini berusaha membahas perubahan kehidupan sosial

ekonomi penenun ulos di Desa Sigaol. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak. Penulis berharap agar tulisan ini berguna bagi semua pihak dan akhir kata penulis berterimakasih kepada pihak-pihak yang telah banyak memberikan bantuan dan informasi yang dibutuhkan dalam tulisan ini.

Medan, 2014

Penulis


(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam mengerjakan skripsi ini, penulis menyadari bahwa penulis mengalami banyak kendala, namun berkat bantuan, bimbingan, kerjasama dari berbagai pihak sehingga penulis mampu menghadapi kendala-kendala. Skripsi ini tidak akan dapat selesai tanpa dukungan dan motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan kepada :

1. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda Kalvin Butarbutar

dan Ibunda Vierni Br. Manurung yang telah memberikan dukungan doa serta semangat, materi terlebih atas pengorbanan yang sangat luar biasa yang diberikan untuk membesarkan dan mendidik penulis. Tanpa kedua orang tua penulis tidak akan dapat menyelesaikan studi di FAKULTAS ILMU BUDAYA USU.

2. Terima kasih juga kepada keluarga Kak Manta Butarbutar dan Abang Ipar

Arnold Tysan Silaban yang telah memberikan dukungan doa serta semangat kepada penulis.

3. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Abang penulis Ganda

Butarbutar dan Adek-adek saya Suryadi Butarbutar, Ellys Faither Butarbutar, dan Beckham Butarbutar tetap semangat dan gapailah cita-citamu adek-adekku.

4. Bapak Syahron Lubis M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya


(8)

Pembantu Dekan I Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Bapak Drs Samsul Tarigan selaku Pembantu Dekan II Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

5. Drs. Edi Sumarno, M. Hum selaku Ketua Departemen Sejarah Fakultas

Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dan Dra. Nurhabsyah, M.Si selaku Sekretaris Departemen Sejarah yang telah memberikan dukungan dan bekal ilmu kepada Penulis.

6. Dra. Farida Hanum Ritonga, MSP selaku dosen pembimbing atas segala

ketekunan, kesabarannya serta kerelaannya menyediakan waktu untuk membimbing dan memperbaiki penulisan skripsi ini hingga selesai.

7. Seluruh Dosen di Fakultas Ilmu Budaya USU, terutama dosen

Departemen Ilmu Sejarah yang membantu saya dalam segala bekal ilmu yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dan Bang Amperawira yang membantu penulis mengerjakan skripsi ini.

8. Untuk teman-teman seperjuangan Ilmu Sejarah stambuk 2010 ada

Resmaulina, Ira Sela, Sepno Semsa, Rina Hutabarat, Ayu Maharani, Dominika, Evitamala, Helma Melati, Hery Kristianto, Mindo, Moses, Fahri, dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan penulis satu per satu. Tetap semangat dan berjuang terus buat masa depan dan terima kasih atas dukungannya selama kita berjuang dalam penelitian.

9. Teman satu kost berdikari 35 (Irma, Nelys, Tika, Jojor, eva, Irene, try, Ester) dan kawan-kawan lainnya.


(9)

10.Teman-teman satu Pelayanan di P3KS (Aryanti, Trisna, Fitri, Cory, Tantri, Itha, dan William)

11.Orang-orang yang selalu memotivasi saya ada (Kak Luga Kristina

Silitonga, Kak Margaret Surbakti, Kak Lina kembaren, Kak Joice Hendriate, Avril surbakti, Avril Sinaga, Diana Butarbutar, Maria Butarbutar, Bang Damron Gultom dan terkhusus buat sahabat doa saya Irene Septuagesima Parhusip).

12.Kelompok Kecil saya (Meisia, Trya, Ira sela, Helma, Evitamala, dan

Hery).

13.Kepada seluruh masyarakat Desa Sigaol, terutama seluruh penenun ulos

yang telah memberikan informasi dan dukungan kepada penulis.

14.Kepada Semua pihak yang telah mendukung dan tidak dapat disebutkan

penulis satu per satu. Terima kasih banyak atas dukungannya.

Medan, 2014

Penulis


(10)

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba memaparkan bagaimana dampak industri tenun ulos terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat di Desa Sigaol 1970-2000 dengan hanya memiliki mata pencaharian sebagai penenun ulos yang pendapatannya hanya cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan kearifan dan pengetahuan yang mereka miliki serta hubungan sosial yang terjalin antara masyarakat penenun ulos di desa ini. Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan dampak industri tenun ulos terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat di Desa Sigaol 1970-2000 dan usaha yang dilakukan penenun ulos dalam meningkatkan ekonomi keluarga. Peneliti melakukan wawancara dengan informan kunci seperti tokoh adat atau tokoh masyarakat di kalangan penenun ulos, untuk memperoleh informasi tentang persoalan mendasar yang menyebabkan terjadinya kemiskinan penenun ulos di Desa Sigaol dan kondisi perekonomian penenun ulos sebelum memiliki mata pencaharian hidup tambahan. Peneliti melakukan wawancara serta observasi non partisipasi yang dilakukan untuk mengamati aktifitas dan cara-cara yang ditempuh keluarga penenun ulos dalam meningkatkan ekonomi keluarga. Hasil penelitian ini menunjukkan, strategi yang dilakukan penenun ulos berupa dengan menangkap ikan, beternak, mengambil batu-batu besar, bekerja di ladang tetangga, dan berjualan juga dapat menambah penghasilan atau pendapatan penenun ulos untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari walaupun dengan keterbatasan pengetahuan yang dimiliki. Adanya srategi tersebut membuat mereka lebih giat lagi dalam bekerja guna untuk meningkatkan perekonomian di Desa ini yang akhirnya dapat mengubah kehidupan para penenun ulos menjadi lebih baik lagi.


(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN

KATA PENGANTAR... i

UCAPAN TERIMA KASIH... ii

ABSTRAK...v

DAFTAR ISI... vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Rumusan Masalah... 7

1.3 Tujuan Penelitian... 8

1.4 Manfaat Penelitian... 8

1.5 Tinjauan Pustaka... 9

1.6 Metode Penelitian... 11

BAB II KONDISI PEREKONOMIAN MASYARAKAT DESA SIGAOL SEBELUM MASUKNYA TENUN ULOS SEBAGAI MATA PENCAHARIAN SEBELUM TAHUN 1970 2.1 Sebelum Masuknya Tenun Ulos... 14

2.1.1 Nelayan... 15


(12)

2.1.3 Berdagang... 18

2.2 Setelah Masuknya Tenun Ulos di Tanah Batak... 19

2.2.1 Sejarah Masuknya Tenun Ulos Di Desa Sigaol... 20

2.2.2 Tenun Ulos (Home Industry)... 21

2.2.3 Nelayan... 23

2.2.4 Beternak... 26

2.2.5 Berdagang... 27

2.3 Kondisi Alam... 27

2.4 Pola Perkampungan Penduduk... 28

BAB III PERKEMBANGAN TENUN ULOS DI DESA SIGAOL 1970-2000 3.1 Kualitas Kain Ulos Yang Di Produksi Masyarakat Sigaol... 31

3.1.1 Perbedaan Tenun Tradisional Dengan Tenun Ulos Yang Menggunakan Mesin... 32

3.1.2 Bahan Dasar Tenun Ulos... 33

3.1.3 Alat Tenun Ulos... 34

3.1.4 Proses Pembuatan Ulos... 35

3.2 Jumlah Ulos Yang Di Produksi Masyarakat Sigaol... 39

3.3 Sumber Daya Manusia (SDM) Penenun Ulos... 50

3.4 Modal Awal Yang dibutuhkan... 52

3.5 Sistem Pemasaran Ulos dari Tahun 1970-2000... 53


(13)

BAB IV DAMPAK INDUSTRI TRADISIONAL TENUN ULOS TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT DESA SIGAOL

4.1 Perubahan Sosial Ekonomi Pengrajin Ulos... 56

4.1.1 Sebelum Menenun Ulos... 62

4.1.2 Sesudah Menenun Ulos... 65

4.2 Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat... 68

4.2.1 Perkembangan Pendidikan... 69

4.2.2 Bentuk Bangunan Rumah... 71

4.2.3 Jenis Usaha Masyarakat Sigaol... 73

4.2.4 Budaya Batu (TUGU)... 75

4.2.5 Sistem Kepercayaan... 77

4.3 Pendapatan... 83

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan... 88

5.2 Saran... 90

DAFTAR PUSTAKA... 91

DAFTAR INFORMAN... 93


(14)

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba memaparkan bagaimana dampak industri tenun ulos terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat di Desa Sigaol 1970-2000 dengan hanya memiliki mata pencaharian sebagai penenun ulos yang pendapatannya hanya cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan kearifan dan pengetahuan yang mereka miliki serta hubungan sosial yang terjalin antara masyarakat penenun ulos di desa ini. Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan dampak industri tenun ulos terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat di Desa Sigaol 1970-2000 dan usaha yang dilakukan penenun ulos dalam meningkatkan ekonomi keluarga. Peneliti melakukan wawancara dengan informan kunci seperti tokoh adat atau tokoh masyarakat di kalangan penenun ulos, untuk memperoleh informasi tentang persoalan mendasar yang menyebabkan terjadinya kemiskinan penenun ulos di Desa Sigaol dan kondisi perekonomian penenun ulos sebelum memiliki mata pencaharian hidup tambahan. Peneliti melakukan wawancara serta observasi non partisipasi yang dilakukan untuk mengamati aktifitas dan cara-cara yang ditempuh keluarga penenun ulos dalam meningkatkan ekonomi keluarga. Hasil penelitian ini menunjukkan, strategi yang dilakukan penenun ulos berupa dengan menangkap ikan, beternak, mengambil batu-batu besar, bekerja di ladang tetangga, dan berjualan juga dapat menambah penghasilan atau pendapatan penenun ulos untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari walaupun dengan keterbatasan pengetahuan yang dimiliki. Adanya srategi tersebut membuat mereka lebih giat lagi dalam bekerja guna untuk meningkatkan perekonomian di Desa ini yang akhirnya dapat mengubah kehidupan para penenun ulos menjadi lebih baik lagi.


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Kabupaten Tapanuli Utara adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, yang memiliki 16 kecamatan yaitu Ajibata, Balige, Bonatua Lunasi, Borbor, Habinsaran, Lagu Boti, Lumban Julu, Nassau, Parmaksian, Pintu Pohan Meranti, Porsea, Siantar Narumonda, Sigumpar, Silaen, Tampahan, dan Lumban Julu. Kecamatan Lumban Julu memiliki 23 desa dan yang menjadi desa lokasi penelitian penulis yaitu Desa Sigaol terbagi atas tiga bagian yaitu Sigaol Barat, Sigaol Timur, dan Siregar Aek Nalas yang memiliki jumlah penduduk 665 jiwa dengan luas seluruh daerahnya 400 Ha. Jarak antara Desa Sigaol ke Ibukota Kabupaten berkisar ± 37 Km.

Desa Sigaol adalah salah satu daerah penenun ulos di Kabupaten Tapanuli Utara.1

Penduduk asli Desa Sigaol adalah marga Sinaga, Sitorus dan Nainggolan,

ketiga Marga inilah yang menempati Desa Sigaol. Bahasa kesehariannya adalah bahasa Batak Toba. Selain itu masyarakat ini juga mempunyai unsur budaya yang menunjukkan lambang identitas kebudayaanya sebagai orang Batak, salah satunya adalah menenun ulos. Ulos mulai dikenal masyarakat Desa Sigaol pada saat periodeisasi penjajahan Belanda di Sigaol dan yang membawa Tenun Ulos ke Desa Sigaol adalah Op. Tuan Dirambe Butarbutar. Beliau adalah keturunan dari Raja Batak di Lumban Mual. Ayah Op. Tuan Dirambe adalah Ama Sombaon Butarbutar dan

1 Data diperoleh dari kantor Kepala Desa Sigaol, Selasa, 04 februari 2014, Pukul 13.00 wib.


(16)

Ibunya boru Sitorus, yang bertempat tinggal di Lumban Mual. Anak Ama Sombaon ada Tiga orang yaitu: Op. Tuan Dirambe, Guru Mangatas, dan Namora Hatautan. Ketika mereka sudah berumah tangga mereka merantau atau keluar dari kampung halamannya. Op. Tuan Dirambe merantau ke Sigaol, Guru Mangatas merantau ke Toba Holbung, dan Namora Hatautan merantau ke Marom. Op. Tuan Dirambe memiliki dua orang istri yaitu Boru Sirait dari Siraituruk dan Boru Gultom. Boru Sirait memiliki satu orang anak laki-laki dan dari Boru Gultom memiliki tujuh orang anak perempuan.

Selama Op. Tuan Dirambe Butarbutar berdomisili ke Desa Sigaol yang menjadi mata pencahariannya adalah menenun ulos untuk memenuhi keperluan rumah tangganya. Masyarakat Desa Sigaol tertarik dengan pekerjaan istri-istri Op. Tuan Dirambe dan masyarakat di Desa Sigaol meminta agar istri-istri Op. Tuan Dirambe mengajari masyarakat tersebut untuk menenun ulos karena ulos pada saat itu sangat dibutuhkan oleh masyarakat Sigaol untuk menutupi tubuhnya dari terpaan angin dan udara dingin.

Sebelum masuknya ulos ke Desa Sigaol yang digunakan masyarakat Sigaol untuk menutupi tubuhnya adalah dengan memintal kapas untuk dijadikan pakaian. Kemudian, yang menjadi mata pencaharian masyarakat tersebut adalah menangkap ikan (nelayan) yaitu pada tahun 1939. Tetapi setelah tenun ulos masuk ke Sigaol masyarakat Sigaol beralih mata pencaharian dari nelayan menjadi Menenun Ulos di tahun 1940. Bukan hanya beralih mata pencaharian tetapi juga beralih pakaian dari memintal kapal menjadi menggunakan hasil tenunan istri Op. Tuan Dirambe yaitu


(17)

Ulos. Kemudian hal tersebut hampir semua kalangan masyarakat Sigaol meminta untuk belajar menenun ulos kepada istri-istri Tuan Dirambe karena Ulos pada waktu itu harganya sangat mahal dan sangat praktis untuk digunakan menutupi tubuh dari cuaca dingin. 2

Laki-laki memakai ulos sebagai hande-hande atau ikat kepala (detar). Bagian

bawah disebut Singkot (lopes). Sedangkan yang perempuan memakainya sebagai abit

(kain sebatas dada). Bagian bawah, punggung dipakai hoba-hoba dan bila disandang

disebut selendang dan pada bagian atas atau di kepala disebut saong-saong.

Kemudian, apabila menggendong anak disebut ulos parompa. Ulos dipakai

sehari-hari di rumah, di ladang, dan di tempat-tempat lain. Karena dahulu kala orang belum mengenal yang namanya tekstil, semua pakaian terbuat dari hasil rajutan atau tenunan3.

Ulos adalah kain tenun khas Batak berbentuk selendang. Benda sakral ini merupakan simbol restu, kasih sayang dan persatuan, sesuai dengan pepatah Batak yang berbunyi: “ Ijuk pangihot ni hodong, ulos pangihot holong”, yang artinya jika ijuk adalah pelepah pada batangnya, maka ulos adalah pengikat kasih sayang antara sesama4.

2Wawancara dengan, Bapak Charles Butarbutar selaku kepala Desa di Desa Sigaol, kamis 27 februari 2014.

3 P. H. P. Sitompul, Ulos Batak Tempo Dulu-Masa Kini, Jakarta: Kerabat Kerukunan Masyarakat Batak, 2009, hlm. 5.


(18)

Ulos adalah lambang kasih sayang. Ulos sebagai salah satu warisan budaya Batak, yang harus dikembangkan agar dapat mendunia. Ulos mempunyai keistimewaan tersendiri yang tidak dimiliki kain tenun lainnya. Ulos bukan hanya sekedar produk berbentuk kain tenun melainkan, mempunyai nilai yang sangat penting di dalam budaya Batak yang dikenal dengan kasih sayang mereka hangat. Ulos ditenun sepenuhnya dari benang yang diciptakan dari tumbuh-tumbuhan dan diberi pewarna alami.

Khusus di Desa Sigaol yang mata pencaharian masyarakatnya adalah menenun ulos. Anak-anak di desa ini mulai dari kecil sudah diajari bagaimana cara menenun ulos, karena menurut orang tua ulos adalah masa depan anak-anaknya apabila orang tua tersebut tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah yang lebih tinggi. Orang tuanya sudah yakin atau percaya apabila anak tersebut menikah atau berumah tangga sudah bisa bertahan hidup untuk menghiduppi keluarganya kelak apabila anak itu sudah tahu bagaimana cara menenun ulos. Anak-anak di desa ini mulai dari kelas 5 SD sudah mulai diajari cara-cara menenun ulos mulai dari cara menggulung benang, mengenali benang tenunan, dan mengenali jenis-jenis ulos dan alat-alat tenunan. Dan disaat anak itu sudah mengecam pendidikan SMP, SMA dan bahkan menikah sudah bisa menghasilkan Ulos untuk dijual kepasaran.

Setelah masuknya ulos ke Desa Sigaol masyarakat mulai membuka mata untuk semakin mengikuti jaman dengan cara mulai mengikuti alat-alat yang mulai berkembang dijaman itu yaitu seperti industri kecil yang menyediakan bahan baku


(19)

ulos. Masyarakat sigaol sangat memanfaatkan kesempatan ini sebagai pengrajin tenun ulos untuk mendukung kehidupan perekonomian mereka baik dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, mendukung pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Pada tahun 1975 masyarakat Batak Toba khususnya di Desa Sigaol sangat mendukung yang namanya pendidikan “Anakkonki do hamoraon di Ahu” yang artinya keberhasilan orang tua di nilai dari tingkat pendidikan atau kesuksesan anak-anaknya. Di Desa ini juga terlihat perkembangan pendidikan yang mulai meningkat dari tahun ke tahun meskipun perkembangan pendidikan di Desa ini belum begitu cepat.

Sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba dikenal dengan istilah Dalihan Na

Tolu yang berisi tentang Somba Marhula-hula, Manat Mardongan Tubu dan Elek

Marboru, yang artinya orang harus berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Hal tersebut sangat dipegang oleh masyarakat tersebut. Tenun ulos juga dapat mempererat sistem kekerabatan antara yang satu dengan yang lain dengan cara menjalin komunikasi yang baik, dan saling membantu diantara mereka. Salah satu cara masyarakat menjaga sistem kekerabatannya dengan cara

mengikuti setiap kegiatan diantara mereka seperti pesta, (Makkaroan, Pangoli Anak,

Pamuli Boru, Saur Matua, dll.) dan juga mereka masih mengadakan yang namanya

gotong-royong (Marsidapari).

Nilai ekonomi ulos sudah mulai mengalami pergeseran harga diakibatkan oleh ditemukannya alat tenun yang canggih untuk menenun ulos yaitu mesin tenun ulos di Kota Siantar. Dengan adanya mesin tenun ulos mengakibatkan harga ulos mulai turun, hal ini berpengaruh terhadap mata pencaharian masyarakat di Desa


(20)

Sigaol yang menggunakan tenun manual (ATBM). Meskipun nilai harga ulos mengalami pergeseran, tetapi masyarakat di Desa Sigaol tetap mempertahankan ulos sebagai sumber mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya sampai saat ini. Selain itu masyarakat tidak mau beralih mata pencaharian atau pun menggunakan alat tenun mesin dalam menghasilkan ulos. Salah satu alasannya

mereka tetap mempertahankan tenun ulos manual adalah ingin tetap

mempertahankan atau melestarikan budaya Batak sebagai pengrajin ulos.

Melihat hal tersebut penulis sangat tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Peranan Ulos bagi masyarakat Desa Sigaol sebagai objek penelitian sejarah ilmiah. Penelitian ini nantinya akan penulis fokuskan pada ulos sebagai sumber mata pencaharian masyarakat Desa Sigaol. Atas dasar pemikiran di atas maka penelitian ini

diberi judul Dampak Industri Tradisional Tenun Ulos Terhadap Kehidupan

Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Sigaol Kecamatan Uluan Kabupaten Tapanuli Utara (1970-2000). Alasan pembatasan periodesasi penelitian dari tahun 1970-2000,

karena tahun 1970 adalah tahun di mana ulos sangat dibutuhkan oleh masyarakat

untuk dijadikan sebagai pelindung tubuh mereka dari terpaan udara dingin (angin, hujan, panas, dan lain-lain). Selain itu ulos juga sangat populer, karena belum ditemukan kilang tenun ulos pada saat itu, serta ulos ini sangat banyak dibutuhkan oleh masyarakat untuk acara pesta. Tahun 2000 sebagai akhir penelitian karena pada

tahun tersebut harga ulos sangat mahal, melihat kebutuhan konsumen akan ulos yang

akan digunakan untuk acara pesta juga sangat banyak. Tahun inilah pengrajin ulos


(21)

berikutnya. Pada tahun 1970 sampai 1985 harga ulos per lembar itu sekitar 300

sampai 400 rupiah. Pada tahun 1999 sampai 2000 harga ulos sangat tinggi menjadi 50

sampai 100 ribu rupiah.

1.2 Rumusan Masalah

Mengacu pada latar belakang masalah di atas rumusan masalah yang diajukan sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi perekonomian masyarakat Desa Sigaol sebelum

masuknya tenun ulos sebagai mata pencaharian sebelum tahun 1970?

2. Bagaimana proses perkembangan Tenun Ulos di Desa Sigaol 1970-2000?

3. Bagaimana dampak industri tradisional tenun ulos terhadap kehidupan


(22)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan yang sudah terlebih dahulu dirumuskan dalam rumusan masalah. Sehingga harus relevan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian penulis.

Adapun Tujuan dari Penulis Penelitian ini antara lain untuk:

1. Menjelaskan kondisi perekonomian masyarakat Desa Sigaol sebelum

masuknya tenun ulos sebagai mata pencaharian sebelum tahun 1970.

2. Menjelaskan proses perkembangan Tenun Ulos di Desa Sigaol

1970-2000.

3. Menjelaskan dampak industri tradisional tenun ulos terhadap kehidupan

masyarakat Desa Sigaol 1970-2000.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini setidaknya dapat memberikan manfaat secara praktis dan akademis bagi pembaca untuk mengetahui beberapa hal antara lain:

1. Menambah wawasan kepada penulis dan pembaca tentang sejarah ulos

sebagai sumber mata pencaharian di Desa Sigaol.

2. Tulisan ini dapat membantu membangkitkan rasa nasionalisme untuk

melestarikan kebudayaan asli Batak Toba sehingga nantinya dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan.


(23)

3. Mendukung perkembangan Ilmu Sejarah sehingga kedepannya menjadi penggerak bagi penulis lainnya yang ingin menulis sejarah tentang kebudayaan asli di Indonesia.

1. 5Tinjauan Pustaka

Bagian ini berisi sistematis tentang hasil-hasil penelitian terdahulu dan yang ada hubungannya dengan penelitian yang akan dilakukan dan harus di review terlebih

dahulu.5 Di dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa buku sebagai bahan

referensi dan sumber informasi atau pendukung yang berkaitan dengan Kebudayaan di Indonesia terkhusus untuk kebudayaan orang batak (peranan ulos).

C.B. Tampubolon “Ulos Batak” menjelaskan tentang hakekat/makna dan

penggunaan ulos dalam Adat. Buku ini juga menjelakan bahwa sebagai generasi

penerus bangsa, khususnya di bidang kebudayaan, kita harus mengenali budaya kita sendiri baru kita dapat menghargai dan mencintainya. Setiap upacara adat ditengah-tengah masyarakat Batak, ulos masih tetap merupakan bahagian yang tidak terpisahkan hampir pada setiap upacara adat tersebut, baik dalam acara sukacita maupun dalam acara dukacita.

Sugiarto Dakung “Ulos” buku ini menjelaskan tentang ulos adalah unsur kebudayaan suku bangsa Batak. Ulos juga merupakan benda yang sangat penting


(24)

dalam perayaan-perayaan sekitar daur hidup mereka. Pemberian Ulos ini disertai dengan upacara-upacara tertentu seperti bayi waktu lahir, perkawinan juga untuk orang yang meninggal dunia. Menurut kebiasaan mereka, setiap yang meninggal diharuskan membawa ulos sebagai tanda penghargaan terakhir. Selain itu juga buku ini menjelaskan tentang peranan ulos bagi masyarakat tapanuli bahwa ulos adalah salah satu alat untuk mendamaikan dua pihak yang saling bertentangan, agar masalah tersebut dapat diselesaikan maka oleh pendamai dua orang itu diikat dengan selembar ulos.

St. P. H. P. Sitompul “ Ulos Batak Tempo Dulu – Masa Kini” menjelaskan tentang berbagai aspek filosofi ulos mulai dari warna ulos, Ukuran ulos, Ragi ni ulos (Motif tenunan ulos), Ragam ni ulos (Jenis-jenis ulos) dan Ruhut pamangke ni ulos (aturan pemakaian ulos adat). Buku ini juga membantu penulis dalam mengenali jenis ulos tempo dulu dan jenis ulos sekarang. Selain itu buku ini juga menambah

pemahaman tentang makna penggunaan ulos dalam kehidupan masyarakat hukum


(25)

1.6 Metode Penelitian.

Metode penelitian adalah suatu hal penting yang tidak terpisahkan dari suatu petunjuk teknis. Metode penelitian sejarah lazim juga disebut metode sejarah. Metode sejarah adalah suatu proses yang benar berupa aturan-aturan yang dirancang untuk

membantu dengan efektif dalam mendapatkan kebenaran suatu sejarah. Adapun

metode sejarah terbagi dalam empat langkah antara lain heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi atau penulisan sejarah. Langkah pertama yang penulis kerjakan yaitu heuristik, pengumpulan sumber-sumber atau data-data yang terkait dengan objek penelitian penulis dari berbagai sumber dalam hal ini penulis

menggunakan metode library research (penelitian kepustakaan), sumber tersebut baik

itu merupakan sumber primer maupun sumber sekunder. Suatu prinsip yang harus dipegang penulis yaitu di dalam heuristik adalah sejarahwan harus mencari terlebih dahulu sumber primer. Sumber primer disini berarti sumber yang disampaikan oleh saksi mata.

Hal ini dapat dalam bentuk dokumen, misalnya arsip-arsip atau laporan pemerintah sedangkan dalam sumber lisan yang dianggap primer adalah wawancara

langsung dengan pelaksana peristiwa atau saksi mata6. Tetapi apabila penulis kurang

mendapat sumber primer sebagai bahan referensi maka sumber sekunder bisa digunakan.


(26)

Langkah kedua yaitu kritik sumber (verifikasi), setelah sumber sejarah dalam berbagai macam terkumpul maka dilanjutkan dengan tahapan kritik sumber untuk memperoleh keabsahan/keaslian sumber atau data yang didapat. Penulis dalam melakukan kritik sumber atau menyeleksi terhadap sumber-sumber melalui pendekatan intern dan ekstern. Dimana dalam pendekatan intern yang menelaah dan memverifikasi kebenaran isi atau fakta sumber baik yang bersifat tulisan (buku, artikel, laporan dan arsip) maupun sumber lisan (wawancara). Kritik ekstern yang dilakukan dengan cara memverifikasikan untuk menentukan keaslian sumber (otentisitas) baik sumber tulisan maupun lisan. Hal ini dilaksanakan agar penulis dapat menghasilkan suatu tulisan benar-benar objektif yang tentunya dari data-data yang terjaga keobjektifannya.

Langkah ketiga yaitu interpretasi, setelah data tersebut sudah melewati kritik

sumber, maka penulis membuat tahapan selanjutnya ialah penafsiran atau menganalisis terhadap hasil dari kritik sumber. Di dalam proses interpretasi ini bertujuan untuk menghilangkan kesubjektifitasan sumber walaupun sebenarnya hal ini tidak dapat dihilangkan secara total. Interpretasi ini dapat dikatakan data sementara sebelum penulis membuatkan hasil keseluruhan dalam suatu penulisan.

Langkah selanjutnya dan yang terakhir yaitu Historiografi, tahapan ini berisi tentang penulisan, pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan. Layaknya penelitian ilmiah, penulisan hasil penelitian sejarah hendaknya dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai proses penelitian, sejak dari awal (heuristik) sampai dengan akhirnya (penarikan kesimpulan) sehingga dapat dikatakan


(27)

penulisan tersebut bersifat kronologis atau sistematis. Berdasarkan penulisan sejarah itu pula akan dapat dinilai apakah penelitiannya berlangsung sesuai dengan prosedur yang dipergunakannya tepat atau tidak; apakah sumber atau data yang mendukung penarikan kesimpulannya memiliki validitas dan reliabilitas yang memadai atau tidak; dan sebagainya. Jadi dengan penulisan sejarah itu akan dapat ditentukan mutu penelitian dan penulisan sejarah itu sendiri.


(28)

BAB II

KONDISI PEREKONOMIAN MASYARAKAT DESA SIGAOL

SEBELUM MASUKNYA TENUN ULOS SEBAGAI MATA PENCAHARIAN

2.1 Sebelum Masuknya Tenun Ulos

Pada tahun 1938, yaitu pada masa penjajahan Belanda kondisi perekonomian masyarakat dapat dikatakan tidak sejahtera khususnya di Desa Sigaol. Pada masa penjajahan Hindia-Belanda di Indonesia seluruh masyarakat tidak bebas terhadap apa yang dimilikinya baik berupa tanah, rumah, hasil pertanian, hasil tangkapan, hasil ternak, dan lain-lain. Masyarakat pada masa itu sangat takut terhadap kolonial Belanda karena pada saat itu semua peraturan yang berlaku adalah peraturan yang diberlakukan oleh Kolonial Belanda sehingga seluruh masyarakat Indonesia patuh

terhadap aturan tersebut meskipun ada sebagian yang menentang peraturan tersebut.7

Masyarakat pada saat itu tidak pernah puas akan hasil yang mereka dapatkan karena Belanda terus mengawasi hasil pertanian mereka. Setelah masyarakat memperoleh hasil dari pertanian Kolonial Belanda langsung mengambil seluruh hasil pertanian masyarakat, jika masyarakat tidak memberikan apa yang di minta oleh Kolonial Belanda masyarakat disiksa, ditangkap, dan di hukum mati. Melihat kekejaman Kolonial Belanda masyarakat Indonesia takut dan pasrah serta

7 (Wawancara : Charles Butarbutar, dari kantor Kepala Desa Sigaol saat memberikan keterangan tentang sejarah dan kondisi Desa Sigaol, Sabtu (22/02)).


(29)

menyerahkan seluruh hasil pertaniannya. Hal ini dilakukan Kolonial Belanda bertujuan untuk memperkaya pemerintahan Belanda.

2.1.1 Nelayan

Kehidupan ekonomi nelayan tradisional diidentikkan dengan kemiskinan, karena nelayan sangat bergantung terhadap kondisi iklim. Sehingga membuat nelayan di desa ini sangat sulit dalam pemenuhan kebutuhan keluarga khususnya. Peralatan

yang dipakai para nelayan untuk menangkap ikan hanya menggunakan Solu

(Sampan) sebagai alat untuk melintasi air danau toba ke dataran yang lebih dalam lagi dan Doton (Jaring) digunakan sebagai alat untuk menangkap ikan. Dampak dari perubahan iklim juga sangat banyak dirasakan oleh nelayan karena resiko nelayan lebih tinggi ketika mereka melakukan aktivitas di laut. Dampak perubahan iklim juga

akan mengurangi produktivitas dan pendapatan bagi nelayan. “Perubahan cuaca dan

iklim akan menganggu perikanan dan kelautan, sebagai contoh pengaruh cuaca dan iklim akan mempengaruhi pertumbuhan plankton yang mengandung klorofil (hijau

daun), adanya tumbuhan klorofil menandakan bahwa banyak ikan di laut tersebut.8

Dampak yang ditimbulkan dari berbagai perubahan tersebut tidak hanya mempengaruhi kondisi ekonomi nelayan, namun juga aspek-aspek lain di kehidupan sosial nelayan. Dampak iklim tersebut sangat mempengaruhi kehidupan sosial

8Wawancara, Bapak Firman Nadapdap, pekerja sebagai nelayan selama 38 tahun di Desa Sigaol, Sabtu 8 februari 2014 pukul 19.45 wib.


(30)

ekonomi nelayan, dimana ketika terjadi pertukaran cuaca atau musim kemarau maka para nelayan tidak dapat menangkap ikan ke Danau karena beresiko tinggi. Apabila pertukaran iklim terjadi berkepanjangan maka masyarakat tidak dapat memenuhi kebutuhnnya sehari-hari, untuk mengatasi hal tersebut masyarakat Sigaol sebagai Masyarakat yang memiliki mata pencaharian sebagai nelayan, membuat strategi dengan cara menambahkan mata pencahariannya sebagai pekerja diladang tetangga, kuli bangunan, berjualan dan lain-lain. Masayarakat Sigaol menggunakan strategi diatas untuk mengatasi agar tidak terjadi kelaparan dan agar kebutuhan keluarganya tetap terpenuhi.

Hasil yang diperoleh nelayan dari danau itu berupa ikan mujahir (nila), ikan gabus, ikan lele, ikan mas, pora-pora, udang kecil, dll. Dari jenis ikan itu hasil ikan yang paling banyak ditangkap yaitu ikan mujahir (ikan nila) karena harga jual ikan mujahir jauh lebih mahal daripada jenis ikan lainnya. Harga jual ikan mujahir (ikan nila) pada 1974 itu sekitar 100 rupiah/kg.9

9 Wawancara, Ibu Rosin Br. Manurung, pekerja sebagai pengrajin ulos sekalian istri nelayan di Desa Sigaol, Minggu 25 Mei 2014, Jam 08.30-09.45 wib.


(31)

2.1.2 Beternak

Beternak menjadi salah satu peluang yang sangat besar bagi masyarakat untuk dikembangkan sebagai usaha di masa depan, ketika masyarakat Sigaol mengalami perubahan iklim yang cukup lama mereka menggunakan strategi dalam memenuhi kebutuhannya dengan cara beternak yaitu memelihara ayam, itik, bebek, anjing, babi, kerbau, kambing, kuda, dll. Sebagian hasil ternak yang mereka pelihara itu dijual kepasar untuk membeli kebutuhan sehari-hari, sebagian lagi dipotong untuk acara pesta dikampung itu.

Menurut hasil wawancara dari beberapa masyarakat mereka tidak pernah memakan daging sesuai dengan selera meskipun hewan peliharaannya banyak. Mereka boleh makan daging apabila keluarga atau saudara dekat dari orang tua mereka datang dari perantauan contohnya Paman, bibi, tante, kakek, nenek, dan lain-lain baru bisa makan enak (makan daging). Hal ini dikerjakan oleh masyarakat sebagai mata pencaharian tambahan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Masyarakat sigaol pada tahun 1938 masih banyak yang belum mengenal tulisan (buta huruf), karena mereka tidak pernah duduk dibangku sekolah diakibatkan kurangnya biaya untuk mengecam pendidikan. Mereka hanya dapat melakukan aktivitas seperti menangkap ikan, beternak, bertani, berdagang, menjual kayu bakar dan sebagainya.


(32)

2.1.3 Berdagang

Dimasa silam ketika uang masih belum dikenal, perdagangan dilakukan

dengan cara tukar-menukar (barter). Sarana pertukaran yang paling banyak dilakukan ialah padi karena lebih mudah dilakukan. Hampir semua barang dapat dipertukarkan dengan padi, karena mudah diukur. Menukarkan padi dengan suatu barang disebut manuhor (membeli) bentuk barang apapun. Di waktu itu ketika tempat untuk berjual-beli belum ada, jika hendak menukarkan barang harus pergi menawarkannya dari rumah ke rumah atau dari kampung ke kampung.

Lama kelamaan cara berjualan seperti itu dirasakan sangat melelahkan,

timbulah pemikiran untuk mencari cara yang lebih mudah dengan cara mengumpulkan para pengetua kampung berkumpul untuk mangadakan musyawarah yang dihadiri oleh pimpinan horja (raja) utusan dari beberapa kampung yang dekat atau bertetangga. Hasil dari musyawarah tersebut memutuskan untuk mendirikan

sebuah pekan atau pasar yang disebut dengan onan dan sekaligus menyediakan tanah

kosong untuk lokasi pasar. Kampung-kampung yang menjadi anggota onan, disebut

bona ni onan, merekalah yang menjadi tuan rumah dan yang bertanggung jawab atas keberhasilan pekan tersebut. Setelah adanya pasar semua masyarakat membawa jualannya ketempat tersebut untuk melakukan jual beli. Pada saat itu masyarakat

Sigaol banyak menjual yang namanya Itom, Salaon, Bakkudu (ketiga jenis

tumbuh-tumbuhan ini berfungsi untuk menghasilkan cat (warna) yang akan digunakan untuk menenun ulos). Selain itom, Salaon, dan Bakkudu mereka juga menjual hewan


(33)

peliharaan, kayu bakar, dan hasil tangkapan dari danau, dan lain-lain. Semua ini dibawa kepasar lalu ditukarkan dengan barang-barang yang mereka butuhkan.

2.2 Setelah Masuknya Tenun Ulos ke Tanah Batak

Ketika leluhur orang Batak tiba di kaki gunung Pusuk Buhit, mereka masih belum menggunakan bahan pakaian dari kapas melainkan masih menggunakan kulit

kayu yang dipukul-pukul atau direndam supaya lemas, yang disebut dengan tangki.

Beberapa pendapat mengatakan bahwa pengetahuan bertenun diperoleh dari India Belakang dan sejak itulah kapas menjadi bahan baku untuk menghasilkan ulos dan bahan pakaian. Ketika kampung-kampung di Toba masih dikelilingi oleh tembok dan benteng yang tinggi, menjadi kebiasaan bagi ibu-ibu duduk bertenun di halaman rumahnya. Sebagian besar hasil tenunannya digunakan untuk keperluan sendiri, tetapi

kadang-kadang ada juga yang dibawa ke onan (pasar atau pekan) untuk ditukarkan

dengan barang kebutuhan sehari-hari.10

10 N. Siahaan , Sejarah Kebudayaan Batak, Medan: CV. Napitupuluh Dan SONS Djalan Irian Barat 39, 1964, hlm., 130-131.


(34)

2.2.1 Sejarah Masuknya Tenun Ulos Di Desa Sigaol

Ulos adalah jenis pakaian orang Batak sejak zaman dahulu kala. Cara

memakainnya ialah dengan meletakkan di badan - sampai batas pinggang bagi para pria dan sebatas dada bagi wanita dipakai sebagi penutup dada dan punggung. Cara

berpakaian seperti ini umumnya masih berlangsung hingga sekitar tahun 1850.11

Menurut hasil wawancara yang penulis peroleh penemu ulos pertama di

Tanah Batak tidak diketahui secara jelas karena banyak pendapat yang mengatakan bahwa sejak orang Batak ada ulos juga sudah ada. Etnis Batak sudah ada ribuan tahun yang lalu begitu juga dengan keberadaan usia. Tenun ulos masuk ke Desa Sigaol sekitar tahun 1939 dibawa oleh keluarga Op. Tuan Dirambe Butarbutar Beliau memiliki istri 2 orang yaitu boru Sitorus dan boru Gultom. Ketika keluarga Op. Tuan Dirambe datang ke Desa Sigaol mata pencaharian masyarakat pada saat itu adalah nelayan, berdagang, bertani, dan beternak. Selain itu masyarakatnya buta huruf (tidak dapat baca) hal ini juga mengakibatkan perolehan mata pencaharian karena mereka kurang agresif dalam mencari nafkah. Disamping itu juga masyarakat tidak bebas dalam menyalurkan setiap bakat yang mereka peroleh dalam memenuhi perekonomiannya karena masyarakat pada saat itu jadi budak kolonial Belanda.

Setelah kelurga Op. Tuan Dirambe menetap di Desa Sigaol, masyarakat

Sigaol sangat tertarik dengan kerajinan tangan yang dibuat oleh istri-istri Op. Tuan Dirambe, dan masyarakat meminta pada istri-istri Tuan Dirambe untuk mau

11 M. T. Siregar, Ulos Dalam Tatacara Adat Batak, Jakarta: P. T. MUFTI HARUN (BIN HARUN) Jln. K. H. Mas Mansyur no. 96 Jakarta Pusat- 10230, hlm, 1.


(35)

mengajari mereka. Kehadiran tenun ulos di Desa Sigaol cukup mendukung perekonomian masyarakat meskipun dalam pembuatannya memerlukan waktu yang cukup lama. Masyarakat Sigaol juga pada saat itu tetap mengerjakan mata

pencahariannya sebagai nelayan, berdangang, beternak, dan berjualan seperti: Itom,

Salaon, Bakkudu, Kayu Bakar, Tuak (Nira atau dikenal dengan istilah susu orang Batak) dan Hasil ternak lainnya.

2.2.2 Tenun Ulos (Home Industry)

Pada zaman dahulu, ulos dikenakan sebagai pakaian sehari-hari. Ulos yang di

pakai laki-laki untuk menutup tubuh bagian atas disebut sebagai hande-hande atau ikat kepala (detar). Bagian bawah disebut Singkot (lopes). Sedangkan yang

perempuan memakainya sebagai abit (kain sebatas dada). Bagian bawah, punggung

dipakai hoba-hoba dan bila disandang disebut selendang dan pada bagian atas atau di

kepala disebut saong-saong. Kemudian, apabila menggendong anak disebut ulos

parompa. Ulos dipakai sehari-hari di rumah, di ladang, dan di tempat-tempat lain. Karena dahulu kala orang belum mengenal yang namanya tekstil, semua pakaian terbuat dari hasil rajutan atau tenunan.12

Dahulu menenun ulos tidak boleh dilakukan sembarangan tetapi harus cermat

dan teliti. Harus diperhatikan agar perbandingan panjang dan lebar jangan menyimpang dari ketentuan. Tambahan kain yang dijahitkan di sisi kiri dan kanan


(36)

ulos, harus selalu lebih lebar dari kain yang di tengah, dan biasanya ulos zaman dahulu memiliki ukuran, yang panjangnya memiliki 2,8 meter dan lebar memiliki 1,7 meter.13

Selama bertenun, ada larangan dan pantangan yang tidak boleh dilanggar

misalnya:

1. Kalau ujung benang putus ketika menggulung dan ujungnya tidak dapat

ditemukan kembali, merupakan pertanda bahwa kain yang ditenun akan menjadi penutup mayat pemiliknya.

2. Jika sewaktu bertenun, balobas (kayu berbentuk penggaris) yang dipakai

untuk merapatkan benang dengan tidak sengaja memukul seekor lalat hingga mati, merupakan pertanda bahwa tidak lama lagi anak pemilik kain akan meninggal.

3. Jika disebuah kampung ada kemalangan (meninggal), kendi atau mencampur

tempat cat harus segera ditutup dengan duri, supaya begu (roh) orang

meninggal tidak masuk ke dalam mengaduk-aduk larutan cat, mengakibatkan campuran yang telah diracik dengan susah payah menjadi rusak.

4. Seorang penenun tidak boleh meninggalkan kampug membawa ulos yang

masih setengah selesai, dengan maksud menyelesaikannya di kampung lain. Jika aturan ini dilanggar, tondi (roh) kain tenun akan menghilang.

13Wawancara, Dengan Ibu Sibonur Br. Manurung, bekerja sebagai pengrajin ulos, 21 April 2014, pukul 10.00 wib.


(37)

5. Kedua potongan kain yang dijahitkan pada kedua ujung ulos sebagai penghias, tidak boleh sama panjangnya. Jika ukurannya sama akan membawa

kematian bagi pemiliknya.14

2.2.3 Nelayan

Tidak semua daerah mempunyai tempat untuk menangkap ikan, hanya

diwilayah yang mempunyai sungai dan Danau Toba. Pada masa lalu masyarakat Toba tidak mengetahui ikan apa saja yang ada di sungai maupun di Danau Toba pada saat itu. Ikan mas dan halu (gurami) bukanlah ikan asli danau, melainkan ikan yang disemai dan dibiakkan oleh Dinas Perikanan pada masa Pemerintahan Hindia Belanda.


(38)

A.J. van Zanen bekas kontelir Belanda di Toba, sangat kagum setelah mengetahui sedemikian banyak jenis alat penangkap ikan yang dipakai nelayan di Toba. Tidak diketahui sejak kapan peralatan tersebut mulai digunakan. Dilaporkan ada 27 jenis alat penangkap ikan yang digunakan seperti yang disajikan dalam tabel 1 dibawah ini.

Tabel. 1

Alat Menangkap Ikan di Toba

Peraturan menangkap ikan di Danau Toba, hanya berlaku untuk penduduk

yang berdomisili di sekeliling danau. Setiap horja yang lokasinya di pinggir Danau Toba, memiliki daerah penangkapan ikan mulai dari batas pantai menjorok tegak lurus masuk ke danau. Di daerah bukan horjanya, tidak diperkenankan menangkap ikan terkecuali mendapat isin dari Raja Parjolo (Raja Pertama), jumlahnya tidak ditentukan tergantung pada sipemberi. Sedangkan menangkap ikan di sungai bebas,

No. Nama Alat Pekerja

15. Hail Sibahut 1 orang 16. Hail Tabu-tabu 1 orang 17. Hail Parippik 1 orang 18. Hail Taotao 1 orang

19. Bubu 1 orang

20. Bubu Issor 1 orang 21. Launglaung 1 orang

22. Arsam 1 orang

23. Sulangat 1 orang 24. Sabaran Batu 1 orang 25. Suri Gamal 2 orang

26. Antuk 1 orang

27. Tahop 1 orang

No. Nama Alat Pekerja

1. Suri Bolon 8-9 orang 2. Suri Paduadua 2 orang 3. Sidua Tali 2 orang 4. Sigulang Batu 10 orang 5. Parhorian 1 orang

6. Undalap 1 orang

7. Ambe Bagas 1 orang 8. Batu Pangiring 1 orang

9. Tiktik 1 orang

10. Olat 1-5 orang

11. Ambatan 2-3 orang 12. Pandan Tari 1 orang

13. Tungkup 1 orang

14. Hail Ihan 1 orang

Sumber: buku Sejarah Kebudayaan Batak, (N. Siahaan 1964, hlm, 127)


(39)

dan tidak terikat pada suatu peraturan, tetapi di beberapa tempat terdapat kesepakatan

hanya anggota marga secara bergantian boleh menangkap ikan di muara sungai.15

Sewaktu menangkap ikan harus memperhatikan pantangan (subang) supaya

tidak terkena murka dewi air, diantaranya:

1. Jangan menggunakan perahu kayu yang berbongkol untuk menangkap ikan di

Danau Toba, karena akan membawa sial (sia-sia).

2. Jika si nelayan menangkap ikan-pantai (ikan yang biasanya hidup di tepi

pantai) di tengah danau, berarti bahaya kematian mengancam salah satu anggota keluarganya.

3. Jika si nelayan menemukan seekor ikan yang hampir mati di bubunya

(ditempat ikan) atau menangkap seekor ikan pora-pora kecil

tergantung-gantung di antara dua ikan besar di jalanya, memberitahukan akan ada mayat di antara dua usungan keranda.

4. Selama menangkap ikan, si nelayan harus menghindari menyebut kata

lumang” artinya kosong, karena dapat menyebabkan dia pulang dengan tangan kosong.


(40)

2.2.4 Beternak

Hampir semua keluarga yang tinggal di huta (kampung) memelihara ternak,

terutama babi dan ayam. Pada umumnya jumlah ternak yang dipelihara tidak banyak dan kurang terpelihara dengan baik karena ternak tersebut berkeliaran di sekitar kampung dan pada malam hari ayam mencari tempat bertengger didahan kayu yang tumbuh dikampung. Begitu juga dengan babi yang tidak diberikan makan yang cukup sehingga hewan tersebut mencari makannya di luar kampung.

Ada juga masyarakat yang memelihara kerbau dan kuda dan umumnya mereka dari keluarga yang berpunya. Didesa Sigaol tidak terdapat rumput, hewan tersebut dibawa kepadang luas di luar kampung, dan yang mengembalakan kerbau tersebut adalah anak-anak pemilik kerbau tersebut, setelah kerbau tersebut kenyang lalu dimandikan. Kemudian dibawa pulang dan di masukkan ke dalam kandang. Sedangkan penduduk yang tidak mampu membeli kerbau secara utuh, sering bergabung dengan beberapa temannya dan patungan membeli seekor kerbau, atau

dalam bahasa Batak Toba disebut marriperipe marpinahan.

Vergouwen menjelaskan bahwa orang Batak sudah mempunyai Peraturan dan

Hukum (patik dohot uhum) yang baik untuk mengatur perkongsian, yang disebut

parripe-ripeon. Dalam aturan patugan, secara jelas diatur kapan dan berapa lama seseorang anggota bertugas memelihara dan memanfaatkan kerbau untuk bekerja


(41)

disawah. Demikianlah penentuan jadwal untuk masing-masing anggota kapan boleh

memerah susu kerbau16.

2.2.5 Berdagang

Setelah masuknya ulos ke Desa Sigaol masyarakat Sigaol tetap melanjutkan

aktivitasnya untuk berjualan kepasar dengan membawa hasil tenunan (ulos), hasil tangkapan ikan, hasil ternak, serta salaon, itom, bakkudu, tuak (nira) dan kayu bakar. Semua ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Makanan pokok masyarakat pada waktu itu adalah beras dan ubi. Sedangkan bagi daerah yang kurang subur seperti Desa Sigaol mereka menanam singkong dan ubi jalar. Keladi (suhat) juga dimakan sebagai makanan tambahan, dan daunnya dijadikan sayur. Hewan peliharaan tidak pernah disembelih untuk dimakan bersama keluarganya, mereka hanya boleh makan daging apabila ada pesta dan itupun jarang terjadi, bagi mereka makan daging itu adalah makanan mewah.

2.3 Kondisi Alam

Desa Sigaol merupakan bagian dari Kecamatan Lumban Julu yang terletak di dataran tinggi Bukit Barisan, dengan kontur tanah yang beragam; datar, landai, bergelombang, miring, dan terjal, dengan ketinggian antara ± 870 - 950 Meter di atas permukaan laut. Memiliki tekstur tanah pada umumnya Andosol (tanah yang


(42)

berwarna hitam) rata-rata Curah hujan 85 mm per tahun. Posisi geografis Toba Samosir terletak antara 2°23’ - 2°30’ LU dan 99°04’-99o.09’ BT, dengan luas wilayah 400 Ha. Menurut sensus jumlah penduduk Desa Sigaol sebanyak 665 jiwa dengan komposisi penduduk jumlah laki-laki sebanyak 325 orang dan perempuan sebanyak 340 orang.

Desa Sigaol tergolong daerah yang sulit ditumbuhi tanaman. Karena tanahnya terjal (tanah merah campur batu-batuan) dan kering tidak ada penyimpanan air. Dengan kondisi seperti ini, sehingga masyarakat tidak memungkinkan untuk bertani. Sedangkan kecepatan angin di Desa Sigaol rata-rata 3,3 km/jam, kecepatan

angin tertinggi adalah 4,61 km/jam, dan kecepatan terendah adalah 2,43 km/jam5 .17

2.4 Pola Perkampungan Penduduk

Sistem Penduduk asli Desa Sigaol adalah suku Batak Toba, yang dihuni oleh marga Sinaga, Sitorus dan Nainggolan. Budaya masyarakat Batak Toba menganut sistem patrilineal (garis keturunan dari laki-laki). ini merupakan tulang punggung masyarakat Batak yang dibangun berdasarkan silsilah atau keturunan marga yang menghubungkan antara satu sama lain dalam garis laki-laki (patrilineal). Laki-laki

membentuk kelompok kekerabatan, sementara kaum perempuan membentuk afiliasi

kekeluargaan (afinal relationship) karena mereka menikah dengan kelompok patrilineal yang lain.


(43)

Sistem marga mengimplikasikan bahwa setiap kelompok orang yang memiliki asal genealogis yang sama juga memiliki tempat tinggal atau permukiman yang sama setidaknya diwaktu silam. Jadi, yang dikatakan sebagai marga pada suku bangsa Batak Toba ialah marga-marga pada suku bangsa Batak yang berkampung

halaman (marbona pasogit) di daerah Toba.

Fungsi utama sistem marga adalah membangun keteraturan di antara orang-orang Batak termasuk dengan orang-orang-orang-orang diluar suku Batak. Bagaimana sistem sosial ini dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari tercermin ketika seorang warga Batak bertemu dengan orang Batak lainnya dan mereka menelusuri pohon silsilah mereka (partuturan). Dengan melakukan partuturan mereka bisa menentukan apakah seseorang adalah kerabatnya, apakah mereka memiliki tali kekerabatan lewat perkawinan dan bagaimana mereka harus menyapa satu sama lain. Dapat dilihat dari prinsip Dalihan na tolu, jika marga dari pihak laki-laki disebut “dongan sabutuha” (Saudara) memperoleh istri dari pihak marga pemberi istri disebut “hula-hula” (Paman) dan memberi berkah kepada marga pengambil istri disebut “boru” (anak perempuan) . Sistem sosial ini berfungsi mengatur keserasian masyarakat Batak. Ketiga kelompok fungsional ini dipandang sebagai keterwakilan tiga Dewa/Tuhan

Orang Batak. Batara Guru, Soripada dan Mangalabulan. Batara Guru adalah simbol

hula-hula yang melalui anak gadis mereka, menciptakan turunan manusia baru.

Hula-hula memperoleh penghargaan dan kekuasaan sebagaimana Batara Guru dalam

“Tiga Dewa/Tuhan” orang Batak, yakni Soripada adalah dongan sabutuha (saudara) yang bertanggungjawab merawat anak-anak mereka.


(44)

Untuk menciptakan harmoni dalam hubungan Dalihan Na Tolu ini, dalam adat Batak Toba telah menetapkan aturan perilaku sebagai berikut. Logika moral

yang terkandung dalam somba marhula-hula (hormat kepada paman) terkait dengan

proses penciptaan manusia. Sementara manat mardongan tubu/marga (hormat

kepada saudara ) mengandung dua kewajiban moral yakni :

1. Seseorang harus bersikap serius kepada kelompok marganya. Sikap dan sifat

serius terhadap dongan tubu (saudara) meliputi :

a. Utang harus dibayar

b. Pemberian tidak bisa ditagih kembali dan disebarluaskan kepada yang lain

c. Perselisihan diantara kelompok marga harus didasarkan pada nilai-nilai

demokrasi, bukan otoriter.

2. Hubungan diantara marga harus didasarkan pada nilai-nilai demokratis,

bukan otoriter. Terakhir elek marboru (membujuk pihak perempuan) berarti

seni mencintai terhadap pihak perempuan harus dilakukan dengan tulus hati yang terdalam. Menjauhkan sifat pura-pura dan tersembunyi seperti :

a. Mengambil harta boru tanpa seijinnya (holung).

b. Merampas milik boru (heum).

c. Cemburu (hosom).


(45)

BAB III

PERKEMBANGAN TENUN ULOS DI DESA SIGAOL 1970-2000

3.1 Kualitas Kain Ulos Yang di Produksi Masyarakat Sigaol

Kain ulos yang di produksi masyarakat Sigaol tetap menjaga kualitas hasil

tenunannya dari tahun ke tahun karena harga jual ditentukan oleh kualitas ulos yang

ditenun. Semakin rapi ulos tersebut semakin tinggi harga jual akan ulos itu sendiri. Selain itu jual ulos itu dikatakan berkualitas apabila cara menenun ulos tersebut rapi, memiliki ukuran yang sesuai (panjang dan lebar harus seimbang), banyaknya motif (lidi) yang digunakan, dan kain ulos tersebut harus keras. Kualitas kain ulos di Desa Sigaol dapat dikatakan menurun karena mereka tidak lagi menggunakan pewarnaan ulos secara alamiah karena pewarnaan secara alamiah tidak efektif lagi digunakan karena memerlukan banyak waktu untuk melakukan pewarnaan alami tersebut.

Disamping itu juga mereka sudah mengurangi motif (lili) ulos tersebut, karena terlalu

capek mengerjakan pekerjaan seperti itu, semakin banyak motifnya (Lilina) semakin

besar pula ukuran ulos yang akan di tenun. Disamping itu juga, dalam menenun ulos

yang memiliki banyak motif dibutuhkan orang-orang yang sudah berpengalaman dan

orang-orang yang teliti. Karena semakin banyak motif ulos yang akan di tenun maka


(46)

Menurut hasil wawancara penulis, kualitas ulos sebelum tahun 1970 sampai tahun 2000 hanya mengalami pergeseran pewarnaan alamiah dan pengurangan

jumlah motif akan ulos tersebut. Karena para penenun ulos di Sigaol mengalami

kesulitan dalam mengerjakan kedua hal tersebut. Tetapi jikalau proses pembuatan, dan cara menenun sama saja seperti yang dulu. Untuk lebih jelasnya penulis

menjelaskan kembali secara rinci perbedaan proses pembuatan ulos mulai awal

sampai selesai baik yang menggunakan mesin maupun yang tidak menggunakan mesin.

3.1.1 Perbedaan Tenun Tradisional Dengan Tenun Ulos Yang Menggunakan Mesin

Hasil tenun ulos tradisional atau manual (ATBM) dengan hasil tenun yang

menggunakan mesin sangat beda, dapat dilihat dari proses pembuatan, bahan yang digunakan dan kerapian hasil tenun tersebut. Proses pembuatan ulos manual ada 4

tahap yaitu: Mangunggas, Makkasoli, Mangani, dan Martonun. Keempat tahap ini

digunakan untuk memperoleh hasil tenun yang kuat dan mengkilat. Pada saat manggani, benang tersebut di oleskan dengan nasi secara merata sambil dijemur

diterik matahari, dan pada saat martonun, benang tersebut diberikan air agar benang

antar yang satu dengan yang lain menyatu. Ulos orang batak itu dalam istilah diberi

makan dan minum seperti manusia. Selain itu hasil tenun ulos manual jauh lebih kuat

dan rapi, biasanya warna ulos yang ditenun manual cenderung dengan warna yang


(47)

dicuci dan hasil ulos yang diperoleh dari tenun manual jauh lebih kuat, cantik dan rapi.

Hasil tenun ulos yang menggunakan mesin itu biasanya mereka lebih

mementingkan kuantitas daripada kualitas, mereka kurang teliti pada saat proses pembuatan ulos tersebut, sehingga hasil ulos yang diperoleh asal jadi. Ulos hasil tenunan mesin itu tidak rapi atau benangnya tidak menyatu karena pada saat

menenun ulos tersebut, tidak diberikan air untuk menyatukan benang yang satu

dengan yang lain dan pada saat mangani benang tersebut tidak dioleskan nasi yang

sudah dilumerkan melainkan tepung kanji. Biasanya ulos yang dikeluarkan dari

mesin itu warnanya cerah-cerah, dan apabila dicuci warnanya pudar.

3.1.2 Bahan Dasar Tenun Ulos

Secara garis besar, ada dua bahan yang digunakan dalam pembuatan Ulos,

yaitu: bahan untuk pembuat kain dan bahan pewarna. Bahan pembuat kain adalah benang yang terbuat dari kapas. Sedangkan bahan pewarnanya adalah: kulit kayu, rerumputan, akar-akaran, lumpur, dan dedaunan. Semua bahan ini dimasak untuk

menghasilkan warna ulos yang akan di tenun. Warna yang dihasilkan jenis

tumbuh-tumbuhan diatas tadi menghasilkan warna hitam dan warna merah, sementara warna-warna lain seperti warna-warna biru dan warna-warna kuning dihasilkan dari perpaduan antara


(48)

Sedangkan pewarnaan ulos sekarang sudah diwarnai langsung dari perusahaan dan pewarnaan manual/alamiah tidak digunakan lagi karena tidak efektif lagi digunakan.

3.1.3 Alat Tenun Ulos

Alat tenun ulos yang dibutuhkan dalam pembuatan kain ulos memiliki salah

satu keunikan dari kain Ulos adalah penggunaan alat tenun yang masih menggunakan

kayu atau biasa disebut ATBM ( Alat Tenun Bukan Mesin), dan cara pengoperasiaannya dilakukan secara manual.

1. Alat pemintal kapas, alat ini digunakan untuk merubah kapas menjadi

benang (dalam masyarakat Batak, alat ini dikenal dengan nama sorha).

2. Pamunggung, yaitu sandara punggung, selain itu alat ini juga berfungsi untuk menahan benang dan untuk cantelan mengikat.

3. Pagabe, berfungsi untuk memegang benang yang dipintal. 4. Baliga, berfungsi untuk menyusun dan mengatur benang

5. Hatulungan, alat ini bentuknya seperti tombak dan berfungsi untuk membagi-bagi benang

6. Pamapan, berfungsi untuk melilitkan benang setelah dibagi-bagi hatulungan.

7. Palabuan (periuk tanah), alat ini digunakan untuk merendam bahan pewarna.


(49)

8. Anian, alat ini terbuat dari sepotong balok kayu yang diatasnya ditancapkan

tongkat pendek sesuai ukuran Ulos yang hendak dibuat. Fungsi alat ini adalah

untuk menguntai benang sehingga pembuatan Ulos semakin mudah.18

3.1.4 Proses Pembuatan Ulos

Kain Ulos ada beberapa jenis, setiap jenis memiliki corak, motif, dan fungsi yang berbeda-beda. Namun walaupun berbeda-beda, bahan yang digunakan adalah sama, yaitu sejenis benang yang dipintal dari kapas. Yang membedakan antara satu jenis Ulos dengan lainnya adalah proses pembuatannya. Dengan kata lain, proses

pembuatan Ulos menjadi penentu nilai dan fungsi sebuah Ulos, apakah Ulos tersebut

untuk siabithononton (dipakaikan), sihadanghononton (dijadikan selendang) atau

sitalitalihononton (diikatkan). Selain itu, proses pembuatannya juga menetukan

kepada siapakah kain Ulos digunakan untuk mangulosi.

Proses pembuatan kain Ulos merupakan demonstrasi keahlian orang Batak

merubah benang menjadi kain yang kaya akan nilai. Pembuatan kain in merupakan

rangkaian proses panjang mulai dari mangunggas (memintal), makkulhul

(menggulung), mangani (membentuk), dan manotar (menenun). Adapun proses

pembuatannya adalah sebagai berikut:

18 Data ini diperoleh dari, Museum TB. Silalahi Center Balige Kabupaten Toba Samosir, 15 Februari 2014.


(50)

a. Tahap Persiapan

Tahapan pertama pembuatan kain Ulos adalah menyiapkan bahan dasarnya.

Adapun prosesnya adalah sebagai berikut:

1. Pengadan kapas, pada zaman dahulu, kapas ditanam oleh masyarakat

dengan cara bertani. Namun saat ini, kapas biasanya didapat dengan membeli kepada penjual kapas.

2. Kapas kemudian dipromosikan, hal ini bertujuan agar kapas mulai

berkembang, sehingga memudahkan pemintal membentuk keseragaman ukuran benang.

3. Dilanjutkan dengan pemintalan, pemintalan benang menggunakan alat

yang disebut sorha. Untuk mengoperasikannya, dibutuhkan dua orang

untuk mengerjakannya. Satu orang memintal benang, dan satunya lagi

memutar sorha. Namun seiring perkembangan zaman, sorha telah

dimodifikasi sedemikian rupa sehingga pemintalan benang dapat dilakukan dengan tenaga satu orang saja.

b. Pewarna

Pewarnaan merupakan salah satu proses paling rumit dalam pembuatan warna

benang Ulos. Proses pewarnaan menggunakan bahan-bahan alami sehingga

membutuhkan waktu yang cukup lama, berbulan-bulan atau bahkan tahunan. Kegiatan untuk mendapatkan warna merah disebut “manubar” dan untuk mendapatkan warna hitam disebut “ mansop”. Ciri khas warna ulos Batak Toba ada 3


(51)

warna yaitu : warna merah melambangkan simbol hidup dan kehidupan, Putih adalah

simbol dan lambang kepribadian namarhasangapon (suci) dan warna hitam

melambangkan perilaku yang mantap (tongam).19

Sedangkan orang yang melakukan pewarnaan benang disebut “pasigira.

Adapun proses pewarnaan kain Ulos adalah sebagai berikut :

1. Setelah benang dipersiapkan, dilanjutkan dengan pewarnaan benang Ulos.

Untuk memberi warna dasar benang Ulos diperoleh dari jenis tumbuhan

nila ( Salaon), lalu dimasukkan ke dalam sebuah periuk tanah (palabuan)

yang telah diisi air.

2. Tumbuhan ini direndam (digon-gon) selama berhari-hari sampai getahnya

keluar.

3. Kemudian tumbuhan itu diperas dan ampasnya dibuang. Proses ini

biasanya menghasilkan cairan berwarna hitam kebiru-biruan.

4. Setelah cairan pewarna siap, benang Ulos dimasukkan ke dalam larutan

pewarna tersebut dan diaduk (manggaru). Namun jika benang tersebut

hendak diberi warna lain, maka sebelum dicelupkan ke dalam tempat berwarna, bagian-bagian benang yang hendak diberi warna lain terlebih

dahulu dililit (diikat) dengan benang. Untuk mendapatkan warna yang

berkualitas bagus, pencelupan dilakukan secara berulang-ulang.

5. Kemudian kain benang yang telah berwarna tersebut disepuh dengan air

lumpur yang dicampur dengan air abu, hal ini digunakan agar memperoleh

19 P. H. P. Sitompul, Ulos Batak Tempo Dulu – Masa Kini, Jakarta: Kerukunan Masyarakat Batak (KERABAT), 2009, hlm, 15.


(52)

warna yang pekat. Kemudian dimasak hingga mendidih sampai benang tadi kelihatan mengkilat (marsigira). Pekerjaan ini biasanya dilakukan pada pagi hari di tepi kali atau dipinggiran danau.

6. Setelah itu, ikatan-ikatan benang dibuka dan diungkas agar menjadi kuat.

7. Benang kemudian dilumuri dengan nasi yang dilumerkan ( indahan ni

bonang ) kemudian digosok dengan kuas bulat dari ijuk.

8. Benang tersebut kemudian dijemur dibawah terik matahari.20

c. Penentuan Jenis Ulos

Setelah proses pewarnaan benang selesai, tahapan selanjutnya yang tidak

kalah pentingnya adalah menetukan jenis Ulos yang hendak dibuat. Hal ini

disebabkan karena jenis sebuah Ulos menentukan tata cara pembuatannya. Setelah

benang Ulos siap dan jenis Ulos yang hendak dibuat telah ditentukan, maka proses

selanjutnya pembuatan Ulos dapat segera dilakukan. Adapun proses pembuatannya

adalah sebagai berikut :

1. Setelah dijemur, benang-benang tersebut kemudian diuntai ( mangani).

Untuk mempermudah proses penguntaian, benang terlebih dahulu digulung berbentuk bola. Dalam proses ini, kepiawaian pangani menurut komposisi warna.

20Wawancara dengan, Ibu Betty Manurung, sebagai pengrajin ulos di Desa Sigaol, 06 Februari 2014.


(53)

2. Setelah diuntai, benang Ulos dapat segera diproses menjadi kain Ulos.

Proses ini disebut tonun (tenun). Orang yang bekerja sebagai penenun

Ulos disebut “partonun”.

3. Setelah ditenun, kain Ulos diberi hiasan-hiasan pengikat rambu Ulos.

Pekerjaan ini disebut manirat, dan orang yang mengerjakannya disebut panirat.

3.2 Jumlah Ulos Yang Di Produksi Masyarakat Sigaol

Dari hasil wawancara penulis ada ± 57 jenis kain ulos Batak (Simalungun,

Angkola, Mandailing, Toba, Pakpak dan Karo). Di Desa Sigaol jenis ulos yang

ditenun masyarakat dari tahun 1960-1975 ada 12 jenis ulos, yaitu: Ulos Sipitu

Hundulan (Raja Ni Ulos), Pinuncan (Ulos Jugia), Sirara (Ragidup), Ragi Hotang, Lili Silindung, Pamontari Sibolang, Padang-Padang (Hande-hande), Mangiring, Pinallobu-lobu, Runjat, Sitolutuho, dan Bolean. Di tahun 1975-2000 masyarakat

Sigaol hanya menenun ulos sebanyak 7 jenis ulos yaitu : Ulos Jugia, Ragidup, Ragi

Hotang, Ulos Sibolang, Ulos Mangiring, Bintang Maratur, dan Sitolutuho-bolean.

Karena ke tujuh ulos ini termasuk mudah untuk di tenun, disamping itu juga ulos ini

banyak dibutuhkan oleh masyarakat untuk keperluan pesta, dan ulos ini juga memiliki

harga yang cukup mahal. 21

21Wawancara dengan Ibu Berneria Br. Sitorus, Sebagai Pengarajin Ulos, Jumat 28 Maret 2014.


(54)

Masyarakat Sigaol tidak lagi menenun ulos Sipitu Hundulan, Pinallobu-lobu, Runjat, Padang-Padang, dan Lili Silindung. Mereka tidak lagi menenun jenis ulos ini, karena jenis ulos ini memiliki motif yang sangat susah untuk ditenun, biasanya

yang menenun ulos ini dibutuhkan orang yang berpengalaman dan yang teliti,

disamping itu juga waktu yang dibutuhkan dalam menenun jenis ulos ini

membutuhkan waktu yang cukup lama, serta ulos ini juga kurang diminati oleh

masyarakat. Karena ulos ini sangat jarang dipakai dalam acara adat. Jenis ulos ini hanya boleh dipakai orang-orang tertentu seperti Raja, Kepala Kampung, dan


(55)

1. Ulos Jugia, ulos ini disebut juga “ulos naso ra pipot atau “pinunsaan”. Biasanya ulos yang harga dan nilainya sangat mahal dalam suku Batak disebut ulos “homitan” yang disimpan di “hombung” atau “parmonang-monangan” (berupa Iemari pada jaman dulu kala). Menurut kepercayaan orang Batak, ulos ini tidak diperbolehkan dipakai sembarangan kecuali orang yang sudah “saur matua” atau kata lain “naung gabe” (orang tua yang sudah mempunyai cucu dari anaknya laki-laki dan perempuan).

Selama masih ada anaknya yang belum kawin atau belum mempunyai keturuan walaupun telah mempunyai cucu dari sebahagian anaknya, orang tua tersebut belum bisa disebut atau digolongkan dengan tingkatan saur matua. Hanya orang yang disebut “nagabe” sajalah yang berhak memakai ulos tersebut. Jadi ukuran

Repro: Novita Butarbutar ULOS JUGIA (PINUNCAAN)

Penggunaan : Hanya dapat dipakai oleh orang yang sudah beranak cucu (Saur-matua).


(56)

hagabeon dalam adat suku Batak bukanlah ditinjau dari kedudukan pangkat maupun kekayaan. Tingginya aturan pemakaian jenis ulos ini menyebabkan ulos merupakan benda langka hingga banyak orang yang tidak mengenalnya. Ulos sering menjadi barang warisan orang tua kepada anaknya dan nialainya sama dengan “sitoppi” (emas yang dipakai oleh istri raja pada waktu pesta) yang ukurannya sama dengan ukuran padi yang disepakati dan tentu jumlah besar.


(57)

2. Ulos Ragidup, ulos ini setingkat dibawah Ulos Jugia. Ulos Ragidup ada yang

menafsirkan kata Idup diambil dari kata Hidup. Karena motif dan raginya seolah-olah

hidup. Idup dalam bahasa Batak berasal dari kata mangidup, mangalsik,

(menginginkan dan menikmati). Ketika seorang Bapak memakai ulos Ragidup, dia

sedang menikmati kehidupannya sebagai seorang Bapak yang sudah marpahompu

(cucu) dan menginginkan sampai dengan saur matua. Ulos ini dapat dipakai untuk berbagai keperluan pada upacara duka cita maupun upacara suka cita. Pada jaman dahulu dipakai juga untuk “mangupa tondi” (mengukuhkan semangat) seorang anak

yang baru lahir. Ulos ini juga dipakai oleh suhut si habolonan (tuan rumah). Ini yang

membedakannya dengan suhut yang lain, yang dalam versi “Dalihan Na Tolu

disebut dongan tubu (satu marga kita).

Repro: Novita Butarbutar

ULOS RAGI IDUP (RAGIDUP)

Penggunaan : Dipakai oleh orang tua yang sudah beranak cucu.

Sumber: M.T. Siregar, Ulos Batak Dalam Tatacara Adat Batak, Jakarta: P.T. MUFTI


(58)

Pembuatan ulos ini berbeda dengan pembuatan ulos lain, sebab ulos ini dapat dikerjakan secara gotong royong. Dengan kata lain, dikerjakan secara terpisah dengan

orang yang berbeda. Kedua sisi ulos kiri dan kanan (ambi) dikerjakan oleh dua orang.

Kepala ulos atas bawah (tinorpa) dikerjakan oleh dua orang pula, sedangkan bagian

tengah atau badan ulos (tor) dikerjakan satu orang. Sehingga seluruhnya dikerjakan lima orang. Kemudian hasil kerja ke lima orang ini disatukan (diihot) menjadi satu kesatuan yang disebut ulos “Ragidup”.

Bila seorang Tua meninggal dunia, yang memakai ulos ini ialah anak yang

sulung sedang yang lainnya memakai ulos “sibolang”. Ulos ini juga sangat baik bila

diberikan sebagai ulos “Panggabei” (Ulos Saur Matua) kepada cucu dari anak yang

meninggal. Pada saat itu nilai ulos Ragi Hidup sama dengan ulos jugia. Pada upacara

perkawinan, ulos ini biasanya diberikan sebagai ulos “Pansamot” (untuk orang tua pengantin laki-laki) dan ulos ini tidak bisa diberikan kepada pengantin oleh siapa pun.


(59)

3. Ragi Hotang, ulos ini biasanya diberikan kepada sepasang pengantin yang disebut

sebagai ulos “Marjabu”. Dengan pemberian ulos ini dimaksudkan agar ikatan batin

seperti rotan (hotang). Cara pemberiannya kepada kedua pengantin ialah disampirkan

dari sebelah kanan pengantin, ujungnya dipegang dengan tangan kanan Iaki-laki, dan ujung sebelah kiri oleh perempuan lalu disatukan ditengah dada seperti terikat.

Dengan memberikan ulos ini kepada pengantin di haruskan terjadi ikatan batin yang

kokoh dan teguh seperti rotan. Pada jaman dahulu rotan adalah tali pengikat sebuah

benda yang dianggap paling kuat dan ampuh. Inilah yang dilambangkan oleh ragi

(corak) tersebut.

Repro: Novita Butarbutar

Penggunaan : Diberikan kepada penganten baru, waktu mangupa atau memasuki rumah baru.

Sumber: M.T. Siregar, Ulos Batak Dalam Tatacara Adat Batak, Jakarta: P.T. MUFTI


(60)

4. Ulos Sibolang, ulos ini dapat dipakai untuk keperluan duka cita atau suka cita. Untuk keperluan duka cita biasanya dipilih dari jenis warna hitamnya menonjol, sedang bila dalam acara suka cita dipilih dari warna yang putihnya menonjol. Dalam

acara duka cita ulos ini paling banyak dipergunakan orang. Untuk ulos“saput” atau

ulos “tujung” harusnya dari jenis ulos ini dan tidak boleh dari jenis yang lain. Dalam upacara perkawinan ulos ini biasanya dipakai sebagai “tutup ni ampang” dan juga bisa disandang, akan tetapi dipilih dari jenis yang warnanya putihnya menonjol. Inilah yang disebut “ulos pamontari”. Karena ulos ini dapat dipakai untuk segala peristiwa adat maka ulos ini dinilai paling tinggi dari segi adat batak. Harganya relatif

murah sehingga dapat dijangkau orang kebanyakan. Ulos ini tidak lajim dipakai

sebagai ulos pangupa atau parompa.

Repro: Novita Butarbutar SIBOLANG

Penggunaan : Diberikan sebagai tujung atau saput, dipakai pada acara-acara dukacita

Sumber: M.T. Siregar, Ulos Batak Dalam Tatacara Adat Batak, Jakarta: P.T. MUFTI


(61)

5. Ulos Mangiring, ulos ini mempunyai corak yang saling iring-beriring. Ini

melambangkan kesuburan dan kesepakatan. Ulos ini sering diberikan orang tua

sebagai ulos parompa kepada cucunya. Seiring dengan pemberian ulos itu kelak akan

lahir anak, kemudian lahir pula adik-adiknya sebagai temannya seiring dan sejalan.

Ulos ini juga dapat dipakai sebagai pakaian sehari-hari dalam bentuk tali-tali (detar)

untuk kaum laki-laki. Bagi kaum wanita juga dapat dipakai sebagai saong (tudung).

Pada waktu upacara “mampe goar” (pembaptisan anak) ulos ini juga dapat dipakai

sebagai bulang-bulang, diberikan pihak hula-hula kepada menantu.

Repro: Novita Butarbutar ULOS MANGIRING

Penggunaan : Dipakai sebagai ulos parompa dan juga dipakai sebagai detar

Sumber: M.T. Siregar, Ulos Batak Dalam Tatacara Adat Batak, Jakarta: P.T. MUFTI


(62)

6. Bintang Maratur, ulos ini menggambarkan jejeran bintang yang teratur. Jejeran

bintang yang teratur didalam ulos ini menunjukkan orang yang patuh, rukun seia dan

sekata dalam ikatan kekeluargaan. Juga dalam hal “sinadongan” (kekayaan) atau hasangapon (kehormatan) tidak ada yang timpang, semuanya berada dalam tingkatan

yang rata-rata sama. Dalam hidup sehari-hari dapat dipakai sebagai hande-hande

(ampe-ampe), juga dapat dipakai sebagai tali-tali atau saong. Sedangkan nilai dan

fungsinya sama dengan ulos mangiring dan harganya juga sama.

Repro: Novita Butarbutar ULOS BINTANG MARATUR

Penggunaan : Dipakai sebagai hande-hande (ampe-ampe) dan juga dipakai sebagai tali-tali (saong-saong)


(63)

7. Sitoluntuho-Bolean, ulos ini biasanya hanya dipakai sebagai ikat kepala atau

selendang wanita. Jenis ulos ini juga diberikan kepada seorang anak yang baru lahir

sebagai ulos parompa. Jenis ulos ini dapat dipakai sebagai tambahan, yang dalam istilah adat batak dikatakan sebagai ulos panoropi yang diberikan hula-hula kepada

boru yang sudah terhitung keluarga jauh. Disebut ulos Sitoluntuho karena ragi

(coraknya) berjejer tiga, merupakan “tuho” atau “tugal” yang biasanya dipakai untuk

melubang tanah guna menanam benih. 22

22 C. B. Tampubolon, Ulos Batak, Yogyakarta: BPK GUNUNG MULIA, 1986, hlm,. 13-17. Repro: Novita Butarbutar SITOLUNTUHO-BOLEAN

Penggunaan : Dipakai sebagai paroppa/ kain gendongan dan juga dipakai sebagai penutup kepala

Sumber: M.T. Siregar, Ulos Batak Dalam Tatacara Adat Batak, Jakarta: P.T. MUFTI


(64)

Bentuk dan ukuran kain ulos untuk tiap daerah suku Batak pada umumnya hampir sama. Bentuknya adalah seperti selendang, dengan ukuran ada yang besar dan ada yang kecil. Kedua ujung kain ulos tersebut terdapat rambai-rambai. Beda kain ulos antara satu daerah dengan daerah lainnya hanya terdapat pada nama dan motif serta komposisi warna saja. Ulos yang paling tinggi nilainya adalah ukuran besar yang disebut ulos raja, karena selain ukurannya besar, kualitasnya lebih tinggi,

sehingga harganya mahal. Ulos raja ini kalau di Tapanuli Utara disebut Ragi Idup, di

Simalungun dan Tapanuli Selatan disebut Ragi Santik. Ukuran ulos ini panjangnya ±

2 meter dan lebar ± 90 cm. 23

3.3 Sumber Daya Manusia (SDM) Penenun Ulos

Menenun Ulos menjadi mata pencaharian utama masyarakat Sigaol sebelum

tahun 1970 hingga sampai sekarang. Pekerjaan sebagai penenun ulos sudah menjadi

kehidupan sehari-hari mereka yang mampu memberikan hasil bagi mereka. Sebelum masyarakat Sigaol beralih profesi menjadi pengrajin ulos, mereka sangat kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Meskipun mereka banyak melakukan pekerjaan seperti menangkap ikan, beternak, berladang, dan berdagang tidak menjamin mereka memperoleh uang setiap harinya, padahal kebutuhan sehari-hari wajib dibeli. Menjadi seorang nelayan tidaklah selalu memperoleh hasil, karena

23 Dakung, Sugiarto, Ulos, Jakarta : Proyek Media Kebudayaan Jakarta Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1982, hlm, 50.


(65)

menjadi seorang nelayan harus bergantung terhadap cuaca. Begitu juga dengan pekerjaan yang lain tidak selalu menghasilkan.

Setelah mereka beralih profesi menjadi seorang pengrajin ulos, mereka tidak

kesulitan lagi dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari, karena ulos ini sangat cepat

dijual dan ulos ini juga sangat laku di jual kemana saja karena pada saat itu ulos sangat banyak dibutuhkan oleh masyarakat. Ulos ini menjadi salah satu alat yang digunakan oleh masyarakat Sigaol dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, karena ulos ini sangat cepat menghasilkan uang, tergantung kecepatan sipengrajin ulos

dalam menenun ulos tersebut. Melihat keuntungan dari hasil ulos yang cukup

memuaskan maka masyarakat Sigaol semakin tertarik dalam menenun ulos. Bahkan

anak-anaknya yang masih Sekolah Dasar (SD), juga yang tidak tahu baca (buta huruf)

diajari untuk menenun ulos. Bahkan para orang tua beranggapan bahwa apabila orang

tua tersebut tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya, maka orang tua tersebut tidak takut apabila anak tersebut sudah besar dan berkeluarga dalam mencari nafkahnya tidak akan kesulitan lagi. Karena anak tersebut sudah dibekali cara menenun ulos.

Setiap tahunnya pengrajin ulos di Desa Sigaol semakin banyak dan rame

untuk mengerjakannya karena hasil daripada ulos tersebut menjanjikan bagi

perekonomian mereka. Pekerjaan sebagai penenun ulos bukan hanya dikerjakan oleh

orang tua, tetapi juga dikerjakan oleh anak muda, bapak-bapak, dan orang-orang yang sudah cukup umur untuk mengerjakan hal tersebut. Jumlah penduduk Desa Sigaol sebanyak 665 jiwa, dan hampir semua penduduk Desa Sigaol mengerjakan hal


(66)

tersebut. Karena pekerjaan sebagai pengrajin ulos memberikan jaminan bagi kehidupan sosial ekonomi yang mensejahterakan masyarakat Sigaol.

Para pengrajin ulos sebagian ada sebagian ada yang tidak mengecam

pendidikan, ada juga yang hanya tamat Sekolah Dasar (SD). Penduduk Sigaol berjumlah 665 jiwa, dari 665 jiwa tersebut hanya 89 orang yang mengecam pendidikan Sekolah Dasar, 30 orang menduduki Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), kemudian 546 orang tidak mengecam pendidikan atau dapat dikatakan tidak tahu baca (buta huruf).

3.4 Modal Awal Yang dibutuhkan

Pada tahun 1970 modal awal yang dibutuhkan dalam membeli bahan baku ulos sekitar 100 rupiah untuk digunakan dalam membeli benang dan alat-alat yang

akan digunakan dalam menenun satu lembar ulos. Pada tahun 1970 alat-alat yang

akan digunakan untuk keperluan membuat ulos sudah tersedia mulai dari benang, cat

(warna), motif dan juga mesin sudah ada. Pada tahun ini jugalah mewarnai ulos

dengan cara alami mulai dihentikan karena kurang efektif dan membutuhkan waktu yang cukup banyak. Modal awal yang dibutuhkan semakin lama semakin meningkat sesuai dengan nilai harga jual ulos perlembarnya. Kenaikan harga bahan dasar ulos juga disesuaikan dengan pertukaran nilai mata uang yang berlaku di Indonesia.


(1)

(2)

Contoh Bangunan rumah tahun 1999- Sekarang

Salah satu rumah pengrajin ulos di Desa Sigaol yaitu rumah Drs. Saidi Butarbutar (Mantan DPR RI)

Salah satu rumah pengrajin ulos di Desa Sigaol yaitu rumah Ibu Rosinta Hasibuan, pekerja sebagai pengrajin ulos dan memiliki kilang padi.

Rumah Ibu Bernike Br. Sirait dengan Rumah Ibu Lasria Br. Manurung, pekerjaan sebagai pengrajin ulos.


(3)

Salah satu rumah pengrajin ulos di Desa Sigaol yaitu rumah Ibu Tiurlan Br. Manik


(4)

Rumah Bapak Solongan Butarbutar dan rumah Bapak Firman Nadapdap, pekerjaan sebagai Nelayan dan istrinya Penenun Ulos.

Rumah Ibu Meteria Br.Siregar, Pekerjaan sebagai Penenun Ulos di Desa Sigaol


(5)

(6)